Tag Archives: Siam Commercial Bank

Akulaku Obtains Strategic Investment of 1.4 Trillion Rupiah from Siam Commercial Bank

Akulaku to receive strategic investment of $100 million or over Rp1.4 trillion from Siam Commercial Bank (SCB), a leading commercial bank in Thailand. This agreement follows last year’s successful funding of $125 million led by Akulaku’s existing investor, Silverhorn Group, which also acts as a financing partner since 2018.

Akulaku’s subsidiary, Bank Neo Commerce (BNC), has finalized a public offering on the Indonesia Stock Exchange with a value around $175 million (over Rp2.5 trillion) in the fourth quarter of 2021. Reportedly, this is the closing of the pre-IPO fundraising series through the SPAC. According to reports on DealStreetAsia, Akulaku will be listed on the stock exchange in 2022.

In an official statement, Akulaku’s CEO, William Li said, the fresh money will be used to continue expanding the geographic coverage of its products and services throughout Southeast Asia and develop innovation. “We established Akulaku to fulfill the daily financial of underserved customers in emerging markets,” Li said, Tuesday (2/15.

Siam Commercial Bank’s President, Dr. Arak Sutivong said this investment marks SCB’s continued commitment and strong belief in Indonesia’s long-term prospects as one of the fastest growing digital economies in the region. The company considers Akulaku as having a dominant market position and well positioned with its innovative technology and superior product offerings.

“We are excited about investing in this company and look forward to leveraging our deep expertise in Thailand’s financial services sector to support its expansion. Investments in Akulaku fit within our regional theses to serve underserved markets using digital innovation. We look forward to partnering with Akulaku as the company grows,” Sutivong said.

Credit disbursement to 6 million users

Founded in 2016, Akulaku has grown into a Buy Now Pay Later (BNPL) and consumer finance platform in Indonesia, claiming to have disbursed more than $2.2 billion in credit to more than 6 million users by 2021. Akulaku’s coverage is not merely in Indonesia, but also in the Philippines, Vietnam, and Malaysia.

Building on this success, BNC launched its mobile digital banking service in March 2021, and is now the fastest growing digital bank in Indonesia with more than 13 million users to date. The company has another financial subsidiary group engaged in lending, Assetku, which operates in Indonesia, and a similar BNPL service that is present in Europe called Wisecart.

With more than 80% of consumers now participating in e-commerce, Southeast Asia’s digital retail market is growing exponentially. Akulaku’s digital credit service is poised to further accelerate the digital transformation of retail in Southeast Asia, providing new markets for consumers with access to flexible banking services.

Akulaku alone is said to have reached the unicorn status since 2019 with a valuation of more than $1.1 billion, according to a report compiled by Credit Suisse entitled “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. The company is yet to disclose this status to the public.

BNPL to rise after pandemic

A special report on the paylater ecosystem in Indonesia released by DSInnovate stated that paylater became the second favorite service in 2020 (72.5%) or slightly below digital wallet platforms which had recognition of 82.2%.

On the other hand, the e-commerce’s positive trend which strongly accelerated by the pandemic has also triggered the high adaptation of paylater products in the community. In fact, ResearchAndMarkets has released a research at the end of 2020 stated that the Gross Merchandise Value (GMV) is predicted to grow at US$8.5 billion in 2028 and estimated to help boost paylater facilities by approximately 76.7% annually. .

Likewise, the latest research by Kredivo and the Katadata Insight Center entitled “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021” also shows an increase in paylater users. There are 55% new users who use the Kredivo paylater feature.

The high number of paylater users also has a positive impact on the supply side, where this feature is able to help merchants increase AoV (average order value), increase sales by offering credit without a credit card, and also increase sales conversions by reducing friction during the shopping process.

While paylater has two classifications: paylater owned by digital startups (e-commerce, OTA, ride-hailing service, and others) and the paylater service owned by fintech startups. In Indonesia, there are many fintech companies that provide paylater services. The implementation is not limited, paylaters made by fintech generally become “online” credit platforms that can be used anywhere, from e-commerce to retail outlets.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun) dari Siam Commercial Bank (SCB)

Akulaku Peroleh Investasi Strategis 1,4 Triliun Rupiah dari Siam Commercial Bank

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB), bank umum terkemuka di Thailand. Kesepakatan ini mengikuti keberhasilan pendanaan yang diterima Akulaku sebesar $125 juta pada tahun lalu dipimpin oleh investor Akulaku sebelumnya Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018.

Anak usaha Akulaku, yakni Bank Neo Commerce (BNC), juga menyelesaikan penawaran umum hak publik di Bursa Efek Indonesia dengan nilai sekitar $175 juta (lebih dari Rp2,5 triliun) pada kuartal IV 2021. Dikabarkan, pendanaan yang diterima Akulaku ini merupakan penutupan penggalangan dana pra-IPO melalui jalur SPAC. Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, Akulaku akan melantai di bursa pada 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Akulaku William Li menyampaikan, dana segar memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan visinya memperluas jangkauan geografis produk dan layanannya ke seluruh Asia Tenggara dan terus berinovasi. “Kami mendirikan Akulaku untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari dari pelanggan yang kurang terlayani di pasar negara berkembang,” ucap Li, Selasa (15/2).

Presiden Siam Commercial Bank Dr. Arak Sutivong mengatakan, langkah investasi yang diambil SCB ini menandai komitmen berkelanjutan dan keyakinan kuatnya terhadap prospek jangka panjang Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ini. Ia melihat Akulaku memiliki posisi pasar yang dominan dan memiliki posisi yang baik dengan teknologi inovatif dan penawaran produk unggulannya.

“Kami sangat antusias dengan investasi di perusahaan ini dan berharap dapat memanfaatkan keahlian mendalam kami di sektor jasa keuangan Thailand untuk mendukung ekspansinya. Investasi di Akulaku cocok dalam tesis regional kami untuk melayani pasar yang kurang terlayani menggunakan inovasi digital. Kami berharap dapat bermitra dengan Akulaku seiring dengan pertumbuhan perusahaan,” kata Sutivong.

Telah menyalurkan kredit ke 6 juta nasabah

Didirikan pada tahun 2016, Akulaku telah berkembang menjadi platform Buy Now Pay Later (BNPL) dan pembiayaan konsumen di Indonesia, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari $2,2 miliar pada 2021 ke lebih dari 6 juta pengguna. Cakupan layanan Akulaku tidak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Berangkat dari kesuksesan itu, BNC meluncurkan layanan mobile digital banking pada Maret 2021, dan kini menjadi bank digital dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dengan lebih dari 13 juta pengguna saat ini. Perusahaan juga memiliki grup anak usaha keuangan lain yang bergerak di lending, yakni Asetku yang beroperasi di Indonesia, dan layanan BNPL sejenis yang hadir di Eropa bernama Wisecart.

Dengan lebih dari 80% konsumen yang sekarang berpartisipasi dalam e-commerce, pasar ritel digital Asia Tenggara tumbuh secara eksponensial. Layanan kredit digital Akulaku siap untuk lebih dipercepat transformasi digital ritel di Asia Tenggara, menyediakan pasar baru akses konsumen ke layanan perbankan yang fleksibel.

Akulaku sendiri disebut-sebut sudah mencapai status unicorn sejak 2019 dengan valuasi lebih dari $1,1 miliar, menurut laporan yang disusun Credit Suisse bertajuk “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. Perusahaan sendiri belum menyampaikan statusnya tersebut hingga kini ke publik.

BNPL melesat semenjak pandemi

Laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia yang dirilis DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo.

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

 

Trex Ventures Traveloka Thailand

Perusahaan JV Traveloka dan SCB di Thailand “Trex Ventures” Ditutup

Trex Ventures, perusahaan patungan antara Siam Commercial Bank Group melalui SCB 10X dan Traveloka, dikabarkan tutup operasional dan sedang dalam proses likuidasi. Mengutip dari Kaohoon, pengumuman yang disampaikan pada 20 Desember 2021 ini telah menyelesaikan pendaftaran pembubarannya di departemen pengembangan bisnis Kementerian Perdagangan setempat sesuai dengan keputusan RUPSLB.

Di Trex Ventures, SCB menguasai 51% saham, sementara Traveloka melalui Godwit Rock memegang 49% dari modal disetor perusahaan. Perusahaan patungan pertama dari Traveloka ini masih seumur jagung sejak pertama kali diumumkan operasionalnya pada Maret 2021. SCB merupakan salah satu jajaran investor di Traveloka.

Pernyataan resmi terkait kabar ini turut juga dikonfirmasi langsung oleh Traveloka melalui Head of Communications Traveloka Reza Juniarshah. Mengutip dari DealStreetAsia, dia bilang bahwa Traveloka dan SCB baru-baru ini memutuskan bahwa kemitraan langsung adalah struktur yang optimal untuk hubungan ke depan. Sayangnya ia tidak merinci maksud dari “kemitraan langsung” tersebut.

Reza melanjutkan, Thailand adalah salah satu negara penting bagi Traveloka. Oleh karenanya, perusahaan akan terus memperkuat basis penggunanya dan berkolaborasi dengan lebih banyak mitra lokal di negara tersebut. “

“Kami berharap dapat terus bekerja sama dengan mitra kami untuk memperluas portofolio layanan kami untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup konsumen baik di Thailand maupun di seluruh wilayah.”

Saat peluncurannya, ambisi yang ingin ditawarkan adalah Trex Ventures dapat memanfaatkan platform perbankan terkemuka di pasar SCB dan kemampuan digital Traveloka untuk menawarkan produk keuangan yang inovatif kepada masing-masing penggunanya di Thailand.

“Menyadari potensi industri pariwisata dan perhotelan sebagai kunci untuk membantu menggerakkan perekonomian bangsa baik sebelum dan sesudah pandemi, SCB 10X menyambut baik kesempatan untuk bermitra dengan Traveloka, unicorn kelas dunia dan platform perjalanan dan gaya hidup terkemuka dengan sekitar 40 juta pengguna di seluruh wilayah,” ucap Kepala Pengembangan Bisnis dan Keuangan SCB 10X Pitiporn Phanaphat.

President of Traveloka Group Caesar Indra turut menyampaikan, “Kami percaya pasar konsumen Thailand menawarkan banyak peluang bagi Traveloka. Dengan hanya 30% pelanggan Thailand yang memiliki kartu kredit, kami melihat kebutuhan serupa dengan apa yang kami lihat di Indonesia. Memanfaatkan rekam jejak kami yang kuat di Indonesia, kami berharap dapat menghadirkan solusi keuangan yang disesuaikan dan dapat diakses yang memberdayakan masyarakat Thailand untuk menikmati pengalaman baru dan menjelajahi dunia di sekitar mereka.”

Potensi BNPL di Thailand

DailySocial.id sebelumnya pernah menuliskan potensi bila Traveloka mampu membawa solusi BNPL di Thailand akan sangat membantu perekonomian di negara tersebut. Pasalnya, di Thailand dan Vietnam masih minim pemain BNPL, dibandingkan di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sana adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena wewenang ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Traveloka is Reportedly Secured Fresh Funding, Valuation Drops at $2,75 Billion

Traveloka is reportedly secured fresh funding. As quoted from Bloomberg, the company is in the final negotiation with some investors, including Siam Commercial Bank and FWD Group – also the previous investors, GIC and East Ventures.

The agreement is subject to change and secured funding is around $250 million (3.6 trillion Rupiah). DealStreetAsia mentioned a bigger number at $100 million (around 1.4 trillion Rupiah).

Along the process, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round was taken due to the Covid-19 pandemic’s impact on the company’s business.

Last year, some sources reported Traveloka’s valuation to reach $4.5 billion (nearly 65 trillion Rupiah). Still, they targeted to raise new funds worth of $500 million (7.2 trillion Rupiah).

All businesses in the OTA landscape experienced a great storm due to the pandemic. In addition, Expedia (a Traveloka investor), in Q1 2020 experienced a decrease in total orders of up to 39%. Traveloka’s affiliated company in the budget hotel sector, Airy, closed its business due to unbearable business operations.

Traveloka alone has performed layoffs for its employees, although the number is not clearly stated.

Aside from Traveloka, some Indonesian unicorn startups are looking for fresh funding. Gojek is finalizing its Series F funding, while Tokopedia is reportedly in the middle of discussing a follow-on round with Temasek and Google.

Traveloka was founded in 2012 by Ferry Unardi, Albert Zhang, and Derianto Kusuma. The latest one has “exited” since November 2018 and drop the CTO position. Traveloka services are already available in several countries in Southeast Asia and Australia.

Adapting Business

Investors’ only hope is the recovery of the post-pandemic travel business. In fact, new normal is indeed being pursued in many areas, but the fear of the new wave of Covid-19 has caused many people to discourage travel – in addition to various destinations, they are yet to open due to restrictions.

The company alone does not remain silent. They try to clean up. With its assets, Traveloka launches online activity through Xperience. They also try to optimize fintech services through several products, including Paylater, which is managed by its own financial company.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Traveloka disebut sedang menggalang dana $250 juta dengan valuasi $2,75 miliar. Angka ini down round dibanding valuasi perusahaan tahun sebelumnya.

Traveloka Dikabarkan Finalisasi Pendanaan Baru, Valuasi Turun di Angka $2,75 Miliar

Traveloka dikabarkan kembali mendapatkan pendanaan baru. Menurut sumber yang dikutip Bloomberg, perusahaan dalam negosiasi tahap akhir dengan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank dan FWD Group — juga investor terdahulu, seperti GIC dan East Ventures.

Kendati kesepakatan masih bisa berubah, dana yang akan diamankan berada di kisaran $250 juta (3,6 triliun Rupiah). Lebih besar yang dikabarkan DealStreetAsia, yakni $100 juta (sekitar 1,4 triliun Rupiah).

Untuk mendapatkan dana itu, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19.

Tahun lalu, beberapa sumber laporan mengestimasi valuasi Traveloka menyentuh angka $4,5 miliar (hampir 65 triliun Rupiah). Tahun lalu juga mereka menargetkan mendapatkan dana baru di angka $500 juta (7,2 triliun Rupiah).

Semua bisnis di lanskap OTA mengalami gangguan besar akibat pandemi. Selain Traveloka, Expedia (salah satu investor Traveloka), di Q1 2020 mengalami penurunan total pesanan hingga 39%. Perusahaan afiliasi Traveloka di sektor hotel budget, Airy, bahkan menutup bisnisnya karena tidak sanggup lagi menanggung operasional bisnis.

Traveloka sendiri sudah santer melakukan layoff terhadap pegawainya, meskipun tidak diumumkan secara pasti berapa banyak pegawai yang terdampak.

Selain Traveloka, sejumlah startup unicorn Indonesia memang terus mencari pendanaan baru. Gojek sedang menggenapkan pendanaan Seri F-nya, sedangkan Tokopedia dikabarkan tengah membicarakan investasi lanjutan dengan Temasek dan Google.

Traveloka didirikan pada tahun 2012 oleh Ferry Unardi, Albert Zhang, dan Derianto Kusuma. Yang terakhir, sudah “exit” sejak November 2018 dan melepas jabatannya sebagai CTO. Layanan Traveloka sudah tersedia di beberapa negara di Asia Tenggara dan Australia.

Adaptasi bisnis

Satu-satunya pengharapan investor adalah pulihnya kembali bisnis travel pasca pandemi. Nyatanya new normal memang sedang diupayakan di banyak wilayah, namun kekhawatiran hadirnya gelombang baru Covid-19 membuat banyak masyarakat mengurungkan niat bepergian – di samping berbagai destinasi juga belum membuka diri akibat pembatasan.

Perusahaan sendiri tidak tinggal diam. Mereka mencoba berbenah. Dengan aset yang dimiliki, Traveloka  meluncurkan opsi aktivitas online melalui Xperience. Mereka juga mencoba mengoptimasi layanan fintech melalui beberapa produk, termasuk Paylater yang dikelola perusahaan finansialnya sendiri.

Application Information Will Show Up Here
Gojek Siam Commercial Bank

Gojek Dikabarkan Terima Pendanaan Baru dari Siam Commercial Bank

Gojek dikabarkan kembali mendapatkan suntikan pendanaan. Kali ini didapatkan dari bank asal Thailand, yakni Siam Commercial Bank. Tidak disebutkan nominal yang diberikan oleh perusahaan yang “dimiliki” Vajiralongkorn (Raja Thailand yang menjabat sejak tahun 2016; memegang mayoritas saham).

Investasi ini jadi partisipasi tambahan untuk putaran seri F yang tengah digalang Gojek. Beberapa hari lalu, tiga entitas Mitsubishi baru saja menyuntikkan dana untuk target pendanaan $3 miliar pada round ini.

Melihat di lain sisi, ini jadi kontestasi menarik di jajaran investor. Sebelumnya perusahaan otomotif Hyundai dan Yamaha Motor berinvestasi di Grab, lalu Mitsubushi Motor masuk berpartisipasi di Gojek. Lantas di sektor perbankan, sebelumnya Kasikornbank (bank berbasis di Bangkok) juga berinvestasi di Grab pada putaran seri H, lalu kini Siam Bank berinvestasi ke Gojek.

Dari capaian sebelumnya, putaran seri F Gojek diperkirakan telah mencapai $1,6 miliar. Dan telah membawa valuasi perusahaan menembus $10 miliar. Pendanaan seri F terus digalang untuk mengoptimalkan kegiatan ekspansi bisnis di Asia Tenggara. Di Thailand sendiri, Gojek sudah meluncurkan Get, menghadirkan layanan ride-hailing, food delivery, dan delivery.

Application Information Will Show Up Here

Golden Gate Ventures Tutup Pool Pendanaan Senilai 800 Miliar Rupiah

VC yang berbasis di Singapura, Golden Gate Ventures (GGV), mengumumkan telah menutup pool pendanaan putaran kedua yang didedikasikan untuk pendanan startup tahap awal di Asia Tenggara. Awalnya menargetkan perolehan dana kelolaan dengan nilai total $50 juta (sekitar 670 miliar Rupiah), GGV akhirnya memperoleh $60 juta (sekitar 803 miliar Rupiah) atau kelebihan (oversubscribe) $10 juta, yang menunjukkan antusiasme investor global berinvestasi di pasar startup Asia Tenggara. Pool pendanaan GGV sebelumnya diumumkan akhir Juli 2015 senilai $50 juta.

GGV juga mengumumkan masuknya tiga institusi sebagai LP (Limited Partner) baru, yaitu perusahaan asuransi Korea Hanhwa Life Insurance, bank Thailand Siam Commercial Bank, dan konglomerat media Jerman Hubert Burda Media.

Sebelumnya Siam Commercial Bank telah membentuk sebuah kendaraan investasi yang dinamai Digital Ventures. Terhadap bergabungnya institusi perbankan sebagai mitra GGV, Chairman of Chairman of Executive Committee Digital Ventures Thana Thienachariya dalam pernyataannya menyebutkan:

“Bank butuh beradaptasi terhadap perubahan industri dengan cepat agar tetap kompetitif. Kami menyiapkan Digital Ventures untuk menghadapi perubahan ini dan bekerja sama dengan startup dalam berbagai cara, termasuk investasi. Kami percaya Golden Gate Ventures adalah mitra yang tepat untuk membantu kita mengindentifikasi dan berpartisipasi dalam kesempatan investasi di Asi yang telah menjadi pusat inovasi berikutnya.”

Dibanding kawasan lainnya yang mulai meredam laju investasi ke startup, termasuk di Silicon Valley, kawasan Asia Tenggara masih menunjukkan pertumbuhan di atas rata-rata. GGV mencatat ada sekitar $1,7 miliar (Rp 22 triliun) dana yang masuk ke startup Asia Tenggara di periode Januari-Mei 2016.

Investasi VC di startup Asia Tenggara periode Januari-Mei 2016
Investasi VC di startup Asia Tenggara periode Januari-Mei 2016

Dari angka tersebut, $1,1 miliar dikucurkan ke startup yang berbasis di Singapura, terutama Lazada yang diakuisisi Alibaba bulan April lalu. Startup-startup di Indonesia di periode yang sama menduduki posisi ketiga, setelah Malaysia, dengan nilai total perolehan investasi mencapai $233 juta (Rp 3,1 triliun).

Sejumlah startup yang berbasis di Indonesia dan memperoleh pendanaan dari GGV adalah Bilna (kini Orami), Coda Payments, Indotrading, dan Laku6. GGV didirikan dan dipimpin oleh trio Jeffrey Paine, Vinnie Lauria, dan Paul Bragiel.