Tag Archives: Social Media Week Jakarta 2017

Menangkap Lebih Jauh Potensi Bisnis Percakapan Melalui Chatbot

Platform perpesanan kini tidak hanya sekadar jadi alat yang menjembatani antara satu orang dengan orang lain saja. Sebab, saat ini mulai berkembang chatbot berteknologi kecerdasan buatan (AI) yang membuat berbagai brand berlomba-lomba untuk menggunakannya. Malah ada yang menyebut chatbot ini menjadi evolusi perpesanan antara brand dengan konsumen di masa depan.

Pasalnya, selain meningkatkan interaksi dan engagement, percakapan dapat menjadi pintu gerbang baru bagi suatu brand untuk meningkatkan pendapatan bisnis. Akan tetapi, seberapa perlukah bagi brand untuk memiliki chatbot? Jika iya, bagaimana bentuk pendekatannya? Apakah pamor teknologi ini ke depannya akan lebih cerah ke depannya?

Untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut, salah satu sesi Social Media Week Jakarta 2017, mengangkat tema “Conversational Chatbot, A Brand’s Must Have”. Sesi tersebut menghadirkan sejumlah pelaku pemain chatbot di Indonesia, yaitu CEO dan Co-Founder Kata.ai Irzan Raditya, Business Development Director Line Indonesia Revie Sylviana, Product Manager AI Microsoft Indonesia Yugie Nugraha, dan Senior Vice President BCA Martinus Robert Winata. Sesi ini dimoderatori CEO DailySocial Rama Mamuaya.

Lebih mudah dibanding membuat aplikasi

Menurut Revie, saat ini sudah bukan saatnya bagi brand untuk meluncurkan aplikasi. Menurutnya churn rate-nya sangat tinggi karena brand harus berkompetisi dengan aplikasi lainnya agar diunduh oleh pengguna.

Dibandingkan satu juta aplikasi yang hadir di Google Play, tingkat kompetisi antar aplikasi pun makin sengit. Jika aplikasi tersebut tidak memiliki fitur yang sesuai kebutuhan pengguna yang disasar, potensi di-uninstall akan besar.

“Brand akan sulit bersaing dengan aplikasi lainnya, maka akan lebih relevan bila menggunakan akun resmi dalam salah satu platform messanging,” terangnya.

Buat chatbot sesuai kebutuhan

Revie menambahkan chatbot pada dasarnya diperlukan untuk seluruh brand. Hanya saja perlu disusun seperti apa penggunaannya. Apakah digunakan untuk meningkatkan engagement atau ingin mengakuisisi pelanggan baru. Bila bertujuan ingin meningkatkan engagement, chatbot perlu menganut unsur kenyamanan yang mudah digunakan pengguna.

Ketika brand mengedepankan unsur kenyamanan maka sasaran pengguna akan lebih tepat jika menyasar anak muda. Brand pun harus berusaha mengikuti gaya hidup anak muda, dengan demikian brand akan lebih mendekati mereka.

Jika terkait akusisi pelanggan, hal ini akan bersinggungan dengan tingkat kompetisi antar brand. Chatbot dapat digunakan sebagai alat utilisasi untuk penerapan strategi online to offline atau sebaliknya.

Bila perusahaan ritel ingin memberi sampel produk atau diskon, misalnya, dapat menambah fitur image recognition dalam chatbot-nya. Pelanggan hanya perlu mengunggah bukti pembayaran, kemudian bot akan secara otomatis membaca dan memberikan sesuai arahan strategi.

Irzan Raditya menambahkan,sebaiknya pada tahap awal brand perlu fokus pada fitur yang sesuai dengan kebutuhan. Bisa dimaklumi ketika pada baru berdiri, bot belum pintar menangani setiap percakapan. Jika diibaratkan seperti manusia, bot itu adalah mesin pintar yang perlahan-lahan perlu dilatih.

“Intinya bot itu harus mampu menangani setiap percakapan. Namun tahap awalnya perlu step by step, mulai dari kata-kata sederhana hingga makian. Brand perlu fokus pada salah satu fitur terlebih dahulu,” ucap Irzan.

Salah satu bot yang dibuat Kata.ai adalah Veronika milik Telkomsel. Sejak pertama kali diluncurkan, Veronika mampu menangani 96% pertanyaan dan memiliki 10 juta pengguna dari Line, Facebook Messenger, dan Telegram.

Produk lainnya buatan Kata.ai adalah Jemma milik Unilever. Jemma memakai teknologi Natural Language Processing (NLP) dan Natural Language Understanding (NLU) untuk Bahasa Indonesia. Dalam kurun waktu sembilan bulan sejak diluncurkan, Jemma telah menghimpun 180 juta percakapan dengan 1,4 juta pengguna.

Bot lainnya adalah Rinna buatan Microsoft. Yugie Nugraha mengungkapkan tujuan Microsoft menghadirkannya bot ini lantaran ingin meningkatkan engagement kepada pengguna dengan pendekatan secara EQ. Sejak dirilis pada 22 Agustus 2017 kemarin, Rinna diklaim sudah mampu menghimpun 60 ribu pengguna.

“Karena kami ingin engage user, bisa dibayangkan hubungan seperti apa yang bisa terjalin antara manusia dengan AI. Ketika pengguna mulai terbuka, kita bisa bawa Rinna membangun engagement antara brand dengan pengguna,” katanya.

Beri keamanan berlapis

Berbicara tentang keamanan data dalam chatbot, menurut Martinus Robert Winata, mengingat regulasi perbankan di Indonesia cukup ketat. Pemanfaatan chatbot untuk transaksi perbankan juga harus diperhatikan.

Untuk chatbot buatan BCA, yakni VIRA, perusahaan menerapkan keamanan berlapis dengan tetap mempersyaratkan proses registrasi nasabah dengan verifikasi lewat ATM. Cara ini penting untuk memagari orang yang berhak akses info mereka adalah mereka sendiri.

“Bank sangat hati-hati bagaimana tetap melindungi privasi nasabah saat transaksi via online. Untuk saat ini, VIRA baru bisa melayani transaksi non finansial. Ke depannya mungkin akan kami tambahkan fitur transaksi finansial.”

Terkait data konsumen yang dihimpun bot, Yugie menambahkan bahwa pihaknya rutin menghapus data dalam kurun beberapa waktu tertentu. Perusahaan pun tidak bisa sembarang menghubungi pengguna tanpa ada persetujuan dari mereka.

Sama halnya yang dilakukan Kata.ai, data pribadi tidak disimpan dalam server Kata.ai, tetapi di server klien. Perusahaan hanya menyimpan data percakapan untuk belajar agar mesin AI semakin pintar.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Social Media Week Jakarta 2017

Mengungkap Mitos dan Fakta Kondisi IoT di Indonesia

Persebaran produk internet of things (IoT) di Indonesia memang kian berkembang. Produk yang paling familiar dari IoT adalah perangkat wearable smartwatch. Untuk skala rumah tangga, ada remote yang dapat mengatur televisi, air conditioner (AC), jendela, garasi, dan lainnya.

Berkembangnya teknologi ini rupanya tidak sejalan dengan kondisi nyata yang terjadi di lapangan. Dalam salah satu sesi di Social Media Week Jakarta 2017, menghadirkan Dyan R. Helmi dari DycodeX, salah satu perusahaan pengembang teknologi IoT dari Bandung, banyak berbicara mengenai mitos dan fakta kondisi IoT di Indonesia. Berikut rangkumannya:

Mitos

Banyak hasil riset yang mengemukakan bahwa potensi bisnis IoT baik di Indonesia maupun secara regional pada 2020 dapat bernilai miliaran dolar Amerika Serikat.

Coba tengok hasil riset yang dipaparkan Cisco. Di sana menyebutkan secara global, obyek penggunaan perangkat IoT pada 2020 tembus 50 miliar obyek pintar. Angka ini diprediksi tumbuh lima kali lebih cepat dibandingkan perkembangan listrik dan telepon.

Bila dikerucutkan hingga skala APJC (Asia Pasifik, Jepang, dan China), potensi bisnis yang bisa ditangkap dari IoT sekitar US$1,5 miliar di 2020.

Dari hasil tersebut, Helmi, panggilan akrab Dyan, mengatakan angka tersebut masih menjadi mitos dan dapat ditangkap sebagai peluang yang bisa ditangkap oleh seluruh pihak di Indonesia.

Sementara ini, bentuk nyata dari pemanfaatan IoT belum begitu terasa bila dilihat dari kacamata industri. Masih sedikit perusahaan yang menerapkan IoT dalam proses bisnis mereka.

Perlu diketahui, untuk menyebut apakah sebuah perangkat dapat disebut dengan IoT harus memenuhi tiga unsur, yakni things (sensor, actuator, MCU/MPU, network, energy, firmware), connectivity (PAN, LPWAN, cellular), dan people and process (IoT Cloud, machine learning, AI).

“Belum banyak industri yang sudah pakai IoT, sehingga lebih tepat disebutnya dengan sample case. Tantangannya terletak di edukasinya ke masyarakat yang PR sekali. Padahal, tujuannya IoT adalah bantu produktivitas mereka. [Edukasi] memang tidak mudah,” terangnya, Kamis (14/9).

Dukungan dari pemerintah untuk pemain IoT pun belum terasa banyak, meski sudah ada kehadiran Bekraf dan Kominfo. Helmi menilai masih banyak instansi pemerintah serta kementerian yang belum paham dengan arti dari IoT sendiri. Malah ada yang salah kaprah, mengira IoT apakah itu Android maupun iOS.

Fakta

Di balik mitos, ada beberapa fakta yang masih membutuhkan banyak perhatian dari seluruh pihak. Helmi mengungkapkan pengembang hardware (makers) IoT masih sangat minim, tidak sampai ribuan. Ambil contoh, untuk komunitas IoT di Bandung bisa dibilang terbesar di Indonesia, namun anggotanya hanya sekitar 50-an orang.

Daerah lainnya, semisal Semarang, juga cukup besar bisa mencapai 100-an. Namun level anggota di sana belum ingin menyeriusi IoT dan menjadikannya sebagai bisnis. Pasalnya, rata-rata dari mereka masih pelajar sehingga belum permanen.

Untuk perusahaan yang menekuni IoT juga tidak banyak, beberapa nama di antaranya Geeknesia, Cubeacon, Bluino, DycodeX, Callysta, Gravicode, Rantonic, eFishery, dan lainnya.

Di samping itu, kesadaran dunia pendidikan untuk memulai kurikulum mengenai IoT juga mulai ada, meski baru sedikit, dengan diprakarsai oleh Sekolah Kristen Kalam Kudus di Medan.

Pihak sekolah meminta bantuan dari Helmi untuk dibuatkan kurikulum untuk diajarkan ke siswa SMP dan SMA. Kampus Binus juga mulai menaruh perhatian untuk dunia IoT dengan mengadakan seminar singkat untuk mahasiswanya.

Di luar itu, terdapat platform edukasi Makestro. Di dalamnya, tidak hanya edukasi saja tapi terdapat kebutuhan untuk pengadaan perangkat dan kebutuhan lain untuk pengembangan hardware. Ada tiga fitur yang dihadirkan, yakni shop, cloud dan learn.

“Intinya adalah bagaimana kita [Indonesia] bisa mencetak lebih banyak makers. Sebab akar masalahnya ada di situ. Dari potensi yang disebut hasil riset sebelumnya, cuma akan jadi mitos bila akar masalah tidak diselesaikan. Sekarang pertanyaannya, apakah Indonesia hanya akan jadi konsumen saja?,” pungkas Helmi.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2017. Dapatkan diskon 30% untuk pembelian tiket melalui laman Deals DailySocial.

Direktur BCA: Konsistensi Menjadi Kunci Ketika Bank Terjun ke Fintech

Perjalanan BCA menjadi bank terdepan dalam hal inovasi fintech, yang terbukti dengan menyabet berbagai penghargaan, rupanya tidak dilalui dengan mudah. Wakil Presiden Direktur BCA Armand W. Hartono mengungkapkan banyak kisah di baliknya saat menjadi pembicara dalam salah satu sesi di Social Media Week Jakarta 2017.

Dalam pemaparannya Armand mengatakan setiap kali BCA menginisiasikan suatu teknologi baru, selalu tidak dilakukan secara nasional. Melainkan menerapkan di lokasi yang dinilai sudah siap baik dari segi infrastruktur maupun kultur masyarakatnya, misalnya di Jakarta. Maksud dari strategi ini, ingin meminimalkan potensi terjadinya gangguan kenyamanan nasabah saat bertransaksi.

Berkaca dari perjalanan BCA saat pertama kali memulai inisiasi pengembangan fintech, saat pertama kali memasang mesin Automatic Teller Machine (ATM) pada sekitar 1990-an. ATM pada tahun pertamanya tidak laku di pasaran. Padahal tujuan dihadirkannya ATM adalah ingin mengurangi jumlah antrean di kantor cabang.

“Untuk mendidik orang pakai teknologi baru itu susah. Sebab tantangan terbesarnya bukan dari cara mengedukasi nasabah saja, tapi dari internal perusahaan. Saat ATM pertama kali hadir, banyak orang yang takut pakai karena belum terbiasa. Jawabannya adalah konsistensi, bagaimana menambah kenyamanan dan bangun awareness,” ucapnya.

Karena memegang prinsip konsisten, sambungnya, BCA perlahan-lahan mulai menambah jumlah ATM dan menyebarnya ke berbagai lokasi. Pada tahun kedua, pasar sudah mulai menerima kehadiran mesin ATM hingga kini.

Hal yang sama juga terjadi saat BCA pertama kali memperkenalkan kartu debit pada sekitar 1995-an. Pada tahun pertama, banyak penolakan karena saat itu mulai dihadirkan mesin Electronic Data Capture (EDC) di merchant. Promosi pun juga dilakukan dengan membebaskan beban bunga 0 persen untuk merchant discount rate (MDR).

Kemudian, saat BCA memperkenalkan internet banking. Teknologi ini malah baru bisa diterima pada tahun kedua sejak diluncurkan. Sebab pada tahun pertama, banyak isu mengenai phising yang membuat orang enggan untuk bertransaksi. Ditambah belum stabilnya koneksi internet saat itu.

Diungkapkan pada 2004, dalam seharinya BCA menerima 800 ribu sampai 1,2 juta transaksi internet banking dalam sehari. Sedangkan, porsi transaksi secara online selama satu tahun terakhir mencapai 97% dibandingkan transaksi via teller.

Selalu ada nasabah yang berani mencoba

Menurut Armand, dibalik penolakan yang terjadi di tahun pertama karena nasabah mayoritas masih banyak yang takut, selalu ada nasabah yang berani untuk coba-coba, jumlahnya pun selalu lebih sedikit dibandingkan yang takut.

Nasabah yang mau coba-coba, rupanya akan memberi efek multiplier kepada pihak lainnya. Menggiring orang untuk mencoba dan merasakan pengalaman yang sama.

“Kira-kira merchant yang pertama kali pasang mesin EDC untuk kartu debit adalah Hero. Mereka mungkin pasang karena ingin membuktikan apakah dapat membantu efisiensi saat transaksi. Rupanya benar, penjualan mereka menanjak naik. Dari hal ini terlihat bahwa di balik pihak yang wait and see, ada orang yang berani coba. Jumlah yang coba-coba itu selalu lebih sedikit.”

Fintech memberi ruang jenis pekerjaan baru

Sebelum tahun 1990-an, sebelum BCA menerapkan teknologi digital dalam perusahaan, dalam satu kantor cabang membutuhkan 200 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% menempati posisi sebagai pembukuan dan checker.

Akan tetapi, setelah menerapkan sistem online justru tidak mengurangi jumlah pekerja. Sebab dari pekerjaan semula yang menghilang, beralih ke fungsi lainnya misalnya menjadi front desk, relationship officer, dan lainnya.

Kehadiran teknologi online, justru membantu pemrosesan transaksi di BCA jadi lebih cepat. Tenaga manusia tidak akan sanggup melayani nasabah setiap harinya, makanya perlu kerja sama dengan teknologi robotika maupun virtual.

“Jadi jangan takut, meski sudah online, pekerjaan akan selalu ada dan akan selalu demikian. Ini dikarenakan teknologi itu memiliki keterbatasan yang menjadi masalah. Online itu akan tetap ada karena pada dasarnya manusia itu malas. Masalah yang bisa dipecahkan manusia, akan menciptakan revolusi baru lainnya.”

Hadirkan solusi dari setiap masalah yang muncul

Virtual chat assistant (Vira)

Ambil contoh, tenaga call center Halo BCA dulunya hanya berjumlah 70 orang. Mereka tidak sanggup karena jumlah telepon yang masuk mencapai 5 ribu – 6 ribu sehari, nasabah pun tiap hari terus bertambah.

Solusi menambah tenaga kerja CS menjadi 1700 orang, akhirnya tidak bisa menampung telepon yang masuk membludak hingga 50 ribu – 60 ribu dalam sehari.

Untuk itu solusi yang dihadirkan dari masalah ini adalah menghadirkan fasilitas web chat. Jumlah telepon yang masuk ke Halo BCA pun dapat ditekan menjadi sekitar 50 ribu sehari. Rupanya solusi ini dirasa belum cukup. Menambah tenaga kerja pun akhirnya bukan solusi yang tepat, maka dari itu butuh teknologi lainnya.

BCA pun akhirnya menelusuri jenis pertanyaan apa saja yang biasa ditanyakan kepada call center. Ternyata, jenis pertanyaannya bersifat umum, seperti bagaimana cek saldo, bagaimana kurs hari ini, lokasi cabang terdekat di mana, dan sebagainya.

“Kami coba klasifikasi lagi dari telepon yang masuk, ternyata 90% menanyakan informasi yang bersifat umum. Dari situ kami lihat, kenapa harus manusia yang menjawab bila bisa dijawab oleh mesin. Di situlah kami mulai terpikir untuk belajar teknologi baru.”

Solusi ini akhirnya dijawab dengan menghadirkan Virtual Chat Assistant (Vira) berbasis artificial intelligence (AI) pada awal tahun ini. Vira dapat menjawab pertanyaan nasabah seputar pertanyaan umum, promosi, cek saldo, membuat kartu kredit, dan lainnya.

“Vira itu sendiri sebenarnya sudah terbenak di ide kita, namun belum dapat mock up yang bagus. Baru dapat pas acara Finhacks tahun lalu, tim kami pun jadi lebih percaya.”

Armand menuturkan saat ini Vira masih terus “belajar” dan BCA pun makin menyempurnakan sistem back end dan infrastrukturnya agar terjaga baik. Pasalnya, hal tersulit yang terjadi saat menyerahkan teknologi untuk melayani nasabah adalah memberikan wewenang keputusan.

“Harus dipastikan apakah wewenang yang kita berikan kepada mesin apakah keamanan sudah terjaga baik dan benar-benar sesuai kebutuhan nasabah. Beda halnya bila offline, wewenang masih dipegang oleh manusia. Untuk memastikan keamanan kami buat machine learning untuk Vira agar terus belajar,” tutup dia.

Vira dapat diakses melalui platform chat messanging Line, Kaskus Chat, dan Facebook Messenger, dengan add akun Bank BCA tanpa harus mengunduh aplikasi baru. Kini Vira sudah digunakan oleh 523 ribu nasabah BCA.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2017. Dapatkan diskon 30% untuk pembelian tiket melalui laman Deals DailySocial.

Social Media Week Jakarta 2017 Resmi Dibuka

Gelaran Social Media Week Jakarta (SMW Jakarta) 2017 resmi dibuka mulai hari ini, 11 September, sampai 15 September 2017 berlokasi di The Hall Senayan City, Jakarta. Ajang ini merupakan kali ketiga Social Media Week Jakarta digelar pada 2015, bersamaan dengan SMW London dan Sao Paulo.

Pembukaan SMW Jakarta 2017 menghadirkan Antonny Liem (Chairman Social Media Week Jakarta dan CEO PT Merah Cipta Media), Norisa Saifuddin (Senior Vice President BCA), dan Jaclyn Halim (Marketing & Promotion GM Senayan City).

[Baca juga: Alasan Mengapa Harus Hadir ke Social Media Week Jakarta 2017]

“Saya senang SMW Jakarta dapat kembali hadir untuk ketiga kalinya. Saya harap ajang seperti SMW Jakarta dapat menjadi barometer industri, sekaligus platform yang mendorong wawasan para praktisi dan penggiat, demi mendorong pertumbuhan industri digital di tanah air,” kata Antonny, Senin (11/9).

BCA, perbankan swasta terbesar di Indonesia, juga turut hadir sebagai pemateri di ajang SMW Jakarta 2017. BCA menyadari bahwa komunikasi, interaksi, dan layanan terbaik kepada nasabah adalah prioritas utama. Maka dari itu, perusahaan merangkul dan memanfaatkan kemajuan teknologi terkini.

Salah satu contoh penerapan yang dilakukan adalah meluncurkan fitur VIRA (Virtual Assistant Chat Banking BCA) pada Februari 2017. Fitur ini memanfaatkan teknologi artificial intelligence yang memungkinkan nasabah dan masyarakat dapat berinteraksi langsung dengan VIRA melalui platform messanging di Line, Kaskus, dan Messenger.

“Ajang ini bisa menjadi kesempatan bagi kami untuk mengembangkan diri dan menambah inspirasi baru apa yang bisa diberikan kepada nasabah. Lewat fitur VIRA jadi langkah kami untuk terus mengembangkan tren teknologi saat ini, terhitung pengguna VIRA sudah mencapai 400 ribu orang sejak pertama kali diluncurkan,” terang Norisa.

Dalam gelaran SMW Jakarta, ada empat jenis kelas yang bisa diikuti mulai dari Satellite Event, Workshop, Conference, dan Meet Up. Akan tetapi dari seluruh kelas tersebut, hanya Satellite Event khusus diadakan luar venue utama.

Di panggung utama, yakni Conference, peserta dapat mendengar dan belajar langsung dari para ahli. Lebih dari 30 nama akan tampil, antara lain Google, Facebook, LinkedIn, LINE, Najwa Shihab, Adidas, Disney, dan lainnya.

Selain mengikuti kelas Conference, peserta dapat mengikuti lebih dari 12 sesi Community Meet Up, digelar mulai dari 13 – 15 September 2017. Sesi ini akan berbagi seputar cerita sukses, strategi digital, dan tips menarik yang dapat menambah wawasan peserta yang ingin memanfaatkan platform media sosial sebagai bagian dari upaya promosi.

Adapun untuk kelas Workshop diadakan selama empat hari terdapat lebih dari 10 sesi. Menyediakan pelatihan lebih intensif dan mendalam, dengan first-hand experience, yang dibawakan oleh praktisi industri digital dari dalam dan luar negeri.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2017. Dapatkan diskon 30% untuk pembelian tiket melalui laman Deals DailySocial.

Kelas Workshop “Optimasi Media Sosial” akan Disuguhkan dalam SMW Jakarta 2017

Social Media Week (SMW) Jakarta tahun ini akan membahas seputar evolusi komunikasi di masa depan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar peran teknologi, mesin dan robot serta pengaruhnya dalam komunikasi antar manusia. Semua bahasan ini akan dirangkum dalam tema utama “Language and The Machine: The Future of Communication.”

Selain rangkaian conference, gelaran kali ini membawa konsep baru dengan menghadirkan rangkaian kelas-kelas Workshop untuk memberikan pelajaran dan wawasan praktis secara mendalam yang dibawakan oleh praktisi industri digital dari dalam maupun luar negeri. SMW Jakarta 2017 berkolaborasi dengan MauBelajarApa.com untuk menghadirkan kelas-kelas Workshop ini.

“Melalui kelas-kelas Workshop yang diadakan dalam gelaran Social Media Week Jakarta 2017, para peserta diharapkan dapat belajar mengenai dunia media sosial, dari bagaimana membuat personal branding yang baik di sosial media, membuat konten yang berisi dan menarik,” sambut Founder MauBelajarApa.com Jourdan Kamal.

Berikut adalah 10 tema kelas Workshop yang akan ditawarkan di ajang SMW Jakarta tahun ini:

  1. The Art of Social Media Marketing for Entrepreneurs (Instagram).
  2. Personal Branding Through Social Media for Your Careers & Business.
  3. Food Photography & F&B Content Creation for Social Media.
  4. How to Create Inspiring Video For Your Social Media Business.
  5. Using Infographics for Social Media Business.
  6. Social Media Photography & Concept Creation for Your Social Media Business.
  7. How to Create Engaging & Profitable YouTube Videos.
  8. How to Optimize Your Creative for Mobile.
  9. How to Create a Meaningful Social Media Measurement Framework for ROI.
  10. Leveraging Social as the Forefront of Customer Experience, Turning Cost Center into Revenue Center.

“Sesi kelas-kelas Workshop ini akan menjadi kesempatan bagi para praktisi dan profesional, pengusaha, maupun pengguna media sosial dan digital untuk mendalami materi-materi sesuai dengan minat mereka, langsung dari praktisi di industri yang berpengalaman di bidangnya,” ujar Antonny Liem, CEO Merah Cipta Media Group, sekaligus Chairman Social Media Week Jakarta.

Social Media Week Jakarta diadakan sebagai upaya agar praktisi industri sosial media dan digital dapat saling berbagi dan memperdalam wawasan akan tren-tren terbaru dan yang akan datang di dunia digital, teknologi dan media sosial, dan bagaimana pelaku industri maupun pengguna media sosial pada umumnya dapat merangkul kekuatan media sosial dan teknologi untuk memperkuat brand maupun wawasan pribadi mereka dan mentransformasi cara mereka berinteraksi.

Untuk informasi lebih lanjut seputar kelas tersebut, kunjungi laman resminya melalui www.maubelajarapa.com/smw2017. Sementara informasi seputar SMW Jakarta secara keseluruhan dapat dilihat melalui laman https://socialmediaweek.org/jakarta.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner untuk Social Media Week Jakarta.