Tag Archives: social enterprise

the able art

Perjalanan The Able Art, Bisnis dengan Misi Sosial yang Optimis Bangkit Pasca Pandemi

Seperti yang kita ketahui, pandemi memang berdampak kepada sebagian besar bisnis. Terutama mereka yang penjualannya tidak sepenuhnya mengandalkan platform penjualan online, seperti The Able Art.

The Able Art adalah sebuah bisnis berbasis social enterprise yang mereproduksi lukisan para seniman difabel menjadi produk fashion, seperti pouch, tote bag, dan scarf. Sebagai bisnis di bidang seni yang memiliki social value, The Able Art mengandalkan platform digital dan pameran offline sebagai sarana penjualan.

Lalu, bagaimana nasib The Able Art saat dan pasca pandemi? Apa yang membuatnya bertahan hingga saat ini? Simak perjalanan penuh pembelajaran The Able Art yang dibagikan oleh Tommy, Founder The Able Art, berikut ini.

Terinspirasi dari Tayangan “Melukis dengan Hati” Kick Andy

The Able Art merupakan sebuah ide bisnis yang datang setelah Tommy melihat program Kick Andy dengan tema “Melukis dengan Hati”.

Pada tayangan tersebut, Bapak Sadikin Pard dan Winda, seniman pelukis difabel, menjadi narasumbernya. Dari situ, muncul keprihatinan Tommy terhadap kondisi para seniman difabel di Indonesia yang juga menjadi awal perjalanan The Able Art.

Setelah itu, Tommy melakukan riset serta berdiskusi dengan Bapak Sadikin Pard di Malang. Setelah ia yakin dengan rencananya, Tommy pun melepaskan karirnya di bidang IT untuk fokus mendirikan The Able Art dan meningkatkan kesejahteraan para seniman difabel.

Kemudian, pada 3 Desember 2007, The Able Art resmi berdiri dan beroperasi hingga sekarang dengan total 7 seniman dan 1 sanggar lukis per tahun ini.

Memulai dengan Zero Knowledge di Bidang Fashion

Berangkat dari latar belakang IT, Tommy memulai The Able Art dengan nol pengetahuan pada bidang fashion, seni, dan retail. Fakta ini, diungkapkan oleh Tommy, membuat perjalanan The Able Art bak roller coaster karena perlu melakukan banyak trial and error.

 

the able art
Tote Bag The Cat by The Able Art

 

the able art
Hijab Lotus by The Able Art

“Perjalanan TAA bukan perjalanan yang mulus. Perjalanan kami seperti roller coaster. (Kami) memulai dengan zero knowledge tentang fashion, lukisan, dan bisnis retail karena background saya IT. (Hal ini) membuat awalan TAA seperti meraba-raba dan banyak melakukan trial and error baik di sisi produksi, penjualan, dan partnership dengan seniman,” ujar Tommy.

Meski begitu, pada tahun 2018, akhirnya The Able Art menemukan konsistensinya setelah mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar Incubator untuk social enterprise yang juga membawa The Able Art memenangkan beberapa kejuaraan e-commerce.

“Pada tahun 2018, kami mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar inkubator untuk social enterprise. Dari situ kami mulai menemukan konsistensi baik di produksi dan membawa kami menjadi Top 100 Blibli The Big Start 2018, dilanjutkan dengan menjadi juara 3 di Tokopedia MAKERFEST Nasional 2018,” lanjutnya.

Tidak berhenti sampai di situ, The Able Art kemudian mendapatkan kesempatan berharga untuk bisa diwawancarai oleh Andy F. Noya di program yang mengilhami bisnisnya, yakni Kick Andy. Sejak saat itu, penjualan The Able Art, baik online maupun offline, meningkat.

Menyisihkan Profit untuk Seniman Pemula

Tidak hanya fokus dalam menghasilkan profit melalui penjualan online dan offline, The Able Art juga memiliki misi untuk mendukung dan melatih seniman-seniman pemula.

Misi tersebut diwujudkan The Able Art dengan menyisihkan 5% dari profit untuk menyediakan alat lukis guna para seniman pemula berlatih.

Selain didukung dalam bentuk peralatan lukis, para seniman pemula juga diberikan bimbingan dan masukan dari para seniman-seniman senior The Able Art dan guru-guru sanggar lukis.

“Untuk seniman pemula, kami menyisihkan 5% dari profit kami untuk support alat lukis seperti cat dan kanvas untuk mereka berlatih, dan kami juga memberikan bimbingan dan masukan untuk mereka melalui seniman-seniman yang sudah senior dan guru sanggar lukis yang menjadi partner kami,” jelas Tommy.

Perjalanan Bangkit Pasca Pandemi

Penjualan Menurun Drastis saat Pandemi Covid-19

Badai pandemi Covid-19 diketahui menumbangkan banyak usaha. Meskipun penjualan sempat menurut drastis akibat tidak adanya event-event offline, tapi The Able Art berhasil survive selama 2 tahun terakhir ini.

“Sejak badai Covid-19 di Maret 2020 melanda, kami mengalami penurunan penjualan yang drastis karena event-event offline tidak bisa dilaksanakan dan ekonomi tidak menentu. Setelah survive dua tahun, kami siap dan sangat yakin bisa bangkit dan lompat lebih tinggi lagi daripada tahun-tahun sebelumnya,” kata Tommy.

Menata Ulang Strategi Penjualan

Sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2020, The Able Art aktif dalam menggunakan platformplatform online, seperti WhatsApp, media sosial Instagram, dan e-commerce Tokopedia, sebagai sarana berjualan.

Diakui oleh Tommy, penggunaan platformplatform tersebut cukup efektif dan menghasilkan bertambahnya penjualan.

Platform yang kami gunakan antara lain melalui WA, IG dan tokopedia untuk promosi dan penjualan. So far, penjualan bertambah dari tahun 2017 sampai 2020 awal.”

Tapi, sayangnya, sejak pandemi, penjualan menurun secara drastis, sehingga Tommy dan tim perlu menata strategi baru agar penjualan produk The Able Art kembali konsisten.

Tekad Menjadi Salah Satu Kunci untuk Bertahan

Memulai bisnis di bidang fashion, seni, dan retail dari nol memang bukanlah sesuatu yang mudah. Meski terlihat mulus dan indah, tapi nyatanya banyak kesulitan yang dihadapi oleh The Able Art sebagai bisnis berbasis social enterprise.

Tommy menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seringkali datang ketika melakukan penjualan online. Ketika berjualan online, sulit bagi The Able Art menonjolkan social value yang dimilikinya.

 

the able art

 

“Kesulitannya lebih ke arah saat menjual online. Kami tidak bisa menonjolkan social value yang kami miliki dan buyer cenderung cari product yang lebih murah.”

Meskipun begitu, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi alasan The Able Art untuk menghentikan niat baiknya. Tekad, visi, dan misinya sejak awal, yang ingin berperan untuk bisa mendukung para seniman difabel, menjadi alasan utama The Able Art bisa bertahan sampai sekarang.

Merambah Pasar B2B hingga NFT

Ketika berbicara soal inovasi, Tommy menjelaskan bahwa The Able Art melakukan inovasi pada beberapa hal, salah satunya produk. The Able Art kini telah memiliki lebih banyak jenis produk jika dibandingkan saat pertama kali berdiri.

Kemudian, The Able Art juga mulai menjalin hubungan dan berdiskusi dengan perusahaan enterprise sebagai langkah nyata masuknya ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya fokus kepada B2C.

“Kami mulai masuk ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya B2C, dimana kami banyak berdiskusi dengan perusahaan enterprise untuk bisa berperan dalam ‘giving back to society’,” katanya.

Tidak hanya itu, The Able Art kini juga mulai merambah NFT sebagai platform untuk menjual lukisan digital.

Berpesan untuk Para Pegiat Usaha Lain di Luar Sana

Sejak pandemi, keputusan untuk go digital sudah bukan merupakan pilihan lagi, melainkan suatu keharusan. Meskipun untuk The Able Art peran offline belum bisa ditinggalkan karena dinilai lebih efektif untuk menonjolkan social value, namun Tommy tetap mengakui tanpa platform digital bisnis akan sulit untuk berkembang.

“Tanpa digitalisasi, bisnis kita akan sulit untuk berkembang karena market sekarang lebih besar digital walaupun peran offline juga belum bisa sepenuhnya ditinggal, terutama untuk bisnis yang memiliki social value yang membutuhkan tatap muka diskusi untuk menjelaskan value-nya.

Maka dari itu, Tommy berpesan kepada pelaku bisnis di luar sana untuk mulai go digital. Entah dengan cara belajar sendiri atau merekrut talenta muda yang lebih paham dunia digital untuk membantu mengembangkan bisnis.

Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, terutama dalam menyampaikan social value-nya, The Able Art tetap semangat untuk terus mewujudkan misinya dalam memperjuangkan kesejahteraan seniman difabel dan memperkenalkan karya mereka ke dunia yang lebih luas. Tentunya dengan bantuan digitalisasi.

Instellar Indonesia

Peran Instellar Mendukung Ekosistem Startup Berdampak di Indonesia

Investasi berdampak atau impact investment menjadi topik yang turut menonjol di samping sektor yang tumbuh hijau semenjak pandemi berlangsung. Menurut artikel yang dipublikasi oleh Schroders, Covid-19 telah memperbesar pentingnya investasi berdampak di negara berkembang.

“Saat dunia keluar dari pandemi, masalah lingkungan dan sosial kemungkinan akan mendapatkan fokus yang lebih besar. Alat yang lebih baik untuk menganalisis dan memantau perusahaan dan operasinya membutuhkan dorongan yang ada di tangan investor,” paparnya.

Di dunia, ukuran pasar investasi berdampak sekitar $715 miliar pada akhir 2019, berdasarkan perkiraan dari Global Impact Investing Network (GIIN). Potensi pertumbuhannya signifikan dan kemungkinan besar didorong oleh permintaan investor untuk menyelaraskan nilai mereka dengan tujuan investasi mereka.

Inti dari investasi berdampak adalah niat untuk menghasilkan manfaat sosial, dalam kombinasi dengan pengembalian finansial bagi pemegang saham dan untuk mengukur dampaknya.

Di Indonesia sendiri, segmen ini awalnya diisi oleh para filantropi, aktivis, dan lembaga nirlaba, hingga akhirnya belakangan mulai dilirik oleh investor mainstream. Salah satunya adalah Instellar Indonesia, perusahaan yang berfokus pada pengadaan kegiatan pengembangan kapasitas untuk wirausaha dan bisnis sosial, yang sudah beroperasi sejak 2014.

Kepada DailySocial.id, CEO Instellar Indonesia Romy Cahyadi menjelaskan dari tahun ke tahun semakin banyak wirausaha sosial atau social enterprise yang muncul dan berkembang. Menurut riset yang dipublikasi British Council pada 2018, ada sekitar 342 ribu wirausaha sosial di Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB negara sebesar 1,9%.

Sementara itu, mengutip dari sumber lainnya, seperti yang dipublikasi oleh ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia 2020”, terlihat adanya kenaikan dari sisi investasi, baik impact investor maupun mainstream investor, ke wirausaha sosial di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Jumlah social enterprise (SE) yang diinvestasi oleh impact investor meningkat hingga 31 investor sepanjang 2019-2020, dan jumlah SE yang diinvestasi oleh mainstream investor adalah 19 usaha di tahun yang sama.

Berangkat dari hasil temuan tersebut, ia meyakini bahwa bakal semakin banyak wirausaha sosial yang tumbuh dengan sokongan modal/investasi tidak hanya dari impact investor, tapi juga mainstream investor. “Selain itu startup secara umum juga akan semakin mempertimbangkan/berusaha menciptakan social impact melalui bisnis mereka, walaupun startup tersebut belum tentu merupakan social enterprise,” terang Romy.

Dia melanjutkan, “Jadi akan terjadi semacam mainstreaming mengenai social & environmental impact ke dalam praktik bisnis wirausaha sosial dan/atau startup pada umumnya. Mainstreaming ini juga terjadi di sisi investor. Semakin banyak investor akan menanamkan modalnya di wirausaha sosial atau bisnis komersial biasa yang menciptakan social atau environmental impact.”

Posisi Instellar

Sedari awal, Instellar memosisikan diri sebagai katalisator, konsultan, dan konektor dalam ekosistem wirausaha sosial. Terdapat tiga departemen yang menjalankan masing-masing peran tersebut. Pertama, Enterprise Development (ED) yang memiliki beberapa program utama yang bertujuan mengembangkan ekosistem berkelanjutan (sustainable ecosystem) di Indonesia. Sebagai katalisator, Instellar menyediakan modul untuk program inkubasi dan akselerasi.

“Dalam setiap programnya, kami berusaha memahami tujuan masing-masing enterprise untuk mendukung mereka dengan implementasi program yang sesuai kebutuhan. Melalui ED, Instellar membuat Enterprise Development Program bernama Rise Inc atau Rich and Impactful Social Enterprise Incubation, yang merupakan program inkubasi 6 bulan yang fokus pada social enterprise tahap awal.”

Selain itu, Instellar berkolaborasi dengan korporat untuk membuat program CSR yang impactful and sustainable, serta membuat sinergi yang horizontal. Serta, Instellar menjadi country implementing partner untuk beberapa organisasi internasional yang memiliki perhatian untuk mengembangkan enterprise di Indonesia.

Kedua, Instellar Impact Advisory (IIA) merupakan bagian jasa konsultasi one-on-one, baik untuk social enterprise atau investor yang tertarik dengan impact investing. IIA juga menyediakan jasa konsultasi kepada CSO seperti lembaga-lembaga non-profit yang perlu mengembangan strategi bisnis untuk kemandirian finansial.

Terakhir, Community and Partnership (CP) bertugas untuk membangun komunitas Instellar dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dan memastikan para social entrepreneur mendapatkan program-program berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan perkembangan bisnis mereka. CP bertujuan untuk membangun dan menjaga ekosistem wirausaha dan bisnis-bisnis berdampak sosial agar tetap maju dan berkembang.

Program I-SEA

Sumber: Instellar Indonesia

Lebih lanjut dijelaskan, dalam menjalankan perannya sebagai katalisator, Instellar mengadakan program inkubasi dan akselerasi. Ada kerangka kerja yang digunakan, disebut SEED Map, yang dikembangkan Instellar untuk mengukur perkembangan usaha sosial selama mengikuti program. Tak hanya itu, Instellar juga membekali usaha sosial dengan Business Development Plan (BPD) untuk mengukur dampak yang ditimbulkan kepada penerima manfaat.

“Kami juga menyediakan program yang dibuat khusus dengan menerapkan Teori Perubahan (Theory of Change/Impact Model) bagi wirausaha usaha sosial pemula. Sedangkan untuk yang sudah berkembang, diperkenalkan konsep pengukuran dengan Pengembalian Investasi Sosial (SROI/Social Return on Investment) atau sertifikasi bisnis sosial dengan model B Corp.”

Salah satu program akselerasi teranyar yang sedang digelar Instellar adalah Instellar and IKEA Social Entrepreneurship Indonesia Accelerator (I-SEA). IKEA Social Entrepreneurship sebagai inisiatif global oleh IKEA, usaha retail perabot rumah berbasis di Swedia, berfokus pada kegiatan-kegiatan pemberdayaan wirausaha sosial dari seluruh dunia. Objektif dari I-SEA adalah mengajak para wirausaha sosial untuk meningkatkan bisnis sosialnya demi mencapai visi dan misi membangun sebuah bisnis dalam lingkungan sosial yang setara dan inklusif, tidak lagi Jawa-sentris.

Kegiatan ini berfokus pada wirausaha sosial yang menargetkan dampak sosial dan dampak lingkungan di luar Jawa, atau yang saat ini beroperasi di Jawa namun memiliki rencana panjang untuk mengembangkan target area terdampak di luar Jawa.

Pendaftaran program ini sudah dibuka sejak 22 Oktober 2021 hingga 10 Desember 2021. I-SEA akan memilih 10 tim wirausaha sosial dengan profil terbaik yang berbasis di luar Jawa atau memiliki penerima manfaat di luar Jawa untuk diikutsertakan dalam program yang berlangsung selama dua tahun.

Setiap tim akan berkesempatan mendapatkan dana hibah untuk membantu meningkatkan kualitas bisnis mereka. Program ini sendiri terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dengan rekrutmen, selanjutnya tahap akselerasi yang mana peserta didampingi konsultan, termasuk melakukan penilaian kebutuhan bisnis dan memfasilitasi mereka dengan sejumlah workshop.

Tahap akselerasi ini diakhiri dengan showcase event, peserta akan mempresentasikan hasil dari apa yang telah mereka pelajari dan praktikkan. Pada akhir program, peserta akan berada di tahap Growth and Impact Hack yang didampingi mentor untuk diberikan dukungan lebih jauh, termasuk perluasan jejaring yang akan menghubungkan mereka dengan berbagai pelaku di ekosistem.

Wirausaha sosial terbantukan

Romy melanjutkan, hingga saat ini, sudah lebih dari 174 usaha yang menjadi alumni program-program Instellar dan telah memberi dampak kepada lebih dari 7000 beneficiaries yang tersebar di 18 provinsi di seluruh Indonesia. Keseluruhan usaha ini terbagi menjadi sembilan sektor.

Persentase terbesar dipegang oleh creative, art, fashion & cultural (20,71%), agrikultur dan perikanan (15,71%), F&B (14,29%), edukasi (12,14%), environment & sustainable energy (11,43%), kesehatan (5,71%), pariwisata (5%), infrastruktur (3,57%), dan terakhir IoT, beauty & skincare (2,86%).

Sementara itu, bila melihat dari ketahanan bisnis, menariknya dari survei yang diselenggarakan Instellar mengungkapkan bahwa sebanyak 90% usaha dapat bertahan. Faktor utamanya adalah karena mereka berhasil menemukan model bisnis yang bagus dan sustainable, sehingga bisa memperluas pasar dan dampak sosial dan berhasil mengatasi masalah pendanaan.

“Sementara, sisanya yang 10% tidak bertahan karena dua penyebab utama, yaitu tidak berhasil menemukan model bisnis yang sustainable dan founder-nya melanjutkan studi atau bekerja.”

Menurut Romy, sejauh ini dana hibah yang sudah disalurkan Instellar adalah $340 ribu (sekitar 4,8 miliar Rupiah). “Instellar tidak mengelola fund khusus untuk disalurkan kepada wirausaha sosial, tetapi kadang-kadang ada beberapa partner yang memang dibantu untuk menyalurkan financial support melalui kami,” tutup Romy.

BeKind Platform Donasi Blockchain

Mengenal BeKind, Proyek Blockchain Khusus Merevolusi Ekosistem Donasi

Indonesia dikenal sebagai negara paling dermawan di dunia menurut World Giving Index (WGI) 2021 yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF). Indonesia ada di peringkat pertama dengan skor 69%, naik dari skor 59% di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada 2018.

Menurut laporan tersebut, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang tidak dikenal, menyumbang uang dan kegiatan kerelawanan/volunter. Pencapaian yang ditorehkan ini sangat baik, namun ternyata ekosistem donasi belum memiliki standarisasi yang matang.

Ada dua isu yang masih menjadi masalah, yakni standarisasi soal dana yang dikutip oleh lembaga amal dan bagaimana menjaga lembaga amal dapat menjadi keberlanjutan. Latar belakang tersebut menjadi alasan dilahirkannya BeKind yang usianya baru seumur jagung ini, pada April 2021.

BeKind merupakan proyek blockchain pertama di Indonesia yang mengembangkan ekosistem impak sosial/donasi yang kuat dan terukur, berdasarkan bukti melalui platform digital yang transparan. Saat ini, BeKind berfokus membangun kemitraan dengan berbagai pihak, seperti Tokocrypto dan platform penggalangan dana WeCare.id, juga para mitra lainnya.

Platform ini dirintis oleh tim yang berpengalaman di dunia donasi dan blockchain, salah satunya Fajar Jasmin (CEO). Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Fajar menjelaskan pada isu pertama, bahkan secara global tidak ada standardisasi berapa sebaiknya sebuah lembaga amal dapat mengutip dari setiap penggalangan dana.

Alhasil, ada yang mengutip (ambil komisi) dalam persentase besar ada juga yang kecil. Menurutnya, mengutip diperbolehkan karena memang dibutuhkan ongkos tenaga manusia untuk menyambungkan niat baik dari pendonor kepada penerima donor. “Hanya saja, besaran potongnya itu yang sehat dan bisa diterima itu berapa persen, itu yang tidak ada standarisasinya dan tidak transparan,” terang dia.

Dari isu pertama ini berlanjut ke isu kedua, berkaitan dengan keberlanjutan. Karena ada lembaga yang mengutip dalam persentase yang kecil, mereka ada isu bagaimana harus bertahan sebab tidak dana darurat. Menurut Kementerian Sosial, lembaga amal tidak diperbolehkan menyimpan profit yang didapat setelah menyalurkan bantuan ke penerima donor.

“Ini lantas berat karena sebuah institusi tidak punya dana simpanan dalam siklus tahunannya. Apalagi di tahun 2020 kemarin, saat awal terjadi Covid-19, banyak orang yang cenderung menyimpan uang daripada berdonasi. Akibatnya banyak lembaga yang kesulitan menggalang dana. Bahkan ada riset yang menyebutkan banyak lembaga yang stop beroperasi, ini tragis.”

Kedua isu tersebut ingin diselesaikan BeKind melalui blockchain yang sejak tahun lalu tengah mendapat momentum yang baik. Malah, menurut Fajar, kehadiran blockchain merevolusi ekosistem donasi jadi lebih transparan karena semuanya dapat terlihat histori secara real-time dari awal donasi diberikan hingga sampai ke penerima donor. Setidaknya seperti itu ambisi besar BeKind.

“Kami tetap akan membatasi identitas penting, baik itu lokasi, foto, yang dapat diakses. Harapannya kami ingin menciptakan ekosistem charity yang lebih seimbang, ada jalan keluarnya dengan blockchain dan produk turunannya dapat membantu atasi isu sustainability.”

Rencana BeKind

Produk pertama BeKind adalah BeKind Token (BKND) sebagai mata uang digital yang dapat digunakan untuk berdonasi melalui platform. Tokocrypto menjadi tempat peluncuran perdana token tersebut yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir tahun ini. Adapun, token BKND sudah dibuka proses Pre-IEO (Initial Exchange Offering).

Ke depannya, token BKND akan menjadi aset digital native untuk berdonasi di platform hub rilisan BeKind. Seperti diketahui, saat ini BeKind menjadi startup pertama yang bekerja sama dengan Tokocrypto di dalam program akselerator TokoLaunchpad.

Kesempatan ini membuka BeKind untuk memanfaatkan lebih jauh teknologi blockchain dan kripto agar utilitas BKND ke depannya dapat lebih bermanfaat bagi para pemegangnya. BeKind bekerja dengan protokol Binance Smart Chain yang merupakan proyek blockchain besutan Binance yang berjalan beriringan dengan teknologi mereka  lainnya, bernama Binance Chain.

Dengan demikian, BeKind dapat memanfaatkan banyak aplikasi turunannya, salah satunya adalah decentralized finance (DeFi). Fajar menuturkan, DeFi dapat menyelesaikan isu keberlanjutan yang selama ini menjadi batu penghalang bagi banyak lembaga amal karena mendapat pendapatan pasif.

“Ketika donasi sudah berhasil terkumpul, biasanya donasi tersebut tidak langsung segera disalurkan. Nah selagi menunggu, bisa menggunakan staking dengan imbal hasil yang bisa dikumpulkan dan harapannya bisa menjadi emergency fund buat badan amal tersebut agar dapat bertahan.”

Selanjutnya, Tokocrypto akan menjadi platform exchange yang menerima transaksi BKND, baik itu saat ingin berdonasi maupun saat penerima donor ingin mencairkan donasi yang mereka terima.

“Token ini bukan berfungsi sebagai alat tukar, tapi sebagai tracing sampai ke pihak akhir. Nanti pendonor bisa cek karena itu masih tersambung dengan blockchain. Tapi ketika token ini dikonversi mata uang yang berlaku, akan berhenti tracing-nya. Tokocrypto akan jadi pihak exchange-nya.”

Secara badan hukum, BeKind berdiri di bawah PT Grace Teknologi Asia dan telah resmi terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

Secara global, dengan semangat yang sama seperti BeKind, terdapat The Giving Block yang tokennya kini sudah dapat digunakan tak hanya untuk berdonasi di platform-nya tapi juga di Save the Children, lembaga donasi internasional non-NGO.

Aplikasi Bahasa Isyarat Hear Me

Catatkan Pertumbuhan Positif, Aplikasi Bahasa Isyarat “Hear Me” Mulai Rambah Segmen B2B

Hear Me meluncur awal tahun 2021 ini, sebagai platform social technology yang menyediakan layanan penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Aplikasi ini juga jadi yang pertama yang menyuguhkan tampilan animasi 3D untuk menjembatani komunikasi antara teman tuli dan teman dengar. Disampaikan saat ini mereka telah memiliki sekitar 2 ribu pengguna aktif.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Hear Me Athalia Mutiara Laksmi mengungkapkan, untuk memberikan layanan lebih dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan fitur baru yaitu pemesanan untuk Juru Bahasa Isyarat (JBI) dengan layanan video call.

“Tidak hanya itu, fitur tersebut rencananya juga akan dilengkapi dengan praktik bahasa isyarat kategori alfabet dan angka yang dapat mendeteksi gerakan tangan. Selain belajar melalui visual, diharapkan orang-orang dapat mempraktikkan gerakan isyarat mereka melalui fitur pendeteksi tersebut,” kata Athalia.

Hear Me juga ingin memberikan fleksibilitas kepada para juru bahasa isyarat untuk mendapatkan akses langsung ke pengguna dan penghasilan tambahan dengan bergabung menjadi mitra. Dalam hal ini Hear Me memberikan pembagian komisi dan bonus bagi mereka juru bahasa isyarat yang bergabung.

Melihat besarnya peluang untuk menghadirkan juru bicara bahasa isyarat yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh rumah sakit, bank, hingga organisasi lainnya yang banyak bersinggungan dengan pemerintah, fitur terbaru tersebut diklaim oleh Hear Me bisa membantu mereka menyebarkan informasi kepada teman tuli.

“Saat ini meskipun masih tahap awal kita mulai menjangkau segmen B2B dan ke depannya B2G,” kata Athalia.

Hear Me juga memiliki rencana untuk menghadirkan fitur penerjemah bahasa isyarat secara freemium. Rencana lainnya yang akan dikembangkan oleh Hear Me di antaranya adalah membuka slot iklan di aplikasi dan menyediakan lisensi teknologi dengan menampilkan layar atau monitor di tempat umum seperti bandara hingga pusat perbelanjaan. Tujuannya membantu teman tuli memperoleh informasi dengan mudah dalam memanfaatkan monitor yang memberikan akses bahasa isyarat.

Manfaatkan dana hibah

Selain Athalia, layanan ini turut didirikan beberapa co-founder lain meliputi Nadya Sahara Putri, Octiafani Isna Ariani, Safirah Nur Shabrina, dan Ivan Octa Putra.

Saat pandemi, Hear Me mengklaim tidak mengalami kendala yang berarti. Namun demikian terkait dengan kegiatan pemasaran menjadi terhambat karena idealnya dilakukan secara offline. Misi perusahaan yang ingin mempertemukan teman tuli dengan teman dengar secara langsung juga menjadi terhambat akibat pembatasan fisik yang diberlakukan.

Tantangan lain yang juga masih dihadapi adalah masih rendahnya aweresness dan sedikitnya jumlah komunitas di beberapa daerah. Tercatat hanya Jakarta dan Bandung saja yang cukup aktif dengan kegiatan komunitas teman tuli dan teman dengar. Namun di kota lain seperti Surabaya dan Makassar, jumlah komunitas tersebut masih sedikit dan tidak terlalu aktif.

“Melalui Hear Me kami ingin mengaktifkan kembali komunitas dan awareness kepada masyarakat luas terhadap keberadaan teman tuli dan teman dengar saat ini,” kata Athalia.

Masih belum memiliki investor, selama ini Hear Me menjalankan bisnisnya memanfaatkan dana hibah yang telah diterima oleh perusahaan. Tercatat hingga kini Hear Me telah mendapatkan sekitar 7 hibah dari berbagai organisasi dan lembaga. Perusahaan juga terus menjalin kolaborasi dengan pihak terkait seperti Gerkatin Jawa Barat, Dinas Sosial dan Dinas Budaya & Pariwisata.

“Tahun ini kita masih ingin fokus ke product dan business validation hingga bulan Oktober mendatang. Sementara tahun depan kita juga memiliki rencana untuk penggalangan dana,” kata Athalia.

Application Information Will Show Up Here
Bantoo.id

Platform “Crowdgiving” Bantoo.id Jembatani Kegiatan Donasi secara Digital

Besarnya minat masyarakat umum untuk melakukan donasi secara online, menjadi salah satu alasan platform Bantoo.id hadir. Kepada DailySocial.id, Co-founder Bantoo.id Ratna Veronica menyebutkan, Indonesia sebagai negara teratas dalam inisiatif untuk memberi (oleh World Giving Index) ditambah dengan kultur gotong-royong yang sudah mendarah daging.

“Namun online giving platform sebagai sociotech masih jauh kalah kuantitas dan perkembangannya dibanding fintech dan tentunya online marketplace,” kata Ratna.

Secara khusus Bantoo.id memadukan donasi barang dan uang. Berbeda dengan platform serupa lainnya, Bantoo.id bukan hanya sekedar crowdfunding platform, namun merupakan crowdgiving. Ke depannya ada beberapa vertical product dan layanan lagi yang akan dikembangkan.

Mereka juga berupaya untuk tidak menjual kesedihan, baik lewat cause campaign, konten cerita campaign, maupun foto. Perusahaan lebih mengedepankan semangat, perjuangan, inspirasi kebaikan dan berita positif. Bantoo.id juga  menerapkan 5 tahap verifikasi untuk setiap kampanye yang dijalankan.

“Bantoo.id dapat diakses oleh pengguna di seluruh Indonesia. Untuk penggalang dana sendiri tersebar hampir di seluruh Indonesia dengan cause penggalangan yang beragam. Pertumbuhan unique visitor kami cukup baik dengan conversion rate to donate yang cukup tinggi. Kami mulai dari nol, dan saat ini ada di angka 200 ribu visitor per bulan,” kata Ratna.

Strategi monetisasi yang dilancarkan pada platform crowdfunding adalah 5% platform fee dari donasi terkumpul dan dikarenakan adanya crowdgiving, monetisasi bertambah dengan persentase margin dari barang donasi yang terjual di Bantoo.id. Campiagner dan mitra cukup beragam.

Diawasi oleh Kemensos dan Kominfo

Saat ini Bantoo.id diawasi oleh Kementrian Sosial dan Kominfo. Disinggung apakah nantinya Bantoo.id akan bertransformasi lebih dari sekadar platform donasi, mereka menegaskan untuk saat ini dan ke depannya akan terus menjadi platform crowdgiving di Indonesia.

Cara unik yang kemudian dilancarkan oleh mereka yaitu menawarkan pilihan donasi bukan hanya uang, namun juga barang, zakat, hingga bagi ilmu. Dengan demikian memberikan pilihan kepada orang banyak untuk melakukan donasi dengan opsi yang lebih luas.

“Saat ini donasi paling banyak adalah donasi dana. Namun dengan menawarkan pilihan seperti #BagiBarang bisa menjembatani mereka secara individu hingga perusahaan yang ingin melancarkan kegiatan CSR memanfaatkan layanan pilihan dari Bantoo.id,” kata Ratna.

Salah satu pemicu pertumbuhan layanan donasi Bantoo.id adalah saat pandemi. Pandemi secara langsung memberikan dampak positif, banyak social cause yang memerlukan bantuan dan dapat dibantu. Secara negatif, walaupun tidak terlalu signifikan adalah berkurangnya nilai donasi (basket size) per user.

Meskipun baru berusia 1 tahun, namun Bantoo.id memiliki beberapa rencana yang ingin dilancarkan. Di tahun ini Bantoo.id fokus pada perkuatan dan pengembangan system internal, automated verification & automated withdrawal system.

“Oleh sebab itu kami secara selektif memilih campaign baru. Ke depannya di tahun ini kami akan menambah 1-2 vertical product/services untuk memperkuat Bantoo.id sebagai Point of Charity (POC),” kata Ratna.

Disinggung apakah Bantoo.id memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, Ratna menegaskan belum ada rencana untuk melakukan penggalangan dana hingga saat ini. Namun demikian perusahaan tidak menutup kemungkinan jika adanya investor yang berniat untuk memberikan dana segar kepada perusahaan.

“Kami saat ini belum fokus untuk mencari investor, namun kami sangat terbuka untuk berdiskusi dengan semua yang melihat sociotech dan pengembangan fintech adalah sesuatu yang baik di Indonesia,” tutup Ratna.

Pertumbuhan platform donasi digital

Bukan hanya platform crowdfunding seperti Kitabisa, BenihBaik, hingga crowdgiving seperti Bantoo.id yang saat ini dilirik oleh masyarakat umum, kegiatan donasi online saat ini juga mengalami pertumbuhan yang cukup baik selama 2 tahun terakhir.

Gojek pun tahun 2019 lalu telah meluncurkan GoGive, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa sebagai mitra eksklusif. Go-Give memungkinkan pengguna untuk berdonasi, zakat, infaq, dan sedekah (ZIS), dan kalkulator zakat langsung dalam aplikasi Gojek dengan metode pembayaran Go-Pay.

Data yang dirangkum oleh Katadata terungkap, nilai donasi digital rata-rata naik 72% selama pandemi. Studi juga menggambarkan bahwa derma dari generasi Z atau masyarakat usia di bawah 24 tahun meningkat. Jumlah donatur yang menggunakan layanan digital juga naik 9% menjadi 76%. Dibandingkan empat tahun lalu, nilai dan volume donasi melalui platform digital meningkat 13 kali lipat.

Indonesia Millenial Report 2019 mencatat sebanyak 2,7% milenial pernah berdonasi secara online. Laporan hasil riset yang dirilis IDN Research Institute ini menyatakan Dompetdhuafa.com sebagai situs donasi favorit milenial.

Duitin Bank Sampah

Duitin Perkenalkan Aplikasi Digital untuk Memfasilitasi Daur Ulang Sampah

Di awal bulan Juli 2021, Google for Startup Accelerator mengumumkan 8 lulusan program akselerator pertama di Indonesia. Salah satunya adalah Duitin, sebuah pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang, memungkinkan masyarakat dapat meminta pengambilan sampah di rumahnya dan mendapatkan reward.

Berdasarkan data McKinsey&Co dan Ocean Conservancy, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, yaitu mencapai 63,9 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 10% yang dapat didaur ulang. Sisanya, berakhir di TPA atau lebih buruk lagi, terbawa arus ke laut. Tanpa aksi yang serius, jumlah sampah plastik yang mencemari laut akan semakin bertambah secara signifikan.

COO Duitin Adijoyo Prakoso mengungkapkan, startupnya berawal dari sebuah misi sosial ke kampung pemulung untuk mengetahui bagaimana cara mereka bertahan hidup serta seperti apa pain point-nya. Dalam kesempatan tersebut, para founder menemukan fakta bahwa pemulung ternyata banyak yang membeli sampah daur ulang dari warung untuk dijual kembali ke pelapak yang kemudian baru dikumpulkan untuk dijual kembali ke pabrik daur ulang

“Lalu kami menyadari bahwa ada banyak proses yang bisa disederhanakan melalui teknologi dalam industri daur ulang yang melibatkan pemulung, rumah tangga serta pabrik daur ulang. ”

Secara sederhana, aplikasi ini dibuat untuk memudahkan pengelolaan sampah daur ulang menggunakan fasilitas penjemputan oleh picker. Penggunaan aplikasi juga dinilai bisa membuat picker bisa lebih terarah dalam mengumpulkan sampah daur ulang. Di sisi lain, Duitin juga sebagai sebuah gerakan untuk memilah, mengumpulkan serta mengelola sampah sehingga bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Saat ini terdapat 6 klasifikasi sampah daur ulang yang dapat dikelola melalui Duitin, yaitu plastik, karton, kaca, minyak jelantah, kaleng aluminium, serta kotak multi-layer. “Kami ingin memberi kemudahan juga bagi masyarakat yang ingin mulai memilah sampahnya, maka dari itu, kami juga berusaha untuk tidak mempersulit mereka dengan kategori sampah yang terlalu banyak,” tambah Adijoyo.

Selain itu, dari sisi pemerintah juga terus berupaya untuk mengurangi jumlah sampah. Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Pergub No. 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah pada Lingkup Rukun Warga. Melalui Pergub ini, rumah tangga diwajibkan untuk mengelola sampah. Sehingga, sampah tak langsung dibuang ke bank sampah.

Sampah daur ulang yang telah dijemput, akan dibersihkan serta dipilah berdasarkan jenis, warna dan bahannya, kemudian dikirimkan ke pabrik pencacah. Hasil pencacahan dapat diproses kembali menjadi barang baru seperti karung atau botol plastik. Selain itu, bisa juga diolah sebagai bahan untuk membuat biji plastik, benang, kain bahkan untuk diekspor.

Duitin kontributor yang berhasil menjual sampahnya akan mendapatkan reward dari picker berupa Duitin Coin yang bisa digunakan untuk membeli produk dalam platform.  Setiap transaksi yang terjadi dalam platform juga akan diberikan poin. Selain itu, kontributor juga bisa mencairkan Duitin Coin ke rekening bank. Saat ini Duitin telah bekerja sama dengan beberapa pihak seperti  LinkAja, serta sedang dalam proses integrasi dengan platform DANA.

Dukungan terhadap sektor informal

Selain berkontribusi untuk bumi dan alam yang lebih baik, Duitin juga ingin turut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi bagi sebagian lapisan masyarakat. Timnya mengaku berkomitmen memberi dampak positif bagi lingkungan sekaligus memiliki visi untuk menaikkan taraf hidup dan citra profesi bagi para picker di mata masyarakat.

Sektor informal, terkhusus dalam industri ini para pemulung, mayoritas adalah orang-orang yang unbanked yang tidak terjangkau produk perbankan. Duitin melihat hal ini sebagai salah satu yang juga menjadi pain points, sektor yang paling membutuhkan dukungan finansial, malah tidak mendapat akses ke produk finansial.

Salah satu objektif yang ingin dicapai oleh Duitin dengan mempekerjakan sektor informal dalam aplikasinya adalah untuk mereka bisa mulai membangun profil finansialnya. Hal ini diharapkan bisa digunakan sebagai credit scoring ketika mereka butuh akses terhadap institusi finansial untuk bisa bertahan dalam ketidakpastian ekonomi saat ini.

Dari sisi pendanaan, saat ini Duitin masih beroperasi secara bootstrap. Namun, Adijoyo turut menyampaikan bahwa timnya saat ini tengah dalam proses fundraising. Tidak disebutkan target pendanaan yang diincar, tapi mereka berharap proses penggalangan dana ini bisa tercapai pada Q4 2021.

Application Information Will Show Up Here
Jajaran tim pengembang aplikasi Surplus / Surplus

Surplus dan Misinya Tumbuhkan Gerakan “Zero Food Waste”

Salah satu persoalan yang masih kerap dialami oleh industri F&B adalah  besarnya food waste atau terbuangnya makanan berasal dari hotel, restoran, katering, supermarket, dan masyarakat pada umumnya. Dari statistik yang kami dapat, sekitar 13 juta ton makanan di Indonesia terbuang tiap tahunnya.

Berangkat dari isu tersebut, platform Surplus resmi meluncur. Layanan tersebut memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk dapat menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko, dengan diskon setengah harga (closing-hour discounts/clearance sale).

“Berbeda dengan platform lainnya, secara khusus Surplus bukan hanya sebagai food marketplace yang menjual produk makanan seperti beberapa pemain lainnya, namun konsepnya hanya menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce kepada pelanggan, untuk mengatasi permasalahan food waste,” kata Managing Director PT Ekonomi Sirkular Indonesia Muhammad Agung Saputra.

Ditambahkan olehnya, di sisi lain mitra bisa mendapatkan pelanggan baru serta pendapatan tambahan dari produk berlebihnya. Diperkirakan margin 50% dari setiap produk yang terjual akan lebih menguntungkan untuk meng-cover HPP (Harga Pokok Penjualan) daripada terbuang sia-sia. Untuk strategi monetisasi yang diterapkan adalah revenue-sharing dengan mitra sekitar 10% dari setiap transaksi melalui aplikasi.

“Jumlah mitra Surplus saat ini berkisar 400 lebih yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Sementara itu untuk kategori mitra yang bisa bergabung dengan Surplus adalah yang umumnya berpotensi menghasilkan banyak produk makanan berlebih seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering & pertanian,” kata Agung.

Bagi mitra yang ingin memanfaatkan aplikasi Surplus, bisa mengunggah foto makanan berlebih atau imperfect produce yang akan dijual cepat melalui aplikasi Surplus Partner di jam tertentu sebelum jam tutup toko makanan/restoran tersebut.

Kemudian bagi pelanggan bisa menentukan pilihan makanan yang diinginkan melalui menu khusus. Selanjutnya makanan yang dipilih bisa diambil sendiri di restoran atau toko terkait, atau dapat memilih menggunakan pengiriman GoSend yang sudah terintegrasi eksklusif di aplikasi Surplus. Untuk pilihan pembayaran Surplus menyediakan opsi seperti Ovo, Gopay, dan Dana.

“Setiap transaksi di aplikasi Surplus, maka pihak pelanggan dan mitra telah berkontribusi untuk mendukung gerakan zero food waste karena telah menyelamatkan lingkungan dari ancaman food waste,” kata Agung.

Pandemi dan dan target Surplus

Meluncur saat pandemi bulan Maret 2020 lalu, ternyata cukup menyulitkan bagi Surpus untuk menjalankan bisnis. Pandemi membuat mitra yang sudah bergabung di awal menjadi tidak aktif dan kesulitan untuk mengakuisisi mitra untuk bergabung selama masa pandemi. Dampak lainnya adalah target pelanggan Surplus yaitu mahasiswa, pekerja kantoran hingga anak indekos menjadi sangat susah untuk diakuisisi, karena adanya kebijakan PSBB dan WFH serta belajar dari rumah.

“Namun setelah satu tahun Surplus bertahan di tengah pandemi, kami bisa membuat tren pertumbuhan positif dari segi transaksi dengan YoY sekitar 1500% (periode April 2020-April 2021). Diharapkan tren pertumbuhan positif ini tetap terjaga hingga berakhirnya pandemi,” kata Agung.

Tahun ini ada sejumlah target yang ingin dicapai oleh Surplus, di antaranya adalah dapat menjangkau 10.000 pengguna aktif dan menjangkau 1000 lebih mitra dan bergabung kepada zero food waste movement. Sehingga dapat mengurangi laju food waste sekitar 10-15% di area Jabodetabek, Bandung dan Yogyakarta di akhir tahun 2021.

“Kami juga sedang mempersiapkan penggalangan dana dalam bentuk crowdfunding melalui platform Kickstarter yang rencananya akan di-launching pada 1-2 bulan ke depan. Kami juga sangat terbuka kepada investor yang mempunyai visi-misi yang sama atau sedang mencari investasi kepada green startup atau perusahaan yang menghasilkan dampak sosial dan lingkungan,” kata Agung.

Menurut laporan ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia”, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak atau startup dengan pendekatan “hijau” atau ramah lingkungan, masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Application Information Will Show Up Here
Kitabisa Saling Jaga

Kitabisa Luncurkan “Saling Jaga”, Layanan Perlindungan Kesehatan Berbasis Sedekah

Bertujuan untuk menghadirkan layanan yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna saat dihadapkan kepada kondisi yang mendesak, Kitabisa luncurkan “Saling Jaga”. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, sejak tujuh tahun berdiri sudah ada jutaan pengguna Kitabisa menolong ribuan penggalangan dana, khususnya untuk kategori kesehatan.

“Namun kalau sebelumnya tolong-menolong menunggu ada yang butuh bantuan baru kita berdonasi/menolong, sekarang sebelum ada yang butuh kita sudah berdonasi untuk saling menjaga satu sama lain agar saat butuh bantuan bisa langsung tertolong. Itulah kenapa kami membuat Saling Jaga,” ujar Alfatih.

Konsep ini juga bukan hal baru untuk masyarakat Indonesia. Berbagai praktik serupa sudah berjalan lama sebagai budaya masyarakat, seperti budaya Marsialapari di Sumatera Utara, Sambatan di Gunungkidul Yogyakarta, dan Liliuran di Jawa Barat.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Kitabisa Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

“Setiap anggota donasi minimal Rp10.000 untuk menjadi saldo Saling Jaga, lalu saldo tersebut dikumpulkan dengan saldo anggota lainnya sehingga menjadi uang kas bersama. Saat ada anggota yang butuh, bisa mengajukan bantuan, dan saldo seluruh Anggota akan terpotong merata,” kata Alfatih.

Dicontohkan olehnya, jika ada yang mendapatkan bantuan Rp50.000 dan anggota berjumlah 500.000 orang, maka masing-masing anggota saldonya akan terpotong Rp100. Dalam hal ini jika awalnya Rp10.000 menjadi Rp9.900. Proses ini ditampilkan secara digital dan transparan di Saling Jaga.

Berada di bawah naungan Kementerian Sosial

Konsep yang serupa dengan crowd insurance ini, bisa juga dikategorikan layanan fintech untuk umum. Menanggapi hal tersebut Alfatih menegaskan produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK, dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

“Target kami melalui Saling Jaga adalah, menyediakan solusi perlindungan dengan konsep gotong royong atau patungan berbasis digital, yang secara konvensional sudah marak dilaksanakan oleh masyarakat luas di Indonesia. Dengan demikian upaya edukasi pada masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya memiliki perlindungan bagi diri dan keluarga dari Risiko  kesehatan yang tak diduga,” tutup Alfatih.

Application Information Will Show Up Here
Acara peluncuran platform Ruangpeduli

Ruangpeduli Diluncurkan, Mengakomodasi Bantuan Sosial untuk Pendidikan

Setelah Mendikbud menyatakan kondisi akibat pandemi belum memungkinkan kegiatan belajar-mengajar berlangsung secara normal, terdapat ratusan ribu sekolah ditutup sementara untuk mencegah penyebaran Covid-19. Puluhan juta siswa kini melakukan kegiatan belajar dari rumah dan kurang lebih empat juta guru melakukan kegiatan mengajar jarak jauh. Sayangnya, berbagai keterbatasan banyak ditemui, sehingga membuat agenda belajar daring tersebut kurang optimal.

Melihat kondisi tersebut, Ruangguru meluncurkan inovasi barunya yang diberi nama Ruangpeduli. Melalui platform ini, mereka ingin menghubungkan seluruh stakeholder dalam dunia pendidikan seperti pelajar, guru, sekolah, dan lainnya dengan berbagai pihak yang memiliki kapasitas untuk membantu. Ruangguru akan memusatkan dan melaksanakan seluruh kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini sudah berjalan dan yang akan datang, di dalam Ruangpeduli.

Co-Founder & CEO Ruangguru Belva Devara mengungkapkan, “Kondisi pandemi yang kita hadapi saat ini makin memperbesar berbagai tantangan pendidikan. Kami meluncurkan Ruangpeduli karena percaya bahwa gerakan peduli pendidikan bisa dibuat lebih terstruktur dan kolaboratif. Harapannya, lewat Ruangpeduli, akan ada lebih banyak individu dan lembaga yang terpanggil untuk berkontribusi untuk pendidikan Indonesia.”

Dalam platform ini, individu maupun lembaga dapat mengajukan program sosial pendidikan yang membutuhkan bantuan. Beberapa program pendidikan telah berlangsung melalui kerja sama dengan para mitra, seperti beasiswa pelatihan guru, beasiswa pendampingan siswa, pembelajaran intensif untuk siswa putus sekolah, dan akses gratis ke konten pendidikan.

“Adaro Foundation telah menjalin kerja sama dengan Ruangguru beberapa tahun terakhir. Visi dan misi kami beriringan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan melalui sumber daya manusia yang mumpuni. Pelatihan guru dan beasiswa bagi pelajar telah kami berikan dan juga turut menyasar daerah 3T di Indonesia,” ujar Ketua Umum Adaro Foundation Okty Dayamanti.

Sebagai platform edtech, Ruangguru memiliki jaringan serta kapasitas dalam lingkup pendidikan Indonesia. Ruangguru juga bermitra dengan Kitabisa dan Benih Baik dalam urusan penggalangan dana. Seluruh proses akan dikelola oleh tim Ruangguru dan mitra terkait, timnya mengaku tidak mengambil komisi atau menerima dana dalam bentuk apapun.

“Kitabisa memiliki semangat yang sama dengan Ruangguru untuk menghubungkan jutaan kebaikan termasuk kebaikan di dunia pendidikan. Kemitraan ini menjadi awal yang baik dalam memudahkan para orang baik menyalurkan bantuan bagi para guru, siswa, dan pihak lain yang membutuhkan
bantuan pendidikan”, ujar Co-Founder & CEO Kitabisa.com Muhammad Alfatih Timur.

Terkait jenis kerja sama yang akan dilakukan bersama para mitra, Firdaus Juli,
Co-founder Benih Baik turut menyampaikan bahwa segala hal yang terkait pendidikan akan dilancarkan, karena hal itu merupakan root atau akar. “Kami menyambut positif kerja sama dengan Ruangguru untuk memperluas akses bantuan di sektor pendidikan. Kita harus menggandeng banyak mitra dalam menjangkau pihak-pihak yang berhak memperoleh bantuan pendidikan, agar dampak yang dihasilkan semakin luas,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Social Innovation Acceleration Program

Tantangan Pengukuran dan Manajemen Dampak bagi Wirausaha Sosial di Indonesia

Kurangnya pengetahuan, kemampuan untuk mengembangkan bisnis dan jaringan, serta modal usaha yang dialami oleh pelaku wirausaha sosial sering kali menjadikan hambatan bagi mereka untuk mengembangkan bisnis dan dampak sosial yang ingin dicapai secara berkelanjutan. Padahal, dengan mengadopsi misi untuk memecahkan permasalahan sosial dan ekonomi, terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan, dan kesehatan, serta menggunakan proses inovasi dan teknologi, wirausaha sosial sangat berperan sebagai agen perubahan bagi berbagai permasalahan yang ada di Indonesia.

Selain itu, analisis mengenai bagaimana wirausaha sosial dapat mengelola dan dampak dalam proses memecahkan permasalahan sosial melalui wirausahanya tidak selalu dijadikan prioritas. Seharusnya, pengukuran dan pengelolaan dampak menjadi keharusan bagi seluruh wirausaha sosial, agar seluruh aktivitas bisnis menjadi efektif, efisien, dan mempercepat pemecahan masalah tersebut. Selain itu, wirausaha sosial juga relatif kesulitan untuk menyeimbangkan antara menghasilkan profit dan memberikan dampak sosial.

Melihat permasalahan ini, Social Innovation Acceleration Program (SIAP) telah mengintegrasikan pengukuran dan pengelolaan dampak (Impact Management & Measurement) ke dalam kurikulum inkubasi yang telah dilakukan pada tahun 2019 di Jakarta, Solo, Malang, dan Makassar. Melalui program inkubasi bersama British Council, SIAP telah berhasil menginkubasi 123 wirausaha sosial dari berbagai sektor pemberdayaan, seperti: pemberdayaan perempuan, anak muda, dan kaum disabilitas.

Tahun ini, SIAP akan kembali menggelar inkubasi ke-9 di Bandung pada tanggal 13 Maret-4 April 2020 dengan target 30 peserta dari berbagai sektor. Beberapa materi yang akan diajarkan adalah Impact Management & Measurement, Business Model Innovation, Product Development, Growth & Sustainability, Go-to-market Strategy, Pitch & Investment, dll dengan 10 Mentor yang sudah expert di industri startup, khususnya Social Enterprise. Para mentor tersebut adalah: Gibran Huzaifah (CEO eFishery), Yunita Anggraeni (Co-founder Geek Hunter), dll.

Salah 1 peserta inkubasi dan akselerasi SIAP di tahun 2018, telah berhasil mengakselerasi idenya, yaitu Rhaka Ghanisatria – Co-founder dan CEO Menjadi Manusia, sebuah social-platform untuk mereka yang ingin berbagi & mendengar cerita-cerita tentang kehidupan dari berbagai sudut pandang, dan diharapkan mampu menjadi sebuah tangga untuk mendapatkan setitik harapan bagi mereka yang memiliki persoalan-persoalan dalam kehidupan. Dalam 1,5 tahun, Menjadi Manusia telah berhasil menyebarkan dampak sosial melalui content ke lebih dari 10 juta orang melalui Youtube, Instagram, Spotify & Website.

Pada program inkubasi ini, para founder akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan hands-on mentoring dari para expert, networking dengan angel investor dan venture capital, dan akses kerjasama dengan stakeholder di bidang sosial.  Segera daftar SIAP Incubation Batch 9 ini di: http://bit.ly/SIAPincubation9 sebelum tanggal 30 Februari 2019! Mengenai informasi selanjutnya, bisa didapatkan di www.socialinnovation.id atau melalui instagram @socialinnovation.id.

Program akselerator SIAP 2020

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Innovation Acceleration Program (SIAP)