Tag Archives: solar panel

Startup Cleantech Energi

Daftar Startup Cleantech Indonesia di Sektor Energi

Terlepas dari kendala seputar pendanaan dan regulasi, ekosistem startup cleantech di Indonesia punya potensi untuk tumbuh subur.

Secara umum, ekosistem startup cleantech di Indonesia dapat dipetakan menjadi tiga sektor: sektor energi, sektor transportasi, dan sektor industri & pembangunan.

Di artikel ini, tim Solum.id telah mengumpulkan deretan startup cleantech Indonesia yang bergerak di sektor energi.

Berikut daftar lengkapnya.

1. Xurya

Didirikan pada tahun 2018, Xurya merupakan startup yang menyediakan solusi lengkap terkait kebutuhan listrik bersih bersumber energi matahari.

Platform yang Xurya bangun ditargetkan untuk membantu transisi energi para pemilik bangunan komersial dan industri, mulai dari tahap studi kelayakan investasi, manajemen instalasi, hingga operasional dan pemeliharaan berkala.

Website: xurya.com

2. SolarKita

SolarKita menyediakan solusi terintegrasi bagi konsumen residensial yang tertarik untuk menambahkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada atap rumahnya.

Pelayanan yang diberikan mencakup dari tahap konsultasi hingga perawatan dan pemantauan performa PLTS. SolarKita juga menawarkan program pendanaan yang cukup fleksibel.

Website: solarkita.com

3. Warung Energi

Berdiri pada tahun 2017, Warung Energi adalah salah satu unit bisnis milik PT Bina Lintas Usaha Ekonomi (BLUE) yang mengusung konsep one-stop shopping terkait solusi teknologi energi terbarukan.

Warung Energi menjual komponen PLTS secara terpisah sekaligus melayani instalasi PLTS rumahan dalam berbagai paket yang dapat disesuaikan dengan bujet dan kebutuhan konsumen.

Website: warungenergi.com

4. BTI Energy

Didirikan pada Maret 2020 di Denpasar, Bali, BTI Energy merupakan penyedia layanan EPC (engineering, procurement, and construction) yang fokus pada energi terbarukan, khususnya energi matahari.

Fokus utama BTI Energy adalah mengatasi tantangan biaya tinggi dalam pemasangan panel surya, yakni melalui biaya yang terjangkau beserta skema pembayaran yang fleksibel.

Website: btienergy.id

5. Gree Energy

Sejak 2013, Gree Energy telah menawarkan solusi dekarbonisasi bagi industri pengolahan makanan dengan mengubah air limbah yang dihasilkan menjadi biogas — yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan energi, panas, air bersih, pupuk organik, ataupun dijual sebagai kredit karbon.

Website: gree-energy.com

Untuk daftar selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Suryanesia Kantongi Pendanaan Awal 31 Miliar Rupiah Dipimpin Intudo Ventures

Startup penyedia solusi energi terbarukan Suryanesia mengantongi pendanaan awal sebesar $2 juta atau sekitar 31 miliar Rupiah yang dipimpin Intudo Ventures. Putaran ini juga disuntik oleh sejumlah angel investor, termasuk eksekutif di perusahaan consulting, private equity, dan sovereign wealth funds.

Suryanesia berdiri pada Agustus 2021, menawarkan akses terhadap energi terbarukan untuk sektor komersial dan industrial. Sekadar informasi, putaran awal ini merupakan pendanaan eksternal pertama yang diperoleh Suryanesia.

Founder dan CEO Suryanesia Rheza Adhihusada mengatakan, Indonesia berperan sebagai medan perang dalam melawan perubahan iklim. “Misi kami adalah memberdayakan konsumer, pelaku bisnis, dan pemerintah untuk memanfaatkan teknologi dan solusi baru untuk mengatasi perubahan iklim dan mempercepat transisi ke energi terbarukan,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Pengembangan Suryanesia dipimpin oleh tim berpengalaman yang antusias terhadap perubahan iklim. Diawali Rheza yang sebelumnya konsultan di Bain & Company, diikuti oleh Nikesh Shamdasani sebagai Head of Engineering dengan keahlian mendalam dan telah berpengalaman memasang sistem tenaga surya 17 MWp di Indonesia. Terakhir, Grant Adsit bergabung menjadi Head of Business Development, sebelumnya berkarier sebagai eksekutif marketing di Colliers.

Sebagai penyedia Solar-as-a-Service, Suryanesia memfasilitasi pembiayaan, pemasangan, pengoperasian, dan pengelolaan sistem tenaga solar pada area rooftop milik klien. Melalui solusinya, energi bersih yang dihasilkan dapat membantu pemilik bangunan menghemat biaya listrik dan mengurangi jejak karbon tanpa dikenakan biaya di depan (upfront).

Pihaknya menyasar segmen bangunan komersial, seperti mal, serta manufaktur di sektor FMCG, tekstil, farmasi, furnitur, hingga plastik dengan target penghematan berkisar $20.000-$50.000 per tahun. Solusi ini juga dapat dimanfaatkan perusahaan multinasional atau publik yang ingin mendorong keberlanjutan dengan pengurangan karbon.

Akselerasi proyek

Pendanaan ini akan digunakan untuk menambah SDM sehingga dapat mempercepat pemasaran dan pengerjaan proyek. Suryanesia juga berencana ekspansi jangka panjang untuk menawarkan solusinya ke segmen residensial dan produksi tenaga independen (battery storage, wind power) agar dapat mengakomodasi kebutuhan energi terbarukan (renewable energy) di Indonesia. 

Pihaknya berupaya memberikan pengalaman seamless dan end-to-end, mencakup pemahaman klien dan regulatory management agar klien dapat menikmati penghematan energi. Adapun, pihaknya melakukan analisis struktural yang ketat dengan memberikan rekomendasi kuat untuk memastikan bangunan milik klien aman terhadap instalasi panel surya.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menambahkan, “selama satu dekade ke depan, kami meyakini Indonesia dapat mendorong dekarbonisasi. Solusi Suryanesia dapat membantu pemangku kepentingan di sektor komersial dan industrial untuk mengarungi jejak karbon sambil meningkatkan profitabilitas mereka. Kami menantikan upaya mereka menciptakan masa depan lebih hijau untuk Indonesia.”

Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah menetapkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Meski jejak startup energi belum panjang di Indonesia, hal ini justru memunculkan peluang bagi pemangku kepentingan untuk mengembangkan solusi menekan emisi karbon.

Salah satunya memanfaatkan panel surya sebagai opsi energi terbarukan paling populer. Di Indonesia, startup yang menawarkan solusi surya semakin berkembang, seperti Xurya, SUN Energy, Warung Energi, dan SolarKita. Namun, para pengembang tak jarang terhambat dalam memasarkan produknya. Selain butuh modal intensif dan waktu untuk bisa profit, masih banyak anggapan panel surya itu mahal dan butuh pemeliharaan yang berkelanjutan.

Maka itu, korporasi besar kini mengambil inisiatif untuk mendorong ekosistem startup energi di Tanah Air. Salah satunya adalah Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) yang mengalokasikan dana sebesar Rp7,7 triliun untuk investasi startup energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

SolarKita mencoba mempermudah proses pemanfaatan PLTS Atap

Solusi “End-to-End” SolarKita untuk Pemanfaatan Tenaga Surya

Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap menjadi salah satu strategi pemerintah meningkatkan pengembangan energi terbarukan di tanah air. Hal ini terkait target yang ditetapkan pemerintah untuk bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Hingga Juni 2022, terhitung realisasi bauran EBT tersebut baru mencapai 12,8%.

Pada tahun 2018 silam, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait PLTS atap di Indonesia melalui Permen ESDM No. 49/2018. Hal ini terbukti berhasil meningkatkan adopsi PLTS atap dari hanya 592 pelanggan di bulan November 2018 menjadi 3.781 pelanggan di bulan Mei 2021. Lanskap yang ada mendorong kehadiran sejumlah layanan untuk mendukung pemanfaatan teknologi tersebut, salah satunya SolarKita.

SolarKita didirikan tiga orang yang melihat peluang di industri ini, yaitu Amarangga Lubis sebagai Co-Founder & CEO, Aldamanda A. Lubis sebagai Co-Founder & Chairman of The Board, dan Bambang S. Nugroho sebagai Co-Founder & Head of Technology.

Amarangga, yang lebih akrab disapa Rangga, mengungkapkan hasil kajiannya dari semua format energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya yang paling mudah diimplementasi adalah PLTS atap. Sebelum memulai SolarKita, ia telah mencoba menggunakan teknologi ini, namun merasa sisi layanannya masih kurang memuaskan.

“Saya melihat loophole-nya ada pada kebanyakan penyedia layanan yang fokus hanya sampai program instalasi. Padahal, dari sisi pengguna, pengalamannya baru dimulai ketika PLTS-nya dipasang. Di sinilah peran kita untuk memastikan penggunaan PLTS yang optimal. Kita kembangkan platform SolarKita untuk memonitor secara aktif dan memastikan semua performance solar panel dari pengguna berjalan dengan baik,” jelas Rangga.

SolarKita menawarkan layanan end-to-end atau menyeluruh, dimulai dari konsultasi dan edukasi terkait PLTS, diikuti survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS. Tidak berhenti di situ, timnya juga akan membantu proses transisi ke PLN. Untuk pengawasan dan pemeliharaan, perusahaan memiliki platform yang bisa digunakan para pengguna.

Gambaran cara kerja PLTS Atap. Sumber: SolarKita

“Sebenarnya tujuan kita ada untuk mempermudah pengalaman pengguna untuk transisi menggunakan PLTS. Salah satu yang ingin kita tekankan di sini adalah solusi end-to-end atau menyeluruh untuk pemanfaatan PLTS. Kita akan dampingi dari awal seiring penggunaan teknologinya,” tambah Rangga.

Sejauh ini, pemain yang berkompetisi langsung dengan SolarKita di industri adalah Xurya.

Model bisnis dan target ke depan

Secara global, pemanfaatan PLTS ini bukanlah hal baru. Meskipun demikian, di Indonesia, teknologi ini masih awam digunakan. Walau sudah mendapat dukungan dari pemerintah, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi edukasi, masih ada stigma bahwa teknologi ini mahal sehingga banyak yang enggan memulai.

Selain itu, masih banyak yang belum paham konsepnya. Di sinilah peran SolarKita untuk bisa memberi edukasi lebih dalam. Selain itu, Rangga  menggarisbawahi regulasi yang masih dinamis, yang mempengaruhi eksekusi di lapangan. Hal ini juga terus diupayakan dan dikomunikasikan melalui Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang fokus pada percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia.

Terkait model bisnis, Rangga mengungkapkan bahwa operasional bisnisnya cukup sederhana dengan mengambil margin dari penawaran produk dan layanan. Di samping itu, perusahaan juga menyediakan program referral bagi setiap individu yang memberikan rekomendasi. Ketika berjalan lancar, konsumen akan memperoleh success fee.

Selain memberikan dampak melalui energi baru terbarukan, panel  surya dan PLTS ini disebut telah membuka industri baru. SolarKita mengaku juga memiliki potensi sosial dengan membuka lapangan kerja bagi para pekerja lapangan. “Di sini kita ingin semua masyarakat bisa terlibat. Untuk tim instalasi di lapangan, kita bermitra dengan individu/PT yang sudah kita latih. Banyak tim yang dulunya tukang listrik atau buruh. Terkait upah, kita usahakan industri baru ini bisa menyejahterakan mereka lebih dari yang sebelumnya,” tutur Rangga.

SolarKita juga menawarkan program financing yang bekerja sama dengan lembaga keuangan dan non-perbankan, seperti Bank OCBC untuk kredit multiguna dan juga KoinWorks. Untuk menawarkan proses yang lebih sederhana, perusahaan juga menyediakan opsi rent-to-own dengan konsep serupa program cicilan untuk para pengguna yang ingin memanfaatkan PLTS.

Per tahun lalu, SolarKita telah menjadi bagian dari portfolio New Energy Nexus. Perusahaan ini bergerak dan membentuk ekosistem pendanaan, program dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Saat ini perusahaan juga telah tergabung dalam jaringan ANGIN, sebagai jembatan yang menghubungkan investor dan entrepreneur.

Hingga saat ini 80% pengguna SolarKita datang dari kaum residensial. Perusahaan memiliki tim perwakilan di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali. Ke depannya, Rangga mengungkapkan ingin ekspansi ke kota-kota besar di Indonesia. Targetnya, perusahaan ingin mengakuisisi 1 megawatt melalui sekitar 330 rumah di tahun 2023.

Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.

Application Information Will Show Up Here
Startup Energi Terbarukan

New Energy Nexus Beri Pendanaan ke 4 Startup Energi Terbarukan Indonesia

Lembaga nonprofit global New Energy Nexus Indonesia mengumumkan telah menyalurkan pendanaan kepada empat startup sepanjang semester pertama 2021 melalui Indonesia 1 Fund. Fund khusus yang diluncurkan pada tahun lalu ini diarahkan untuk mendukung startup energi terbarukan yang masih berada di tahap awal, dari tahap seed hingga seri A.

Setiap pendanaannya, Indonesia 1 Fund melakukan co-invest dengan berbagai pihak agar lebih banyak dana untuk mendukung startup energi terbarukan. Di antaranya bersama Nexus for Development untuk pendanaan bernama Sumba Sustainable Solutions (3S); bersama Schneider Electric Energy Access Asia dan Crevisse Partners Co. Ltd. untuk Xurya. Dua startup lainnya yang mendapat pendanaan dari Indonesia 1 Fund adalah SolarKita dan Right People Renewable Energy (RPRE).

Sebelumnya disebutkan, dalam putaran fund ini, Nexus akan berinvestasi ke 10-15 startup. Ada 10 fokus area yang disasar, antara lain renewable energy, smart grid, energy efficiency, energy management, customer experience, e-mobility, business model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage. BLUE menjadi startup pertama yang memperoleh investasi dari fund ini pada Oktober 2020.

Dalam keterangan resmi, Presiden Schneider Electric Energy Access Gilles Vermot Desroches menyampaikan rasa senangnya karena ikut dilibatkan dalam upaya mendukung Xurya mempercepat proses adopsi komersial energi surya lewat investasi yang mereka berikan. “Dengan berkolaborasi dengan New Energy Nexus dan Crevisse Partners dalam mendukung pertumbuhan startup melalui ko-investasi, kami juga turut berkontribusi dalam SDG7,” ucapnya, Senin (12/7).

CFO New Energy Nexus Christina Borsum menambahkan, kolaborasi dengan ko-invesor diharapkan dapat memantik sinyal ke investor lainnya bahwa energi terbarukan merupakan masa depan Indonesia. “Kami harap kami dapat menyalurkan lebih banyak lagi ke startup-startup energi terbarukan tahun ini, termasuk yang bergerak di bidang kendaraan listrik, pengelolaan energi, teknologi efisiensi energi, dan inovasi model bisnis.”

Ia melanjutkan, “Kami telah menyalurkan investasi ke 5 startup sejak akhir tahun lalu. Investasi yang kami salurkan melengkapi satu sama lain, setiap startup yang kami dukung melayani segmentasi pasar yang berbeda, sehingga secara kolektif, pertumbuhan mereka memancarkan peluang pasar yang masih berkembang di Indonesia.”

New Energy Nexus Indonesia telah mendukung lebih dari 45 startup di bidang energi terbarukan melalui program Inkubasi dan Akselerasi Smart Energi yang menitik beratkan pada: Renewable Energy, Smart Grid, Energy Efficiency, Energy Management, Customer Experience, E-Mobility, Business Model Innovation, IOT & Digitization, Energy Access, dan Energy Storage.

Sampai hari ini, setidaknya 11 startup energi terbarukan telah menerima pendanaan dalam bentuk investasi dan dana hibah.

Sebagai bagian dari New Energy Nexus Global, New Energy Nexus Indonesia membuka pintunya ke startup energi terbarukan di Indonesia sejak tahun 2018. Mereka membuat program inkubasi dan akselerasi memberikan pelatihan, mentoring, dan dukungan-dukungan bisnis lainnya untuk membantu startup dalam mempertajam serta memvalidasi rencana dan model bisnisnya.

Startup yang tergabung dalam program New Energy Nexus, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, berkesempatan untuk mengakses dua tipe pendanaan: dana hibah inkubasi dan pendanaan investasi melalui Indonesia 1 Fund. Pendaftaran ke program inkubasi dan akselerasi New Energy Nexus dibuka setiap saat bagi startup di bidang energi terbarukan di Indonesia.

Startup Solar Panel Xurya

Xurya Dapatkan Pendanaan Lanjutan, Angin Segar untuk Startup Energi Terbarukan di Indonesia

Xurya Daya Indonesia (Xurya), startup lokal di bidang energi terbarukan baru saja mengumumkan perolehan pendanaan awal dari Clime Capital melalui inisiatif The Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF). Pendanaan ini jadi yang kedua, akhir 2018 lalu mereka pernah bukukan investasi dari East Ventures dan Agaeti Ventures.

Produk Xurya meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Startup ini didirikan pada Juli 2018 oleh Eka Himawan, Edwin Widjonarko, dan Philip Effendy. Saat ini layanannya sudah dijajakan di sektor komersial dan industri di wilayah Jabodetabek, Jawa Timur, Palembang, dan Makassar.

Xurya akan mengalokasikan investasi ini untuk melanjutkan pipeline pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Atap di bangunan komersial & industri yang saat ini telah mencapai 80 MWp.

Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS.

“Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan,” tutup Eka.

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Dengan fokus awal di Indonesia, Vietnam, dan Filipina, SEACEF bertujuan untuk mempercepat revolusi industri energi yang sedang berkembang melalui penggunaan energi bersih. Mereka berfokus memberikan pendanaan pada pengembang teknologi dan model bisnis yang telah terbukti berdampak secara global seperti PLTS, PLTB, teknologi penyimpanan energi, e-mobility, teknologi DSM, solusi efisiensi energi, dan infrastruktur transmisi energi bersih.

 

Peluang startup di bidang energi

Menurut data yang dirangkum Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang skalanya cukup besar. Beberapa di antaranya:

  • Mini/mikro hidro sebesar 450 MW,
  • Biomasa sebesar 50 GW,
  • Energi surya sebesar 4,80 kWh/m2/hari,
  • Energi angin 3-6 m/det,
  • Energi nuklir 3 GW.

Pengembangannya terus diupayakan, lantaran sumber energi listrik berbasis fosil seperti gas, minyak bumi, batu bara memiliki keterbatasan dan akan habis. Beberapa negara maju seperti Tiongkok dan Jerman sudah lebih dulu memaksimalkan energi terbarukan tadi. Indonesia pun tampaknya mulai terbuka untuk turut mengadopsinya, bahkan sudah menargetkan pemanfaatannya bisa mengakomodasi 23% dari total kebutuhan energi di tahun 2025.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Enegri, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syalendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Pendanaan yang didapat Xurya bisa menjadi angin segar untuk ekosistem terkait – ada tesis investasi yang berhasil memvalidasi potensi dari bisnis tersebut. Karena berbicara tentang energi terbarukan, memang masih ditemui banyak kendala. Di seputar adopsi, konsumen diharuskan menggelontorkan investasi awal yang tidak murah, sementara dampak efisiensinya mungkin tidak bisa dirasakan secara instan.

Untuk itu, munculnya inovasi-inovasi produk yang lebih terjangkau menjadi ujung tombak penerimaan dan kemajuan bisnis energi terbarukan di Indonesia.

Toyota Uji Sistem Panel Surya yang Dapat Menambah Jarak Tempuh Mobil Elektrik Hingga 56 Km per Hari

Meski memegang status sebagai salah satu pabrikan otomotif terbesar sejagat, Toyota sampai detik ini masih belum memiliki mobil bermesin listrik murni yang siap dijual ke konsumen. Namun hal itu bukan berarti mereka tidak pernah sama sekali bereksperimen dengan listrik sebagai bahan bakar mobil.

Pada kenyataannya, generasi pertama Toyota Prius yang diluncurkan di tahun 1997 merupakan mobil hybrid pertama yang diproduksi secara massal. Toyota boleh ketinggalan di segmen all-electric, tapi itu tidak mencegah mereka menjajal inovasi demi inovasi menjelang kehadiran mobil elektrik perdananya, yang diwacanakan bakal hadir tahun depan.

Solar-powered Toyota Prius PHV

Salah satu inovasi yang dimaksud adalah panel surya terintegrasi sebagai bala bantuan mobil elektrik dalam menghemat energi. Bekerja sama dengan NEDO dan Sharp, Toyota berniat memulai pengujian unit Toyota Prius PHV yang telah dimodifikasi dan dipasangi panel surya pada bagian kap mesin sampai ke atap dan kaca belakangnya.

Saya bilang “bala bantuan” karena panel surya ini hanya sanggup menghasilkan energi listrik yang cukup untuk menambah jarak tempuh mobil sekitar 56 kilometer per harinya. Kendati demikian, ini merupakan pencapaian yang cukup signifikan dibandingkan tiga tahun lalu, di mana panel surya opsional milik Prius Prime kala itu hanya bisa menambah jarak tempuh elektriknya sejauh 3,5 km saja.

Solar-powered Toyota Prius PHV

Ini jelas masih jauh dari impian di mana sebuah mobil elektrik hanya perlu mengandalkan suplai energi dari matahari saja. Toyota pun tidak sendirian dalam mengejar impian tersebut. Belum lama ini, sebuah startup bernama Lightyear menyingkap mobil ‘bertenaga matahari’ yang siap diproduksi secara massal dan dipasarkan ke konsumen pada 2021.

Sama seperti mobil pengujian Toyota ini, mobil bernama Lightyear One itu juga mengemas panel surya di bagian kap mesin, atap dan kaca belakangnya. Bedanya, unit Prius yang bakal diuji di sini merupakan mobil hybrid dengan baterai berkapasitas kecil, sedangkan Lightyear One sepenuhnya mengandalkan kombinasi motor elektrik dan baterai.

Toyota sendiri belum berani berbicara terkait implementasi sistem panel surya baru ini. Pengujian ini baru sebatas untuk mengukur seberapa efektif teknologinya dalam menambah jarak tempuh dan efisiensi energi dari sebuah mobil listrik (atau hybrid).

Sumber: Electrek.

Bukan Sembarang Mobil Listrik, Lightyear One Siap Menciptakan Energi Sendiri via Panel Surya Terintegrasi

2015 lalu, sekumpulan mahasiswa asal Eindhoven University of Technology memamerkan prototipe mobil listrik yang sangat istimewa. Namanya Stella Lux, dan yang membuatnya spesial adalah kemampuannya menciptakan energi listrik sendiri dengan berbekal panel surya.

Lebih istimewa lagi, tim mahasiswa yang sama pada akhirnya memutuskan untuk mendirikan startup bernama Lightyear setahun setelahnya, dengan misi memasarkan mobil listrik bertenaga matahari yang dapat dikendarai secara legal di jalanan. Dan mimpi mereka rupanya semakin mendekati kenyataan.

Lightyear One

Mereka baru saja menyingkap Lightyear One, sebuah sedan bermesin listrik ala Tesla Model S, tapi yang memiliki panel surya seluas 5 m² yang membentang dari kap mesin sampai ke penutup bagasi belakang. Panel suryanya pun bukan sembarangan, melainkan yang bisa menghasilkan 20% lebih banyak energi, serta yang sel-sel di dalamnya tetap dapat bekerja ‘memanen matahari’ meski sebagian porsi panelnya tertutup oleh bayangan.

Jadi usai diserap, energi mataharinya bakal langsung dikonversi menjadi energi listrik untuk dipasok ke baterai mobil. Menurut Lightyear, kecepatannya menghasilkan energi dan mengisi ulang baterai sendiri berkisar di angka 12 km per jam. Ini berarti jika mobil Anda diamkan di bawah terik matahari selama delapan jam, maka baterainya punya daya yang cukup untuk membawa mobil menempuh jarak sekitar 96 km.

Lightyear One

Memang kedengarannya tidak terlalu banyak, tapi tetap saja sangat signfikan jika dibandingkan dengan teknologi panel surya pada umumnya. Dan lagi ini bukan satu-satunya metode charging yang disediakan; Lightyear One masih bisa diisi ulang seperti mobil listrik pada umumnya.

Lalu ketika baterainya penuh, ia diestimasikan sanggup menempuh jarak sekitar 725 km. Sayangnya Lightyear belum mau merincikan kapasitas baterai yang diusung One. Mereka hanya bilang ukuran baterainya “relatif kecil”, dan mobil ini juga bukan untuk kebut-kebutan; jumlah motor listriknya memang ada empat (satu di setiap roda), akan tetapi output dayanya tidak disebutkan, sedangkan akselerasi 0 – 100 km/jam membutuhkan waktu sekitar 10 detik.

Lightyear One

Kompromi soal performa jelas merupakan rahasia di balik efisiensi maksimal Lightyear One. Namun ternyata itu baru satu alasan, sebab masih ada alasan lain seputar aerodinamika. Ya, Lightyear sengaja merancang mobil ini seaerodinamis mungkin, dan menggunakan material-material seringan mungkin, sehingga daya dorongan yang dibutuhkan tidak kelewat besar, yang pada akhirnya bisa membantu menghemat energi.

Kalau proses produksinya sama sekali tidak terhambat, unit-unit perdana Lightyear One bakal dikirimkan ke konsumen mulai awal tahun 2021. Lightyear sendiri saat ini sudah menerima pemesanan dari konsumen, dan banderol harganya dipatok mulai 149.000 euro – sama sekali bukan harga yang murah.

Sumber: Electrek.

Tak Mau Kalah dari Tesla, Nissan Juga Luncurkan Solusi Sumber Energi Listrik Rumahan

Dulunya ditertawakan, Tesla kini telah menjadi panutan industri otomotif terkait mobil elektrik. Obsesi Tesla terhadap listrik sebagai sumber energi yang bersih dan efisien juga terus dikembangkan ke bidang rumahan lewat produk seperti Tesla Powerwall dan Tesla Solar Roof, dan ini rupanya turut menginspirasi pabrikan lain untuk menempuh jalur yang sama.

Adalah Nissan yang secara serius mengikuti jejak Tesla tersebut. Mereka belum lama ini memperkenalkan produk bernama Nissan Energy Solar, semacam solusi sumber energi alternatif untuk rumah, disajikan melalui kombinasi panel surya dan baterai berukuran masif bernama xStorage.

Nissan Leaf berpose bersama baterai xStorage / Nissan
Nissan Leaf berpose bersama baterai xStorage / Nissan

Premis dan cara kerjanya sangat mirip dengan yang Tesla tawarkan, di mana energi listrik yang berasal dari panel surya bakal ditampung di baterai untuk kemudian digunakan ketika dibutuhkan. Di negara seperti Amerika Serikat, solusi semacam ini dapat membantu konsumen menghemat biaya listrik, sebab sistemnya telah dirancang agar dapat menyalurkan energi listrik ketika tarif listrik sedang tinggi-tingginya akibat permintaan yang naik.

Sistem ini tidak dimaksudkan untuk menjadi pengganti jaringan listrik rumah secara sepenuhnya. Kapasitas maksimum baterainya cuma 4 kWh, dan ini tidak cukup untuk pemakaian normal sehari-hari. Seperti yang saya bilang, tujuannya adalah untuk membantu konsumen menghemat biaya tagihan hingga 66% dalam jangka panjang.

Secara fisik, panel surya buatan Nissan ini memang tidak sekeren bikinan Tesla yang menyamar sebagai atap rumah. Desainnya lebih konvensional, tapi toh yang lebih penting adalah fungsinya. Tanpa harus terkejut, tentu saja sistem ini juga bisa dipakai untuk mengisi ulang baterai mobil elektrik Nissan Leaf.

Nissan Energy Solar

Saat ini Nissan Energy Solar baru dipasarkan di dataran Inggris saja. Alasannya, terlepas dari cuacanya yang sering dicap buruk, di Inggris sudah ada hampir satu juta orang yang memakai panel surya di kediamannya. Harganya dipatok $5.200 untuk enam panel surya, atau $10.300 termasuk baterai 4 kWh tadi berikut instalasinya.

Bisa dipastikan Nissan mengincar Amerika Serikat sebagai target selanjutnya, terutama di kawasan yang menyerempet iklim tropis seperti California. Semoga saja Indonesia juga menjadi salah satu incaran Nissan maupun Tesla ke depannya, mengingat kita bisa dibilang lebih kaya soal matahari (lebih panas), dan lagi jaringan listriknya masih sering gangguan.

Sumber: Wired dan Nissan.

Dronebox Ialah Charging Station Bertenaga Surya Untuk Drone

Dengan kian banyaknya drone yang tersedia, kita semakin menyadari betapa besar potensinya. Setelah ranah videography, pengembangan UAV sudah diarahkan ke bidang keselamatan hingga pelestarian lingkungan hidup. Namun bahkan secanggih-canggihnya perangkat ini dirancang oleh sang produsen, drone masih memiliki satu keterbatasan: durasi terbang.

Waktu terbang dipengaruhi oleh kapabilitas baterai, tapi jika terlalu besar, tentu saja ia akan tetap membebani drone dan memengaruhi manuver. Perusahaan Singapura bernama H3 Dynamics mempunyai solusi simpel atas masalah ini. Mereka memperkenalkan Dronebox, sebuah racharging station bertenaga surya yang memungkinkan UAV mengisi ulang baterai secara otomatis tanpa campur tangan operator.

Dronebox 03

Dronebox bekerja layaknya hangar, bukan sekedar landing pad. Begitu drone mendarat di atasnya, pintu akan terbuka, kemudian platform diturunkan. Dengan begini, UAV terlindungi ketika ia tidak terbang. Proses charge dilakukan secara wireless, kemungkinan besar tenaga diterima oleh empat modul yang berada di tiap lengan drone. Sembari isi ulang, Dronebox bertugas mengunduh data lalu mengirimkannya ke server lewat koneksi internet atau satelit.

Charging station itu memang sengaja didesain untuk ditempatkan di lokasi-lokasi terpencil, dan dapat beroperasi secara mandiri. Ia aktif non-stop selama setahun penuh, mengubah sinar matahari menjadi sumber tenaga secara terus menerus. Mungin Anda bertanya-tanya mengenai seberapa handal kemampuan solar panel-nya. Jangan cemas, H3 Dynamics juga tak lupa menyiapkan sistem fuel cell cadangan yang sanggup bertahan berbulan-bulan.

Dronebox 02

Berbicara di Singapore Air Show via Reuters, CEO H3 Dynamics Taras Wankewycz menjelaskan bahwa Dronebox bisa digunakan buat bermacam-macam keperluan, terutama dipakai di area-area sensitif yang sulit atau tidak dapat dikunjungi manusia. Ia membandingkan Dronebox dengan Mars Rover, namun diimplentasikan di Bumi; untuk fungsi pengawasan sampai pengamanan.

Wankewycz bilang, Dronebox tak hanya menyajikan sensor standar, “Kini kami memiliki sensor yang bisa terbang dan kembali ke ‘sangkarnya’; menyediakan data langsung ke operator, menyuguhkan beragam informasi serta tampilan real-time, sehingga Anda dapat merespons secepat mungkin.”

Ide pembuatan Dronebox muncul saat tim developer sedang mengerjakan proyek pengawasan minyak dan gas. Mereka memutuskan bahwa penggunaan drone standar tidaklah cukup optimal dan efisien.

Dengan kemampuannya sekarang, Dronebox juga bisa diterapkan untuk menjaga satwa liar, pemeliharaan infrastruktur, dan lain-lain.

Via Reuters. Sumber: H3 Dynamics.

Ilmuwan Ciptakan Sel Surya Tertipis yang Bisa Ditempelkan di Atas Gelembung

Gelar yang dipegang Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai salah satu universitas teknologi terbaik sejagat sudah tidak perlu diragukan lagi. Berkali-kali mahasiswa maupun dosen yang mengajar di sana berhasil menciptakan inovasi teknologi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Karya para ilmuwan MIT yang terbaru adalah sel surya yang diyakini tertipis di dunia saat ini.

Begitu tipisnya sel surya ini, para penciptanya berhasil menempelkannya di atas sebuah gelembung sabun tanpa memecahkannya. Dengan demikian, pada dasarnya sel surya ini bisa ditempatkan di permukaan apa saja. Karakternya yang ringan sekaligus fleksibel membuka potensi pengaplikasiannya menjadi sangat luas.

Kunci dari panel surya berukuran mikro ini adalah teknik pembentukan substrat beserta lapisan pelindung yang menjaganya dari ‘serangan’ debu ataupun material lain di alam yang berpotensi menurunkan performanya. Pada tahap awal eksperimennya, tim ilmuwan menggunakan bahan polimer fleksibel bernama parylene sebagai substratnya, sedangkan lapisan pelindungnya mengandalkan material organik bernama DBP (Dibutyl Phthalate).

Parylene selama ini sudah cukup umum digunakan untuk melindungi peralatan biomedis maupun papan elektronik dari kerusakan yang disebabkan oleh alam. Namun yang menarik adalah teknik pembuatan sel surya ini. Dalam laporannya dijelaskan bahwa sel surya beserta substratnya bisa ditanamkan langsung di atas berbagai material, mulai dari kain sampai kertas.

Sel surya tertipis buatan MIT

Dari segi efisiensi, sel surya ini memang masih belum sebanding yang sudah ada sekarang. Akan tetapi rasio tenaga-beratnya sangat tinggi. Kalau panel surya biasa umumnya bisa menghasilkan output daya listrik sebesar 15 watt per kilogram bobotnya, sel surya buatan MIT ini bisa menghasilkan 6 watt per gram – sekitar 400 kali lipat lebih banyak.

MIT mengakui bahwa komersialisasi sel surya super-tipis ini masih membutuhkan waktu beberapa tahun. Namun ke depannya sel surya ini bisa diaplikasikan ke sejumlah objek sehari-hari, termasuk halnya pakaian atau buku tulis, dan kita sebagai pengguna mungkin tidak menyadari keberadaannya.

Kalau mau berimajinasi lebih jauh lagi, mungkin saja nantinya sel surya ini bisa ditanamkan ke dalam frame aluminium milik smartphone. Jadi selagi kita memakai perangkat di bawah terik matahari, baterainya akan terisi sebagian. Semoga saja ini bisa terkabulkan.

Sumber: SlashGear.