Tag Archives: sharia economy

Co-Founder Ojesy bercerita pengalamannya menutup Ojesy dan beralih ke bisnis syariah online lainnya. Potensi pengembangan layanan syariah online masih besar

Pelajaran Tumbangnya Ojesy dan Menatap Peluang Bisnis Syariah Online

Sebelum Gojek dan Grab menjadi raksasa seperti saat ini, lima tahun lalu, pemain ride hailing lokal banyak yang mencoba peruntungannya di sektor ini. Kalau mau disebut jumlahnya, bisa lebih dari hitungan jari. Rata-rata menyematkan kata “ojek” atau irisannya sebagai penamaan identitasnya.

Mayoritas kini sudah tinggal nama dan minim yang masih teguh dengan peluang yang masih ada. Satu-satunya pemain yang cukup unik dan branding kuat karena menempatkan diri sebagai bisnis syariah adalah Ojesy (kepanjangan dari Ojek Syar’i).

Perusahaan ini didirikan pada 2015 di Surabaya oleh mahasiswa berusia 19 tahun, Evilita Adriani dan Reza Zamir. Semangatnya waktu itu adalah bentuk keprihatinan terhadap kejadian pelecehan seksual yang kerap menimpa perempuan ketika menggunakan kendaraan umum.

Dalam kurun empat tahun, Ojesy tumbuh pesat hingga mampu merambah ke 25 kota. Selain Jabodetabek, layanan ini masuk ke Surabaya, Malang, Gresik, Purworejo, dan kota-kota lainnya. Jumlah mitra pengemudi pernah tembus hingga 800 orang. Semua mitranya adalah perempuan, memakai jilbab, berpakaian longgar, dan mendapat izin suami dan keluarga (bila sudah berkeluarga). Sasaran penggunanya adalah perempuan dan anak-anak.

Dengan model seperti ini, Ojesy mampu bertahan hingga empat tahun di tengah persaingan yang semakin pelik versus Gojek dan Grab. Di akhir tahun lalu, akhirnya Ojesy mengibarkan bendera putih. Mereka mundur karena model bisnisnya menjadi bumerang buat perusahaan itu sendiri.

Ojesy fokuskan pada layanan antar jemput anak ke sekolah / Ojesy

Kepada DailySocial, Co-Founder Ojesy Evilita Adriani mengungkapkan, perusahaan mengandalkan model bisnis berlangganan pengantaran untuk anak sekolah dan karyawan dengan biaya sebesar Rp300 ribu per bulan. Siklus bisnis perusahaan sudah terbaca, bahwa penurunan akan tetap terjadi setiap libur semester dan tahun ajaran baru.

“Posisi kita tiap akhir semester dan libur sekolah selalu turun. Kita tahu temponya pasti demikian dan pattern-nya berulang terus. Terlebih lagi pandemi ini kita enggak bisa bertahan dengan model bisnis yang seperti itu,” tuturnya.

Perusahaan sudah mencari cara untuk menambal ritme berulang ini dengan kegiatan pemasaran, namun tidak ampuh. “Omzet kita per bulan pernah sampai Rp80 juta per bulan dengan 100 driver. Itu setinggi-tingginya.”

Meskipun demikian, pemicu terbesar permasalahan perusahaan datang dari konflik internal. “Fraud, mismanagement, bad public relation, ditambah keuangan minus tak terkontrol. Akhirnya memutuskan dengan berat hati menutup semuanya di akhir tahun 2019. Yang tersisa hanya utangnya,” tulis Evilita dalam laman akun LinkedIn.

Seluruh karyawan Ojesy telah diberhentikan dan pesangonnya telah dipenuhi. Kini hutang yang diwariskan Ojesy masih berusaha ia selesaikan. Aplikasi juga sudah ditutup.

Poin pembelajaran dan perintisan SyariHub

Evilita dan Reza sama-sama merintis Ojesy dalam usia yang sangat muda, yakni 19 tahun. Meskipun pencapaian ini bisa dibilang “lumayan”, di sisi lain banyak pelajaran yang bisa dipetik. Salah satu hal yang ia rasakan adalah ia selalu merasa terburu-buru dalam mengambil tindakan dan dirundung perasaan tidak tenang.

“Saya merasa tersanjung ketika dibandingkan dengan Grab dan Gojek saat itu, menandakan saya setara dengan mereka di masanya,” tulis Evilita.

Padahal di saat yang sama ilmu dan pengalaman yang mereka miliki masih jauh dari yang dibutuhkan perusahaan. “Saya merasa Ojesy tumbuh terlalu cepat hingga kita sendiri enggak bisa kontrol. Enggak tahu bagaimana manage keuangan dan operasional, jadinya kita terburu-buru dan akhirnya kita enggak waspada.”

Pembelajaran berikutnya adalah dari sisi kepemimpinan. Waktu itu Ojesy tidak bekerja sebagai tim. Seluruh keputusan diambil pimpinan teratas. “Jadi seperti superman, kalau sekarang [di perusahaan yang baru, SyariHub] lebih menjadi super team dan lebih kompak.”

Dua co-founder Ojesy: Evilita Adriani dan Reza Zamir / Ojesy
Dua co-founder Ojesy: Evilita Adriani dan Reza Zamir / Ojesy

Seluruh pembelajaran ini ia perbaiki saat mendirikan startup barunya, platform guru ngaji privat online SyariHub, pada awal tahun ini bermodalkan database yang ada dari perusahaan terdahulu. Waktu itu aplikasi Ojesy sudah diunduh lebih dari 80 ribu kali. Segmen yang dimasuki tetap syariah, meski industrinya berbeda.

Saat ini SyariHub menyediakan layanan edukasi untuk pelatihan mengaji. Sebelum mantap di sana, Evilita sempat pivot ke bisnis katering dan nanny dengan tetap berada di jalur syariah. Dengan keterbatasan sumber daya, kedua bisnis tersebut punya tantangan yang lebih rumit.

“Sekarang kita bermain di ngaji online saja karena lebih mudah mencari sumber dayanya, proses bisnisnya tidak seribet katering atau nanny.”

Sebelum mantap di segmen ngaji online ini, ia melakukan riset mendalam terkait potensi di dalamnya. Ditemukan bahwa sebanyak 50% orang Indonesia tidak bisa mengaji, padahal mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.

Hipotesis tersebut terbukti. Pada April 2020 dengan model bisnis ini, keuangan dan omzetnya tercatat naik. “Hingga bulan lalu [Juli, pertumbuhan] dua digit sudah terlampaui. Ini adalah puncak terbaik finansial saya pribadi,” lanjutnya.

Terhitung saat ini SyariHub punya lebih dari 100 pengguna berlangganan. Mereka tersebar di dalam negeri dan luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Abu Dhabi. Kebanyakan pengguna ini adalah tenaga kerja Indonesia dan warga Indonesia yang menetap di negara tersebut.

Tenaga pengajar yang tergabung kini sudah berjumlah 15 orang. Mereka berasal dari guru pesantren dan sudah mengantongi sertifikat mengajar. “Tim SyariHub sebagian diambil dari Ojesy.”

Dalam proses mengaji online ini, peserta akan diajari dalam sesi privat secara langsung (1-on-1) menggunakan platform video call, seperti Zoom. SyariHub belum memiliki aplikasi sendiri yang dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut, hanya situs untuk mendaftar.

“Tantangannya di sini adalah menyeragamkan kurikulum mengaji karena di Indonesia ini ada banyak metode mengaji. Jadi solusi dari kami adalah menyesuaikan dengan demand konsumen. Mereka bisa request untuk diajari metode tertentu.”

Belajar dari pengalaman sebelumnya, ia ingin membangun SyariHub secara perlahan dan tetap memerhatikan kebutuhan konsumen. “Kita mau fokusin satu produk dulu, baru nanti perlahan akan berkembang. Intinya SyariHub akan jadi parent company, tapi kami akan tetap tenang dengan model bisnis sekarang,” pungkas dia.

Ragam layanan digital syariah sejauh ini

Di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden, ekonomi syariah mendapat posisi karpet merah dan diharapkan kontribusinya kepada negara dapat lebih signifikan.

Pemerintah menuangkan PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional dan Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang secara khusus bertugas untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Dalam upaya mempercepat pertumbuhan aset keuangan syariah di Indonesia, KNEKS telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Salah satu pilarnya adalah penguatan usaha-usaha syariah dan ekosistem ekonomi digital.

Dari data OJK tahun lalu, indeks literasi keuangan syariah nasional di Indonesia pada tahun 2019 baru mencapai 8,93%, sedangkan indeks inklusi keuangan syariah nasional pada tahun yang sama baru mencapai 9,1%.

Dibandingkan Malaysia, keseriusan Indonesia dalam menggarap sektor masih kalah jauh. Pengamat ekonomi syariah STIE SEBI Aziz Setiawan mengatakan, Indonesia masih punya sejumlah pekerjaan rumah berskala besar. Cetak biru ekonomi syariah dan industri yang dibuat pemerintah belum terpenuhi tujuannya, sehingga perlu dipertajam oleh para lembaga pemerintah terkait.

Pemerintah juga perlu bekerja lebih cepat dalam mengimplementasikan perencanaan dan responsif, seperti yang Malaysia lakukan. “Mungkin kita sudah ketinggalan dengan Malaysia sekitar satu atau dua dekade untuk ekonomi syariah ini,” katanya.

Dari perspektif swasta, langkah pemerintah ini disambut dengan ikut terjun ke dalamnya, mengingat ada potensi besar yang menunggu digarap. Terlihat dari gencarnya Tokopedia dengan fitur Tokopedia Salam dan Shopee dengan Shopee Barokah.

Lalu ada LinkAja yang secara spesifik merilis layanan syariah dan kini masih menjadi satu-satunya pemain e-money di Indonesia yang memilikinya. Sejak dirilis tahun lalu, LinkAja Syariah telah memiliki lebih dari 185 ribu pengguna terdaftar.

Ada delapan pihak lintas sektor yang telah mendukung implementasi uang elektronik syariah LinkAja, datang dari pemerintah pusat, daerah, kabupaten, hingga lembaga nasional.

Di dalam aplikasinya sendiri, LinkAja Syariah memenuhi kebutuhan transaksi digital dengan menerapkan kaidah syariat Islam, seperti isi saldo dari dan ke seluruh bank syariah, kurban digital, pembayaran iuran sekolah dan pesantren secara digital, wakaf tunai untuk saham, pembayaran di sejumlah mitra e-commerce, dan berbagai transaksi lainnya.

Para pelaku digital yang sudah terjun ke bisnis syariah, menurut catatan DailySocial, baru digarap oleh dua sektor, yakni fintech dan e-commerce. Di sektor fintech, AFPI mencatat dari 158 perusahaan p2p lending yang beroperasi saat ini, 11 diantaranya berbentuk syariah. Hanya 1 dari 11 perusahaan ini yang berbentuk unit usaha, sisanya beroperasi penuh di bawah bendera syariah.

Mengutip laporan State of Global Islamic Economy Report 2019/2020, skor Indonesia ialah 49, menempati peringkat ke-5 dari 73 negara. Skor itu dihitung dari sejumlah sektor seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, serta farmasi & kosmetik. Makanan halal dan keuangan syariah merupakan dua sektor terbesar yang berkontribusi dalam penilaian skor untuk Indonesia.