DailySocial dan Co-Founder McEasy Hendrik Ekowaluyo membahas apa itu McEasy dan lanskap sektor logistik pasca pandemi.
Menurut Hendrik, transformasi digital dalam industri logistik turut mendongkrak pertumbuhan bisnis perusahaannya. Dalam beberapa tahun ke belakang, jumlah pelanggan McEasy mengalami pertumbuhan hingga 10 kali lipat.
Ambisi McEasy, Hendrik mengatakan, adalah membuat ekosistem terintegrasi yang memudahkan para stakeholder dalam mengoptimasi semua proses logistik dan rantai pasok.
Apa yang membedakan McEasy dengan platform logistik serupa di Indonesia? Seperti apa rencana dan target bisnis McEasy menyongsong tahun 2023?
Simak pembahasannya di video wawancara berikut.
Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kegiatan startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV dalam sesi DScussion.
Dibandingkan sesama pemain e-commerce lainnya, Lazada termasuk salah satu pionir yang mengembangkan teknologi logistiknya sendiri. Bagi perusahaan e-commerce, mengelola logistiknya sendiri artinya mereka punya kuasa menstandardisasi pelayanan untuk konsumen. Semangatnya, konsumen yang ada di kota besar dan di kota lapis dapat menikmati kecepatan pengiriman yang sebanding.
Itu harapan idealnya. Akan tetapi kondisi ini tidak bisa disamaratakan dengan Indonesia yang punya ribuan pulau, jadi ada tantangan berbeda. Di sisi lain, kecepatan pengiriman yang mulus itu sangat berpengaruh pada aspek keberlanjutan bisnis bagi perusahaan.
VP Logistics Strategy Lazada Indonesia Ratih Dwiastuti menyampaikan, upaya Lazada untuk terus meningkatkan layanan logistiknya semakin baik dari tahun ke tahun, tepatnya pada 2015 saat inisiasi baru mulai dijalankan.
“Lazada adalah salah satu pionir yang menginvestasikan kapital untuk logistik sejak 2015. Implementasinya enggak sebatas di warehousing saja, juga di delivery service dengan 3PL (perusahaan yang menyediakan jasa outsourcing layanan logistik). Intinya kami ingin meningkatkan kapabilitas logistik agar bisa memberikan layanan yang kompetitif buat pelanggan dan seller,” ucapnya kepada DailySocial.id.
Terlebih lagi, dukungan dari induknya, Alibaba, mempermudah perusahaan untuk menanamkan lebih banyak teknologi logistiknya ke Lazada Logistics. Di antaranya, penerapan teknologi Warehouse Management System (WMS), supply chain, network allocation, delivery optimization, yang masing-masing ditanamkan secara bertahap. “WMS [sudah diterapkan] di 2018, dari sisi network dan operasional sejak 2020. Jadi kurang lebih sudah bergulir selama empat tahun.”
Tentunya hasil akhir yang dibidik dengan peningkatan teknologi smart logistics-nya adalah pengiriman yang lebih cepat. Ratih bilang, maksimal pengiriman harus sampai dalam waktu dua hari untuk area yang banyak pelanggan Lazada. Di area tertentu masih membutuhkan durasi pengiriman lebih dari itu, perusahaan pun memanfaatkan ekosistem yang ada di industri demi memastikan pemerataan layanan, didukung dengan prosedur standar yang jelas.
“Tak hanya bangun teknologi, kami membiasakan karyawan di Lazada dan di lapangan agar tech-savvy karena kami sangat mengedepankan efisiensi.”
Sejak didirikan di 2013, Cainiao, unit bisnis khusus logistik di bawah Alibaba, memilih pendekatan model bisnis unik karena memilih jadi platform terbuka, bekerja dengan cepat bangun kemitraan industri dan meningkatkan layanan logistik untuk bisnis dan konsumen. Akibatnya, bisnis dan konsumen mendapat manfaat dari layanan logistik yang lebih stabil dan beragam, dengan transparansi dan daya saing yang lebih besar dalam harga dan layanan pelanggan.
Karena sifat rantai pasokan dan logistik lintas batas yang kompleks, UKM sering menghadapi masalah seperti kerja sama di sepanjang rantai nilai, manajemen biaya, dan pelacakan waktu nyata. Untuk mengurangi masalah ini, model bisnis Cainiao memfasilitasi digitalisasi rantai nilai logistik yang mencakup pengiriman jarak jauh yang mulus, pergudangan luar negeri, bea cukai dan proses pemeriksaan barang, menghubungkan pedagang, perusahaan logistik, dan konsumen untuk membangun rantai pasokan global dan jaringan parsel.
Dengan demikian, apakah UMKM ingin meningkatkan pengalaman pelanggan dengan pemenuhan pesanan yang lebih cepat, mengurangi biaya pengiriman untuk meningkatkan daya saing harga, atau mengekspor ke lebih banyak negara tanpa operasi di lapangan, infrastruktur logistik Cainiao seperti gudang berikat, pusat logistik regional, internasional rute pelayaran dan penerbangan sewaan akan dapat mendukung berbagai persyaratan untuk mendorong kesuksesan bisnis.
Bagi bisnis dan konsumen, platform logistik Cainiao menjadi alternatif yang dapat menghapus inefisiensi rantai pasokan tradisional, dan mengintegrasikan teknologi di seluruh rantai nilai untuk mendorong efisiensi biaya yang lebih besar.
Berkat pendekatan tersebut, menurut temuan tahunan di 2019 yang dikutip perusahaan, Cianiao menempati urutan keempat terbesar di global dengan volume paket lintas batas harian tertinggi, setelah UPS, Fedex, dan DHL.
Smart logistics milik Lazada
Menganut semangat yang serupa dengan Cainiao, Ratih pun berpendapat bahwa sejatinya penerapan teknologi di logistik adalah bagaimana menyeimbangkan antara ongkos dan layanan. Indonesia sendiri adalah negara dengan ongkos kirim termahal karena dipengaruhi oleh kondisi geografis.
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) bahkan menyebutkan penyebab lainnya karena aksi premanisme dan oknum aparat, khususnya di pelabuhan. ALI mencatat akibatnya, kegiatan transportasi dan penanganan kontainer berkontribusi hingga 40% dari total biaya logistik nasional. Saat ini, rata-rata biaya logistik dalam negeri adalah 21,48% dari biaya produksi industri. Namun ada kota-kota seperti Makassar dan Medan, biaya logistiknya berada di atas rata-rata angka tersebut.
“Secara makro penerapan teknologi sudah cukup baik dan agile, minimal ada aplikasi. Tapi bagaimana mengintegrasikan logistik yang ada di Indonesia, itu jadi cerita sendiri. Lazada melalui solusi jaringannya bisa diintegrasikan. Tugas kami mengantarkan dari titik A ke B.”
Smart logistics juga ada kaitannya dengan upaya menuju ekonomi hijau. Dia bilang, dengan integrasi antar perusahaan untuk buka jaringan, membawa dampak semakin berkurangnya kendaraan yang berseliweran di jalan, semakin berkurang pula karbon emisi yang dikeluarkan. “Bagaimana dengan efisiensi ini bisa buat Lazada jadi lebih kompetitif.”
Sebagai gambaran, Lazada punya dua solusi logistik internal, yakni Lazada eLogistics (LEL) dan Lazada Express (LEX). LEL mengelola pemenuhan dan logistik dengan penyedia logistik pihak ketiga, sedangkan LEX menangani pengiriman paket ke pelanggan (last-mile delivery service). Kini kedua solusi tersebut dilebur menjadi satu brand Lazada Logistics, peresmiannya dilakukan pada Agustus tahun lalu.
Bersamaan dengan itu pula, Lazada Logistics juga memperkenalkan layanan multi-channel logistics (MCL). MCL menyediakan solusi pemenuhan stok tunggal untuk membantu enabler e-commerce dan brand di platform e-commerce manapun dengan mulus. Lazada Logistics akan memenuhi dan mengirimkan semua pesanan, baik dari transaksi di Lazada maupun di platform e-commerce lainnya.
Dengan mekanisme ini, Lazada akan menyimpan produk-produk dari mitra dan merchant, sehingga penanganan dan pengiriman pesanan yang efisien melalui armada Lazada, mitra logistik pihak ketiga (3PL), ataupun armada yang ditunjuk lainnya.
Merchant yang bergabung di MCL dapat mengatur fleksibilitas dan ketangkasan dalam pengendalian inventaris, membebaskan mereka dari masalah logistik yang membutuhkan modal biaya operasional yang tinggi untuk memenuhi pemesanan, misanya kebutuhan untuk pemeliharaan infrastruktur gudang dan armada pengiriman. Mereka juga terhindar dari hambatan untuk membangun jaringan operasi yang luas dengan skala ekonomi yang terbatas.
Tak hanya MCL, perusahaan juga menyediakan layanan Fulfillment by Lazada (FBL). Layanan ini memenuhi mulai dari warehousing atau penyimpanan produk di gudang milik Lazada, pengemasan, hingga pengiriman produk ke pelanggan.
Bagi Ratih, seluruh inisiatif di atas ini mengukuhkan jalan perusahaan untuk menjadi perusahaan agregator yang terbuka untuk multi-platform e-commerce. Perusahaan pun dapat menggaet lebih banyak merchant dari berbagai skala bisnis untuk memanfaatkan solusi tersebut. Misalnya, MCL cocok untuk UKM yang selama ini mengandalkan jalur penjualan sendiri.
“Misalnya, UKM ini sudah punya situs. Sekarang dengan MCL memperkenalkan produknya ke area potensi yang sudah ada seller Lazada-nya terlebih dahulu. Mungkin di area tersebut sudah multi-platform e-commerce, tapi social commerce. Kita bisa mulai dari situ.”
Adapun untuk FBL, memungkinkan merchant bisa pakai sesuai kebutuhan saja, misal warehouse saja bisa, kalau spesifik barang tertentu juga bisa di-setup. Ada juga yang sudah punya gudang tapi tidak punya armada logistiknya, itu bisa kita sasar. Sayangnya, ia tidak menyebutkan sudah ada berapa banyak merchant yang memanfaatkan solusi ini. Hanya disampaikan, ada salah satu merchant dari brand premium Lazada yang sudah bergabung.
Kedua solusi di atas menjadi bukti infrastruktur rantai pasok dan kapabilitas logistik perusahaan yang mumpuni, dengan solusi inventaris dan pemetaan rute cerdas yang didukung data dan teknologi.
Ratih menjelaskan, alur rantai pasok keluar-masuknya barang di gudang Lazada disokong oleh kedua teknologi di atas. Dicontohkan, setiap barang yang dibeli konsumen dari merchant UKM, sistem akan mengautomoasi di mana barang tersebut disimpan. Apakah dari gudang Lazada atau merchant itu sendiri. Peletakan barang-barang merchant di gudang juga sudah disesuaikan kategorinya harus terdekat oleh packer, biasanya ditaruh barang-barang yang sifatnya fast moving.
“Proses delivery juga sudah diautomasi. Di aplikasi konsumen, akan ada rekomendasi konsumen akan lebih murah pakai jasa logistik mana, pakai LEX atau bukan.”
Apabila ternyata barang dikirim langsung oleh merchant, terdapat sistem Seller Center akan memroses sesuai rekomendasi jasa logistik mana yang terbaik untuk lokasi mereka dan pembeli, sebelum sampai di hub untuk sortir barang. “Dari pusat sortir di bawa ke gudang yang lebih kecil untuk armada front liner kurir bisa antarkan. Kurir pun bisa mengirimkan paket yang di-assign secara otomatis berdasarkan kecamatan.”
Semua merchant dapat memanfaatkan jaringan Lazada Logistics dengan lebih dari 400 fasilitas, terdiri dari gudang, pusat penyortiran, hub, yang tersebar di 80 kota di Indonesia, serta mendapat keunggulan kompetitif Lazada yang memiliki kendali atas operasi logistik yang menyeluruh. Lebih dari 85% dari keseluruhan pengambilan paket pada first-mile ditangani oleh fasilitas milik Lazada.
Diklaim, Lazada Logistics didukung oleh lebih dari 15 ribu karyawan dan mitra kurir, yang mayoritas menggunakan roda dua untuk pengiriman last mile. Gudang utama Lazada Indonesia berada di Cimanggis, Jawa Barat seluas 70 ribu meter persegi. Selain itu lokasi gudang lainnya ada di Surabaya dan Medan.
Perusahaan juga memanfaatkan gudang dengan ukuran yang lebih kecil, disebut long tail warehouse, ditempatkan di kota-kota dengan populasi pengguna Lazada yang tumbuh pesat. Gudang tersebut rata-rata seluas 2 ribu meter persegi yang spesifik untuk menyimpan barang tertentu dan cepat laku, misalnya FMCG, kesehatan, kebersihan, dan kecantikan. Saat ini berada di empat titik, di kawasan Jabodetabek, Balikpapan, dan Makassar.
Ada pula hub, yakni kantor yang digunakan sebagai tempat penyortiran barang. Di tempat tersebut ada beberapa di antaranya punya dwi fungsi, sekaligus untuk penyimpanan (storage) dan pengiriman. Jumlahnya disebutkan sudah 150 hub tersebar di seluruh Indonesia.
“Kami terus evaluasi lokasi warehouse dan melihat perkembangan demand-nya karena tiap tahun terlihat ada pergeseran tren, dari jumlah seller dan pembeli. Belakangan ini tumbuh dari luar Jabodetabek. Hub kami juga sudah ada di Boyolali dan Solo misalnya. Kuartal empat ini akan coba ke area Bali,” tutupnya.
Bagi industri e-commerce, logistik adalah rangkaian langkah yang melibatkan segala sesuatu yang terjadi setelah pelanggan melakukan pemesanan di situs web. Artinya, secara umum, ini melibatkan pilihan pemasok; stok produk; perhitungan angkutan; pengemasan dan penyiapan produk; pelacakan pesanan; pengiriman barang; dan, dalam beberapa kasus, penukaran dan pengembalian — dikenal dengan reverse logistics.
Jika proses logistik berhasil dijalankan dengan mulus, maka ia akan berkontribusi secara signifikan pada tingkat konversi, loyalitas, dan retensi konsumer, yang seyogyanya menandai kesuksesan toko online secara keseluruhan proses. Namun, itu juga jadi kelemahan jika tidak efisien, semua pekerjaan bakal sia-sia.
Saking vitalnya, memutuskan sejumlah perusahaan e-commerce untuk membangun sendiri logistik dari nol. Blibli adalah salah satunya. Sedari awal Blibli beroperasi, perusahaan besutan Grup Djarum tersebut percaya pada kekuatan ekosistem. Oleh karenanya sejak Blibli berdiri, perusahaan serius mempelajari seluruh model bisnis dari ekosistem pendukung e-commerce.
“Dari awal kita percaya kalau mau sustain di bisnis e-commerce harus menguasai business model, dalam hal ini B2C. Artinya, model bisnis ini pakai 1PL yang mana kita harus punya barangnya, punya gudang, proses fulfillment dari pick, pack, sampai ke konsumen harus kita semua yang kerjakan. Dari awal kita belajar bagaimana punya logistic warehouse sendiri, ini bentuk investasi yang kami lakukan,” terang Co-founder dan COO Blibli Lisa Widodo saat dihubungi DailySocial.id.
1PL (logistik pihak pertama) adalah perusahaan atau individu yang membutuhkan kargo, pengiriman, barang atau produk yang diangkut dari satu titik ke titik lain. Logistik pihak pertama hanya melibatkan dua pihak. Ada produsen atau distributor yang mengirimkan barang (toko), dan ada pengecer atau pelanggan yang menerima barang (konsumer). Tidak ada perantara lain yang terlibat dalam keseluruhan proses.
Dalam hal ini perusahaan yang bertindak sebagai 1PL-lah yang menyediakan seluruh ekosistem logistiknya. Adapun proses logistik itu sendiri, dimulai dari transportasi masuk, transportasi keluar, manajemen armada, pergudangan, penanganan material, pemenuhan pesanan, manajemen inventaris, perencanaan permintaan, dan lain-lain.
Investasi yang dikucurkan perusahaan khusus dalam membangun sistem logistik sendiri, perlahan-lahan membuahkan hasil, terlihat dari bentuk efisiensi yang semakin meningkat. Lisa mencontohkan, dengan kehadiran 14 gudang di seluruh Indonesia, terkadang konsumen memesan barang dari berbagai gudang yang letaknya tak hanya di kotanya sendiri.
Warehouse management system (WMS) yang dibangun Blibli kini mampu mendeteksi stok barang dari seluruh gudang, sehingga pengiriman memungkinkan dikirim dari satu lokasi gudang. “Masa iya, konsumer beli banyak barang tapi boksnya beda-beda karena dari banyak gudang. Ini contoh proses efisiensi yang bisa kami lakukan dari internal.”
Bentuk efisiensi lainnya adalah penempatan barang di dalam gudang. Biasanya barang-barang FMCG yang paling sering dicari konsumen itu harus ditempatkan di titik terdekat dengan packing station. Tujuannya agar waktu pengemasan dapat dipersingkat dan segera dikirim ke lokasi tujuan.
Namun, untuk mendeteksi produk FMCG apa saja yang paling sering dibeli, tergantung dengan lokasi konsumen berada. Tidak semua gudang memiliki susunan barang FMCG yang sama. Untuk itu dibutuhkan automasi mana barang FMCG yang direkomendasikan perlu ditaruh terdekat dari lokasi picker. “Sehingga waktu tempuh picker untuk ambil barang bisa lebih pendek.”
Ia mencontohkan lagi, seiring berkembangnya model bisnis Blibli yang kini tidak hanya B2C, kini juga mengakomodir marketplace 3PL. Yang mana pemesanan diproses langsung oleh penjual di Blibli, barangnya juga disimpan dalam gudang mereka. Maka untuk memberikan kenyamanan yang sama bagi konsumen, algoritma dalam WMS akan merekomendasikan opsi pengiriman terbaik untuk dia dan penjual.
“Tujuan dari penerapan smart logistics bagi kami bukan dari seberapa maksimal, tapi seberapa baik dari kemarin. Hari ini harus lebih dari kemarin. Karena bisnis terus berubah, tipe klien terus bervariatif, jadi kami harus selalu dinamis. Jadi kami merasa saat ini belum maksimal karena kita enggak percaya sudah ada dititik teroptimal, tapi selalu usahakan terus lebih baik dari kemarin.”
Pandangan mengenai smart logistics
Bagi Lisa, smart logistics pada akhirnya bicara soal efisiensi yang terjadi melalui pemanfaatan teknologi. Alhasil, smart logistics bukan soal memanfaatkan mesin robotik yang ditenagai dengan teknologi kekinian saja yang membuat proses logistik jadi lebih cepat. Tapi bagaimana mengadopsi teknologi terkini sesuai kebutuhan dan apa spesifik obyek yang mau dicapai.
“Smart logistics harus jadi pintar dalam mengambil keputusan, jangan adopsi suatu solusi lalu dipukul rata. Harus ada analisis per segmen dan bagaimana spesifik obyektif yang mau diraih.”
Dia berpendapat, di Indonesia sejauh ini kebutuhan untuk memanfaatkan robotik belum menjadi suatu urgensi. Pun, tenaga manusia tetap dibutuhkan sampai kapanpun. Di balik itu, menggunakan tenaga manusia memang tidak terhindar dari risiko, namun dengan edukasi yang konsisten dapat diminimalisir. Kondisi di Tiongkok pun, yang notabenenya memakai robotik, sebetulnya masih membutuhkan sentuhan manusia dan tidak di semua gudang membutuhkan robot tersebut.
Justru dengan teknologi yang ada sekarang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat manusia dalam bekerja. Salah satunya dengan memakai conveyor belt. Di Blibli, pemanfaatan alat tersebut juga tidak diberlakukan di semua gudangnya. Alasan memilih alat itu juga dikarenakan opsi tercepat karena di salah satu gudangnya itu berlantai-lantai.
“Enggak ideal kalau shelfing pindah-pindah dari lantai 4 ke lantai 1. jadi perlu pakai conveyor, kalau pakai tenaga manusia pakai lift trolly akan lebih lama.”
Dalam proses logistik 1PL di Blibli, seluruh gudangnya menyimpan lebih dari 100 ribu SKU dengan produk yang variatif. Alur keluar masuk barang dimulai setelah konsumen menyelesaikan pembayaran dari situs/aplikasi Blibli. WMS akan mendeteksi barang apa saja yang dipesan dan harus dipersiapkan oleh picker. Kerja picker harus lebih cepat, terutama jika konsumen pilih opsi logistik dua jam sampai.
“Artinya [kalau pilih opsi logistik dua jam sampai] dari order create, sampai barang sampai ke konsumen itu harus dua jam. Berarti proses pick and pack harus kurang dari 30 menit. Makanya barang FMCG yang paling banyak dipesan berdasarkan algoritma di radius gudang harus dekat dengan picker.”
Tak hanya penempatan barang yang dekat dengan picker, titik penjemputan ke kurir logistik juga harus dekat untuk penyerahan barangnya. Di dalam gudang Blibli sudah ditempatkan mitra logistik, yakni BES (Blibli Express Service), JNE, Grab atau Gojek yang ditempatkan secara implant.
Dengan memanfaatkan teknologi, perusahaan juga dapat membuat solusi logistik yang bernilai tambah, selain gratis ongkir, juga terdapat solusi pengiriman 2 Jam Sampai, trade-in, scheduled delivery, hingga kebijakan retur dengan rentang waktu sampai 15 hari. Bahkan, baru-baru ini memperkenalkan armada transportasi eco-friendly untuk mengirim produk fresh and frozen khusus area Jabodetabek.
Di samping itu, perusahaan juga dapat membuat keputusan yang lebih baik, terutama saat ekspansi solusi logistiknya tersebut. Penempatan armada BES dan gudang sangat memerhatikan densitas persebaran konsumen Blibli. Armada BES kini berjumlah lebih dari 1.200 kurir roda dua dan roda empat.
“Pola pikirnya kapan saatnya serahkan ke BES atau non-BES. Cara melihatnya adalah dari basis konsumer Blibli. Kalau densitasnya baik, solusinya yang paling baik adalah pakai armada logistik sendiri. Kalau tidak, pakai mitra yang solusi logistiknya terbaik di wilayah konsumen berada.”
Blibli memiliki 14 gudang yang beroperasi 24 jam dengan total luas lebih dari 130 ribu m2. Enam gudang di antaranya berlokasi di Jabodetabek, sisanya tersebar di Medan, Makassar, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Surabaya.
Untuk melayani konsumen potensial Blibli yang bertumbuh, sebelum memutuskan ekspansi gudang secara jor-joran, biasanya perusahaan masuk dengan konsep hub. Ada empat jenis hub yang dipakai Blibli, yakni mobile hub, mini hub, hub, dan mother hub. Urutan ini dilihat berdasarkan ukuran gudang. Adapun saat ini, Blibli punya 33 hub. Setiap mengambil keputusan ekspansi, Blibli punya tim control tower yang selalu memantau densitas konsumer. Tiap mencapai metrik-metrik tertentu, tim tersebut selalu memberi sinyal ke tim business development untuk cari lokasi hub terbaik.
“Kalau angka terus konsisten, enggak perlu dibuat keputusan lagi, sebab rumusnya sudah ada. Prosesnya jadi lebih cepat, ditambah lagi kita didukung Grup Djarum jadi kita bisa buat hub lebih cepat kurang dari sebulan.”
Fulfillment by Blibli
Lisa percaya diri dengan pencapaian yang berhasil dicapai Blibli dalam membangun solusi logistik pintar adalah yang terbaik di Indonesia. Menurutnya, sudah lebih dari 11 tahun, teknologi WMS yang dibangun berhasil membuktikan bahwa konsumer puas dengan pelayanan Blibli, baik dari kecepatan pengiriman, kualitas pengemasan, dan lain-lain. Lantas kepercayaan diri tersebut melatarbelakangi hadirnya Fulfillment by Blibli.
“Bahkan kita juga handle kebersihan produk selalu dilap bersih, jangan sampai ada debu tersisa. Manage gudang, termasuk membersihkan debu itu ada cara khususnya. Setiap barang kita handle safety-nya, packing sangat mumpuni walau harga barangnya murah, tapi treatment-nya tetap sama.”
Ia melanjutkan, “Di bidang fulfillment dan delivery kita jadi yang terbaik, lalu kenapa kita enggak offer ke yang lain ya? Lalu kita mencoba untuk menawarkan solusi ini untuk brand principal yang tidak menjadikan logistik sebagai core mereka. Apalagi sebagai seller, mereka harus fokus ke product development, jadi perihal fulfillment bukan concern utama mereka.”
Penanganan fulfillment merupakan pekerjaan rumah yang cukup vital. Tak hanya soal pakai teknologi saja, tapi juga bicara bagaimana menangani keluhan konsumen, kebersihan, cara pengemasan yang tepat, dan lainnya. Pun dalam penyimpanan ada barang-barang yang harus disimpan dalam suhu tertentu, misalnya perhiasan, tas kulit, dan emas. Mengemas barang-barang mahal tersebut juga tidak bisa disamakan dengan mengemas minyak goreng.
“Hal-hal seperti ini yang ingin kita sampaikan ke teman-teman bisnis. Kalau mereka mau core-nya ke produksi, bukan logistic, artinya energinya jangan dihabiskan ke sana. Blibli yang akan bantu.”
Atas dasar pertimbangan tersebut, sejak tiga tahun lalu, Blibli mulai perluas solusi untuk penjual non-Blibli. Tapi langkah awal dimulai dari interal Grup Djarum, kemudian perlahan disebarluaskan untuk non-grup. Dengan menjadi ekosistem terbuka, kini Fulfillment by Blibli juga melayani penjual yang berjualan di platform e-commerce non-Blibli, termasuk brand yang menjual barangnya lewat situs e-commerce-nya sendiri.
Namun, Lisa tidak menyebutkan secara spesifik berapa banyak brand yang sudah memanfaatkan solusi ini.
Dalam prosesnya, barang yang akan dijual cukup ditaruh di dalam gudang Blibli dan fulfillment akan diselesaikan oleh tim gudang Blibli. Kemudian, brand akan diberi akses dasbor untuk monitor stok barang, harga, dan opsi logistik. Bahkan, Blibli juga memungkinkan brand untuk memiliki pengemasan tersendiri apabila ingin memakai dari mereka sendiri. “Kami pakai pricing based on order. Jadi kalau ada order baru kita charge brand, termasuk charge storage fee,” tutup Lisa.
Startup logistik Paxel mengantongi pendanaan seri C sebesar $23 juta atau lebih dari 340 miliar Rupiah. Putaran keempat ini disuntik PT Astra Digital Internasional (ADI), Central Capital Ventura (CCV), MDI Ventures, Susquehanna International Group (SIG), Endeavour Catalyst, FJ Labs, dan PT Amsaka Investama Sejahtera.
Paxel sebelumnya memperoleh pendanaan seri B senilai $9,4 juta atau setara Rp134,7 miliar Rupiah pada Maret 2022 yang dipimpin MDI Ventures, serta partisipasi dari SIG, PT Luminary Media Nusantara, Bamboo Gold Services, dan Galilee Capital Ventures.
Dalam keterangan resminya, Presiden Direktur Astra Djony Bunarto Tjondro mengatakan investasi ini sejalan dengan upaya perusahaan mempercepat transformasi digital melalui produk dan layanan inovatif. “Kami telah memiliki digital roadmap untuk memetakan perkembangan digitalisasi yang relevan dengan bisnis dan peningkatan kompetisi dan kemampuan digital Grup Astra,” tuturnya.
Presiden Direktur CCV Armand Widjaja menambahkan, saat ini pihaknya telah memperluas fokus investasi ke embedded finance, seperti logistik dan commerce, tak hanya fintech. Ia meyakini pertumbuhan bisnis Paxel akan memberikan dampak besar kepada industri UMKM di Indonesia.
Berdiri di 2017, Paxel menawarkan sejumlah layanan logistik yang membantu pelaku UMKM untuk melakukan pengiriman barang melalui Paxel sameday delivery, smart locker PaxelBox. PaxelBig, PaxelMarket, dan layanan jemput-kelola sampah ecommerce PaxelRecycle.
Per Juni 2022, Paxel tercatat telah melayani lebih dari 2000 UMKM, 2 juta pengguna, dan mengirimkan lebih dari 17 juta paket dengan klaim tingkat ketepatan waktu di atas 98%. Jangkauannya meliputi 11 provinsi di 86 kabupaten/kota, 589 kecamatan dan 4.846 Desa di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumatera.
Ekspansi pasar
Lebih lanjut, pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan operasional Paxel ke luar Pulau Jawa, serta memperkuat last mile dan fulfillment cold chain untuk melayani segmen B2C dan B2B. Pihaknya juga akan memperkuat SDM dan teknologi demi mencapai sustainability growth.
Di samping itu, pendanaan ini akan membuka pintu kolaborasi pengembangan layanan Paxel terhadap jaringan ekosistem raksasa yang dimiliki Astra, Telkom, dan BCA.
Paxel mengklaim dalam empat tahun terakhir telah mengantongi pertumbuhan pendapatan dan pengguna masing-masing sebesar 240% dan 176% per tahun. Selain itu, gross margin juga disebut tumbuh 3,6 kali dan menjadi positif pada kuartal ketiga 2020.
“Industri logistik di Indonesia merupakan salah satu penyumbang PDB nasional terbesar dan terus tumbuh selama pandemi. Situasi lockdown memicu konsumen dan pelaku bisnis mencari alternatif untuk mendistribusikan produk ke konsumen, terutama di sektor F&B. Kami melihat Paxel memiliki solusi di bidang ini dan telah membangun infrastruktur yang memungkinkan pengiriman cepat.” ujar Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li.
Industri logistik
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di kuartal III 2021, Supply Chain Indonesia (SCI) memperkirakan sektor logistik dapat menyumbang Rp699,1 triliun terhadap PDB atau tumbuh 1,08% (YoY) di 2022
Chairman SCI Setijadi memproyeksikan kinerja sektor logistik, baik transportasi, pergudangan, dan kurir, membaik di sepanjang 2022. Pertumbuhan sektor ini akan didorong utamanya oleh sektor pengolahan, terutama non-migas, diikuti oleh sektor pertanian, perikanan, hingga perdagangan. Pada 2021, industri pengolahan non-migas disumbang sebagian besar dari industri makanan dan minuman (38,4%), kimia dan farmasi (11,4%), barang logam dan elektronik (8,7%), alat angkut 8,4%, serta tekstil dan pakaian 6,1%.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Akbar Djohan menambahkan, pertumbuhan industri logistik dalam negeri di 2022 akan dikerek dari dua sektor; (1) pasar yang telah terintegrasi dengan teknologi digital dan (2) logistik yang bersifat penting dan menjadi komoditas utama untuk mendongkrak penerimaan negara.
Perusahaan teknologi logistik yang mengoperasikan marketplacetrucking dan kargo skala besar di Indonesia, Deliveree, merampungkan putaran pendanaan Seri C senilai $70 juta (sekitar 1 triliun Rupiah) yang dipimpin Gobi Partners dan SPIL Ventures. Inspire Ventures, investor terdahulu perusahaan, juga turut ambil bagian di putaran kali ini. Secara total mereka telah mendapatkan pendanaan sebesar $109 juta (1,6 triliun Rupiah) selama lima tahun terakhir.
Dana segar tersebut rencananya dimanfaatkan perusahaan untuk meningkatkan penetrasi pasar, memperluas jenis layanannya seiring dengan hadirnya solusi kargo kontainer, dan melakukan pengembangan skala besar yang dibutuhkan untuk menjadi marketplace logistik yang tersedia di seluruh pelosok Asia Tenggara. Selain itu, pendanaan ini juga akan digunakan untuk meningkatkan layanan bagi puluhan ribu bisnis yang setiap harinya mengandalkan Deliveree.
“Di Deliveree, misi kami adalah digitalisasi logistik dengan membuat transportasi kargo menjadi sederhana, terjangkau, fleksibel, dan terukur untuk bisnis dari segala ukuran. Hal ini diwujudkan lewat kekuatan platform marketplace kami yang menghubungkan pelanggan logistik dengan jaringan angkutan dan penyedia layanan besar – yang saya sebut sebagai logistics mega marketplace,” ujar Co-Founder & CEO Deliveree Tom Kim.
Menurut Managing Partner Gobi Partners Kay Mok, pasca-pandemi berpotensi besar mengalami inflasi yang turut diwarnai oleh permasalahan rantai
pasok. Platform teknologi dari Deliveree memungkinkan terjadinya optimasi dan penurunan total biaya operasional bagi industri pengiriman dan logistik.
“Dengan investasi strategis kami di Deliveree, kami dapat memberi mereka kapabilitas operasional supply chain yang kuat dan merupakan yang pertama di ranah industrinya, dengan menyelaraskan moda transportasi darat dan laut. Hal ini memungkinkan platform teknologi Deliveree untuk menawarkan solusi logistik yang lebih luas dan melampaui trucking darat dengan jangkauan antar pulau, didukung secara strategis oleh jaringan kapal kontainer SPIL yang melayani seluruh pelabuhan utama di Indonesia,” kata Widarta Liunanda dari SPIL Ventures.
Skalabilitas bisnis dan teknologi
Dalam 24 bulan terakhir, Deliveree mengklaim telah meningkatkan transaksi brutonya sebesar 3,2 kali dengan nilai $100 juta pada tahun ini. Perusahaan telah meningkatkan kapasitas timnya hingga hampir mencapai 500 karyawan di empat negara yang membuat perusahaan masuk ke daftar 5 angkutan kargo terbesar di Indonesia, Filipina, dan Thailand.
Akhir tahun 2021 lalu, Deliveree mengumumkan layanan Muat Sebagian untuk mengakomodasi kebutuhan bisnis yang ingin mengirim barang, kargo, bahkan paket besar/kecil tanpa harus menyewa satu kendaraan penuh. Solusi ini mendigitalisasi layanan muat sebagian yang sudah hadir di perusahaan logistik konvensional dengan memanfaatkan algoritma pintar.
Saat pemesanan dilakukan, algoritma Deliveree akan memperhitungkan rute yang paling optimal dan efisien dari gabungan muatan barang pebisnis dengan pebisnis lainnya. Hal tersebut berdampak pada efisiensi biaya dan estimasi pengiriman tercepat karena mempertimbangkan jarak dan waktu. Seluruh proses pemesanan ini dilakukan baik melalui aplikasi maupun situs.
Menurut data tahun 2021, total pasar logistik Indonesia mencapai $240 miliar atau lebih dari Rp3300 triliun. Sejauh ini sudah ada sebuah layanan unicorn logistik (J&T) dan sejumlah soonicorn (Shipper, SiCepat, Waresix) di sektor logistik, khususnya yang mengurusi segmen B2B.
The local logistics company J&T Express (J&T) is making another headlines with plans to raise over $1 billion (more than Rp. 14.5 trillion) funding from Tencent and other investors with a pre-money valuation of $20 billion, citing The Information.
Previously, CB Insights said in April that J&T had acquired unicorn status with a valuation of $7.8 billion, through the funding worth more than $2 billion from a series of investors. The investors are PE China Hillhouse Capital, Boyu Capital, and Sequoia Capital China.
When local media asked for a response, J&T’s CEO Robin Lo did not confirm nor deny the unicorn’s status.
Referring to the CB Insight version of the valuation, it means that J&T’s valuation has grown over two times within four months. DailySocial has published a piece questioning J&T’s unicorn status.
Chairman of the Indonesian Logistics Association (ALI) Mahendra Rianto doubts this status, as compared to its closest competitor, JNE is also estimated to have become a unicorn.
Flexible valuation
Without putting aside the rumors above, the key word is that irrational valuations are something that is interesting to discuss.
Quoting from PracticalEcommerce, it is said that the valuation in private companies is speculative. Even the calculation is not as objective as imagined.
There are some considered factors, such as team expertise, product, assets, business model, market share, competitor performance, and others. There are also VCs with its own formula to find pre-value money from a business.
Therefore, calculating the startup valuation combines elements of art and science. If it’s to be compared with NFT, it is fine as both have something in common. Equally irrational. It will still be validated as long as someone buys it, regardless of the number.
However, there are eight methods of calculating valuation in general, such as The Berkus Method, Comparable Transactions Method, Scorecard Valuation Method, and so on.
It used to be commonplace for startups to raise equity funding for no more than three funding rounds and were acquired or went public within five years of operation. However, it’s not uncommon for startups to receive six rounds of funding and remain closed for more than 10 years.
As a startup grows into a mature business, both revenue and expenses, it is exposed to a different economic environment. Challenges arise — more competitor, saturated markets, acquiring customers. VCs, who profit when their startups exit, have shown great patience.
As long as it is a private company, it means that there is no obligation to notify the public of financial statements.
As startups matured, competitors emerged, and each company had to spend more on marketing and customer acquisition. The biggest need requires startups to get more money. This metric is rarely highlighted and gives a one-sided picture of the actual state of the company.
“All the hype ended, however, when the company filed to become a public entity,” PracticalEcommerce wrote.
Union Square Ventures’ Co-Founder, Fred Wilson wrote on his blog, “… valuations in the private market, especially in the late stages, can sometimes be irrational. Valuation in the public, of course after the stock has been trading for a long time and the lock-off period is over, is much more rational.”
This is clearly seen in the performance of Uber and Lyft on the stock market. When Uber went public in May 2019, its stock was valued at $45 per share at a valuation of $75.5 billion. The stock has been wildly move since then, peaking at $46 per share on June 28, 2019, then dropping to a low of $26 per share in November 2019. Currently, at September 2, 2021, $41.09 per share with a market cap of $76.59 billion.
When Lyft went public in March 2019 at a price of $72 per share with a valuation of $24 billion. Lyft’s stock price was even wilder. Now, on September 2, 2021, at $48.96 per share with a market cap of $16.41 billion, far from its initial offering price.
Fight a “different” war
In Southeast Asia, J&T has available in seven countries, before finally arrived in China in March 2020. Long before that, the founder, Robin Lo has very strong background with Chinese entrepreneurs backing.
In China, the logistics market is very bloody. There are five big players there, S&F Express, Yunda, ZTO, YTO, STO, and HT Express. In order to gain traction, J&T’s use an extreme strategy, with subsidized shipping and low prices tending to damage the market.
The relationship between Robin and Jet Lee (CEO of J&T China) in building J&T Indonesia is quite strong, considering that Jet Lee is Oppo’s former official. According to the KrAsia report, J&T’s business runs quite well thanks to the support of Oppo’s parent, BKK Electronics. It’s not only Oppo, but also other smartphone brands, Vivo, Realme, and OnePlus.
BKK’s founder, Duan Yongping played a role in J&T’s relationship with Pinduoduo as he was also a mentor to Pinduoduo’s founder, Colin Huang. Together with Pinduoduo, J&T was able to recored a daily order volume of more than 20 million packages in China alone. During the 618 Shopping Festival – the second largest annual shopping event, J&T Express’ daily package volume at that time exceeded 30 million packages.
However, with all of the backing, it is not enough to boost J&T’s strong dominance because compared to its peers, such as ZTO with 94 sorting centers and 30 thousand shipping outlets that are able to reach 99% of China’s territory. On the other hand, J&T is yet to reach rural and remote areas.
Not to focus only in China, J&T continues to create new sources of growth by shifting its attention to the Middle East and Latin America. It will focus on three densely populated countries – Egypt, Brazil and Mexico – and two countries with higher per capita incomes: the UAE and Saudi Arabia. These countries have huge population, with nearly 500 million people in total.
J&T’s growth in Indonesia
Just like China, the last-mile logistics companies in Indonesia is very crowded. Robin Loo claims the company can send up to 2.5 million packages per day thanks to its partnerships with various marketplace platforms.
J&T’s competitors largely rely on a similar strategy. For regular and one-day delivery (next day), buyers can choose delivery services from SiCepat, JNE, AnterAja, Ninja Express, to Shopee Express provided by Shopee. This is not counting Grab Express and GoSend which provide instant delivery.
These shipping options are available on every marketplace. All sellers are given free to choose the one in the coverage. Conditions are fairly reasonable whether not all logistics services are available and can be chosen by the buyer. Moreover, at Shopee, the majority of deliveries are controlled by Shopee Express.
In order to compete, J&T recently developed a cargo service for the delivery of packages with a large weight and volume with an SLA estimated delivery of 1-3 days. Premium delivery services are also increasingly being expanded in scope. not only in Greater Jakarta, but also in Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, and Jambi.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Perusahaan logistik lokal J&T Express (J&T) kembali menghebohkan pemberitaan dengan rencana penggalangan pendanaan lebih dari $1 miliar (lebih dari Rp14,5 triliun) dari Tencent dan investor lainnya dengan valuasi pre-money sebesar $20 miliar, mengutip pemberitaan The Information.
Sebelumnya, pada April ini, CB Insights menyebut J&T telah menyandang status unicorn dengan valuasi $7,8 miliar, melalui pendanaan yang mereka peroleh senilai lebih dari $2 miliar dari sejumlah investor. Investor tersebut adalah PE China Hillhouse Capital, Boyu Capital, dan Sequoia Capital China.
Ketika dimintai tanggapannya oleh media lokal, CEO J&T Robin Lo tidak membenarkan atau membantah soal status unicorn ini.
Bila mengacu dari angka valuasi versi CB Insight, artinya dalam waktu empat bulan, valuasi J&T telah melambung lebih dari dua kali lipat. DailySocial pernah membuat tulisan yang mempertanyakan status unicorn J&T.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menyangsikan status tersebut, sebab bila disandingkan dengan peers terdekatnya, JNE diperkirakan juga sudah menjadi unicorn.
Valuasi “suka-suka”
Tanpa mengesampingkan rumor di atas, kata kuncinya adalah valuasi irasional kembali menarik untuk dibahas.
Mengutip dari PracticalEcommerce, mereka menyebutkan bahwa valuasi di perusahaan privat itu bersifat spekulatif. Bahkan penghitungannya tidak seobyektif yang dibayangkan.
Ada yang memperhitungkan faktor-faktor, seperti keahlian tim, produk, aset, model bisnis, total pasar yang dapat ditangani, kinerja pesaing, dan lainnya. Ada juga VC yang sudah memiliki formula sendiri untuk menemukan pre-value money dari sebuah bisnis.
Jadi bisa dikatakan menghitung valuasi sebuah startup itu menggabungkan unsur seni dan sains. Bila menyejajarkan valuasi dengan NFT, bukanlah suatu larangan karena keduanya punya kesamaan. Sama-sama irasional. Tetap bakal tervalidasi selama ada yang beli, berapapun angkanya.
Di luar itu, umumnya dikenal delapan metode penghitungan valuasi, misalnya The Berkus Method, Comparable Transactions Method, Scorecard Valuation Method, dan lain sebagainya.
Dulu dianggap lumrah ketika startup menggalang pendanaan ekuitas tidak lebih dari tiga putaran pendanaan dan diakuisisi atau menjadi publik dalam waktu lima tahun sejak memulai bisnis. Tapi sekarang bukan hal yang aneh bagi startup untuk menerima enam putaran pendanaan dan tetap tertutup selama lebih dari 10 tahun.
Ketika startup tumbuh menjadi bisnis yang matang, baik pendapatan maupun pengeluaran yang tumbuh, memaparkannya pada lingkungan ekonomi yang berbeda. Lebih banyak tantangan muncul — persaingan tambahan, pasar yang jenuh, memperoleh pelanggan. VC, yang mendapat untung ketika startup mereka exit, telah menunjukkan kesabaran yang luar biasa.
Selama menjadi perusahaan privat, artinya tidak ada kewajiban untuk memberitahu laporan keuangan kepada publik.
Saat startup matang, memancing pesaing bermunculan, dan setiap perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak pemasaran dan akuisisi pelanggan. Kebutuhan terbesar inilah yang membuat startup butuh lebih banyak uang. Metriks inilah yang jarang tersorot dan memunculkan gambaran sepihak tentang keadaan perusahaan yang sebenarnya.
“Semua hype berakhir, bagaimanapun, ketika perusahaan mengajukan untuk menjadi entitas publik,” tulis PracticalEcommerce.
Co-Founder Union Square Ventures Fred Wilson menulis di blognya, “…penilaian di pasar swasta, khususnya di late stage, terkadang bisa irasional. Valuasi di publik, tentu saja setelah saham diperdagangkan untuk waktu yang cukup lama dan masa lock-off selesai, jauh lebih rasional.”
Hal ini terlihat jelas dalam kinerja Uber dan Lyft di bursa saham. Saat Uber go-public di Mei 2019, sahamnya dihargai $45 per lembar dengan valuasi $75,5 miliar. Pergerakan sahamnya liar sejak saat ini, pernah ada di posisi puncak $46 per saham pada 28 Juni 2019, lalu jatuh ke level terendah $26 per saham pada November 2019. Kini 2 September 2021, $41,09 per lembar dengan market cap $76,59 miliar.
Sedangkan Lyft go-public pada Maret 2019 dengan harga $72 per lembar saham dengan valuasi $24 miliar. Harga saham Lyft jauh lebih liar lagi. Kini 2 September 2021 berada di harga $48,96 per saham dengan market cap $16,41 miliar, jauh dari harga penawaran awal.
Perang yang “berbeda”
Di Asia Tenggara, J&T telah hadir di tujuh negara, sebelum akhirnya mendarat di Tiongkok pada Maret 2020. Jauh sebelum itu, latar belakang pendirinya Robin Lo sangat kuat dengan backing dari para pengusaha Tiongkok.
Di Tiongkok sendiri pasar logistiknya sudah sangat “berdarah-darah”. Ada lima pemain besar di sana, yakni S&F Express, Yunda, ZTO, YTO, STO, dan HT Express. Untuk menarik traksi, taktik yang dipakai J&T terbilang ekstrem, dengan memberikan subsidi ongkos kirim dan harga yang rendah cenderung merusak pasar.
Relasi Robin dan Jet Lee (CEO J&T Tiongkok) dalam membangun J&T Indonesia sudah cukup kuat, mengingat Jet Lee adalah mantan petinggi Oppo. Menurut laporan KrAsia, bisnis J&T cukup tertopang berkat bantuan induk Oppo, yakni BKK Electronics. Di situ tak hanya menaungi Oppo, juga brand smartphone lainnya, ialah Vivo, Realme, dan OnePlus.
Founder BKK Duan Yongping turut berperan dalam hubungan J&T dengan Pinduoduo karena ia turut menjadi mentor untuk founder Pinduoduo Colin Huang. Bersama Pinduoduo, J&T mampu mencetak volume pesanan harian lebih dari 20 juta paket di Tiongkok saja. Selama Festival Belanja 618 -event belanja tahunan terbesar kedua, volume paket harian J&T Express pada saat tersebut melebihi 30 juta paket.
Namun, dengan backing itu semua, belum mampu membuat dominasi J&T kuat karena dibandingkan dengan peers-nnya, seperti ZTO yang telah memiliki 94 pusat sorting dan 30 ribu outlet pengiriman yang mampu menjangkau 99% wilayah Tiongkok. Di sisi lain, J&T masih kurang menjangkau wilayah rural dan remote.
Sekadar tak ingin fokus di Tiongkok saja, J&T terus menciptakan sumber pertumbuhan baru dengan mengalihkan perhatiannya ke Timur Tengah dan Amerika Latin. Mereka akan fokus pada tiga negara berpenduduk padat – Mesir, Brasil, dan Meksiko – dan dua negara dengan pendapatan per kapita lebih tinggi: UEA dan Arab Saudi. Populasi negara-negara ini sangat besar, dengan total hampir 500 juta orang.
Perkembangan J&T di Indonesia
Sama seperti Tiongkok, kondisi perusahaan logistik last-mile di Indonesia sudah begitu ramai. Robin Loo mengklaim perusahaan bisa mengirimkan hingga 2,5 juta paket per hari berkat kemitraannya dengan berbagai platform marketplace.
Para pesaing J&T secara mayoritas mengandalkan strategi yang serupa. Untuk pengiriman reguler dan satu hari sampai (next day), pembeli dapat memilih layanan pengiriman dari SiCepat, JNE, AnterAja, Ninja Express, hingga Shopee Express yang disediakan Shopee. Ini belum menghitung Grab Express dan GoSend yang menyediakan pengiriman instan.
Seluruh opsi pengiriman ini tersedia di seluruh marketplace. Setiap penjual diberi kebebasan untuk memilih mana saja yang dapat dijangkau oleh mereka. Kondisi terbilang wajar jika tidak semua layanan logistik tersedia dan dapat dipilih pembeli. Terlebih, bila belanja di Shopee, mayoritas pengiriman dikuasai Shopee Express.
Agar tidak kalah bersaing, belakangan J&T mengembangkan layanan kargo untuk pengiriman paket dengan berat dan vokume yang besar dengan SLA estimasi pengiriman 1-3 hari. Layanan pengiriman premium juga semakin diperluas cakupannya. tak hanya di Jabodetabek, tetapi juga bisa dinikmati di Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Jambi.
Ada banyak sektor penunjang dalam pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Logistik menjadi salah satu yang memiliki peran krusial menjadi tulang punggung bisnis e-commerce, yang menyumbang GMV terbesar pada ekonomi digital nasional.
Menurut data Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo), saat ini ada 561 bisnis logistik yang terdaftar, terdiri dari beragam jenis layanan, dengan mayoritas berfokus pada jasa pengiriman [penyedia armada]. Pada kenyataannya, kebutuhan logistik Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi – belum mengimbangi laju bisnis e-commerce yang mencapai ~14,8% CAGR antara 2020-2023.
Jika melihat isu yang lebih spesifik, masih banyak friksi di vertikal bisnis ini. Ambil contoh soal bagaimana angkutan barang dapat meningkatkan efektivitas. Sejauh ini, ketika sebuah armada berangkat ke tujuan membawa angkutan penuh, pulangnya harus mendapati bak yang kosong. Padahal. jika dapat terisi ketika pulang dan pergi, biaya operasional yang dikeluarkan dapat lebih efektif.
Belum lagi masalah klasik pebisnis, yakni menemukan solusi logistik yang tepat dan paling murah. Secara geografis, Indonesia menghadirkan tantangan unik bagi bisnis logistik – tidak jarang proses pengiriman harus menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Pebisnis mendapatkan tantangan tersendiri untuk menemukan mitra logistik yang tepat, khususnya menangani pengiriman di penjuru daerah.
Isu-isu tersebut kemudian melahirkan gebrakan dalam industri logistik yang berwujud inovasi teknologi. Selama tiga tahun terakhir, DailySocial mengamati adanya tren pertumbuhan yang konsisten dari perusahaan logistik berbasis teknologi, baik yang dikembangkan oleh inovator lokal maupun ekspansi layanan luar negeri untuk menyelesaikan permasalahan yang sangat spesifik.
Dukungan kapital yang kuat
Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta (Rp8,38 triliun dengan kurs hari ini).
Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.
Perusahaan
Putaran
Tahun
ASSA (induk AnterAja)
Convertible Bond
2021
Andalin
Series A
2021
Deliveree
Series A
2017
Finfleet
Series A
2019
GudangAda
Series A
2020
Series B
2021
Kargo Technologies
Seed Funding
2019
Series A
2020
Logisly
Series A
2020
Pakde
Seed Funding
2018
Ritase
Series A
2019
Shipper
Seed Funding
2019
Series A
2020
Series B
2021
SiCepat
Series B
2021
Triplogic
Seed Funding
2019
Waresix
Seed Funding
2018
Pre-Series A
2018
Series A
2019
Series A+
2020
Series B
2020
Webtrace
Seed Funding
2020
Dukungan kapital ini menjadi pembuktian tersendiri bagi pemain teknologi logistik di Indonesia. Sejauh ini pemodal ventura lokal menjadi yang paling aktif berinvestasi di vertikal ini.
Investor
Putaran Investasi
East Ventures
6
AC Ventures
5
Insignia Ventures Partners
4
Ukuran pasar yang besar
Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, saat ini sektor logistik di Indonesia diperkirakan telah bernilai $275 miliar, tumbuh pada ~16% CAGR antara 2015-2020. Institusinya terlibat dalam pendanaan Shipper dan Kargo — termasuk di jajaran investor awal.
Ia berpendapat, saluran e-commerce memang menjadi aspek penting dalam pertumbuhan industri logistik. Secara khusus ia menyampaikan adanya peningkatan pesat pengiriman ke kota tier-2 dan 3 yang mengharuskan perluasan saluran logistik.
“Pertumbuhan konsumsi, perdagangan, dan pengembangan infrastruktur akan mendorong inovasi logistik untuk menghadirkan solusi yang lebih efisien dan hemat biaya […] Kami memproyeksikan sektor ini akan menghasilkan gelombang unicorn berikutnya. Dan kami memiliki keyakinan kuat bahwa ruang ini akan menunjukkan pertumbuhan substansial dalam dekade berikutnya,” ujar Adrian.
Di kesempatan terpisah, Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko menyampaikan, empat tahun lalu ketika menginisiasi Shipper ia melihat permasalahan yang nyaris dihadapi semua pelaku UMKM ketika berdagang secara online. Shipper hadir menjadi sebuah aplikasi agregator logistik dan layanan warehousing, membantu pebisnis melakukan manajemen pengiriman secara tepat.
Menyinggung soal investasi di bisnis logistik, Budi menilai saat ini selain investor lokal, banyak pemodal ventura global yang juga tertarik berinvestasi ke startup Indonesia. Hal ini dibuktikan Shipper dengan keterlibatan sejumlah investor luar negeri di setiap tahapan pendanaannya. Ia menegaskan, permasalahan logistik Indonesia memang unik dan inovator lokal punya posisi kuat untuk menyelesaikan masalah ini.
Tren pendanaan logistik
Selama tiga tahun terakhir, nilai investasi untuk startup logistik di Indonesia juga terus mengalami pertumbuhan pesat. Hingga Juli 2021, artinya baru 7 bulan, nilai pendanaan yang dikucurkan investor meningkat hampir 2x lipat dibanding pendanaan sepanjang tahun 2020. Dari $182,9 juta menjadi $364 juta. Keyakinan investor masuk mendanai startup di late stage didasari traksi yang kuat di bisnis ini.
Hal ini diharapkan menjadi indikasi baik bagi ekosistem dan menjadi pemicu inovasi untuk memecahkan berbagai permasalahan logistik di negeri ini.
Pandemi nyatanya tidak menyurutkan ekspansi bisnis dan produk dari startup logistik di Indonesia. Menurut Budi, pandemi justru menjadi turning point karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dari layanan e-commerce.
Pada 2017, perusahaan jasa ekspedisi J&T Express (J&T) mencatat jumlah pengiriman barang sebanyak 300 ribu paket per hari. Tiga tahun kemudian, J&T mencatatkan rekor pengiriman tertingginya dengan 2 juta paket per hari atau hingga 20 juta paket di sepanjang 2020.
Dalam enam tahun perjalanannya sejak berdiri di 2015, J&T telah mencatatkan milestone yang signifikan di industri logistik. Perusahaan kini telah memiliki 100 gateway center, 4000 operating point, 30.000 pegawai, dan ribuan armada untuk menjangkau seluruh Indonesia.
Perusahaan yang didirikan Jet Lee dan Tony Chen, para petinggi perusahaan ponsel Oppo, telah melebarkan sayap bisnis ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah Indonesia, J&T sudah hadir di Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Tahun ini J&T disebut telah menyandang predikat unicorn menurut daftar CB Insights. Valuasinya pun fantastis, $7,8 miliar atau sebesar Rp113,5 triliun. J&T menempati urutan kedua unicorn dengan valuasi terbesar di Indonesia setelah Gojek dan diklaim sebagai startup logistik pertama di Indonesia.
Model bisnis dan pendanaan baru
Informasi ini cukup banyak memunculkan pertanyaan. Pasalnya, J&T dinilai menggunakan model bisnis tradisional, sama halnya seperti perusahaan logistik legacy seperti JNE. Perusahaan juga dianggap tidak termasuk dalam kategori bisnis smart logistics.
Jika patokannya adalah valuasi, nilai yang dirilis CB Insights wajar mengingat perusahaan sudah beroperasi di empat negara. Namun, jika kembali pada asas startup yang sifatnya disruptif, tidak diketahui apa saja inovasi atau teknologi yang dikembangkan perusahaan selama enam tahun berdiri.
Dari observasi dan informasi yang dikumpulkan DailySocial, satu-satunya hal yang dapat menghubungkan J&T dengan predikat unicorn tersebut adalah pengaruh besarnya dalam memberikan ongkos kirim jasa pengiriman yang murah dan gratis melalui kemitraannya dengan e-commerce.
Hal ini terlihat dari strategi kunci J&T dalam menggandeng marketplace besar sejak 2017, yaitu Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak. Saat itu, seperti dikutip dari Merdeka, CEO J&T Robin Lo menyebut bahwa jasa logistik dari bisnis e-commerce berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan perusahaan di 2017.
Di situasi pandemi Covid-19, kontribusi tersebut naik signifikan. Terlebih, riset e-Conomy SEA 2020 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan bahwa sektor e-commerce masih menjadi motor penggerak ekonomi digital dengan pertumbuhan 54% atau $32 miliar.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto bereaksi terhadap hal ini dan menilai bahwa informasi ini sepatutnya disuarakan ke publik. Apalagi J&T juga berencana untuk go public di bursa Amerika Serikat (AS). Menurutnya, jika ini semata untuk menaikkan valuasi, sudah seharusnya pemerintah mulai mengatur persaingan sehingga pemain asing tidak dapat menghancurkan pasar logistik.
“Kami mempertanyakan apa iya sebesar itu valuasinya? JNE saja mungkin [valuasinya] sudah Rp10 triliun, kenapa tidak disebut unicorn? JNE menggunakan mitra di daerah-daerah, sedangkan J&T ‘nempel’ di titik JNE dengan modal sendiri. Apakah model business process [J&T] bisa tidak tidak terbatas di Indonesia? Persaingannya harus di medan yang pas lah,” paparnya saat dihubungi DailySocial.
Dengan rencana IPO ini, J&T berencana menghimpun pendanaan sebesar U$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun usai mengantongi investasi sebesar $300 juta beberapa waktu lalu. “Penawaran ini bakal menaikkan valuasi J&T Express menjadi $5 miliar,” ungkap salah seorang sumber di perusahaan seperti diberitakan Bloomberg.
Mungkin saja, apabila IPO terealisasi, gebrakan inovasi teknologi J&T di smart logistics akan lebih banyak dilakukan tahun ini.
Smart logistics
Dalam beberapa tahun terakhir, investor menaruh investasi besar di vertikal smart logistics. Berdasarkan catatan kami, ada delapan deal investasi yang diperoleh startup logistik di sepanjang 2020.
Di awal tahun ini, SiCepat Ekspres (SiCepat), yang tidak bermula di bisnis smart logistics, juga telah menerima pendanaan signifikan dari VC. SiCepat memperoleh Rp2,4 triliun dari sejumlah investor, seperti Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (Lembaga Keuangan Pembangunan Jerman), MDI Ventures, hingga Pavilion Capital (anak perusahaan Temasek Holdings).
Hal yang membedakan SiCepat dan J&T adalah perusahaan mengambil strategi pengembangan inovasi dengan ekspansi horizontal yang masif. Perusahaan mencaplok kepemilikan 51% saham platform food delivery DigiResto yang berada di bawah naungan PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS). Kemudian induk SiCepat, Onstar Express Pte. Ltd., berinvestasi ke Logitek Digital Nusantara (LDN) yang merupakan anak usaha Telefast, bagian dari grup M Cash.
Ekspansi ini menjadi strategi kunci SiCepat, terutama melalui DigiResto yang disebut telah terintegrasi dengan tiga ekosistem utama, yakni multi delivery, multi merchant, dan multi payment.
Bicara inovasi smart logistics, Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menilai sebetulnya pengembangan di segmen ini dinilai lebih sulit dibandingkan dengan vertikal lain, seperti digital payment atau fintech. Smart logistics berkaitan dengan barang fisik sehingga peranan manusia masih sangat diperlukan untuk perpindahan barang. Berbeda dengan fintech yang bisa mengubah uang fisik menjadi non-tunai (cashless). Apalagi industri logistik di Indonesia dinilai belum punya standar jadi.
Alhasil, proses manual masih banyak dilakukan dan sulit untuk mendigitalisasinya. Sementara digitalisasi di sektor keuangan dinilai lebih mudah karena sudah distandarisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).
“Contoh minor, standarisasi data. Misalnya, maksimum jumlah karakter untuk alamat dan format nomor telepon itu belum ada sehingga menyulitkan integrasi API antar-platform. Kalau smart logistics di luar negeri tinggal plug and play. Ini baru bicara standardisasi pra kondisi dari smart logistics,” ujarnya dihubungi DailySocial.
Dari situasi ini saja, sebetulnya ada peluang bagi pelaku startup logistik untuk masuk ke ranah pengembangan tools atau solusi yang belum terstandarisasi. Namun, lanjut Zaldy, pandemi Covid-19 menjadi momentum besar bagi sektor logistik untuk membantu mempercepat digitalisasi ke arah smart logistics. Konsumen mau tak mau “dipaksa” mengikuti proses berbasis digital.
Pandemi Covid-19 memaksa banyak pelaku bisnis di Indonesia untuk mengadopsi layanan digital, tak terkecuali industri logistik, baik di first mile, mid mile, maupun last mile. Dengan situasi saat ini, bagaimana upaya ekosistem digital dalam mendukung tren logistik ke depan?
Diskusi menarik di sesi #SelasaStartup bersama Co-Founder dan CEO Shipper Budi Handoko dan Startup Account Manager Amazon Web Services Nicolas Tjioe mencoba memahami upaya mempercepat laju industri logistik menuju digital selama pandemi dan pasca pandemi.
Tantangan pelaku logistik
Pasar logistik Indonesia diestimasi bernilai $221 miliar, di mana e-commerce menjadi salah satu pendorong pertumbuhan. Sementara, nilai industri e-commerce Indonesia di 2020 mencapai $40 miliar dan diprediksi meroket menjadi $88 miliar di 2025. Inipun baru kontribusi dari e-commerce saja yang diprediksi tumbuh 4-6 kali lipat.
Dengan melihat tren jasa logistik di Indonesia, pelaku startup logistik berupaya menjangkau cakupan rantai logistik di Indonesia mengingat kondisi geografis masih menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis.
Budi Handoko menilai bahwa saat ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur dan akses internet di seluruh Indonesia. Para pelaku logistik di Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi dan solusi berbasis digital dengan tujuan untuk memberikan kemudahaan akses kepada mitra dan konsumen.
“Salah satunya melalui solusi cloud yang dapat memudahkan mitra dan konsumen untuk mengakses produk kami. Dengan begitu, semua jarak dapat tereleminasi baik dari sisi infrastruktur utama maupun produknya,” ujar Budi.
Momentum pandemi dan hari raya
Ada insight menarik lainnya yang ditangkap Shipper dan AWS, yaitu tren logistik di masa pandemi dan hari raya Lebaran. Menurut Budi, pandemi memberikan blessing in disguise terhadap industri logistik secara keseluruhan, termasuk Shipper. Permintaan terhadap pengiriman makanan, barang, dan alat-alat kesehatan memicu kenaikan jasa logistik selama masa pembatasan sosial.
Selama situasi ini, Budi mengaku tidak mengembangkan inovasi baru karena Shipper sudah lebih dulu membangun infrastruktur dan teknologi sebelum pandemi, termasuk mempersiapkan strategi untuk menekan kemungkinan cost yang lebih besar. Dengan kesiapan tersebut, pihaknya mengaku dapat mengakomodasi lonjakan permintaan yang tinggi.
“Pandemi menjadi turning point bagi kami karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dan penjual yang beralih ke alat-alat kesehatan. Teknologi yang kami bangun sebelumnya menjadi berguna di masa pandemi,” ujar Budi.
Dari sisi adopsi digital, Nicolas Tjioe mengakui bahwa pandemi memunculkan tantangan efisiensi bagi pelaku bisnis. Dari situasi ini, AWS turut berperan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku logistik yang banyak berkutat dengan proses bisnis manual.
“Selama ini banyak bisnis logistik menggunakan invoicing secara manual. Untuk menyelesaikan hal itu, mereka sebetulnya tidak perlu bangun tim IT atau data karena bisa pakai solusi managed services dari AWS. Solusi ini bantu mendigitalkan data menjadi softcopy. Ada banyak managed services yang dapat membantu tim logistik fokus di business growth tanpa perlu urus operasional,” jelas Nicolas.
Demikian juga di momentum Lebaran yang dapat memicu peningkatan pengiriman sebesar 5-10 kali lipat. Solusi yang ditawarkan AWS masih relevan dengan momentum tersebut. Dalam pengalamannya membantu pelaku bisnis, Nicolas menyebutkan bahwa solusi autoscaling dapat memprediksi tren scalability.
Artinya, setiap ada lonjakan trafik, solusi ini secara otomatis dapat membaca tren kebutuhan yang diperlukan pelaku logistik secara akurat. Dengan solusi ini, time to market menjadi lebih cepat dan customer experience terhadap pelanggan tidak terganggu.
Teknologi untuk logistik
Dari sisi teknologi, Budi juga berbagi tentang inovasi yang dikembangkan Shipper. Pertama, inovasi untuk segmen retail. Menurutnya, teknologi ini dapat membaca tren logistik di area tertentu dan membantu pelaku bisnis untuk menemukan jasa pengiriman logistik yang sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap terjangkau.
Kedua, teknologi untuk fasilitas pergudangan. Pihaknya mengembangkan solusi yang sekiranya dapat membantu pengiriman barang dari jarak jauh, Makassar ke Jakarta misalnya, dengan biaya yang lebih murah. Ketiga, mengembangkan teknologi forecast kepada merchant ketika stok barang di gudang sudah mulai menipis.
Mencari pendanaan dari investor
Di industri manapun, termasuk logistik, investor akan selalu memikirkan return of investment (ROI). Dalam kasus investor yang sudah berinvestasi di perusahaan logistik dan mendapatkan keuntungan, tentu ada kemungkinan besar investor akan tertarik berinvestasi kembali.
Namun, Budi menilai mencari investor jangan hanya terbatas di dalam negeri saja. Menurutnya, penting untuk mencari investor luar karena skala bisnis logistik tidak hanya di Indonesiaa, tetapi juga di global. Artinya, ketika ingin melakukan ekspansi ke luar, pelaku bisnis dapat memanfaatkan jaringan investor global yang dimiliki.
“Masuknya Shipper ke Y Combinator membuat kami menjadi dikenal oleh global. Kendati begitu, saat ini kami masih fokus di Indonesia karena negara kita luas sekali. Bahkan cakupan logistik di Indonesia mungkin masih seperti piramida, masih banyak di atas,” tambahnya.
Apabila mendapat investor yang baru masuk ke logistik, ia menyebut bahwa open communication menjadi kunci penting untuk menjalankan bisnis ke depan.
Memulai transformasi digital
Bagi pelaku logistik yang ingin memulai transformasi digital, saat ini sudah banyak layanan cloud yang mengakomodasi kebutuhan ini. Di AWS, Nicolas memberikan contoh tiga opsi program yang dapat dipertimbangkan oleh pelaku logistik untuk memulai adopsi digital.
Pertama, opsi founder portoflio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang baru membangun minimum viable product (MVP). Kedua, opsi VC portfolio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang sudah menerima pendanaan dari investor. Dan ketiga, program SaaS factory yang menawarkan solusi bagi pelaku bisnis yang sudah masuk ke tahapan diversifikasi produk.
“Efisiensi dan menaikkan daya saing adalah manfaat yang dapat diperoleh dari transformasi digital. Dalam konteks industri logistik, transformasi ini dapat mengurangi biaya dan membangun long-term growth. Yang ingin kami tekankan, tidak semua harus dibangun dari scratch karena AWS support dari sisi inovasi,” tutupnya.