Tag Archives: Social Network

Twitter Akuisisi Developer Aplikasi Chroma Stories

Berawal dari Instagram, lalu berlanjut ke Facebook dan WhatsApp, hampir semua platform sosial sekarang dibekali fitur Stories – termasuk halnya YouTube. Secara teknis, konsep feed khusus konten ephemeral ini pertama diciptakan oleh Snapchat, akan tetapi Instagram-lah yang membuatnya jadi sepopuler sekarang.

Twitter, di sisi lain, belum punya fitur serupa. Namun ada kemungkinan mereka bakal menggarapnya, atau setidaknya menyediakan fitur lain yang bertujuan untuk membuat platform-nya terkesan lebih visual. Anggapan ini berdasar pada akuisisi terbaru Twitter, yakni Chroma Labs.

Chroma Labs merupakan pengembang aplikasi iPhone bernama Chroma Stories. Aplikasi ini dirancang untuk membantu penggunanya menciptakan konten Stories yang menarik. Deretan template, filter, dan segudang tool kreatif lainnya disiapkan supaya pengguna dapat mendesain konten Stories yang lebih mengesankan ketimbang jika menggunakan fitur bawaan Instagram atau Snapchat.

Chroma Stories

Aplikasi ini dibuat oleh orang-orang yang sangat berpengalaman di bidangnya. Salah satu cofounder-nya, John Barnett, merupakan sosok yang bertanggung jawab atas lahirnya fitur Boomerang di Instagram, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan perusahaannya sendiri.

Pada kenyataannya, personil Chroma Labs inilah yang membuat Twitter terpikat. Pasca akuisisi, kru Chroma Labs bakal dialihtugaskan ke divisi produk, desain dan engineering milik Twitter, berdasarkan keterangan Kayvon Beykpour selaku Product Lead di Twitter. Aplikasi Chroma Stories sendiri tak akan lagi menerima update, namun tetap bisa digunakan sampai akhirnya ‘dirusak’ oleh update iOS versi baru.

Twitter memang tidak bilang mereka berniat meluncurkan fitur Stories, dan mereka belakangan ini justru sibuk menyempurnakan fitur percakapan di platform-nya. Namun seperti yang sudah Instagram buktikan, Stories tidak selamanya ditujukan untuk visual storytelling, tapi terkadang juga bisa menjadi conversation starter.

Sumber: TechCrunch.

Dailyact menjadi media sosial baru buatan lokal yang mencoba menantang hegemoni Instagram dan Facebook.

Segera Diluncurkan, Dailyact Mencoba Saingi Instagram dan Facebook

Dailyact menjadi calon penantang baru sebagai aplikasi media sosial di Indonesia. Startup lokal ini dibuat dengan asumsi media sosial yang ada sekarang belum cukup mumpuni mewadahi kreativitas pengguna.

Pendiri dan CEO Dailyact Mario Michael Setiawan bercerita, ia sudah mengembangkan layanan ini sejak 2017. Mario menekankan aplikasi buatannya ini sebagai tempat berbagi pengalaman berdasarkan keahlian atau hobi.

“Karena setiap orang punya kelebihan masing-masing, kita coba push iin di dalam aplikasi media sosial kita agar pengguna mengedepankan apa yang mereka sukai atau ahli,” ujar Mario dalam perkenalan produknya di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta.

Meski aplikasi ini baru akan diluncurkan pada 21 Agustus nanti, ada sejumlah fitur yang mereka gadang-gadang bakal jadi pembeda dari media sosial lain. Misalnya adalah fitur Indicator sebagai kategorisasi kegiatan yang akan diunggah ke dalam platform dan My Favorite Things sebagai fitur kolom yang memuat hal-hal yang disukai pengguna.

Selain itu, ada juga fitur Admire yang berfungsi seperti fitur “follow” pada Instagram tapi satu lapis lebih tinggi dan Collection sebagai tempat kurasi konten yang dapat dilihat para pengikut suatu akun.

Secara tampilan, desain antarmuka Dailyact sedikit banyak menyerupai Instagram. Penuturan Mario pun menyiratkan aplikasinya ini adalah alternatif dari media sosial semacam Instagram yang identik dengan kultur influencer.

Tampilan aplikasi Dailyact
Tampilan aplikasi Dailyact

“Kasar katanya, kita dapat lebih mengenal sosok profil melalui Dailyact, seperti apa orangnya, apa kesukaannya. Dari sana kita bisa lebih akurat ke target market-nya,” imbuh Mario.

Pendanaan untuk startup ini masih bootstrap. Meski masih dalam rencana, mereka juga berniat memonetisasi layanannya. Mereka melihat potensi tersebut ada di fitur My Favorite Things yang dapat membantu pengiklan menjangkau target pasarnya.

Dailyact saat ini masih digawangi 18 orang. Kendati begitu, mereka berani menargetkan aplikasinya dipakai oleh sejuta pengguna hingga akhir tahun ini.

Dailyact bukan satu-satunya upaya warga lokal menyaingi popularitas media sosial mapan seperti Facebook, Instagram, Twitter, atau Snapchat. Yogrt, Oorth, Sebangsa, atau Mindtalk, adalah contoh media sosial buatan lokal yang mencoba unjuk gigi.

Dari beberapa nama di atas, mungkin hanya Yogrt yang sanggup menembus jutaan pengguna meskipun secara keseluruhan popularitasnya tetap mungil dibanding media sosial raksasa lainnya.

Riset Wearesocial-Hootsuite pada Januari 2019 menunjukkan pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau 56 persen dari total populasi. Data tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia.

Aplikasi Komuter menyediakan jadwal kereta CommuterLine dan MRT Jakarta, juga fitur bertransaksi antar pengguna

Aplikasi Komuter Sediakan Platform Jejaring Sosial Berbasis Transportasi Publik

Menjalin interaksi melalui media sosial/jejering digital mungkin sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Indonesia. Peluang ini ditangkap Komuter dengan menghadirkan platform social network yang dibalut dengan pengalaman menggunakan transportasi commuter dan MRT. Di platform ini, pengguna bisa berinteraksi berdasarkan lokasi stasiun, mulai dari membahas kendala kereta, stasiun atau topik-topik lainnya.

Hadir pertama kali pada tahun 2013 Komuter terus mengalami perkembangan hingga pada akhirnya dikembangkan kembali pada tahun 2018 dan diresmikan tahun ini. Tim Komuter yang baru terdiri dari Gage Batubara sebagai CEO, Firnas Nadirman sebagai CTO, dan Dewi Kartika Rahmayanti sebagai Marketing & Community Development.

“Komuter dibangun untuk membuat aktivitas bertransportasi publik menjadi lebih nyaman sehingga mendorong orang untuk berpindah moda dari kendaraan pribadi.  Kenyamanan bertransportasi publik di Jabodetabek didasarkan pada kesiapan sarana dan prasarana pendukung, antara lain adanya informasi yang bisa diakses oleh publik, terutama soal jadwal. Selain itu, dengan memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia suka berkumpul untuk memberikan rasa aman dalam bertransportasi publik, maka ada fitur di mana pengguna bisa berinteraksi dengan pengguna lainnya,” jelas Dewi.

Saat ini aplikasi Komuter baru tersedia untuk pengguna iOS, sedangkan untuk platform Android masih dalam tahap pengembangan. Di versi terbarunya, Komuter menambahkan fitur Eksplor. Fitur ini memungkinkan pengguna mendengarkan podcast yang dikurasi tim editor. Topik yang dihadirkan  bervariasi, mulai dari transportasi publik, gaya hidup, hobi hingga self development.

“Penambahan fitur Eksplor akan terus dikembangkan. Pada saat ini Komuter baru mampu mengakomodir podcast, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, Komuter akan berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengakomodir kebutuhan lain seperti penambahan artikel atau informasi yang menarik dan bermanfaat bagi para pelaju atau para commuter,” jelas Gage Batubara.

Pada dasarnya Komuter dikembangkan untuk membuat aktivitas bertransportasi lebih nyaman sehingga mendorong orang untuk berpindah moda dari kendaraan pribadi. Gage lebih lanjut berharap, dengan hadirnya fitur-fitur baru dari Komuter ini dharapkan para pengguna transportasi publik bisa lebih mudah menemukan informasi yang dibutuhkan sehingga membuat perjalanan menjadi lebih nyaman.

Startup yang masih bersifat bootstrapping dan sedang menjajaki kemitraan dengan beberapa investor ini tengah berusaha untuk menambah pengguna dan juga berusaha menjalin kolaborasi dengan komunitas pengguna transportasi publik.

Twitter Rombak Tampilan Situs Desktop-nya

Di tahun 2019 ini, masih adakah dari kita yang mengakses Twitter lewat browser di perangkat desktop? Pasti masih ada, dan kalau Anda merupakan salah satunya, Twitter punya suguhan yang amat menarik dalam wujud tampilan gres twitter.com.

Tampilan baru ini sebenarnya sudah diuji oleh Twitter selama beberapa saat, namun sekarang mereka telah siap membuka aksesnya ke seluruh pengguna tanpa terkecuali. Tema revisi yang diangkat Twitter adalah konsistensi, di mana tampilan baru situs desktop-nya ini dirancang agar menyerupai tampilan aplikasi mobile-nya.

Bukan hanya terlihat lebih bersih dan rapi, versi anyar twitter.com ini juga mendatangkan sejumlah fitur yang sebelumnya tidak tersedia di desktop, yaitu Explore dan Bookmarks. Explore, menurut Twitter, bakal menyajikan deretan live video dan konten lainnya yang bersifat lokal, disesuaikan dengan lokasi masing-masing pengguna.

New twitter.com for desktop

Bookmarks akhirnya hadir di desktop setahun lebih sejak Twitter meluncurkannya. Sesuai namanya, fitur ini berfungsi untuk menandai Tweet yang hendak diakses kembali di lain waktu. Sebelum ada fitur Bookmarks, tidak sedikit pengguna yang mengakalinya dengan cara menyukai suatu Tweet dengan maksud untuk menyimpannya.

Fitur Direct Message (DM) tidak lupa dibenahi, di mana sekarang pengguna dapat melihat daftar percakapan dan menuliskan pesan dari satu tampilan yang sama. Untuk pengguna multi-akun, aksesnya kini jauh lebih mudah melalui sidebar sebelah kiri.

Terakhir, Twitter juga menyediakan sejumlah opsi kustomisasi tampilan pada situs desktop-nya. Lewat menu pengaturan, pengguna dapat mengubah ukuran font, mengganti aksen warna biru muda menjadi warna lain, serta memilih satu dari dua pilihan dark theme (Dim dan Lights Out).

Sumber: Twitter.

Shoelace Adalah Media Sosial untuk Mempertemukan Orang-Orang Berminat Sama di Dunia Nyata

Saya rasa tidak berlebihan apabila kita beranggapan sebagian besar orang sekarang lebih suka berinteraksi di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Kalau ditanya apa penyebabnya, hampir semua mungkin bakal mengambinghitamkan media sosial macam Facebook, Instagram, atau Twitter. Padahal tidak selamanya media sosial harus seperti tiga itu.

Pendapat itu coba dibuktikan oleh Google. Melalui divisi eksperimentalnya, Area 120, mereka mengembangkan media sosial berkonsep unik bernama Shoelace. Berbekal aplikasi di platform Android dan iOS, Shoelace punya misi untuk menghubungkan orang-orang berdasarkan kesamaan minat mereka terhadap aktivitas atau event tertentu.

Anggap saja Shoelace ini sebagai tempat untuk mencari teman baru yang memiliki minat yang sama seperti kita, tapi pencarian itu tidak berhenti sampai di bertukar nomor ponsel saja, melainkan sampai kita saling berjumpa dan beraktivitas bersama di lokasi. Ya, Shoelace pada dasarnya merupakan media sosial yang mendorong kita untuk mengurangi waktu penggunaan smartphone, dan menggantinya dengan interaksi sosial di dunia nyata.

Google Area 120 Shoelace

Lalu bagaimana cara kerjanya? Pertama-tama, pengguna Shoelace dipersilakan meracik event atau aktivitas yang mereka minati untuk kemudian dibagikan ke para pengguna lain. Kalau bingung, pengguna juga bisa meminta bantuan Shoelace mencarikan aktivitas atau event di sekitar yang mungkin menarik buat kita berdasarkan info preferensi yang kita cantumkan.

Bertemu orang baru sering kali berujung pada sejumlah momen canggung. Itulah mengapa pengguna Shoelace juga bisa mengisi sejumlah informasi pada profilnya masing-masing. Harapannya kita bisa menyiapkan sejumlah topik obrolan yang asyik untuk calon teman baru kita.

Sayangnya, karena sifat Shoelace yang hyper-local seperti ini, aplikasinya sejauh ini baru bisa digunakan oleh warga kota New York, dan itu pun harus melalui undangan khusus. Ke depannya Google berniat membawa Shoelace ke kota-kota lain, tapi belum ada informasi terkait negara lain.

Terlepas dari itu, tidak menutup kemungkinan Google bakal menerapkan sejumlah fitur Shoelace ke dalam Google Maps, apalagi mengingat Maps sekarang sudah rajin merekomendasikan sejumlah lokasi menarik untuk dikunjungi di sekitar penggunanya.

Sumber: Gizmodo.

Google+ Bakal Ditutup Agustus 2019, Tapi Versi Enterprise-nya Masih Lanjut

Apa kabar Google+? Saya tidak menyalahkan apabila Anda lupa dengan eksistensi media sosial yang satu ini, tapi jika dibandingkan Facebook dan Twitter, Google+ memang sangat tidak laku.

Sejak lama saya bertanya dalam hati, “kapan Google+ bakal ditutup?” Path belum lama ini sudah mengumumkan rencana penutupannya, dan saya semakin penasaran kapan Google bakal mengambil keputusan yang sama. Pertanyaan itu sudah terjawab: Google+ bakal berhenti beroperasi pada akhir Agustus 2019.

Namun yang menjadi alasan penutupannya bukanlah jumlah pengguna yang sedikit – meski Google pada akhirnya mengakui hal tersebut dan mengatakan bahwa 90 persen dari semua sesi penggunaan Google+ berlangsung kurang dari lima detik. Yang dijadikan alasan justru adalah kasus kebocoran data.

Kasus ini pertama dilaporkan oleh Wall Street Journal, lalu Google mengonfirmasinya dan menjelaskannya secara lebih merinci lewat blog resminya. Dijelaskan bahwa ada sebuah bug pada Google+ API yang memungkinkan aplikasi untuk mengakses informasi pada profil pengguna yang statusnya privat.

Bug tersebut sebenarnya sudah ditangani Google sejak bulan Maret lalu, akan tetapi salah mereka adalah tidak menginformasikannya sama sekali ke pengguna. Pembelaan Google adalah mereka sama sekali tidak menemukan bukti penyalahgunaan bug tersebut.

Terlepas dari itu, kasus ini pada akhirnya memaksa Google untuk berbenah. Imbasnya, Google+ pun harus dikorbankan. Namun ternyata yang ditutup hanyalah Google+ versi konsumen, versi enterprise-nya yang terbilang cukup populer masih akan lanjut beroperasi seperti biasa.

Jadi apabila Anda pernah aktif menggunakan Google+ dan merasa ada data yang perlu diselamatkan, Anda masih punya waktu sekitar 10 bulan untuk melakukannya. Dalam beberapa bulan ke depan, Google bakal menyediakan informasi lebih lengkapnya.

Sumber: Google via Engadget.

Twitter Makin Serius Perangi Spam dan Akun Palsu

Hampir semua media sosial dengan jumlah pengguna yang masif punya masalah seputar spam. Tidak terkecuali Twitter, yang setiap harinya harus rajin bersih-bersih platform-nya dari jeratan spam dan akun palsu. Upaya mereka belum bisa dikatakan sukses, tapi setidaknya terus menunjukkan kemajuan.

Pada bulan Mei kemarin, Twitter berhasil mengidentifikasi nyaris 10 juta akun yang menjurus ke spam maupun bot. Angkanya naik drastis jika dibandingkan data bulan Desember 2017, di mana jumlah akun yang teridentifikasi hanya mencapai 6,4 juta.

Salah satu rahasia di balik kemajuan ini adalah investasi Twitter terhadap teknologi machine learning. Sederhananya, sistem yang mereka buat sanggup mengidentifikasi akun bermasalah secara proaktif ketimbang hanya menunggu laporan dari para pengguna.

Dampak positifnya, rata-rata laporan pengguna Twitter terkait spam jadi menurun, yang tadinya sekitar 25.000 per hari di bulan Maret menjadi 17.000 per hari di bulan Mei. Ini berarti kita sebagai pengguna jadi lebih jarang diusik oleh spam, yang pada akhirnya bisa berujung pada interaksi yang lebih ‘sehat’.

Jumlah akun spam yang teridentifikasi Twitter setiap bulan

Namun ini saja tentu belum cukup, dan Twitter pun sudah menyiapkan sejumlah inisiatif lain guna memerangi spam dan akun palsu. Yang pertama, proses pembuatan akun palsu bakal lebih dipersulit, sebab Twitter akan meminta konfirmasi alamat email atau nomor telepon bagi para pendaftar baru.

Kedua, ‘gerak-gerik’ akun yang berpotensi menjurus ke spam bakal dibatasi. Jadi seandainya akun-akun ini telah dideteksi keberadaannya oleh Twitter, maka akun-akun tersebut tak akan lagi masuk hitungan follower maupun bentuk engagement lainnya, kecuali pemiliknya berhasil melewati semacam uji verifikasi, semisal dengan mengonfirmasi nomor telepon.

Untuk akun yang menjurus ke bot, yang umumnya menuliskan Tweet dalam jumlah besar dengan tagar yang sama, atau yang me-mention seseorang berkali-kali tanpa mendapat balasan sama sekali, Twitter bakal menindaknya dengan berbagai cara, mulai dari menghadapkannya dengan reCAPTCHA maupun permintaan reset password.

Sumber: Twitter. Gambar header: Pixabay.

Platform Circledoo Sajikan Tempat Belajar Ketrampilan

Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan di era digital semakin mudah. Banyak bisnis dan layanan yang menghadirkan solusi tersebut. Circledoo adalah salah satunya. Circledoo mencoba menghadirkan sebuah platform yang secara sederhana mempertemukan orang-orang yang memiliki keterampilan. Selanjutnya dengan bergabung dengan “circle” tersebut diharapkan mereka bisa saling belajar dan mengasah kemampuannya.

Circledoo hadir dengan mengusung konsep memudahkan generasi muda untuk belajar dan mendapatkan keahlian dan keterampilan dengan mudah, cepat, transparan, dan murah. Sebagai sebuah platform, Circledoo memungkinkan setiap orang membagi dan belajar keterampilan. Proses pertukaran atau belajar ini yang diharapkan berperan untuk meningkatkan keterampilan di masyarakat.

Circledoo bekerja seperti layaknya platform pembelajaran. Setiap pengguna bisa memilih untuk membuka kelas atau mengikuti kelas orang lain. Ketika memilih kelas, pengguna bisa memilih lokasi, waktu hingga harga (bisa juga gratis) untuk kelas yang dibukanya. Jika pengguna lain mengikuti kelas tersebut kemudian bisa dilanjutkan sesuai jadwal dan waktu yang dilakukan.

Layanan yang pertama kali diperkenalkan pada Januari lalu ini sudah berhasil mendapatkan setidaknya 500 pengguna terdaftar dengan keterampilan dan ketertarikan yang beragam. Kepada DailySocial CEO Circledoo Tasa Nugraza Barley memaparkan pihaknya memang memfokuskan pada kalangan millennials. Tepatnya mereka yang berusia 17 hingga 35 tahun.

Sementara itu dari segi fitur, selain sistem pembayaran online, Circledoo juga dilengkapi beberapa fungsionalitas seperti fitur pesan, social networking, dan pencarian event untuk memudahkan pengguna di dalamnya berinteraksi.

Taza lebih jauh juga menceritakan pihaknya telah berhasil mendapatkan pendanaan dari beberapa investor. Bahkan diberitakan media pendanaan yang didapat mencapai US$ 200.000. Dengan dana tersebut Circledoo diprediksi akan memperkuat komposisi tim dan untuk keperluan marketing.

Tahun ini kabarnya Circledoo juga tengah mengembangkan produk dan beberapa inovasi lain untuk terus meningkatkan kualitas platform. Sejauh ini yang berbeda dari Circledoo dibanding dengan bisnis lainnya adalah konsentrasinya yang tidak hanya pada daring, tetapi juga memberikan kesempatan tatap muka atau bertemu langsung namun rencana dan tata kelolanya tetap disiapkan secara online.

“Fokus kami saat ini adalah mengembangkan produk dan tim serta kegiatan-kegiatan untuk edukasi pasar. Secara bersamaan kami terus membangun komunikasi yang kuat kepada para pengguna dan calon pengguna, sehingga kami bisa terus melakukan pengembangan produk yang benar-benar sesuai seperti apa yang dibutuhkan,” tutup Tasa.

ViuGraph Usung Konsep Social Network, Incar Pengguna Usia Muda

Konsep social networking atau media sosial menjadi model-model dan layanan yang cukup populer di Indonesia. Bahkan untuk media sosial besar seperti Facebook, Instagram dan Twitter Indonesia masih menjadi negara dengan sumbangsih pengguna dan posting tertinggi. Meski sudah banyak media sosial populer di Indonesia, hal ini tidak membuat ViuGraph “minder” untuk merebut hati pengguna internet di Indonesia.

ViuGraph merupakan layanan social networking yang memungkinkan pengguna berbagi foto dan video. Dikembangkan PT Svarga Indomulia Mediatama, layanan yang mulai diluncurkan di pertengahan tahun 2017 ini mencoba merebut hati para pengguna media sosial mainstream yang mulai muak dengan postingan yang bertebaran yang tidak sesuai dengan minat mereka. ViuGraph menawarkan filter berdasarkan kategori (selain following) dengan keinginan masing-masing.

“ViuGraph memberikan platform berbagi cerita dalam klasifikasi topik-topik tertentu, di samping dengan teman yang sudah dikenal. Selain hal tersebut, ada fitur filtering yang membuat pengguna ViuGraph hanya melihat apa yang diinginkan dengan timeline berdasarkan waktu kronologis konten tersebut di upload. You Watch What You Want, You View What You Like,” ungkap founder CEO ViuGraph Wahyu Widi.

Wahyu menjelaskan ViuGraph memiliki tab spesial yang  berisi video dengan durasi di atas 60 detik dan di bawah 8 menit. Nantinya video tersebut nantinya hanya akan disimpan di penyimpanan selama sepekan.

“Di ViuGraph ada tab spesial untuk video dengan durasi di atas 60 detik dan di bawah 8 menit. Nantinya video jenis ini hanya akan disimpan di storage kami selama sepekan (untuk saat ini belum ada pembatasan masa simpan di storage). Kami melihat kadang ada story yang tidak lengkap jika dibatasi durasinya sampai 60 detik, misalnya hiburan atau berita,” imbuh Wahyu.

Target pengguna usia muda

Sebagai salah satu platform yang mengandalkan waktu online di internet, ViuGraph menyasar pengguna di kisaran usia 16 sampai dengan 22 tahun. Selain itu ViuGraph juga menyasar ibu-ibu muda atau para pencari kerja yang sedang mencari berita atau tutorial.

Saat ini ViuGraph baru tersedia di platform berbasis Android. Aplikasinya pun sederhana namun tampak sekali usaha ViuGraph menyediakan pengalaman berbeda menggunakan aplikasi berbagi foto dan video.

Pengguna hanya cukup mendaftar atau login menggunakan akun Gmail, kemudian akan dihadapkan dengan pilihan topik yang diinginkan. Nantinya postingan dengan topik yang dipilih akan menghiasi beranda atau timeline pengguna. Berbarengan dengan pengguna yang di-follow.

Tantangan ViuGraph di Indonesia

Loyalitas pengguna internet di Indonesia bukan hanya soal fitur, tetapi juga stabilitas layanan dan banyak pengguna populer (baik artis, influencer hingga politikus) yang berada di platform tersebut. Dua hal yang harusnya menjadi fokus ViuGraph saat ini. Menyediakan fitur berguna, menjaring banyak pengguna populer dan menjaga stabilitas layanan.

Semenjak pertama kali diluncurkan, ViuGraph sudah mendapatkan 500-an pengguna. Dengan umur yang masih baru dan persaingan dengan media sosial ternama, ViuGraph masih harus berjuang ekstra keras meyakinkan pengguna Indonesia untuk menggunakan layanannya.

“Karena aplikasi kami memberikan solusi simpel bagi pengguna media sosial visual yang saat ini yang dirundung masalah dengan banyaknya postingan konten yang tidak diminati. [..] Di samping itu, ini media sosial dikembangkan oleh anak-anak muda Indonesia dan dimiliki oleh badan hukum di Indonesia yang tentunya bayar pajaknya di Indonesia,” ujar Wahyu.

Application Information Will Show Up Here

Strava Ciptakan Media Sosial Mini Khusus Penggemar Olahraga di dalam Aplikasinya

Sharing di media sosial merupakan salah satu bentuk motivasi berolahraga yang paling efektif menurut hasil studi MIT. Gampangnya, untuk kegiatan bersepeda misalnya, kita pasti terdorong untuk menempuh jarak yang lebih jauh dan lebih cepat daripada teman-teman sesama pesepeda.

Itulah mengapa hampir semua aplikasi fitness menawarkan fitur sharing ke Facebook atau Twitter. Namun sekarang Strava ingin mengumpulkan semua itu di satu tempat lewat fitur baru bernama Athlete Posts. Fitur ini pada dasarnya bisa dianggap sebagai platform blogging mini di dalam aplikasi Strava.

Strava sendiri mendeskripsikannya sebagai “cara baru untuk menciptakan dan membagikan konten” bagi jutaan penggunanya. Memang seberapa banyak pengguna Strava? Tanpa mengungkapkan angka pastinya, Strava cuma bilang kalau setidaknya ada satu juta pengguna baru setiap 45 hari.

Contoh konten Athlete Posts di Strava / Strava
Contoh konten Athlete Posts di Strava / Strava

Pengguna nantinya dapat mem-posting catatan kecil, tips, artikel maupun topik diskusi, lengkap beserta foto-foto yang relevan. Sekali lagi anggap saja ini sebagai Facebook atau Twitter mini di dalam Strava, tapi tentunya dengan koleksi konten seputar kebugaran dan kesehatan yang dapat menginspirasi sekaligus memotivasi pengguna.

Strava sendiri sudah menyiapkan konten dengan menggandeng sekitar 36 atlet berpengaruh untuk berbagi pengalamannya, sebelum nantinya merilis Athlete Posts secara publik pada musim panas.

Sumber: Digital Trends dan Strava.