Tag Archives: sistem liga franchise

Akankah Model Franchise di Liga Esports Jadi Tren di Masa Depan?

Saat ini, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mendukung esports, baik sebagai sponsor ataupun investor. Salah satu hal yang membuat investor berani untuk berinvestasi besar-besaran di industri esports adalah penggunaan model franchise pada turnamen esports. Di Indonesia, model franchise hanya digunakan oleh Moonton pada Mobile Legends Professional League Season 4. Meski memiliki sejumlah kelebihan, penggunaan model franchise menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pelaku esports. Dalam liga yang menggunakan sistem franchise, sebuah tim harus membayar sejumlah uang untuk ikut serta dalam sebuah turnamen. Di kasus MPL Season 4, masing-masing tim harus membayar Rp15 miliar. Salah satu argumen pihak yang mendukung penggunaan sistem franchise adalah model franchise membuat struktur liga esports menjadi lebih mudah dimengerti oleh calon investor dan pengiklan, yang berarti akan semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor atau pengiklan.

“Penggunaan model franchise memberikan kestabilan pada para tim dan menjamin komitmen tim pada penyelenggara turnamen,” kata Bryce Blum, pendiri ESG Law dan Theorycraft, yang sering menjadi pengacara dari banyak tim ternama di Amerika Utara, menurut laporan The Esports Observer. “Model franchise menawarkan framework yang memudahkan semua pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan dan kejelasan dalam pembagian pendapatan — bagi penyelenggara liga, model franchise memberi jaminan bahwa sebuah tim tidak akan mendadak mengundurkan diri. Komitmen ini bisa sangat berharga.” Di luar Indonesia, ada sejumlah liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League dan League of Legends Championship Series yang merupakan liga di kawasan Amerika Utara. Tahun depan, Activision Blizzard juga akan menggunakan model franchise untuk Call of Duty League. Namun, juga banyak game yang turnamennya tidak menggunakan model franchise, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Fortnite.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Bagi tim esports, penggunaan model franchise menawarkan jaminan bahwa mereka akan tetap dapat ikut serta dalam sebuah turnamen, tak peduli bagaimana performa mereka sepanjang liga. Misalnya, sebelum Riot menggunakan model franchise untuk LCS, mereka menggunakan sistem terbuka yang memungkinkan sebuah tim mendapatkan promosi atau terdemosi, tergantung pada performa mereka. Ini membuat tim enggan untuk menanamkan investasi besar dan membuat rencana jangka panjang karena sebuah tim bisa mendadak terdemosi keluar dari liga jika performa mereka tidak cukup baik. Walau model franchise memiliki sejumlah kelebihan, itu bukan berarti semua turnamen esports harus menggunakan model franchise. Jeremy Dunham, Vice President Psyonix Studios, publisher Rocket league mengatakan bahwa ada banyak model lain yang bisa digunakan pada turnamen esports.

“Kita tidak bisa mengatakan bahwa model franchise adalah model yang tepat untuk digunakan pada semua scene esports profesional di dunia karena akan ada beberapa game dan liga yang tidak cukup besar untuk menggunakan sistem franchise, yang memerlukan dana dan peraturan yang ketat,” kata Blum. Dia juga mempertanyakan apakah biaya yang dikeluarkan oleh tim esports pada awal turnamen memang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Tim Hybrid membuat perhitungan tentang apakah investasi yang dikeluarkan tim MPL Season 4 memang pantas. Blum juga membahas tentang motivasi sebuah publisher dalam mengembangkan esports dari game mereka. Misalnya, Epic Games dianggap lebih tertarik untuk mengembangkan Fortnite sebagai game untuk gamer individual daripada sebagai game esports. Karena itu, mereka tak segan untuk mengubah berbagai elemen dalam game dan memasukkan hal-hal random pada game, sehingga game ini sulit untuk dikuasai oleh para pemain profesional.

Sumber: Epic Games
FOrtnite World Cup | Sumber: Epic Games

Sementara itu, sebagian pelaku esports percaya, tak semua liga esports cocok untuk menggunakan model franchise. Para fans juga merasa, menggunakan model franchise menghilangkan elemen akar rumput dari ekosistem esports. Dengan model franchise, tim yang dapat berlaga dalam sebuah turnamen hanyalah tim yang bisa membayar investasi di awal. Itu artinya, meskipun sebuah tim profesional memiliki kemampuan yang mumpuni, bisa jadi mereka tak bisa ikut serta dalam sebuah liga karena tak bisa atau tak mau membayar biaya investasi di awal. Sementara pada sistem terbuka (non-franchise), semua orang berhak untuk mencoba ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Inilah alasah mengapa Epic Games bisa mengklaim bahwa ada 60 juta orang yang mencoba untuk lolos kualifikasi Fortnite World Cup. Tak hanya itu, sistem turnamen terbuka juga biasanya memiliki jaringan distribusi dengan lebih luas. Biasanya, penggunaan model franchise akan memunculkan kontrak eksklusif untuk hak siar media. MIsalnya, hak siar Overwatch League dipegang oleh ABC/ESPN dan Twitch. Jadi, konten turnamen tersebut tak akan muncul di YouTube.

Masalah lain akibat penggunaan model franchise adalah ada beberapa tim esports yang mengundurkan diri dari liga. Hal ini terjadi pada Call of Duty League. Tim 100 Thieves memutuskan untuk mundur setelah Activision Blizzard mengumumkan mereka akan menggunakan sistem franchise pada liga Call of Duty pada tahun depan. Dalam sebuah video, pendiri 100 Thieves, Matt “Nadeshot” Haag menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk ikut serta yang dianggap terlalu mahal. Selain itu, 100 Thieves juga ingin untuk membangun fanbase secara global. Sementara sistem Call of Duty didasarkan pada kota asal tim esports, seperti Overwatch League.

Mengupas Seputar Liga Esports Berbayar, Sistem Liga Franchise

“Untuk masuk liga utama, tim esports harus membayar Rp15 miliar!?”

Isu tersebut belakangan sedang santer terdengar di ekosistem esports Indonesia. Kabarnya, sebuah tim esports harus menyetorkan sejumlah uang investasi, untuk dapat masuk ke dalam liga utama suatu cabang game esports.

Memang, hal ini terdengar cukup janggal atau malah membuat sang penyelenggara jadi terlihat jahat. Apalagi jika mengingat praktik ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun, secara internasional, praktik bisnis tersebut sebenarnya sudah cukup umum terjadi, terutama di industri olahraga Amerika Serikat.

Model liga ini, yang mematok biaya investasi bagi pemilik tim, disebut sebagai franchise league system atau North American System. Mengingat sistem liga franchise mulai menjadi patokan di dalam ekosistem esports secara global, mari kita kupas lebih dalam seputar franchise league system, serta bagaimana dampaknya jika liga ini benar diterapkan di Indonesia.

Mengenal Ragam Sistem Liga, Berkaca Dari Industri Olahraga

Secara internasional, ada dua sistem liga olahraga yang diadopsi oleh berbagai kompetisi olahraga. Selain dari North American System atau franchise league system, ada juga sistem lain yang umum digunakan dalam industri olahraga. Nama sistem tersebut adalah promotion-relegation system atau disebut juga sebagai European Sports System.

Sistem franchise lahir di Amerika Serikat. Sistem ini menjadi sistem yang diadopsi banyak liga olahraga besar di Amerika Serikat, seperti National Basketball Association, National Football League, Major League Baseball, dan National Hockey League.

Sumber:
NBA adalah salah satu contoh liga olahraga yang menggunakan sistem franchise. Sumber: SBNATION

Sementara di sisi lain, sistem promotion-relegation lahir di Eropa. Berawal digunakan sebagai sistem liga sepakbola, sistem ini akhirnya menjadi landasan bagi liga-liga sepakbola di Eropa, seperti Barclays Premiere League (Inggris), La Liga (Spanyol), Serie A (Italia), dan lain sebagainya.

Ivan Kraljevic, Marketing Promotion Manager UEFA, merangkum beberapa perbedaan jelas antar kedua sistem liga ini dalam tulisannya di Sports Bite Blog. Tetapi secara singkatnya adalah, promotion-relegation system mengusung sifat keterbukaan, sementara franchise league system lebih bersifat tertutup.

Promotion-relegation system adalah sistem liga yang diadopsi oleh industri sepakbola, secara internasional maupun Indonesia. Maksud bersifat terbuka adalah, sebuah tim bisa masuk ke dalam liga dengan cara berkompetisi, lewat proses promosi dan relegasi. Semua tim punya kesempatan yang sama untuk bisa masuk (atau keluar) dari Liga 1. Tim yang performanya terus menurun, akan terkena relegasi jika ia berada di peringkat bawah, dan turun ke liga divisi ke-2, begitu juga sebaliknya.

Pada sistem liga olahraga ini, siapapun boleh ikut, yang membuatnya jadi lebih menarik untuk disimak. Ibaratnya, tim asal kecamatan bisa saja masuk ke dalam Liga 1, asalkan mereka punya kemampuan berkompetisi (dan sokongan dana) yang baik. Kenapa saya menyebut soal sokongan dana? Karena Anda belum tentu bisa tembus dari liga divisi 2 ke Liga 1 dengan bermodal pemain terjago se-kecamatan saja. Minimal, Anda harus punya pemain terjago se-pulau Jawa, yang tentu bayarannya tidak murah.

Sumber:
Liga Inggris, contoh olahraga yang menggunakan sistem promosi-relegasi. Sumber: Forbes

Sementara itu, sistem liga franchise cenderung lebih eksklusif. Dalam sistem ini, kesempatan masuk ke dalam liga terbatas pada segelintir tim atau investor saja. Pemilik tim atau investor harus memenuhi kriteria tertentu untuk dapat masuk ke dalam liga, memenuhi biaya investasi bisa jadi salah satu kriteria tersebut.

Bagi tim yang sudah memenuhi kriteria pembuat liga, paling sedikit, mereka mendapat hak eksklusif untuk tetap berada di dalam liga selama beberapa waktu. Selain itu, biasanya ada juga keuntungan-keuntungan lain dalam bentuk bagi hasil antara operator liga dengan investor, seperti hak siar, penjualan tiket, merchandise ataupun sistem bagi hasil (revenue sharing).

Hasil yang dibagi biasanya tergantung dari perjanjian antar kedua belah pihak (antara operator liga dengan pemilik tim/investor). Kendati sistem ini mungkin terlihat kurang adil bagi penonton, namun sistem liga ini menjanjikan stabilitas secara finansial bagi tim yang sudah bergabung.

Liga Franchise Dalam Ekosistem Esports Global

Belakangan, sistem liga franchise akhirnya menjadi standar bagi beberapa kompetisi esports. Sampai saat ini, setidaknya ada dua kompetisi besar yang saya ingat sudah menerapkan sistem ini.

League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends regional Amerika Serikat, menerapkan sistem ini sejak tahun 2018 lalu. Biaya investasi untuk dapat bergabung ke dalam LCS cukup besar. Bos besar Immortals dan Team Solo Mid mengatakan kepada Yahoo Esports, bahwa biaya investasi untuk bergabung ke dalam NA LCS mencapai US$10 juta atau sekitar Rp142 miliar.

2018-05-02 / Photo: Robert Paul for Blizzard Entertainment
Overwatch League adalah contoh sukses penerapan liga franchise untuk esports. 2018-05-02 / Photo: Robert Paul for Blizzard Entertainment

Entitas liga lain yang juga menggunakan sistem ini adalah Overwatch League (OWL). Liga OWL punya sistem yang sebenarnya cukup unik bagi ekosistem esports. Kendati membuat liga berbasiskan klub, mereka mendobrak dengan membuat liga dengan tim berbasis daerah. Nilai investasi OWL, mengutip dari Variety, malah lebih fantastis lagi. Yaitu mencapai US$20 juta atau sekitar Rp285 miliar.

Lalu bagaimana kesepakatan yang diterapkan di dalam LCS dan OWL? Tentu akan sangat panjang dan lebar sekali, jika harus saya bahas satu persatu di sini. Singkatnya, masih mengutip dari Variety, OWL menerapkan sistem bagi hasil. Investor tim akan akan mendapatkan sebagian keuntungan untuk setiap pemasukan yang diterima operator liga, entah dari penjualan tiket penonton, pembelian hak siar, sponsorship, dan lain sebagainya.

Liga Franchise dan Ekosistem Esports Indonesia

Oke, kita sudah membahas segala tetek-bengek urusan liga franchise. Kita sudah membahas mulai dari asal muasalnya, sampai penerapannya di ekosistem esports. Pertanyaannya, apa pengaruhnya pembahasan ini terhadap ekosistem esports Indonesia? Selain karena isu yang saya sebut di awal artikel, mari kita berandai-andai, jika benar ada operator liga yang melaksanakan liga franchise di Indonesia, bagaimana jadinya?

Saya mendiskusikan hal ini dengan dua orang yang terkenal kerap memberikan insight menarik seputar esports. Ada Tribekti Nasima, sosok yang bisa dibilang sebagai dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Satu lagi adalah Yohannes Siagian, mantan Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD yang sekarang menjabat sebagai VP of esports di EVOS.

Kalau melihat dari isu tersebut, franchise mungkin terasa menyeramkan bagi para pelaku industri esports Indonesia. Bayangkan saja, organisasi tim esports harus membayar sejumlah uang yang tidak kecil, hanya untuk bergabung ke dalam sebuah liga.

Tapi, tentu hal tersebut datang dengan keuntungan bukan? Tetapi Joey mengatakan pendapatnya secara to the point, bahwa kita tak bisa bilang ini akan jadi bagus atau buruk bagi ekosistem esports Indonesia. Karena sistem ini belum pernah diterapkan di Indonesia, termasuk juga industri olahraga Indonesia, maka kita tidak tahu apakah sistem ini dapat bekerja dengan baik atau tidak.

Jika MPL jadi liga franchise, apa jadinya?
Jika MPL jadi liga franchise, bagaimana nasib ke depannya? Jadi lebih berkembang atau malah mati suri? Sumber: GCube ID

“Dampak baik atau buruknya tak akan terlihat dalam waktu dekat, tetapi baru beberapa tahun ke depan.” jawab Joey. Lebih lanjut, Joey lalu menjelaskan bagaimana sebenarnya, baik itu sistem franchise atau promotion-relegation, sukses di industri olahraga.

Kalau bicara soal liga yang pakai sistem franchise, sudah ada macam-macam liga olahraga Amerika yang saya sebut di awal artikel. Banyak liga tersebut terbukti sukses besar di Amerika Serikat, walau mungkin popularitasnya tidak mencapai tingkat dunia. Sementara kalau sistem promotion-relegation, penggemar sepakbola Indonesia mungkin sudah tahu kesuksesan sistem ini. Hal itu sudah dicontohkan lewat banyak liga sepakbola, termasuk yang versi lokal.

Lalu sebenarnya, apa sih keuntungan menggunakan sistem liga franchise? Terutama kalau dibanding dengan sistem liga promosi-relegasi? “Untungnya buat pemilik tim, yang pasti mereka bisa investasi tanpa harus takut degradasi” kata Bekti. “Contohnya seperti RRQ dan EVOS di MPL Season 3. Mereka sudah investasi besar-besaran untuk memperkuat skuad Mobile Legends. Tapi kalau mereka kalah dan gugur dari liga, terus gimana? Di sini fungsi liga franchise jadi terlihat.”

Namun bukan berarti liga franchise adalah obat mujarab, yang bisa memajukan atau memperbaiki scene esports. Ini juga mengingat masing-masing titel game punya tingkat kedewasaan scene, serta jumlah perputaran uang yang berbeda-beda. “Memang nggak bisa semua game pakai sistem ini. Menurut gue, game tersebut harus punya daya jual yang tinggi, baru bisa menggunakan sistem franchise.” Bekti juga menambahkan.

Sumber:
LCS sekalipun butuh bertahun-tahun sampai akhirnya dibuat jadi menggunakan format liga franchise. Sumber: Dot Esports

Soal daya jual ini merupakan satu poin yang juga saya setuju. Kenapa? Coba bayangkan Anda adalah pemilik tim esports. Apa Anda mau menginvestasikan waktu, uang, dan tenaga kepada game yang tidak jelas masa depannya? Jawabannya pasti tidak. Maka dalam konteks ini, mungkin bisa jadi tepat jika sistem franchise diterapkan untuk liga utama Mobile Legends.

Jutaan penonton online, event offline yang membeludak, fans fanatik yang rela melakukan apa saja demi sang idola, serta gengsi kompetisi yang tinggi, adalah faktor-faktor yang membuat bertanding di liga utama sebuah game jadi patut untuk dipertahankan. Apalagi jika sistem franchise ternyata menjanjikan keuntungan lain yang lebih besar daripada sekadar exsposure saja. Maka isu biaya slot liga sebesar Rp15 miliar, mungkin jadi terasa murah.

Faktor lain yang membuat sistem ini jadi tepat dilakukan saat ini, adalah soal fase hidup game Mobile Legends. Setelah booming besar-besaran di sekitar tahun 2018 lalu, Moonton kini harus memikirkan cara mempertahankan penggemar Mobile Legends. Esports bisa jadi jawaban yang tepat, tapi terlalu banyak esports mungkin malah bisa jadi jawaban yang tidak tepat, jika dilihat dari kacamata penonton.

Terlalu banyak esports mungkin bisa membuat para penggemar jadi jenuh, apalagi mengingat setiap manusia juga hanya punya waktu sebanyak 24 jam setiap harinya. Kehadiran liga franchise, setidaknya memberi patokan jelas kepada para penonton, bahwa liga tersebut adalah liga official dengan kasta tertinggi yang wajib ditonton oleh khalayak. Penyelenggara juga bisa dengan lebih mudah merangkai narasi perkembangan kemampuan dari masing-masing tim dari masa ke masa.

Sistem franchise sebenarnya tidak hanya menjanjikan keuntungan jangka pendek saja, tapi juga stabilitas dan prospek jangka panjang. Selain dari sistem liganya, sistem regenerasi pemain juga jadi hal yang sebenarnya perlu dipikirkan. Dalam liga franchise bola basket, NBA, mereka punya sistem regenerasi pemain tersendiri. Sistem tersebut bernama NCAA, yang merupakan liga bola basket antar pelajar/mahasiswa, yang berjenjang ke tingkat profesional.

Sebagai mantan kepala sekolah “SMA esports Indonesia”, hal ini menjadi salah satu yang selalu vokal disuarakan oleh Joey. “Franchise league sebetulnya hanya satu dari berbagai jalan untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Jadi tidak bisa hanya dengan 1 pelaku, 1 metode.” Joey menjawab, membuka pembahasan.

“Kalau pendapat saya pribadi, sangat perlu dilakukan investasi untuk tingkat pemuda dan pelajar di ekosistem esports. Perlu ada sistem yang dapat memfasilitasi dan memastikan bahwa regenerasi atlet esports terus berjalan, serta menghasilkan bibit-bibit berkualitas.” Joey memperjelas.

High School League atau IEL University Series sebenarnya sudah menjadi langkah baik yang dilakukan oleh salah satu elemen ekosistem esports Indonesia. Sayangnya, terjadi missing link antara kompetisi antar mahasiswa/pelajar ini, dengan liga profesional. Mereka, jagoan-jagoan esports tingkat universitas/sekolah tinggi akhirnya terlontang lantung setelah jadi juara di kompetisi tingkat tersebut.

Kenapa? Karena tak ada sistem yang mengintegrasikan antara liga tingkat pelajar dengan liga profesional. Dalam NBA, sistem yang merekatkan antar dua tingkat tersebut adalah sistem NBA Drafts

Dalam sistem ini, jagoan-jagoan basket tingkat SMA, yang sudah dipantau sebelumnya, dimasukkan ke dalam daftar drafts. Selanjutnya, mereka yang sudah masuk drafts akan punya kemungkinan untuk masuk ke dalam tim profesional. Jadi, para pemain tingkat pelajar punya tujuan yang jelas, tim profesional juga tak perlu kelimpungan mencari pemain.

Impian Membuat Liga Esports Franchise yang Ideal di Indonesia

Diterapkan atau tidak, sebenarnya ini cuma hanya masalah waktu saja. Jika perputaran uang di dalam ekosistem esports Indonesia sudah semakin besar, mau tidak mau, siap tidak siap, pasti akan ada saja elemen ekosistem yang menginisiasi sistem liga ini. Jadi ketika ada yang menginisiasi, saya merasa sudah seharusnya bagi ekosistem esports Indonesia yang harus cekatan beradaptasi.

Sistem ini mungkin terlihat menyeramkan pada awalnya, tapi jika dilaksanakan dengan tepat, efeknya bisa jadi positif bagi ekosistem esports di Indonesia. Tetapi memang hal yang perlu digarisbawahi adalah soal dilaksanakan dengan tepat.

Bagaimana maksud dilaksanakan dengan tepat? Saya merasa ada beberapa hal penerapan liga franchise atau sistem beli slot jadi terasa tepat. Pertama, jika operator liga punya proposal bisnis dan penawaran yang jelas. Kedua, liga tersebut tayang di televisi lokal. Ketiga, sistem regenerasi yang jelas, entah lewat liga divisi dua, atau liga mahasiswa/pelajar.

Sumber:
High School League persembahan JD.ID adalah inisiasi yang bagus. Sayang, liga ini berjalan sendiri, tanpa ada integrasi dengan tingkat profesional. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur

Saya masih merasa poin soal televisi lokal itu penting di Indonesia. Apalagi mengingat akses internet di Indonesia yang belum merata di berbagai daerah. Tayang di televisi lokal memudahkan penggemar esports Indonesia di berbagai daerah untuk turut menikmati tayangan tersebut.

Poin ketiga juga menjadi poin penting yang perlu dilakukan di Indonesia. Berkaca dari liga olahraga di Amerika Serikat, liga tingkat mahasiswa/pelajar memegang peran penting dalam menunjang keberlangsungan liga olahraga. Kehadiran liga mahasiswa/pelajar memastikan liga utama tetap memiliki pasokan pemain, yang secara tidak langsung memastikan keberlanjutan sang liga utama.

“Kalau bicara soal penerapan, memang perlu person in charge yang tepat untuk menentukan apa yang terbaik untuk suatu game terhadap suatu region.” kata Bekti penerapan sistem kompetisi esports di suatu negara. “akan lebih bagus lagi kalau developer/publisher punya esports manager lokal, karena orang tadi harusnya yang paling paham soal keadaan ekosistem lokal.”

Sumber:
Sosok Esports Manager lokal seperti Lius Andre, memiliki peran yang penting untuk mengkaji, apakah kebijakan esports cocok atau tidak untuk suatu negara. Sumber: Dokumentasi Resmi Revival TV

Jika berkaca kepada kesuksesan liga franchise League of Legends, mereka sebenarnya sudah mengalami perjalanan yang sangat panjang untuk mencapai titik ini. “Mereka sendiri sudah memulai inisiatif esports mulai 2011, dan intensif di tahun 2014. Awalnya penerapan liga mereka juga acak-acakan. Tapi seiring kesalahan yang dibuat, mereka belajar, kapabilitas orang belakang layarnya terus meningkat, sampai akhirnya mereka jadi seperti sekarang.” kata Bekti menutup obrolan.

Sejauh ini kita sudah melihat bagaimana pengadopsian sistem ini ke dalam esports, berhasil membuat ekosistem tumbuh dengan lebih sehat. Jadi jika sistem ini hadir di Indonesia, apakah hasilnya akan membawa perubahan menjadi lebih baik atau lebih buruk?

Satu hal yang pasti, ekosistem esports Indonesia memang perlu memikirkan soal sustainability jangka panjang. Jangan sampai esports di Indonesia hanya menjadi gelembung yang indahnya hanya sesaat, lalu meletup suatu saat dan hilang ditelan waktu.