Tag Archives: Social Networking

Facebook Bakal Ingatkan Pengguna yang Hendak Membagikan Berita Lawas

Bagi sebagian orang, Facebook merupakan sumber utama mereka mendapatkan berita. Itu berarti selain berita-berita yang langsung dibagikan oleh media publikasi, mereka juga bakal berhadapan dengan berita-berita yang dibagikan oleh kawan-kawannya di media sosial tersebut.

Berita yang dibagikan media publikasi di media sosial biasanya adalah berita terkini, tapi kasusnya tidak selalu seperti itu untuk berita yang dibagikan pengguna Facebook secara umum. Mereka bebas saja membagikan berita-berita lama, dan terkadang ini bisa berujung pada misinformasi buat mereka yang membaca tanpa menyadari kapan berita tersebut ditayangkan.

Untuk membantu mengurangi terjadinya kasus-kasus seperti itu, Facebook sedang meluncurkan fitur baru berupa notifikasi yang muncul ketika pengguna hendak membagikan berita lama, berita yang tayang lebih dari 3 bulan sebelumnya. Notifikasi tersebut hanya bertujuan mengingatkan, sebab pengguna tetap bisa membagikannya jika mereka merasa beritanya masih relevan hingga sekarang.

Jadi jangan kaget semisal nanti Anda mengklik tombol “Share” pada suatu berita di Facebook dan mendapati notifikasi bertuliskan “This article is over 1 year old.” Mungkin Anda sendiri tidak sadar kalau berita itu adalah berita lama yang sudah tidak relevan – atau malah tidak sempat membaca isinya dan terprovokasi hanya setelah membaca judulnya saja – dan di situlah notifikasi ini akan membantu mengingatkan.

Facebook mengaku bahwa sejumlah publikasi telah beberapa kali mengutarakan kekhawatirannya akan berita-berita lawas yang dibagikan di media sosial layaknya berita terkini. Sebagian publikasi bahkan langsung mengambil tindakan sendiri dengan memberikan label yang lebih jelas pada artikel-artikel lama yang terdapat di situsnya masing-masing. Apa yang Facebook lakukan ini pada dasarnya bisa membantu publikasi-publikasi yang mungkin tidak memiliki resource untuk mengatasi problem tersebut sendiri.

Dalam beberapa bulan ke depan, Facebook juga berencana untuk menguji notifikasi serupa untuk berbagai keperluan lain, semisal untuk memberikan informasi ekstra terkait COVID-19 saat pengguna hendak membagikan tautan artikel yang menyinggung soal COVID-19, sehingga pengguna bisa mendapatkan konteks yang lebih lengkap pada konten yang hendak dibagikannya.

Sumber: Facebook.

Twitter Uji Fitur Stories, Namanya Fleets

Twitter belum lama ini diprediksi sedang menggodok fitur Stories, tepatnya ketika mereka mengakuisisi sebuah startup bernama Chroma Labs. Chroma Labs merupakan pengembang Chroma Stories, aplikasi iPhone untuk menciptakan konten Stories yang lebih menarik ketimbang memakai tool bawaan masing-masing platform sosial.

Prediksi itu tidak meleset. Twitter mengumumkan bahwa mereka akan segera menguji fitur baru bernama “Fleets”, tapi baru untuk konsumen di Brasil. Persis seperti Stories, Fleets akan hilang dengan sendirinya 24 jam setelah diunggah. Penempatannya pun sama, di paling atas Timeline.

Selain teks, Fleets bisa dijejali foto, video ataupun GIF. Sticker dan tool lainnya tidak ada (belum?), tapi Twitter berargumen bahwa ini disengaja demi merefleksikan karakter asli Twitter yang memang lebih banyak melibatkan teks ketimbang jenis konten lainnya.

Twitter Fleets

Satu hal yang sangat berbeda dari Fleets adalah cara menavigasikannya. Untuk melihat beberapa Fleets dari satu pengguna misalnya, kita harus mengusap layar ke bawah. Ini jelas berbeda dari Stories di tempat lain, di mana kita sudah terbiasa menyentuh sisi kanan layar untuk melihat Stories selanjutnya dari orang yang sama.

Barulah untuk beralih ke Fleet dari pengguna yang lain, kita bisa mengusap layar ke kiri, persis seperti di Instagram Stories. Kabar baiknya, gesturegesture ini bisa saja berubah tergantung masukan dari pengguna selama masa pengujian.

Twitter Fleets
Untuk melihat beberapa Fleets dari satu orang yang sama, pengguna harus swipe ke bawah, bukan tap di sisi kanan seperti biasanya / Twitter

Kita boleh menuduh Twitter latah, akan tetapi mereka punya alasan sendiri di balik kehadiran Fleets. Mereka berpendapat bahwa sebagian pengguna Twitter cenderung pasif karena mereka merasa tidak nyaman dengan sifat Tweet yang publik dan permanen. Dengan kata lain, banyak pengguna Twitter yang takut salah bicara hingga akhirnya dihujat khalayak.

Fleets dilihat sebagai solusi yang tepat. Twitter berharap pengguna bisa merasa lebih nyaman berdiskusi atau mengungkapkan uneg-unegnya dengan adanya Fleets. Seperti yang saya bilang, Fleets akan dihapus secara otomatis setelah 24 jam, dan ini setidaknya bisa membuat pengguna merasa lebih tidak tertekan.

Fleets saat ini sedang diuji di Twitter versi Android maupun iOS, tapi baru untuk pengguna di Brasil saja. Pengujiannya bakal berlangsung selama beberapa bulan sebelum Twitter memutuskan untuk merilisnya secara global.

Sumber: TechCrunch dan The Verge.

Sistem Ranking Video Facebook Bakal Lebih Prioritaskan Konten yang Bersifat Orisinal

Sebagai sebuah platform video, Facebook memang belum sebesar YouTube, tapi itu tidak mencegah sejumlah kreator mendedikasikan seluruh karyanya buat para pengguna Facebook. Sebaliknya, Facebook juga ingin lebih memanjakan para kreator yang sudah memilih platform-nya dalam berkarya.

Mereka baru saja mengumumkan pembaruan yang bakal diterapkan pada sistem ranking video-video yang tersebar di Facebook. Secara garis besar, Facebook ingin lebih memprioritaskan video-video yang bersifat orisinal, bukan yang sebatas diedit ulang dan ditambahi caption begitu saja.

Singkat cerita, Facebook bakal lebih membatasi ‘pergerakan’ video-video yang tidak orisinal ini. Harapannya tentu saja adalah supaya penonton dapat lebih mudah menemukan konten dari kreator yang benar-benar berdedikasi dalam berkarya.

Dalam beberapa bulan ke depan, sistem ranking video di Facebook bakal lebih mengistimewakan video-video yang tak sekadar banyak dicari, tapi juga mampu membuat kita menontonnya berulang-ulang dari waktu ke waktu.

Perlakuan yang sama juga bakal diterapkan untuk video-video yang berhasil menarik perhatian menonton lebih dari satu menit, khususnya untuk video yang durasinya melebihi angka tiga menit. Intinya, kalau suatu video terbukti mampu membuat penontonnya merasa engaged, maka video itu bakal lebih sering muncul di News Feed, Facebook Watch maupun algoritma rekomendasi “More Videos”.

Selain membenahi sistem ranking, Facebook juga menjabarkan secara detail pedoman buat kreator video di platform-nya, termasuk untuk aspek monetisasinya.

Sumber: Facebook via Engadget.

Twitter Hadirkan Opsi Retweet Menggunakan Foto, Video dan GIF

Terlepas dari segala keterbatasannya, Twitter masih merupakan satu dari segelintir media sosial yang bisa bertahan lebih dari sepuluh tahun. Meski cukup sering dibandingkan dengan Facebook, Twitter sebenarnya harus diperlakukan secara berbeda mengingat secara konten ia lebih banyak melibatkan teks ketimbang media.

Namun seiring waktu Twitter juga terus menambahkan jenis media yang dapat dimain-mainkan oleh penggunanya. Yang terbaru, media seperti foto, video maupun GIF kini bahkan dapat dibubuhkan ke Retweet.

Sebelum ini, sebuah Retweet hanya bisa diisi dengan teks, namun rupanya cukup banyak pengguna yang mendambakan opsi untuk berkomentar menggunakan gambar atau GIF, hingga akhirnya Twitter pun mengabulkannya. Meski kesannya sepele, fitur baru ini tentunya bakal berdampak pada timeline yang lebih berwarna.

Juga menarik adalah tantangan yang dijumpai tim desain Twitter selama menggodok fitur ini. Mereka harus merancang layout baru supaya Retweet yang berisikan dua media tidak jadi membingungkan (mana media dari Tweet asli, mana yang ditambahkan pada Retweet?)

Solusi yang mereka terapkan adalah dengan prinsip hirarki; media yang ditambahkan di Retweet tampil lebih dulu dan lebih besar, diikuti oleh Tweet asli beserta medianya di bawah dalam ukuran yang lebih kecil. Sekali lagi, meski sepele, ternyata dibutuhkan proses yang cukup panjang agar benar-benar matang.

Kehadiran fitur ini juga menjadi bukti bahwa Twitter mau mendengarkan permintaan para penggunanya. Di samping Retweet menggunakan media, mungkin yang lebih banyak di-request adalah tombol edit. Kita lihat saja apakah Twitter ke depannya sanggup mewujudkan permintaan klasik tersebut.

Sumber: TechCrunch.

Fitur Watch Party Kini Bisa Dinikmati Lewat Facebook Page Maupun Profil Pengguna

Semenjak Facebook meluncurkan fitur Watch Party pada bulan Juli lalu, total sudah ada lebih dari 12 juta sesi nobar virtual yang berlangsung. Angka tersebut cukup mengesankan, mengingat hingga kemarin Watch Party hanya bisa diakses lewat Facebook Group.

Namun pada saat peluncurannya, Facebook juga menyinggung rencananya untuk menghadirkan Watch Party pada Facebook Page. Rencana tersebut akhirnya terwujud, malahan bukan hanya di Page saja, tapi juga melalui profil individu para pengguna Facebook.

Singkat cerita, Anda sekarang tidak perlu tergabung dengan grup tertentu hanya untuk menonton video bersama orang-orang yang Anda kenal di Facebook. Namun untuk Group dan Page, ada sejumlah fitur baru yang sedang diuji Facebook.

Yang pertama adalah kemampuan untuk menjadwalkan sesi Watch Party, sehingga penonton yang tertarik bisa mengatur waktunya agar tidak ketinggalan. Kedua, komentar dalam suatu sesi Watch Party kini disajikan dalam format thread agar lebih rapi dan mudah terbaca.

Ketiga, ada fitur live comment, yang berarti penggagas sesi Watch Party bisa berperan sebagai seorang komentator selagi menonton video bersama rekan-rekannya. Sekali lagi semuanya terasa seperti sesi nobar sesungguhnya, tapi lewat dunia maya.

Sesudah Page dan profil, apakah masih ada tempat lain yang bisa dijejali fitur Watch Party? Ada. Baru sekitar dua minggu lalu, TechCrunch melaporkan bahwa Facebook tengah menguji secara internal fitur serupa untuk platform Messenger. Realisasinya mungkin hanya tinggal menunggu waktu beserta respon pengguna terhadap Watch Party yang kini lebih mudah diakses.

Sumber: Engadget.

Google+ Bakal Ditutup Agustus 2019, Tapi Versi Enterprise-nya Masih Lanjut

Apa kabar Google+? Saya tidak menyalahkan apabila Anda lupa dengan eksistensi media sosial yang satu ini, tapi jika dibandingkan Facebook dan Twitter, Google+ memang sangat tidak laku.

Sejak lama saya bertanya dalam hati, “kapan Google+ bakal ditutup?” Path belum lama ini sudah mengumumkan rencana penutupannya, dan saya semakin penasaran kapan Google bakal mengambil keputusan yang sama. Pertanyaan itu sudah terjawab: Google+ bakal berhenti beroperasi pada akhir Agustus 2019.

Namun yang menjadi alasan penutupannya bukanlah jumlah pengguna yang sedikit – meski Google pada akhirnya mengakui hal tersebut dan mengatakan bahwa 90 persen dari semua sesi penggunaan Google+ berlangsung kurang dari lima detik. Yang dijadikan alasan justru adalah kasus kebocoran data.

Kasus ini pertama dilaporkan oleh Wall Street Journal, lalu Google mengonfirmasinya dan menjelaskannya secara lebih merinci lewat blog resminya. Dijelaskan bahwa ada sebuah bug pada Google+ API yang memungkinkan aplikasi untuk mengakses informasi pada profil pengguna yang statusnya privat.

Bug tersebut sebenarnya sudah ditangani Google sejak bulan Maret lalu, akan tetapi salah mereka adalah tidak menginformasikannya sama sekali ke pengguna. Pembelaan Google adalah mereka sama sekali tidak menemukan bukti penyalahgunaan bug tersebut.

Terlepas dari itu, kasus ini pada akhirnya memaksa Google untuk berbenah. Imbasnya, Google+ pun harus dikorbankan. Namun ternyata yang ditutup hanyalah Google+ versi konsumen, versi enterprise-nya yang terbilang cukup populer masih akan lanjut beroperasi seperti biasa.

Jadi apabila Anda pernah aktif menggunakan Google+ dan merasa ada data yang perlu diselamatkan, Anda masih punya waktu sekitar 10 bulan untuk melakukannya. Dalam beberapa bulan ke depan, Google bakal menyediakan informasi lebih lengkapnya.

Sumber: Google via Engadget.

Fitur Baru Pinterest Mudahkan Kolaborasi Antar Pengguna

Dari awal diluncurkan di tahun 2010, Pinterest masih menjadi media sosial yang amat niche. Fungsinya bukan untuk mendekatkan yang jauh (dan menjauhkan yang dekat), melainkan untuk membantu kita mengumpulkan inspirasi secara visual. Kalau menurut saya pribadi, Pinterest bisa dianggap sebagai medium kliping digital.

Kendati demikian, per September tahun lalu, Pinterest mengklaim memiliki lebih dari 200 juta pengguna aktif setiap bulannya. Cukup impresif untuk sesuatu yang tergolong niche, dan itulah mengapa mereka terus melancarkan sejumlah upaya supaya komunitas penggunanya bisa terus terikat dengan platform-nya.

Upaya terbarunya adalah fitur yang memudahkan kolaborasi di antara para Pinner (sebutan untuk pengguna Pinterest) lewat sebuah group board. Dalam setiap group board, pengguna yang tergabung di dalamnya sekarang bisa berkomunikasi satu sama lain dengan lebih mudah.

Pinterest activity feed on group boards

Fungsi-fungsi standar seperti like, comment, reply dan mention kini telah tersedia di group board, dan tentu saja percakapannya hanya bisa dilihat oleh mereka yang terdata sebagai kolaborator dalam group board tersebut.

Memonitor apa saja yang teman-teman Anda rencanakan juga lebih mudah berkat activity feed, yang akan menampilkan semua yang terjadi di group board tersebut. Dari yang sesimpel Pin baru yang disimpan oleh teman Anda, sampai anggota baru yang tergabung dalam group board, semuanya bisa dipantau dari sini.

Secara keseluruhan, tool kolaborasi ini akan memudahkan para Pinner dalam merencanakan proyek maupun acara-acara spesial, seperti pesta ulang tahun kejutan maupun bridal shower misalnya. Pembaruan ini membuat Pinterest jadi mirip Trello di mata saya, hanya saja untuk hal-hal yang bersifat fun ketimbang pekerjaan.

Sumber: TechCrunch dan Pinterest.

Twitter Makin Serius Perangi Spam dan Akun Palsu

Hampir semua media sosial dengan jumlah pengguna yang masif punya masalah seputar spam. Tidak terkecuali Twitter, yang setiap harinya harus rajin bersih-bersih platform-nya dari jeratan spam dan akun palsu. Upaya mereka belum bisa dikatakan sukses, tapi setidaknya terus menunjukkan kemajuan.

Pada bulan Mei kemarin, Twitter berhasil mengidentifikasi nyaris 10 juta akun yang menjurus ke spam maupun bot. Angkanya naik drastis jika dibandingkan data bulan Desember 2017, di mana jumlah akun yang teridentifikasi hanya mencapai 6,4 juta.

Salah satu rahasia di balik kemajuan ini adalah investasi Twitter terhadap teknologi machine learning. Sederhananya, sistem yang mereka buat sanggup mengidentifikasi akun bermasalah secara proaktif ketimbang hanya menunggu laporan dari para pengguna.

Dampak positifnya, rata-rata laporan pengguna Twitter terkait spam jadi menurun, yang tadinya sekitar 25.000 per hari di bulan Maret menjadi 17.000 per hari di bulan Mei. Ini berarti kita sebagai pengguna jadi lebih jarang diusik oleh spam, yang pada akhirnya bisa berujung pada interaksi yang lebih ‘sehat’.

Jumlah akun spam yang teridentifikasi Twitter setiap bulan

Namun ini saja tentu belum cukup, dan Twitter pun sudah menyiapkan sejumlah inisiatif lain guna memerangi spam dan akun palsu. Yang pertama, proses pembuatan akun palsu bakal lebih dipersulit, sebab Twitter akan meminta konfirmasi alamat email atau nomor telepon bagi para pendaftar baru.

Kedua, ‘gerak-gerik’ akun yang berpotensi menjurus ke spam bakal dibatasi. Jadi seandainya akun-akun ini telah dideteksi keberadaannya oleh Twitter, maka akun-akun tersebut tak akan lagi masuk hitungan follower maupun bentuk engagement lainnya, kecuali pemiliknya berhasil melewati semacam uji verifikasi, semisal dengan mengonfirmasi nomor telepon.

Untuk akun yang menjurus ke bot, yang umumnya menuliskan Tweet dalam jumlah besar dengan tagar yang sama, atau yang me-mention seseorang berkali-kali tanpa mendapat balasan sama sekali, Twitter bakal menindaknya dengan berbagai cara, mulai dari menghadapkannya dengan reCAPTCHA maupun permintaan reset password.

Sumber: Twitter. Gambar header: Pixabay.

Berkat Machine Learning, Sistem Cropping Gambar Otomatis Twitter Kini Jadi Lebih Pintar

Kita semua tahu bahwa jutaan gambar yang diunggah ke Twitter setiap harinya ada yang dalam orientasi portrait dan ada juga yang landscape. Namun agar lini masa kita bisa kelihatan konsisten, tampilan preview semua gambar sengaja di-crop ke satu ukuran yang sama, sekaligus untuk memberikan ruang yang lebih banyak buat Tweet lain.

Selama ini, Twitter mengandalkan teknologi pengenal wajah untuk menentukan bagian mana dari suatu gambar yang harus di-crop. Masalahnya, tidak semua gambar mengemas wajah seseorang. Jadi untuk gambar-gambar ini, yang di-crop adalah bagian tengahnya, sehingga sering kali tampilan preview-nya di lini masa kelihatan luar biasa aneh.

Untuk ke depannya, Twitter bakal menerapkan sistem cropping otomatis yang lebih cerdas, dengan bantuan machine learning. Sistem baru ini pada dasarnya akan menentukan bagian mana yang harus di-crop berdasarkan bagian-bagian dalam gambar yang paling memikat perhatian kita, yang umumnya tidak jauh-jauh dari wajah, teks, binatang, objek lain maupun area dengan tingkat kontras yang tinggi.

Twitter smart auto crop with machine learning

Sistem ini sebenarnya sudah sejak lama dikembangkan oleh para akademisi, akan tetapi Twitter memilih untuk memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan mereka. Sederhananya, yang diciptakan para akademisi dinilai terlalu berlebihan karena dapat memprediksi pixel demi pixel, dan akibatnya, kinerjanya cukup lambat.

Twitter cuma butuh garis besarnya, dan yang pasti mereka ingin sistem ini bisa bekerja secara instan agar kita dapat tetap mengunggah foto secara real-time. Singkat cerita, hasil modifikasi mereka dapat bekerja 10x lebih cepat dalam menentukan bagian foto yang harus di-crop ketimbang versi yang lebih powerful yang digunakan oleh para akademisi.

Anda bisa menilai sendiri efektivitas sistem baru ini dari dua gambar di atas. Twitter sendiri sedang dalam proses mengimplementasikannya ke aplikasi Twitter versi iOS, Android maupun web.

Sumber: Twitter.

Twitter Luncurkan Fitur Threading untuk Memudahkan Pembuatan Tweet Berantai

Beberapa hari yang lalu, Twitter meluncurkan fitur yang cukup menarik bernama threading (utasan), yang sekarang sudah mulai tersedia bagi banyak pengguna. Fitur ini ditujukan untuk memudahkan pengguna membuat Tweet berantai, atau yang kerap disebut dengan istilah tweetstorm oleh banyak pengguna.

Tweetstorm, atau yang juga dikenal dengan istilah “kultwit” di sini, pada dasarnya merupakan beberapa Tweet terpisah yang mengemas satu gagasan utama, menyambung dari satu ke yang lainnya. Format seperti ini sebenarnya sudah populer sejak lama, akan tetapi Twitter tidak pernah secara resmi mendukungnya.

Ada banyak cara yang diterapkan oleh pengguna dalam membuat Tweet berantai selama ini, salah satu yang populer adalah dengan me-reply diri sendiri dan menomori masing-masing Tweet. Namun bagaimanapun caranya, pengguna masih harus mengklik tombol “Tweet” satu demi satu, dan ini jauh dari kata praktis.

Hingga akhirnya fitur threading ini resmi datang. Sekarang, selagi menulis suatu Tweet, Anda bisa menambahkan Tweet demi Tweet di bawahnya, sebelum mengirimkan semuanya secara bersamaan menjadi Tweet berantai. Di saat yang sama, follower Anda juga bisa langsung mengetahui yang mana yang merupakan Tweet berantai dengan melihat label “Show this thread”.

Twitter threading

Cara menggunakannya cukup simpel: buka jendela composer seperti biasa, lalu ketik Tweet yang pertama. Selanjutnya, klik tombol baru berlambang “+”, dan ketik Tweet yang kedua. Ulangi langkah yang sama untuk membuat Tweet ketiga dan seterusnya. Kalau sudah selesai, tinggal klik tombol “Tweet all” untuk membagikan semuanya secara bersamaan.

Fitur ini datang tidak lama setelah Twitter memperbarui batasan Tweet dari 140 menjadi 280 karakter. 280 karakter memang sudah cukup panjang, tapi ada kalanya batasan itu masih kurang, atau ketika ide harus ditumpahkan dalam beberapa Tweet terpisah yang bersambung. Di saat yang sama, fitur threading ini kian memantapkan peran Twitter sebagai platform microblogging yang efektif.

Threading atau utasan ini sekarang sudah bisa dinikmati oleh semua pengguna, tapi entah mengapa saya belum menemukannya di aplikasi Twitter versi iOS, meski sudah saya update ke versi yang terbaru, dan versi Android dan web-nya sudah ada.

Sumber: Twitter.