Tag Archives: shoes

Uma Hapsari

Sempat Gagal, Amazara Kembali Matangkan Bisnis dengan Strategi Barunya

Didirikan pada tahun 2015 lalu di Yogyakarta, Amazara menjual sepatu dan berbagai produk lainnya secara online. Karena alasan pribadi dan persoalan manajemen, startup tersebut sempat mengalami kegagalan sekitar tahun 2019 dan memilih menutup bisnis mereka.

Namun, belajar dari pengalaman yang didapat, Founder & CEO Uma Hapsari memutuskan untuk memulai kembali bisnisnya. Dengan tim yang solid dan riset pasar yang lebih matang, Amazara kini memilih fokus untuk memproduksi dan menjual produk sepatu.

Kerja keras dan strategi yang diterapkan Uma ternyata membuahkan hasil, dalam waktu 5-6 bulan, perusahaan kembali mendapatkan pemesanan dan penambahan jumlah pelanggan.

“Karena berbagai alasan saya memutuskan untuk menutup perusahaan. namun dengan semangat baru dan memanfaatkan media sosial, Amazara bisa kembali beroperasi pada bulan Februari 2020 lalu,” kata Uma.

Bermitra dengan pengrajin sepatu dan pabrik

Untuk bisa menghasilkan berbagai produk sepatu berkualitas dan tetap relevan, Amazara menjalin kemitraan dengan beberapa pengrajin dan pabrik sepatu; jumlahnya saat ini sekitar 10 mitra. Dan guna memastikan semua proses sesuai dengan standar perusahaan, tim Amazara melakukan pemantauan dan kontrol saat proses produksi.

“Kami tidak fokus kepada growth at all cost. Model bisnis kami adalah merchandising. Artinya kami adalah pedagang dan melakukan penjualan sepatu. Kita percaya kepada kualitas dan layanan menjadi prioritas perusahaan,” kata Uma.

Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki sekitar 100 ribu pelanggan. Selain website, Amazara juga memanfaatkan official store di berbagai platform marketplace. Sementara untuk kanal promosi dan komunikasi, Amazara memanfaatkan akun media sosial Instagram dan WhatsApp.

“Kita belum memiliki rencana untuk meluncurkan aplikasi untuk saat ini dan ke depannya. Fokus kita adalah memproduksi sepatu yang kebanyakan diminati oleh kalangan millennial usia sekitar 17-34 tahun,” kata Uma.

Pandemi dan pendanaan

Saat pandemi Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, penjualan sepatu produksi Amazara sempat mengalami penurunan yang drastis. Untuk mengakali kondisi tersebut, mereka kemudian menghadirkan mentoring online untuk para UKM yang ingin belajar lebih mendalam dari Uma Hapsari. Responsnya pun ternyata cukup positif, selama kegiatan tersebut berlangsung terdapat 1500 pendaftar yang tertarik untuk mengikuti sesi tersebut.

Impact dari kegiatan tersebut adalah engagement dari audiens dan tentunya awareness terhadap brand kami. Meskipun pendapatan menurun tapi kami terekspos lebih luas melalui kegiatan ini yang kami hadirkan secara gratis,” kata Uma.

Kendala lain yang dihadapi oleh Amazara saat pandemi adalah, berkurangnya produksi sepatu karena aturan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah. Bukan hanya tidak adanya penyediaan bahan baku, namun para pengrajin juga banyak yang kembali ke kampung halaman.

“Namun bulan ini kondisi berangsur kembali normal dan produksi bisa kembali dilakukan. Kami pun mulai menerima pemesanan dari pelanggan. Untungnya kegiatan belanja online tidak pernah surut saat pandemi berlangsung hingga saat ini,” kata Uma.

Setelah melakukan diskusi dengan Salt Ventures tahun 2019 lalu, perusahaan akhirnya mengantongi pendanaan tahap awal dari mereka. Dengan pendanaan ini Amazara bukan hanya ingin menjadi platform penjualan sepatu secara online, namun juga ingin menjadi mentoring platform untuk membantu pelaku UKM lainnya menjalankan bisnis.

“Hal tersebut telah menjadi visi dan misi kami saat melakukan diskusi dengan pihak Salt Ventures. Harapannya kami bisa memberikan kontribusi kepada bisnis lainnya agar bisa maju bersama,” kata Uma.

Founder Sneakershot

Sneakershoot Akomodasi Jasa Cuci Sepatu dan Tas Melalui Aplikasi

Memanfaatkan besarnya minat layanan on-demand, platform Sneakershoot dihadirkan. Mereka menyuguhkan jasa pembersihan sepatu plus antar-jemputnya memanfaatkan aplikasi. Startup ini didirikan pada tahun 2019 oleh Donni Irawan, Ikhsan Senja Anchan, Dedy Haryadi, dan Noffian Triyadi. Visi mereka menjadi pioneer untuk jasa cuci sepatu berbasis teknologi.

“Perkembangan tren sneakers di Indonesia kini tumbuh semakin cepat, bukan hanya brand internasional yang berdatangan kini brand lokal Indonesia hadir dan berlomba untuk menaikkan popularitasnya. Kami hadir sebagai penyedia jasa perawatan sepatu,” kata CEO Sneakershoot Donni Irawan kepada DailySocial.

Meskipun baru berjalan selama 1,5 tahun,  Sneakershoot telah melayani lebih dari 5 ribu pelanggan dan telah membersihkan lebih dari 30 ribu pasang sepatu.

“Kami menyediakan jasa free pick up dan delivery di kawasan Jabodetabek kepada pelanggan yang ingin mencuci sepatu dan tas mereka. Kami juga menawarkan jasa, repair, repaint, un-yellowing, dan re-coloring. Kepada pelanggan kami  berikan opsi berlangganan dan mendapatkan harga promosi,” kata Donni.

Meskipun saat ini masih fokus di kawasan Jabodetabek, namun beberapa kali juga menerima pelanggan yang bermukim di luar Jabodetabek. Biasanya mereka mengirim sepatu yang akan dibersihkan dan di re-paint melalui jasa ekspedisi.

“Saat ini kami belum berencana untuk melakukan fundraising. Akhir Februari 2020, perusahaan baru saja merampungkan penggalangan dana putaran pre-seed dari SALT Ventures,” kata Donni.

Penggunaan aplikasi

Saat ini Sneakershoot telah memiliki sekitar 15 tim internal dan beberapa tenaga paruh waktu (freelancer) untuk membantu operasional sehari-hari. Tenaga paruh waktu tersebut di antaranya adalah shoes technician dan tenaga kurir yang melakukan antar jemput sepatu.

Mereka yang menjadi tenaga freelance tersebut berhak mendapat komisi dari Sneakershoot, menyesuaikan perhitungan harian dan mendapatkan bonus jika telah mencapai target. Semua proses dilakukan di workshop milik mereka. Saat ini Sneakershoot baru memiliki satu workshop. Ke depannya perusahaan memiliki rencana untuk menambah jumlah workshop di kawasan lainnya.

Untuk memudahkan pelanggan melakukan pembayaran, Sneakershoot yang bisa diakses di Play Store dan App Store, menyediakan pilihan pembayaran beragam. Mulai dari dompet digital (Gopay, Dana, LinkAja, dan OVO), hingga transfer bank (Mandiri, BNI, Permata, dan BRI). Dalam waktu dekat juga berencana untuk menghadirkan pembayaran menggunakan kartu kredit.

Dalam melakukan treatment yang sepenuhnya memanfaatkan aplikasi, semua proses pengambilan sepatu kotor sampai proses pengantaran sepatu bersih itu semua dilakukan oleh pihak Sneakershoot. Pelanggan juga dapat mengatur jadwal yang diinginkan sehingga mereka tidak perlu repot datang membawa atau mengambil ke mall atau store laundry sepatu. Semua proses tersebut telah di asuransi-kan.

“Semua proses adalah penggunaan aplikasi menyeluruh. Ke depannya kami juga berencana untuk menghadirkan opsi akses di website,” kata Donni.

Application Information Will Show Up Here
Strategi Digital Brodo

Mengulik Kisah Brodo, Produk Sepatu yang Dikenal Luas Melalui Kanal Digital

Di Indonesia sudah banyak merek sepatu lokal bermunculan. Dari semuanya, salah satu yang tampak konsisten dan terus menunjukkan pertumbuhan adalah Brodo. Produk sepatu ini dikembangkan oleh Yukka Harlanda dan rekannya Uta semasa kuliah di ITB. Satu dekade berdiri, mereka cukup konsisten mengoptimalkan kanal digital untuk pemasaran dan penjualannya.

Yukka kepada DailySocial bercerita, Brodo diawali dari keresahannya mencari sepatu merek lokal dengan ukuran 46, kemudian dipadukan dengan ambisi rekannya yang ingin menjadi seorang pebisnis. Singkat cerita mereka berkolaborasi, berusaha menghadirkan sepatu dengan desain menarik, murah, dan dijual melalui internet.

Di fase awalnya, Brodo dipasarkan melalui Forum Jual Beli Kaskus dan Facebook Pages. Informasi mengenai produk dan komunikasi dilakukan di sana. Jika sudah ada kata sepakat, konsumen akan dialihkan ke kanal Blackberry Messenger untuk melanjutkan transaksi pembelian.

“Seiring berjalannya waktu, yang awalnya hanya hobi untuk menambah uang saku ada beberapa shift yang kita lihat nih, penting banget yang membuat kita merasa ada oppurtunity. Nomer satu adalah digitalisasi cunsumer, pangsa pasar yang ditargetkan adalah kalangan mahasiswa; mereka akan terus tumbuh dengan preferensi, yang pertama di brand lokal, produk berkualitas di dapat dari online, dan brand yang keren.”

Ia melanjutkan, “Yang kedua, Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sepatu premier di dunia. Kita tidak sadar dengan hal itu karena kita terbiasa sebagai bangsa penjahit. Saya rasa di sini ada peluang untuk kita membuat produk berkualitas tinggi dan bisa bersaing dengan global dengan angle yang berbeda, yakni digital first, baik untuk pemasaran  atau transaksinya.”

Singkat cerita, Yukka dan partner mulai “full time” menjalankan Brodo. Per tahun 2019 kemarin, Brodo mengklaim sudah berhasil memproduksi ratusan ribu pasang sepatu. Untuk operasional sendiri Brodo sekarang memiliki 140 karyawan, 8 toko, dan 20 network vendor untuk raw material, kulit, maupun lainnya.

Founder Brodo, Yukka dan Uta / Brodo
Founder Brodo, Yukka dan Uta / Brodo

Konsisten pada kanal digital dan identitas merek

Saat ini Brodo hadir di berbagai macam kanal digital. Baik itu media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook; juga situs web pribadi yang menyediakan informasi lengkap seputar brand, termasuk juga fasilitas untuk transaksi. Brodo juga tersedia sebagai official merchant di beberapa e-commerce lokal.

Angle kita selalu brand first. Jadi yang namanya hardselling itu sangat coba kita kurangi, walaupun itu komponen yang tetap harus ada. Sampai sekarang media sosial itu harus menjadi fokus nomor satu. Sayangnya [di media sosial] ini ibaratnya kita dibatasi oleh ‘tuan rumah’ pemilik platform tersebut. Satu sisi kita benar-benar harus memanfaatkan, yang kedua kita harus aware bahwa media sosial bukan platform milik sendiri sehingga kita harus melakukan diversifikasi dari segi bagaimana kita menyampaikan pesan pemasaran kita,” jelas Yukka.

Yukka menambahkan, untuk bisa mengoptimalkan media sosial pemilik produk harus kreatif dalam menjalankan kampanye atau iklan. Termasuk mengurangi iklan berbayar, karena konsumen yang organik sudah terbukti bakal memberikan dampak jangka panjang pada bisnis secara umum.

Proses membangun merek juga dilakukan Brodo melalui kegiatan kolaborasi, menggandeng publik figur kenamaan seperti atlet atau artis. Mereka yang digandeng Brodo tentu bukan sembarangan, mereka harus mewakili semangat yang disusung Brodo, memiliki awareness yang tinggi, dan yang tidak kalah pending adalah mampu memberikan dampak persepsi pengguna terhadap brand Brodo.

Sepatu Pijak Bumi

Produsen Sepatu “Pijak Bumi” Manfaatkan Kanal Digital Sampaikan Visi Produk

Identitas merek atau produk bisa dibangun lewat berbagai macam media. Pijak Bumi, merek sepatu lokal dari Bandung mencoba membangun bisnis mereka melalui kanal online, tepatnya di platform Instagram dan situs web. Dari sana mereka mencoba menyuguhkan pelayanan prima sekaligus menyebarluaskan value yang diusung.

Bermula pada 2016, PijakBumi konsisten mengangkat tema sebagai merek sepatu ramah lingkungan. Tak hanya itu, mereka membawa tiga pilar penting dalam bisnisnya, yakni, orisinalitas desain, material ramah lingkungan, dan kearifan kerajinan lokal.

Co-founder Pijak Bumi Vania Audrey kepada DailySocial menceritakan bahwa mereka memanfaatkan Instagram untuk bisa membagikan produk dan cerita kepada khalayak ramai. Kemudian dari sana para pengunjung akan diarahkan menuju situs web untuk melakukan transaksi.

Pada awal kehadirannya, Pijak Bumi justru menarik pelanggan internasional. Tepatnya warga Indonesia yang tinggal di negara seperti Jerman dan Spanyol. Konsumen tertarik karena PijakBumi menawarkan sesuatu yang berbeda dibanding merek sepatu lain dari Indonesia, yakni berbahan natural, tepatnya menggunakan bahan kulit sapi samak nabati, serat kenaf, katun organik, kulit kelapa, dan recycle ban bekas.

Dari sana kemudian Pijak Bumi terus berkembang, hingga pada akhirnya sekarang mereka melayani pelanggan bisnis (B2B) yang ada di Jepang dan Eropa. Sejauh ini Pijak Bumi mengaku memiliki kapasitas produksi 1000 pasang sepatu per bulan.

“Kami memang masih pakai Instagram, tapi kami optimalkan untuk tetap terhubung dengan Teman Melangkah (sebutan pelanggan Pijak Bumi). Kami juga punya website sendiri yang difokuskan untuk penjualan. Jadi nanti kalau ada penawaran kerja sama dari e-commerce lain baru kami pertimbangkan juga,” cerita Vania.

Selain Pijak Bumi, sebenarnya di Indonesia sudah mulai banyak muncul merek indie untuk produk sepatu. Misalnya Brodo, mereka juga memanfaatkan media sosial untuk terhubung dengan pangsa pasarnya.

Kondisi persaingan yang ada, khususnya bila disandingkan dengan merek-merek yang banyak beredar di pasaran, memang membuat para founder produk lokal harus berpikir keras menghadirkan diferensiasi sekaligus nilai plus untuk merek yang dikembangkan. Dan menariknya setiap startup punya cara yang unik.

Fokus pada pengembangan produk

Tahun 2020 mungkin tahun yang cukup berat bagi kebanyakan orang, termasuk juga bisnis dan Pijak Bumi. Ada perubahan rencana atau lebih tepatnya rencana yang disesuaikan ulang yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Pihak Pijak Bumi, yang saat ini memiliki tim in-house sebanyak 5 orang mengaku mulai fokus pada pengembangan tim dan produk. Dengan adanya kanal B2C dan B2B membuat mereka sebisa mungkin untuk pintar mengatur sumber daya. Sementara itu untuk mendukung bisnis mereka juga menggunakan jasa pihak ketiga, seperti untuk warehousing dan semacamnya.

Berbicara mengenai teknologi digital, pihak Pijak Bumi mengaku tengah berusaha untuk meningkatkan kualitas situs web yang mereka miliki. Seperti dari segi fitur yang bisa membantu lebih banyak pelanggan dalam bertransaksi.

“Di 2020 kami ingin fokus ke produk yang ramah lingkungan dan ergonomis sehingga enak dipakai sehari-hari. Sementara untuk penerapan teknologi digital mungkin kami butuh semacam data scientis yang bisa membantu kami lebih paham membaca data yang ada,” tutup Vania.

Awal tahun ini, Pijak Bumi juga bergabung dengan program akselerator bisnis Gojek Xcelerate Batch 3. Dalam gelombang ini, Gojek merekrut banyak pengusaha dari kalangan pengembang produk ritel. Selain Pijak Bumi, ada beberapa startup lain seperti Callista, Gigel dan sebagainya.

Aplikasi Tukutu

Aplikasi Tukutu Fasilitasi Penjualan Sepatu Baru dan Bekas

Nama Tukutu merupakan akronim dari “Tuku Sepatu”, berasal dari Bahasa Jawa yang berarti beli sepatu. Sesuai namanya, aplikasi tersebut merupakan marketplace yang dapat dimanfaatkan penggunanya untuk titip jual produk sepatu — baik baru, bekas yang masih layak pakai, atau sepatu langka. Tukutu juga miliki misi untuk membantu sepatu merek lokal dalam menemukan pangsa pasar.

Peran aplikasi Tukutu adalah menjadi pihak ketiga untuk memastikan kualitas barang sebelum sampai ke tangan konsumen. Pada setiap transaksi pembelian, pihak Tukutu akan melakukan seleksi terlebih dulu di warehouse miliknya, termasuk melakukan pemeriksaan keasliannya. Dengan model bisnis tersebut, Tukutu tergolong cukup diminati. Sejak meluncur pada 14 November 2018, kini mereka telah membukukan 25 ribu pengguna dan 1500 merchant.

Di dalam aplikasi Tukutu terdapat fitur yang memungkinkan pembeli menawar sepatu dengan harga terendah yang diberikan oleh merchant. Mekanisme ini dinilai cukup penting, pasalnya mereka juga melayani penjualan sepatu bekas. Pemanfaatan rekening bersama turut diaplikasikan dalam sistem pembayaran, demi menjamin kelancaran transaksi dan kepercayaan pembeli.

“Saat ini Tukutu baru berfokus di dalam bidang sepatu. Ke depannya tidak menutup kemungkinan akan melebar ke kategori busana,” ujar Co-Founder & CEO Tukutu Husein Indra Kusuma.

Startup berbasis di Yogyakarta ini mengaku sudah melayani transaksi di berbagai kota di Indonesia. Untuk operasionalnya, saat ini masih bootstrapping alias menggunakan dana modal dari founder. Husein juga menyampaikan, startupnya tengah melakukan fundraising agar dapat mengakselerasi perluasan pangsa pasar.

“Visi kami membantu brand sepatu lokal agar dapat bersaing dengan brand terkenal. Selain itu juga ingin meminimalisir [transaksi penipuan] sepatu brand terkenal palsu. Tidak menutup kemungkinan kami juga akan membantu brand fashion lokal untuk bergabung ke dalam aplikasi Tukutu,” lanjut Husein.

Founder Tukutu
Beberapa founder Tukutu: Aditya Widayanto, Pulung Nutrtantion Andono, Gibran Rakabumi (tidak termasuk founder), Tirta Mandira Hudhi, Husein Indra Kusuma / Tukutu

Tukutu didirikan oleh enam orang founder. Selain Husen ada Tirta Mandira Hudhi, Ahmad Basir, Aditya Widayanto, Rizma Abdullah Hanif dan Ahmad Afifudin. Di awal pendiriannya, Husein dan Tirta dipertemukan oleh pengembang aplikasi Madhang Pulung Nurtantio Andono dan Gibran Rakabumi. Sementara dengan founder lainnya dipertemukan melalui komunitas di kampus UDINUS Semarang.

Tahun 2019 ini Tukutu memiliki beberapa target. Mereka ingin segera meluncurkan aplikasi di platform iOS. Perbaikan dan pengembangan fitur juga akan terus digencarkan, sembari terus merangkul merek lokal untuk tergabung ke dalam aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Porteegoods Marks An Increase of Custom-Made Shoe Businesses

Business owners are increasingly taking advantage of digital media to grow their businesses , including those who offer quick and easy pre-order services. Portegoods, which was established in 2012, is one of those which offers  online custom-made high quality shoes, directly from its own website.
Continue reading Porteegoods Marks An Increase of Custom-Made Shoe Businesses