Saat ini bagi yang memiliki ketertarikan dengan fotografi, tentunya Anda bisa memulai menekuni hobi memotret menggunakan kamera smartphone. Setelah mantap jatuh hati pada dunia fotografi dan mendambakan pengalaman memotret yang lebih dalam, selanjutnya Anda bisa beralih ke kamera mirrorless.
Kenapa kamera mirrorless, bukan DSLR ataupun analog? Ketiganya menurut saya ‘luar biasa’, tetapi bila mempertimbangkan faktor teknologi, keandalan, desain, dan biaya yang harus dikeluarkan, maka mirrorless ialah pilihan paling ideal saat ini.
Bicara kamera mirrorless, saya memiliki tiga rekomendasi setup kamera mirrorless pilihan dan lensa-lensanya. Ketiganya berada direntang harga Rp10 jutaan, mereka sangat cocok sebagai ‘everyday carry‘. Langsung saja, kita mulai dari Nikon Z fc.
1. Nikon Z fc
Dia terlihat seperti kamera SLR legendaris Nikon FM2, tetapi di dalamnya tertanam sistem kamera baru Nikon Z. Ia mengusung sensor APS-C 21MP, prosesor gambar Expeed 6 yang mampu memotret beruntun hingga 11 fps dengan autofocus atau 9 fps untuk Raw 14-bit.
Tak berhenti pada tampilan, kita bisa merasakan sensasi pengalaman memotret seperti kamera analog berkat kontrol mekaniknya. Di pelat atas tersemat dial untuk mengatur ISO dan tuas untuk beralih mode autofocus.
Kemudian ada dial shutter speed dengan tuas untuk beralih ke mode foto dan video. Juga terdapat dial exposure compensation, serta dua roda putar di depan dan belakang untuk mengatur exposure.
Ya, hampir semua kontrol dapat dilakukan lewat bodi kamera. Bila perlu, Anda bisa membalikkan layar sentuh 3 inci 1,04 juta dot ke dalam yang memungkikan berkat mekanisme vari-angle. Lalu, memotret hanya dengan jendela bidik elektronik yang menggunakan panel OLED 2,36 juta dot.
Harga Nikon Z fcbody only di Indonesia dibanderol Rp13.999.000 dan Rp15.999.000 dengan lensa kit Nikkor Z DX 16-50mm F3.5-6.3 VR. Pasangan serasi untuk lensa native ialah Nikkor Z 28mm F2.8 (SE) atau Nikkor Z 40mm F2 untuk mendapatkan setup kamera yang ringkas.
2. Fujifilm X-E4
Kalau Nikon Z fc menawarkan look dan feel layaknya kamera SLR Nikon zaman dulu, Fujifilm X-E4 mengusung desain klasik bergaya rangefinder yang tak kalah menarik. Dibanding Nikon Z fc, dimensi bodi Fujifilm X-E4 jauh lebih ramping apalagi bila dipasangkan dengan lensa XF 27mm F2.8 R WR.
Bila Nikon Z fc sangat ramai, Fujifilm X-E4 justru tampil minimalis dan sistem kontrolnya lebih simpel. Di pelat atas, hanya terdapat dial untuk mengatur shutter speed dan exposure compensation, serta satu roda putar di bagian belakang.
Ke bagian dalam, Fujifilm X-E4 mengemas sensor BSI-CMOS X-Trans 4 26MP dengan prosesor gambar quad-core X-Processor 4. Ia dapat memotret beruntun 20 fps dengan electronic shutter dan 8 fps dengan mechanical shutter.
Tentu saja, daya tarik kamera Fuji adalah film simulation. Total ada 18 film simulation pada Fujifilm X-E4, termasuk ETERNA Bleach Bypass dan Classic Negative.
Selain itu, layar sentuh 3 incinya memiliki resolusi 1,63 juta dot dan bisa ditarik dan ditekuk hingga 180 derajat ke depan. Lalu, jendela bidik elektroniknya menggunakan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot.
Harga Fujifilm X-E4 body only di Indonesia dibanderol Rp13.499.000 dan Rp16.499.000 dengan lensa XF 27mm F2.8 R WR.
3. Sony Alpha ZV-E10
Pilihan yang satu ini menawarkan pengalaman memotret yang berbeda dengan opsi pertama dan kedua. Bodinya lebih kecil dari Fujifilm X-E4 dengan grip mungil yang memberikan cengkraman yang kuat dan kontrol kameranya paling sederhana tetapi sangat cepat.
Dari segi desain, Sony Alpha ZV-E10 tampak seperti hasil fusion dari kamera compact ZV-1 dan A5100, ia juga dirancang untuk pengambilan video vlog. Tanpa dibekali jendela bidik, namun memiliki layar vari-angle yang memberikan fleksibilitas lebih baik dalam menyusun komposisi foto.
Di dalamnya tertanam sensor CMOS Exmor APS-C 24,2MP dan mampu memotret berturut-turut hingga 11 fps dengan continuous autofocus. Untuk lensa native, Sony ZV-E10 sangat cocok bila dipasangkan dengan Sony E 35mm F1.8 OSS, Sony E 20mm F2.8, dan Sony E 16mm F2.8 Pancake.
Terakhir tetapi tak kalah penting adalah dukungan lensa pihak ketiga, terutama 7Artisans dan TTArtisan yang menawarkan lensa prime terjangkau dengan aperture besar. Lensa manual juga cocok sebagai teman berlatih untuk menambah jam terbang dan mengasah kreativitas.
Dari 7Artisans, lensa terbaru yang murah meliputi 7Artisans Photoelectric 50mm f/0.95 Rp2.990.000, 7Artisans 55mm F/1.4 Mark II Rp1.690.000, 7Artisans 35mm F1.2 Mark II Rp1.650.000, dan 7Artisans 35mm F0.95 Rp2.990.000. Sementara dari TTArtisan, meliputi TTArtisan 17mm F1.4 Rp1.799.000, TTArtisan 50mm F1.2 Rp1.499.000, TTArtisan 35mm F1.4 Rp1.099.000.
Sony telah mengumumkan kamera sinema digital flagship terbarunya, Venice 2. Penerus dari Venice generasi pertama yang dirilis tahun 2017 ini mampu merekam video 8,6K dalam mode full frame dan mendukung dynamic range hingga 16 stop.
Sejumlah pembaruan pun diusung oleh Venice 2, seperti form factor yang lebih ringkas sehingga lebih ditangani ketika menggunakan gimbal dan didukung dua opsi sensor berbeda. Termasuk sensor full frame 8,6K baru beresolusi 50MP dengan dynamic range 16 stop atau dapat menggunakan sensor full frame 6K 24,8MP dari Venice original yang menawarkan dynamic range 15 stop dan mampu menghasilkan refresh rate lebih tinggi.
Untuk menukar modul sensor gambar, memang belum sepraktis seperti mengganti lensa, Anda masih membutuhkan bantuan beberapa alat sederhana. Setelah mengganti sensor, kamera tidak membutuhkan pembaruan firmware atau penginstalan ulang, segera setelah sensor baru dipasang, kamera langsung siap digunakan.
Selain itu, Venice 2 juga mewarisi beberapa fitur populer dari Venice original. Mencakup dukungan color science yang sama, dual base ISO 800 dan 3200, serta ND filter bawaan 8 stop. Juga kemampuan untuk merekam footage dalam berbagai resolusi dan rasio crop berbeda, termasuk 4K anamorphic dalam mode full-frame, 4K Super35. dan banyak lagi.
Sony juga menghadirkan rangkaian peningkatan berdasarkan umpam balik dari para penggunanya, yakni opsi perekaman internal untuk X-OCN, Apple 4K ProRes 444, dan Apple 4K ProRes 422 HQ. Berikut mode perekaman maksimum saat merekam dengan sensor 8,6K baru pada Venice 2.
8.6K | 3:2 | 30FPS | Full Frame
8.2K | 17:9 | 60FPS | Full Frame
5.8K | 6.5 Anamorphic | 48FPS | Super35
5.8K | 17:9 | 90FPS | Super35
Untuk menyimpan hasil video, Venice 2 menggunakan kartu memori AXS baru dari Sony yang dapat mentransfer data hingga 6,6 Gbps – lebih dari cukup untuk perekaman 8K 60 fps. Saat ini, Sony belum mengungkap detail harga dari Venice 2, namun rencananya Venice 2 dengan sensor 8.6K baru akan dikirim pada Februari 2022, sedangkan versi 6K akan dikirim pada Maret 2022.
Setiap platform gaming punya pasar sendiri-sendiri. Karena, setiap gamer punya platform favorit masing-masing. Sebagian orang sudah puas dengan mobile game dan sebagian yang lain lebih memilih untuk bermain di konsol. Selain itu, juga ada gamers yang menjadi penganut “PC Master Race”. Jadi, salah satu cara bagi developer untuk memperluas target market mereka adalah dengan meluncurkan game di banyak platform.
Hanya saja, membuat game di banyak platform sekaligus bukanlah hal yang mudah. Jika tidak hati-hati, hal ini justru bisa jadi bumerang bagi developer. Contohnya, ketika CD Projekt Red memaksakan untuk meluncurkan Cyberpunk 2077 di konsol last-gen — PlayStation 4 dan Xbox One — mereka diprotes para gamers karena game itu tidak bisa berjalan lancar di kedua konsol itu. Mereka bahkan sempat harus menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store.
Namun, jika developer sukses membuat porting game ke platform lain, hal ini akan menjadi sumber pemasukan baru bagi developer. Developer yang sukses melakukan porting game ke banyak platform adalah Rockstar Games dengan Grand Theft Auto V. Pada awalnya, game itu diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360. Setelah itu, mereka merilis game itu untuk PS4, Xbox One, dan PC. Sekarang, mereka berencana untuk membawa game tersebut ke PS5 dan Xbox Series X.
Serba-Serbi Porting di Game
Sebelum membahas tentang keuntungan dan tantangan dalam melakukan porting game, mari kita bahas definisi dari proses porting itu sendiri. Sederhananya, porting adalah proses untuk menyesuaikan software — dalam kasus ini, game — sehingga ia bisa dijalankan di platform yang berbeda dari platform orisinal ketika game itu dibuat.
Salah satu alasan mengapa developer memutuskan untuk melakukan porting dari game mereka adalah untuk menjangkau audiens baru. Karena, masing-masing platform punya pasarnya sendiri. Secara total, angka penjualan PS3 mencapai 87,4 juta unit dan Xbox 360 84 juta unit. Jadi, ketika Rockstar merilis GTA V untuk PS3 dan Xbox 360, maka target pasar mereka terbatas pada 171,4 juta orang yang memiliki konsol itu. Dengan meluncurkan GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, maka Rockstar juga akan bisa menjangkau gamers dari ketiga platform tersebut.
Dengan memperluas target pasar sebuah game, developer bisa menggenjot pemasukan mereka. Terlepas dari model bisnis yang developer terapkan pada game yang mereka buat — baik model premiun, subscription, ataupun in-app purchase — semakin banyak orang yang memainkan game mereka, semakin besar pula pemasukan yang developer bisa dapatkan, seperti yang disebutkan oleh Know Techie.
Selain itu, jika dibandingkan dengan membuat game yang sama sekali baru, melakukan porting ke platform lain lebih mudah untuk dilakukan. Ketika melakukan porting game, developer juga tidak perlu lagi melakukan validasi pasar. Karena, mereka sudah tahu bahwa game yang hendak mereka porting sudah punya fanbase. Meskipun begitu, melakukan porting game dari satu platform ke platform lain bukanlah perkara gampang.
Miguel Angel Horna, Co-founder dan Lead Programmer dari Blitworks menjelaskan langkah-langkah dalam proses porting. BlitWorks adalah perusahaan asal Spanyol yang dikenal karena telah melakukan porting dari sejumlah game ternama, seperti Fez, Sonic CD, Jet Set Radio, Bastion, Spelunky, dan Don’t Starve. Perusahaan yang didirikan pada 2012 itu telah melakukan porting game ke berbagai platform, mulai dari PS3, PS4, PS5, PS Vita, Xbox 360, Xbox One, Xbos Series X, Steam, Nintendo Switch, sampai iOS dan Android.
“Biasanya, proses porting game terdiri beberapa langkah. Masing-masing langkah itu punya tantangan tersendiri,” kata Horna pada Game Developer. “Langkah pertama adalah membuat game yang hendak kita porting bisa dijalankan di platform yang menjadi target porting. Proses ini kompleks. Masalah yang timbul di bagian ini juga biasanya paling sulit untuk diatasi karena ketergantungan pada libraries atau middleware khusus.”
Horna mengungkap, salah satu hal yang berpotensi memunculkan masalah adalah ketika developer menggunakan closed-source tools untuk membuat game mereka. Artinya, source code dari tools itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Masalah akan semakin rumit jika tools yang developer gunakan tidak mendukung platform target porting. Dalam kasus ini, developer yang hendak melakukan porting harus membuat ulang game yang ingin mereka porting. “Terkadang, kami harus membuat game dalam bahasa programming baru yang mendukung platform target,” katanya.
Setelah game yang hendak di-porting bisa berjalan di platform tujuan, langkah berikutnya, jelas Horna, adalah untuk menyediakan graphics support yang sesuai. Dia menyebutkan, jika sejak awal pengembangan game developer sudah mempertimbangkan untuk melakukan porting ke platform lain, biasanya mereka akan memisahkan bagian graphics calls dari kode utama. Hanya saja, terkadang, kode graphic calls tercampur dengna kode utama. “Jadi, kami harus memisahkan graphic calls ke library lain, sebelum mengimplementasikannya ke graphics API dari platform tujuan,” katanya.
Tahap berikutnya adalah menyempurnakan game. Karena, di tahap ini, walau game sudah bisa dijalankan di platform tujuan dan grafik game sudah disesuaikan, masih ada bugs dalam game. Menurut Horna, bugs yang muncul dalam game biasanya sulit untuk diduga. Karena itu, penting bagi developer yang hendak melakukan porting untuk memahami cara kerja hardware dari masing-masing platform gaming. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui penyebab dari masalah yang muncul dan mencari solusi yang tepat.
“Akhirnya, setelah game berjalan dengan lancar, Anda harus berurusan dengan banyak detail kecil yang memakan banyak waktu,” ujar Horna. “Anda harus mengubah control game agar sesuai dengan platform tujuan porting. Anda juga harus menyesuaikan antarmuka dengan ukuran layar dan resolusi dari platform tujuan.”
Ketika melakukan porting, control game harus disesuaikan karena setiap platform punya metode input yang berbeda-beda. Misalnya, smartphone memiliki touchscreen sementara konsol menggunakan controller. Dan gamers PC biasanya menggunakan mouse dan keyboard, walau mereka juga bisa memasang controller. Dan ketika resolusi game diubah, Horna mengungkap, mereka harus memastikan bahwa semua teks dalam game tidak hanya sesuai dengan resolusi dari platform tujuan, tapi juga bisa dibaca dengan jelas.
Melakukan Porting Game Lama “Lebih Aman” Bagi Developer
Game memang industri yang besar. Dan demokratisasi alat untuk membuat game — seperti game engine — memudahkan orang-orang yang ingin terjun ke dunia gamedevelopment. Masalahnya, membuat game adalah bisnis yang membutuhkan model besar di awal. Dan jika game yang sudah diluncurkan tidak laku, maka developer harus siap menelan rugi. Karena itu, penting bagi developer untuk melakukan riset dan validasi pasar sebelum mereka membuat sebuah game.
Dalam sebuah video Asosiasi Game Indonesia (AGI), CEO Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjelaskan bahwa ketika developer hendak menentukan game yang mereka mau buat, ada dua pendekatan yang bisa mereka gunakan: market-oriented approach dan product-oriented approach.
Ketika developer menggunakan pendekatan market-oriented, maka sejak awal, mereka memang sudah mencari tahu tentang tren di industri game. Mereka kemudian membuat game berdasarkan tren tersebut. Sebagai contoh, ketika genre battle royale tengah booming, ada banyak developer yang ikut membuat game dengan genre itu.
Sementara itu, dalam pendekatan product-oriented, developer akan menentukan game yang hendak mereka buat terlebih dulu, sebelum melakukan validasi pasar. Kris menyebutkan, saat developer menggunakan pendekatan ini, kesalahan yang biasa terjadi adalah developer terlalu sibuk untuk membuat game yang mereka inginkan, lalu lupa untuk mencari tahu apakah ada orang-orang yang juga mau memainkan game tersebut.
Karena validasi pasar penting, melakukan porting game menawarkan risiko yang lebih kecil daripada membuat game baru. Karena, game yang hendak di-porting pasti sudah memiliki fanbase sendiri. Hal ini juga jadi alasan mengapa belakangan, ada banyak developer yang memutuskan untuk membuat versi remastered atau remake dari game-game mereka.
Alasan lain mengapa melakukan porting game bisa meminimalisir risiko kerugian adalah karena membuat game lama bisa dimainkan di platform baru, hal ini bisa membuat pemain merasakan nostalgia. Dan nostalgia bisa mendorong seseorang untuk mengeluarkan uang; dalam kasus ini, untuk membeli game.
Efek perasaan nostalgia pada kecenderungan seseorang untuk membeli sesuatu dibahas dalam studi berjudul Nostalgia Weakens the Desire for Money. Dalam jurnal itu tertulis, konsumen punya kecenderungan lebih besar untuk menghabiskan uang ketika mereka merasakan nostalgia. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu yang membuat Anda teringat akan masa kecil bahagia Anda bersama teman dan keluarga, Anda akan punya kemungkinan lebih besar untuk terdorong membeli barang tersebut. Contoh lainnya, saya membeli Stardew Valley karena saya punya kenangan manis saat memainkan Harvest Moon.
“Kami ingin tahu, kenapa nostalgia sering digunakan dalam marketing,” tulis Jannine D. Lasaleta, Constantine Sedikides, dan Kathleen D. Vohs — penulis jurnal Nostalgia Weakens the Desire for Money. “Ternyata, salah satu alasannya adalah karena nostalgia melemahkan kendali seseorang akan uang. Dengan kata lain, seseorang punya kesempatan lebih besar untuk membeli sesuatu yang membuat mereka merasakan nostalgia.”
Ketiga penulis itu juga menyebutkan, di masa resesi, konsumen biasanya sangat hati-hati dalam menghabiskan uang mereka. Nostalgia bisa digunakan untuk mendorong konsumen berbelanja, dan pada akhirnya, menstimulasi ekonomi, seperti disebutkan oleh Science Daily.
Membuat porting dari game yang sudah ada tidak hanya “lebih aman” dari segi bisnis, tapi juga dari segi kreatif. Ketika developer berhasil membuat game yang sangat keren, fans akan punya ekspektasi tinggi akan game yang dibuat oleh developer tersebut. Sebagai contoh, berkat kesuksesan The Witcher 3: Wild Hunt, orang-orang punya ekspektasi tinggi akan Cyberpunk 2077, game baru dari CD Projekt. Banyak gamers yang mengira dan berharap, Cyberpunk 2077 akan punya kualitas yang sama, atau bahkan lebih baik dari The Witcher 3. Sebagian orang bahkan menyebut Cyberpunk 2077 sebagai “penerus” dari The Witcher 3. Sayangnya, Cyberpunk 2077 gagal untuk memenuhi ekspektasi fans.
Dari segi bisnis, Cyberpunk 2077 memang terbilang sukses. Buktinya, dalam laporan perkiraan keuangan CD Projekt untuk 2020, total pemasukan perusahaan diperkirakan mencapai US$562 juta, 4 kali lipat dari pemasukan mereka pada 2019, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry. Tak hanya itu, total pemasukan itu juga 2,5 lipat lebih besar dari pemasukan CD Projekt pada 2015 — tahun ketika The Witcher 3 diluncurkan. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, banyak fans yang merasa kecewa dengan CD Projekt karena gagal memenuhi janji-janji yang mereka buat sebelum Cyberpunk 2077 diluncurkan. Misalnya, janji tentang AI dan NPC di Cyberpunk 2077 yang jauh lebih baik dari kebanyakan game.
Jadi, dengan membuat porting game, tim kreatif sebuah developer tidak terlalu dipusingkan dengan apakah game terbaru mereka akan memiliki kualitas yang tidak kalah dari “masterpiece” mereka sebelumnya. Karena itu, jangan heran jika Rockstar memutuskan untuk membawa Grand Theft Auto V ke PS5 dan Xbox Series X. Saat ini, game tersebut telah terjual sebanyak 155 juta unit, menjadikannya sebagai game dengan total penjualan terbesar ke-2 setelah Minecraft.
Hambatan untuk Membuat Porting?
Membuat porting game dari satu platform ke platform lain memang relatif lebih mudah daripada membuat game dari nol. Namun, hal itu bukan berarti proses porting tidak menawarkan tantangan tersendiri, khususnya ketika developer melakukan porting game ke PC. Berbeda dengan konsol — yang memiliki spesifikasi yang sama — PC punya spesifikasi yang berbeda-beda. Ketika Anda membeli PS5, Anda tahu bahwa konsol itu akan menggunakan AMD Zen 2-based CPU, memiliki custom RDNA 2 sebagai GPU, dengan internal storage berupa SSD custom 825GB, dan memori 16GB GDDR6.
Sementara PC hadir dalam berbagai spesifikasi. Di satu sisi, para sultan bisa membeli PC gaming terbaik, tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka habiskan. Yang penting, mereka bisa memainkan game dengan setting rata kanan. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang hanya memiliki laptop/PC kentang. Bagi developer yang hendak melakukan porting game ke PC, keberagaman spesifikasi PC ini jadi momok tersendiri.
“Bayangkan, ada berapa banyak komponen dalam sebuah PC? Masing-masing komponen itu memiliki drivers sendiri-sendiri. Sebagian gamers mungkin sudah memasang update itu, tapi sebagian yang lain belum. Dan masing-masing komponen itu akan saling berinteraksi dengan satu sama lain,” jelas Jason Stark, Co-founder Disparity Games pada PC GAMER. “Membawa game ke konsol memang tidak mudah. Tapi, setidaknya, ketika Anda membuat game untuk konsol, Anda akan tahu bahwa ketika Anda menemukan masalah di Xbox One yang Anda gunakan, masalah itu akan muncul di semua Xbox One lain.”
Melakukan porting game PC dari konsol last-gen juga berpotensi menimbulkan masalahh tersendiri, seperti dalam resolusi dan framerate. Game yang dibuat untuk dijalankan pada 30 fps tidak akan mendadak bisa dijalankan pada 60 fps. Selain itu, sebuah game lawas tidak akan mendadak terlihat seperti baru ketika developer meningkatkan resolusi grafiknya, menjadi 4K. Stark bercerita, terkadang, developer harus mengutak-atik kode dasar sebuah game untuk membuat game bisa dijalankan pada resolusi dan framerate yang lebih tinggi. Dan jika salah, hal ini bisa menyebabkan bug yang mengacaukan gameplay.
Misalnya, dalam game Vanquish, ketika developer membuat game bisa berjalan pada 60 fps, muncul bug yang membuat pemain mendapatkan damage 2 kali lipat dari ketika game dijalankan pada 30 fps. Walau terkesan sederhana, bug ini bisa membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki. Sebagai contoh, di Dark Souls II, ada bug yang membuat senjata pemain rusak lebih cepat. Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki bug tersebut adalah satu tahun.
Selain menyesuaikan bagian grafik, Stark bercerita, terkadang, developer harus “membuat ulang” sebuah game menggunakan engine baru ketika mereka hendak melakukan porting ke platform baru. Bahkan, jika game yang hendak di-porting memang sudah sangat lawas, developer mungkin harus mempertimbangkan untuk merombak game itu sama sekali, termasuk bagian gameplay dari game.
Mari kita bandingkan Final Fantasy 7 Remake dengan Grand Theft Auto V. Ketika Rockstar membawa GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, mereka tidak merombak gameplay dari game tersebut. Mereka hanya perlu memastikan, GTA V bisa berjalan di ketiga platform tersebut. Lain halnya dengan FF7 Remake.
Ketika Square Enix memutuskan untuk membuat ulang FF7, mereka tidak bisa serta-merta meluncurkan game itu ke PlayStation 4. Pasalnya, FF7 adalah game lawas, diluncurkan pertama kali pada 1997. Square Enix tidak hanya harus memperbarui grafik dari FF7 ketika mereka membuat versi Remake, tapi juga mengubah gameplay dari game itu. Karena, gameplay FF7 orisinal kurang relevan di era modern.
Tak terbatas pada aspek teknis, ketika developer hendak melakukan portinggame ke platform lain, mereka juga harus mempertimbangkan sisi marketing. Nicole Stark dari Disparity Games mengatakan, ketika sebuah game diluncurkan untuk platform baru, maka developer juga harus siap melakukan kampanye marketing baru, seperti menghubungi YouTubers baru atau mengurus fanbase baru.
Kesimpulan
Nilai industri game mencapai lebih dari US$100 miliar. Ironisnya, tidak sedikit developer game — khususnya developer indie — yang justru menjadi starving artists. Misalnya, di Indonesia, pengembangan When the Past Was Around hampir dihentikan karena Mojiken Studio mengalami masalah finansial. Karena itu, penting bagi developer untuk meminimalisir risiko game yang mereka buat gagal. Dan membuat porting game merupakan salah satu cara untuk melakukan hal itu.
Ke depan, proses porting game tampaknya juga menjadi semakin penting. Karena, menurut laporan App Annie dan IDC, cross-play adalah salah satu fitur yang membuat sebuah game menjadi semakin populer. Belum lama ini, Sony juga menyebutkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game di PC. Bahkan, saat ini, bisnis porting game sudah cukup lukratif sehingga ada developer yang memang mengkhususkan diri untuk melakukan porting.
Minggu lalu, Sony mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game untuk PC. Karena itu, mereka mengubah nama dari publishing label mereka, menjadi PlayStation PC LLC. Sementara itu, Ubisoft mengumumkan laporan keuangan mereka. Mereka mengungkap, Assassin’s Creed: Valhalla sekarang merupakan game mereka yang paling menguntungkan kedua. Pada minggu lalu, developer World of Warcraft juga mengumumkan studio barunya, Notorious Studios.
Krafton Akuisisi Developer Subnautica
Pemilik PUBG Studios, Krafton, mengakuisisi Unknown Worlds, studio di balik game Subnautica. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi tersebut. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Unknown Worlds setelah akuisisi. Mereka tetap mempertahankan struktur perusahaan mereka dan mempekerkajan semua pegawai mereka. Tak hanya itu, mereka juga tetap akan beroperasi sebagai studio mandiri. Ke depan, Unknown Worlds juga akan tetap merilis update untuk Subnautica. Selain itu, mereka juga akan mengembangkan proyek baru yang akan tersedia dalma early access pada 2022.
“Unknown Worlds adalah developer yang tidak hanya mumpuni, tapi juga penuh dengan semangat. Mereka berhasil menunjukkan kreativitas mereka dan membuat game dengan dunia yang fokus pada pemain,” kata CEO Krafton, CH Kim, dikutip dari GamesIndustry. “Krafton akan memberikan semua yang kami bisa untuk mendukung mereka. Selain meningkatkan kemampuan kami dalam membuat game, Unknown Worlds juga punya tujuan yang sama dengan kami, yaitu menciptakan game yang unik semua gamers di dunia.”
Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft
Assassin’s Creed: Valhalla diluncurkan pada November 2020. Dan sekarang, game tersebut telah menjadi game dengan pemasukan terbesar kedua untuk Ubisoft. Informasi itu diungkap oleh Ubisoft ketika mereka mengumumkan laporan keuangan untuk semester pertama dari tahun fiskal ini. Dalam periode Maret-September 2021, Ubisoft mengungkap bahwa total pemasukan mereka turun 1% dari tahun lalu, menjadi EUR751 juta. Namun, pemasukan perusahaan pada kuartal dua naik 21%, menjadi EUR399 juta.
“Kami punya performa yang memuaskan pada Q2, dengan pemasukan melebihi perkiraan kami,” ujar CEO Ubisoft, Frédérick Duguet, menurut laporan GamesIndustry. “Pemasukan kami naik berkat kualitas dari Intellectual Property (IP) kami, termasuk Assassin’s Creed Valhalla yang sangat sukses.”
Sony Ganti Nama Publishing Label untuk Game PC Jadi PlayStation PC LLC
Sony baru saja mengubah nama publishing label untuk game PC mereka. Sekarang, game yang Sony luncurkan di Steam akan ada di bawah label PlayStation PC LLC. Keputusan Sony ini merupakan cerminan dari keinginan Sony untuk meluncurkan lebih banyak game di PC. Belum lama ini, PlayStation mengumumkan bahwa God of War — yang tadinya eksklusif untuk konsol PlayStation — bakal diluncurkan untuk PC pada Januari 2022.
Tak hanya itu, Uncharted: Legacy of Thieves Collection — berupa dua game Nathan Drake — juga bakal diluncurkan di PC pada awal 2022. Keputusan Sony untuk lebih serius di industri game PC tidak aneh. Pasalnya, selama ini, para eksekutif PlayStation memang telah menyebutkan bahwa mereka berencana untuk meluncurkan lebih banyak game untuk PC, lapor VentureBeat.
Kepada GO, PlayStation Head, Jim Ryan berkata, “Kami punya kesempatan untuk memberikan akses dari game kami ke lebih banyak gamers dan meringankan beban ekonomi pengembangan game, yang tidak selalu sesederhana yang dikira banyak orang. Biaya untuk membuat game terus naik, seiring dengan meningkatnya kualitas IP. Selain itu, sekarang, kami juga bisa meluncurkan game untuk non-konsol gamers dengan lebih mudah.”
Mantan Developer World of Warcraft Buat Studio Baru
Mantan game designer dari World of Warcraft, Chris Kaleiki mengumumkan bahwa dia telah membuka studionya sendiri, yang dinamai Notorious Studios. Dia mengumumkan hal tersebut melalui Twitter pada minggu lalu. Dia juga menyebutkan, melalui studio barunya, dia akan fokus untuk membuat game RPG.
“Memutuskan untuk meninggalkan Blizzard adalah salah satu keputusan tersulit dalam hidup saya,” kata Kaleiki, menurut laporan NME. “Saat mempertimbangkan langkah saya berikutnya, saya tahu bahwa saya ingin membuat sesuatu dengan tim yang lebih kecil, tapi punya prinsip yang sama dengan Blizzard. Contonya, prinsip untuk mengutamakan pengalaman para pemain. Saya tahu, hal ini bukan hal yang mudah.”
Bagi penggemar fotografi, serta fotografer dan videografer profesional, tentu sudah mengetahui keserbagunaan lensa dengan focal lenght 70-200mm. Mulai dari buat foto portrait, 200mm dan ditambah aperture F2.8, bokeh yang dihasilkan pun sangat fantastis.
Kemudian untuk foto landscape, traveling, dokumentasi, dan videografi, lensa 70-200mm sangat powerful karena menawarkan fleksibilitas dalam mengambil variasi ukuran bidikan dan komposisi. Lensa yang serbaguna yang sangat membantu workflow produksi Anda.
Yang terbaru, Sony Indonesia telah meluncurkan lensa FE 70-200mm F2.8 GM OSS II. Lensa zoom telephoto premium seri G Master ini akan tersedia di Tanah Air pada bulan November 2021 dengan harga Rp37.999.000.
Pembelian secara pre-order sudah dapat dilakukan dari tanggal 29 Oktober 2021 hingga 14 November 2021 di seluruh Sony Authorized Dealer. Untuk pembelian dalam masa pre-order, Sony menawarkan paket spesial berupa H&Y Magnetic ND Filter Kit senilai Rp1.999.000.
Lensa 70-200mm F2.8 Teringan
Seperti namanya, perangkat ini adalah penerus dari FE 70-200mm F2.8 GM OSS yang dirilis tahun 2016. Dibanding pendahulunya, model baru punya berat sekitar 29% lebih ringan, 1.480 gram vs 1.045 gram.
Dengan bobot 1.045 gram, Sony mengklaim bahwa FE 70-200mm F2.8 GM OSS merupakan lensa zoom 70-200mm F2.8 teringan di dunia. Kalau saya bandingkan dengan kompetitor terbarunya, ia memang sedikit lebih ringan dari Canon RF 70-200mm F2.8L IS USM yang memiliki berat 1.070 gram. Nikon Nikkor Z 70-200mm F2.8 VR S 1.440 gram dan Panasonic Lumix S Pro 70-200 F2.8 O.I.S. 1.570 gram.
“FE 70-200mm F2.8 GM OSS II adalah lensa yang ringan dan menawarkan penanganan luar biasa dalam situasi apa pun. Tambahan terbaru dari seri G Master kami akan menjadi zoom telephoto tambahan yang sempurna untuk perlengkapan kreator mana pun yang ingin memaksimalkan potensi peralatan mereka baik untuk foto maupun video,” ungkap Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.
Kualitas Optik
Lensa FE 70-200mm F2.8 GM OSS II menawarkan kualitas gambar dengan resolusi dan kejernihan tinggi. Pengguna dapat mengharapkan gambar yang jernih dari ujung ke ujung di seluruh rentang zoom, bahkan pada saat aperture terbuka lebar.
Berkat dua elemen lensa aspherical, termasuk satu elemen XA (extreme aspherical) yang diproduksi hingga presisi permukaan 0,01-micron, sehingga dapat secara efektif mengontrol variasi aberasi terkait jarak. Serta, dua elemen kaca spherical ED (extra-low dispersion) dan dua elemen kaca spherical Super ED untuk secara signifikan mengurangi aberasi kromatik tanpa color bleeding.
Ia dapat menghasilkan bokeh indah berkat aperture maksimum F2.8 dan unit aperture melingkar 11-blade. Desain optik canggih termasuk elemen XA dapat menekan efek ‘onion ring‘ yang tidak diinginkan secara menyeluruh.
Jarak pemfokusan minimum hanya 15,7 inci (0,4 meter) pada 70mm dan 32,3 inci (0,82 meter) pada 200mm, dengan perbesaran maksimum 0,3x. Lebih lagi, ia mendukung penggunaan teleconverter 1,4x atau 2,0x Sony untuk memperpanjang focal length hingga 400mm pada bukaan F5.6.
Untuk menghindari flare dan ghosting dalam kondisi pencahayaan yang menantang, Nano AR Coating II asli Sony menghasilkan lapisan anti-pantulan yang seragam pada permukaan lensa. Desain optiknya juga dapat secara efektif menekan pantulan internal untuk meningkatkan kejernihan.
Kemampuan Autofokus
Lensa FE 70-200mm F2.8 GM OSS II menggunakan empat XD (extreme dynamic)Linear Motors asli Sony untuk kecepatan dan ketepatan AF tinggi. Sekitar empat kali lebih cepat dan dengan pelacakan fokus ditingkatkan sebesar 30% jika dibandingkan dengan model sebelumnya.
Saat dipasangkan dengan kamera flagship Sony Alpha 1, lensa ini mampu melakukan pengambilan gambar beruntun berkecepatan tinggi hingga 30 fps. Pelacakan AF juga tersedia bahkan saat menggunakan teleconverter. Untuk video, ia menawarkan AF yang halus dan senyap untuk mengunci fokus serta melacak subjek yang bergerak cepat, bahkan saat melakukan zoom, sehingga pengguna dapat menyerahkan fokus ke kamera.
FE 70-200mm F2.8 GM OSS II merupakan pilihan yang sempurna untuk video berkat aperture maksimum F2.8 yang konstan. Lensa ini didesain untuk secara signifikan mengurangi focus breathing, focus shift dan axis shift saat melakukan zoom, sehingga meminimalkan gerakan gambar yang tidak diinginkan dan variasi sudut pandang.
Untuk pengoperasian penggunaan video yang mudah, lensa dilengkapi dengan ring kontrol independen untuk fokus, zoom dan bukaan (iris), memungkinkan pengoperasian manual yang presisi. Ring aperture juga memiliki tombol klik ON/OFF. Lebih lagi, Linear Response MF Sony memastikan kontrol fokus manual yang responsif dengan lag rendah. Hood lensa yang disertakan juga memiliki bukaan yang memungkinkan kemudahan pengoperasian dari filter polarisasi melingkar atau filter ND variabel.
Per tanggal 30 September 2021 kemarin, PlayStation 5 tercatat telah terjual sebanyak 13,4 juta unit. Terlepas dari kelangkaan stoknya, penjualan konsol tersebut ternyata terus bertumbuh secara signifikan, sebab dalam kurun waktu tiga bulan saja, angka penjualannya sudah naik sekitar 3,3 juta unit.
Dalam laporan finansial terbarunya untuk kuartal fiskal kedua tahun 2021, Sony mencatatkan penjualan hardware sebesar 160 miliar yen (19,9 triliun rupiah), naik drastis dibanding penjualan di periode yang sama tahun lalu sebesar 41 miliar yen. Secara total (hardware plus software), divisi gaming Sony mencatatkan penjualan sebesar 645,4 miliar yen (80,5 triliun rupiah) untuk periode Juli-September 2021.
Lucunya, laba operasional yang didapat justru turun 21% menjadi 82,7 miliar yen (10,3 triliun rupiah). Ini disebabkan oleh anjloknya penjualan konsol PS4. Di periode ini, PS4 rupanya cuma laku sebanyak 200 ribu unit saja, bandingkan dengan 1,5 juta unit yang terjual pada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Faktor lain yang juga punya pengaruh besar adalah performa penjualan game dari studio-studio internal Sony sendiri (first-party). Di periode ini, Sony rupanya hanya mampu menjual 7,6 juta kopi game first-party, sedangkan tahun lalu mereka berhasil menjual sebanyak 12,8 juta kopi dalam periode yang sama.
Namun perlu dicatat, dalam tiga bulan terakhir ini memang belum ada game first-party baru yang dirilis oleh Sony, sementara di periode yang sama tahun lalu mereka sempat terbantu oleh peluncuran perdana Ghost of Tsushima – meski ini bukanlah game terlaris yang pernah Sony buat.
Titel game first-party terlaris Sony sejauh ini masih dipegang oleh God of War, yang telah terjual sebanyak 19,5 juta kopi, dan yang diprediksi bakal bertambah lagi seiring perilisannya versi PC-nya tahun depan. Di belakangnya ada Marvel’s Spider-Man dengan 13,2 juta kopi, kemudian Horizon: Zero Dawn dengan 10 juta kopi, dan Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dengan 6,5 juta kopi.
Jepang merupakan negara dengan pasar game terbesar ketiga. Menurut data dari Newzoo, nilai industri game di Jepang mencapai US$20,6 miliar. Tak hanya itu, Jepang juga menjadi rumah dari beberapa perusahaan game ternama, seperti Sony dan Nintendo. Jepang bahkan sempat mendominasi pasar game global pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Perusahaan-perusahaan game Jepang menguasai 50% dari pangsa pasar game global sekitar 25 tahun lalu. Namun, sekarang, dominasi Jepang telah mulai luntur. Pertanyaannya: apa yang membuat kejayaan Jepang di industri game runtuh?
Era Kejayaan Jepang di Industri Game
Kesuksesan Jepang di dunia game berawal dari arcade. Game arcade pertama, Periscope, diluncurkan pada 1966. Namun, di Jepang, game arcade baru mulai populer pada 1970-an, ketika Atari meluncurkan game arcade pertama mereka, Computer Space, di 1971. Sejak saat itu, mesin arcade menjamur, ditempatkan di berbagai pusat perbelanjaan dan bar. Sebenarnya, saat itu, para gamers sudah bisa membeli konsol untuk memainkan game di rumah. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Japan Times, game arcade lebih populer karena ia menawarkan grafik yang lebih bagus.
Salah satu perusahaan Jepang yang menuai sukses dari bisnis game arcade adalah Sega. Dan salah satu game arcade Sega yang dianggap sukses adalah Sega Rally Championship. Game itu bahkan dianggap sebagai game balapan revolusioner karena menawarkan fitur berupa gaya gesek yang berbeda untuk setiap permukaan yang berbeda. Tetsuya Mizuguchi adalah salah satu developer yang mengembangkan Sega Rally Championship.
Mizuguchi bergabung dengan Sega pada 1990, saat dia berumur 25 tahun. Dia mengaku, alasan dia ingin bekerja untuk Sega adalah karena dia kagum dengan mesin arcade yang Sega buat. Contohnya, R360, mesin arcade yang bisa berputar 360 derajat. Kepada Channel News Asia, dia mengaku bahwa ketika dia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Sega, dia tidak berusaha untuk mencoba melamar pekerjaan di tempat lain.
Pada tahun 1990-an, Sega berhasil mendapatkan miliaran dollar dengan membuat dan menjual mesin arcade. Hal ini membuat Sega tidak segan-segan untuk mengucurkan banyak uang bagi divisi riset dan pengembangan. Mizuguchi bercerita, pada awal dia bergabung dengan Sega, perusahaan itu punya atmosfer layaknya startup. Pasalnya, kebanyakan kreator game di sana masih berumur 20-an.
“Kami semua tidak punya pengalaman, tapi kami terus berusaha untuk membuat hal baru. Ketika itu, saya merasa, atmosfer perusahaan Sega sangat menyenangkan. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Kami percaya, kami bisa mencoba untuk melakukan sesuatu walau kami tidak tahu caranya. Dan jika kami gagal, kami akan bisa mencoba lagi,” cerita Mizuguchi.
Sayangnya, pada 2000-an, bisnis arcade mulai lesu. Hal ini terjadi karena berkembangnya bisnis konsol, yang menurunkan minat para gamers untuk bermain di arcade. Lesunya industri arcade bahkan membuat Sega ada di ujung tanduk. Akhirnya, pada 2004, Sega akhirnya memutuskan untuk melakukan merger dengan Sammy Corporation. Sega selamat dari kebankrutan. Namun, setelah merger, atmosfer perusahaan berubah. Perubahan tersebut mendorong Mizuguchi untuk keluar.
“Tadinya, saya bisa mencoba untuk membuat hal-hal baru dan menantang di Sega. Tapi, atmosfer baru di perusahaan membuat saya kesulitan untuk melakukan hal itu,” ungkap Mizuguchi. “Namun, saya rasa, hal ini terjadi di banyak perusahaan.”
Turunnya minat akan mesin arcade memang merupakan kabar buruk untuk Sega. Namun, meningkatnya popularitas konsol menjadi kabar baik untuk produsen konsol, seperti Sony dan Nintendo. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, konsol buatan Sony dan Nintendo mendominasi pasar. Sampai saat ini, daftar lima konsol dengan penjualan terbaik diisi oleh konsol-konsol buatan kedua perusahaan Jepang tersebut.
Runtuhnya Dominasi Jepang
Era 2000-an menjadi awal dari memudarnya dominasi Jepang di industri game. Menurut Matt Alt, penulis, penerjemah, dan penulis yang bermarkas di Tokyo, peluncuran Xbox oleh Microsfot merupakan salah satu alasan di balik runtuhnya dominasi Jepang di industri game. Dengan adanya Xbox, developer di Amerika Utara dan Eropa bisa membuat game untuk konsol berbasis Windows. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir akan masalah bahasa, mengingat Microsoft adalah perusahaan Amerika Serikat.
Senada dengan Alt, Shin Imai, jurnalis IGN Jepang mengatakan, kemunculan Xbox menjadi awal dari menurunnya penjualan game buatan Jepang di pasar global. Alasannya adalah karena game-game dari developer di luar Jepang juga mulai menarik perhatian gamers. Sementara itu, John Ricciardi, localizergame Jepang, menganggap bahwa meningkatnya biaya untuk membuat game menjadi salah satu alasan mengapa game Jepang menjadi kurang populer di pasar global.
“Ongkos untuk membuat game mendadak meroket, dan proses pengembangan game menjadi kaku serta tidak fleksibel. Dan saya rasa, Jepang terjebak di sini,” ujar Ricciardi. “Di Barat, game engine mulai muncul. Para developer game melakukan semua yang bisa mereka lakukan untuk menyederhanakan proses pembuatan game. Jadi, mereka bisa fokus pada sisi kreatif pembuatan game. Namun, hal ini tidak terjadi di Jepang.”
Sementara dominasi Jepang di industri game mulai lutur, pada 2000-an, industri game Korea Selatan justru mulai tumbuh. Menariknya, budaya game Korea Selatan jauh berbeda dengan Jepang. Hal ini terjadi karena pemerintah Korea Selatan melarang impor konsol dan game dari Jepang. Memang, hubungan antara Jepang dan Korea Selatan kurang baik karena Jepang pernah menjajah Korea Selatan.
Larangan pemerintah untuk menjual game dan konsol Jepang mendorong munculnya format game baru yang unik, yaitu game berbasis teks yang disebut Multi-User Dungeon alias TextMUD. Sesuai namanya, “game” TextMUD tidak punya grafik sama sekali. Sebagai gantinya, pemain bisa berinteraksi dengan satu sama lain dalam dunia virtual dengan mengetikkan perintah sederhana. TextMUD biasanya menggabungkan elemen RPG, hack and slash, PVP, dan online chat. Dan format game ini menjadi awal dari kemunculan game online.
“Dengan kata lain, jika konsol game Jepang mendominasi pasar game Korea Selatan, genre inovatif TextMUD tidak akan pernah muncul,” kata Jong Hyun Wi, President of Korean Academic Society of Games. Di masa depan, popularitas game online juga turut berperan dalam membentuk budaya gaming di Korea Selatan. Jika gamers Jepang lebih suka bermain sendiri, gamers Korea Selatan lebih menikmati bermain bersama teman di game online. Dan hal ini akan mendorong kemunculan esports.
Peran Perusahaan Game Jepang di Tiongkok
Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang melarang penjualan konsol buatan Jepang. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal yang sama pada 2000. Ketika itu, alasan Beijing melarang penjualan konsol — baik buatan perusahaan Jepang maupun Amerika Serikat — adalah karena orang tua dan guru khawatir game akan menjadi “heroin digital”. Larangan penjulaan konsol ini juga mempengaruhi pertumbuhan industri game Tiongkok. Karena konsol dilarang, maka di Tiongkok, industri game PC dan mobile tumbuh pesat.
Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia. Lisa Hanson, Games Industry Consultant, Niko Partners mengatakan, Tiongkok menguasai setidaknya 25% pada pangsa pasar game global. “Banyak perusahaan game yang ingin bisa mendapatkan akses ke gamers Tiongkok,” katanya. “Dan halangan pertama yang harus mereka hadapi adalah regulasi. Ada banyak regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para pelaku industri game. Perusahaan yang ingin bisa masuk ke Tiongkok harus memenuhi regulasi tersebut.”
Lebih lanjut, Hanson menjelaskan, untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, sebuah perusahaan tidak hanya harus mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Beijing, mereka juga harus bekerja sama dengan perusahaan lokal. “Karena, hanya perusahaan lokal di Tiongkok yang bisa mengakses infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.
Kabar baik untuk perusahaan pembuat konsol, pemerintah Tiongkok menghapus larangan impor konsol pada 2015. Setelah larangan untuk menjual konsol dihapus, Nintendo menggandeng Tencent untuk meluncurkan Switch di Tiongkok. Tak mau kalah, Sony juga meluncurkan PlayStation 5 di Tiongkok pada Mei 2021. Dan PS5 laku keras di Tiongkok, membuktikan bahwa gamers Tiongkok punya minat akan konsol.
“PS5 terjual habis dalam waktu singkat. Konsol itu juga mendapat banyak pujian,” kata Hanson. “Gamers Tiongkok punya minat tinggi akan PS5 dan Switch dan Xbox. Memang, tidak semua gamers Tiongkok ingin bermain di konsol. Tapi, orang-orang yang berminat dengan konsol, mereka sangat senang dengan keberadaan konsol.” Dia menambahkan, di masa depan, dengan keberadaan cloud gaming — yang memungkinkan game-game konsol untuk dimainkan di perangkat lain via cloud — hal ini akan membuka kesempatan baru bagi perusahaan konsol.
Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, kontribusi segmen konsol di pasar game Tiongkok memang sangat kecil. Menurut Alt, kontribusi konsol pada keseluruhan pasar game Tiongkok hanyalah 2-3$. Dia menjelaskan, “Pangsa pasar konsol di Tiongkok sangat kecil karena game PC dan mobile mendominasi. Jadi, apa yang Nintendo, Sony, dan Microsoft coba lakukan adalah membangun audiens konsol yang setia.”
Industri Game Jepang di Masa Depan
Selera gamers Jepang berbeda dengan gamers dari Amerika Utara atau kawasanlain. Imai mengatakan, gamers dari Amerika Utara biasanya menyukai game dengan grafik yang realistis karena budaya menonton film di bioskop cukup kental di sana. Sebaliknya, gamers Jepang lebih terbiasa mengonsumsi media hiburan selain film, seperti manga dan anime. Perbedaan selera ini berpotensi membuat perusahaan game Jepang bingung: apakah mereka harus fokus pada pasar domestik atau global. Pasalnya, industri game Jepang juga cukup besar sehingga sebuah perusahaan bisa tetap sukses meskipun mereka hanya fokus pada pasar domestik.
Menurut Alt, di masa depan, akan semakin banyak game yang menggunakan karakter atau elemen khas Jepang lainnya, tapi dibuat oleh developer dari luar Jepang. Dia menjadikan Pokemon Go sebagai contoh. Walau menggunakan franchise Pokemon, game AR itu dibuat oleh Niantic, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Alt bahkan menduga, karakter atau trope khas Jepang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mencoba teknologi baru.
Sementara itu, ketika ditanya tentang memudarnya dominasi Jepang di industri game, Mizuguchi menjawab bahwa dia tidak merasa pangsa pasar Jepang di bisnis game menurun. Hanya saja, industri game sudah berkembang menjadi jauh lebih besar. Alhasil, pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang terlihat menyusut. Selain itu, dia juga merasa, kreativitas developer game Jepang juga masih hidup.
“Kami tidak punya keinginan untuk menguasai pasar game,” ujar Mizuguchi. “Kami lebih mementingkan kreativitas, teknologi, keahlian, dan seterusnya. Saya rasa, developer Jepang akan tetap membuat game sesuai dengan prinsip mereka. Dan jika game tersebut memang sukses, maka jumlah orang yang memainkan game yang kami kuasai akan naik dengan sendirinya.”
Satu hal yang agak disayangkan adalah, Xperia Pro-I pada praktiknya tidak bisa memanfaatkan seluruh penampang sensor tersebut akibat keterbatasan ruang di antaranya dan lensa. Alhasil, resolusi foto yang dapat dihasilkan cuma 12 megapiksel, bukan 20 megapiksel seperti pada kamera RX100 VII. Ukuran piksel individualnya sendiri berada di angka 2,4 µm, sekitar 20% lebih besar daripada milik kamera utama iPhone 13 Pro dan 13 Pro Max.
Sensor tersebut ditandemkan dengan lensa Zeiss 24mm f/2.0-4.0. Ya, kamera utama Xperia Pro-I punya aperture yang bisa diubah-ubah secara fisik, mirip seperti yang ditawarkan oleh Samsung Galaxy S9 tiga tahun lalu.
Bukan cuma bersensor besar, kamera utama Xperia Pro-I juga istimewa karena dibekali 315 titik phase-detect autofocus (PDAF) yang tersebar di 90% permukaan sensor. Ini memungkinkan perangkat untuk menawarkan fitur real-time eye autofocus, baik pada subjek manusia ataupun hewan. Bukan cuma selagi memotret, fitur ini pun bisa diaktifkan saat sedang merekam video.
Bicara soal video, Xperia Pro-I sanggup merekam video dalam resolusi maksimum 4K 120 fps. Buat yang tertarik menggunakan kamera ini untuk vlogging, Sony juga akan menawarkan aksesori opsional berupa layar 3,5 inci yang dapat dipasangkan ke bagian belakang Xperia Pro-I (sehingga pengguna bisa vlogging memakai kamera belakang ketimbang depan).
Menemani kamera utamanya adalah kamera ultra-wide 12 megapiksel dengan lensa 16mm f/2.2 dan kamera telefoto 12 megapiksel dengan lensa 50mm f/2.4. Xperia Pro-I turut mengemas sensor 3D iTOF untuk membantu meningkatkan akurasi sistem autofocus-nya, dan Sony pun tak lupa membekalinya dengan tombol shutter fisik yang dapat ditekan separuh untuk mengunci fokus.
Selebihnya, Xperia Pro-I tidak jauh berbeda dari Xperia I III yang diluncurkan April lalu. Perangkat mengemas layar OLED 6,5 inci dengan resolusi 4K dan refresh rate 120 Hz, chipset Snapdragon 888, RAM 12 GB, storage 512 GB (plus slot microSD), dan baterai 4.500 mAh yang mendukung fast charging 30 W.
Semuanya dikemas dalam bodi tahan air (IP65/68) setebal 8,9 mm saja. Sesuai tebakan, harganya jauh dari kata murah. Di Amerika Serikat, Sony Xperia Pro-I akan dijual seharga $1.800, atau kurang lebih sekitar 25,5 juta rupiah.
Sony a7 mark III dirilis pada Februari 2018, ia adalah kamera mirrorless full frame profesional model dasar dari Sony. Kemampuannya tak perlu dipertanyakan lagi, a7 III merupakan kamera hybrid yang dapat diandalkan oleh fotografer maupun videografer profesional.
Ketika Nikon dan Canon memperkenalkan kamera mirrorless perdana mereka dengan sistem full frame barunya, a7 III kerap kali dijadikan benchmark. Ia mampu bersaing sangat baik dengan para kompetitornya karena fiturnya cukup lengkap termasuk IBIS dan dukungan ekosistem lensa yang kuat.
Sampai saat ini, a7 III masih sangat seksi – namun seiring waktu, ada beberapa hal yang akhirnya mencapai batasnya dan berujung menjadi deal breaker bagi beberapa peminatnya. Ya, tetapi kekurangan yang ada sudah diperbaiki oleh Sony. Setelah hampir empat tahun, Sony akhirnya merilis penerus dari a7 III – selamat datang a7 mark IV.
Resolusi Lebih Tinggi
Dari a7 generasi pertama sampai ketiga, resolusi yang ditawarkan ialah 24MP. Pada a7 IV, Sony akhirnya menggunakan sensor baru BSI-CMOS beresolusi 33MP dengan prosesor gambar terbaru Bionz XR.
Sony a7 IV dapat memotret beruntun tanpa gangguan hingga 10 fps dengan AF/AE tracking dan punya buffer lebih besar. Ia juga mewarisi algoritme AF paling mutakhir dari flagship Sony a1, Real-time Tracking lebih baik dengan 759 titik phase-detection AF yang mencakup sekitar 94% area gambar.
Selain itu, fitur Real-timeEye AF pada a7 IV tak hanya dapat melacak mata manusia, tetapi juga mata burung dan hewan baik untuk still maupun video. Dibanding generasi sebelumnya, akurasi face dan eye detection untuk manusia pada a7 IV meningkat sekitar 30%.
Perekam Video
Salah satu kekurangan yang ada pada a7 III dan makin kesini hal itu semakin penting ialah ia hanya mampu merekam video 4K UHD dengan frame rate sebatas 30 fps dan mekanisme LCD monitor yang hanya bisa dimiringkan. Kini a7 IV sudah memiliki LCD monitor vari-angle yang memberikan fleksibilitas lebih saat pengambilan video, ukurannya tetap 3 inci tetapi ditopang resolusi sedikit lebih tinggi yakni 1,04 juta dot.
Perekam video a7 IV juga meningkat, ia dapat merekam video 4K UHD hingga 30 fps menggunakan lebar penuh sensornya (oversampled diambil dari 7K) atau 60 fps dalam mode Super 35mm (oversampled dari 4.6K). Sony a7 IV juga sudah dilengkapi picture profile S-Cinetone yang diadopsi dari kamera Cinema Line Sony. Semua mode video itu dapat ditangkap dalam detail 10-bit 4:2:2 atau 4:2:0, dengan pilihan kompresi H.265, H.264 Long GOP, atau H.264 All-I.
Fitur Lain
Dari segi desain, a7 IV mendapatkan beberapa pembaruan termasuk LCD monitor vari-angle, ukuran grip dan tombol-tombolnya juga lebih besar, serta memiliki antarmuka baru seperti a7S III. Resolusi jendela bidiknya juga meningkat dengan panel OLED Quad-VGA 3,69 juta dot.
Fitur 5-axis optical in-body image stabilization-nya dapat mengkompensasi getaran 5.5-step. Punya dua slot SD card yang mendukung CFexpress Type A/UHS-II SD dan UHS-II SD, serta baterai tetap sama NP-FZ100.
Untuk harganya, Sony a7 IV body only dibanderol US$2499 atau kurang lebih Rp35,3 jutaan dan rencanya akan mulai tersedia pada akhir Desember 2021. Sekedar mengatahui, a7 III body only di Indonesia saat ini dibanderol dengan harga promo Rp24.999.000.
Sony Indonesia telah meluncurkan TV BRAVIA XR terbaru, yaitu X90J 4K LED, X95J 4K LED, A80J OLED, dan Z9J 8K LED. Keempat smart TV premium ini didukung oleh teknologi Cognitive Processor XR dan dilengkapi dengan fitur gaming khusus yang kompatibel dengan PlayStation 5.
“Di tengah kondisi yang mengharuskan kita untuk lebih banyak beraktivitas di rumah, Sony meluncurkan 4 seri televisi BRAVIA XR terbaru. Didukung oleh Cognitive Processor XR, rangkaian TV ini akan memaksimalkan pengalaman menonton Anda, sebagaimana mata manusia melihat dan telinga manusia mendengarkan hal yang nyata,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.
“Kemudian TV ini juga dilengkapi dengan fitur Auto HDR Tone Mapping serta Auto Genre Picture Mode yang secara khusus didesain untuk PlayStation 5 agar Anda bisa merasakan pengalaman bermain game yang lebih responsif. Didukung dengan teknologi Sound-from-Picture Reality untuk memberikan kualitas audio yang lebih nyata. Semoga TV BRAVIA XR dapat menjadi sarana hiburan terbaik Anda dalam menjalani aktivitas apapun,” tambahnya.
Teknologi Cognitive Processor XR
Ketika AI konvensional hanya dapat sekedar mendeteksi dan menganalisis elemen gambar, teknologi Cognitive Processor XR mampu menganalisis silang setiap titik fokus dan secara otomatis mempertajam titik tersebut secara simultan, persis seperti cara otak manusia bekerja. Ditambah XR Clarity yang akan menciptakan tekstur dan detail sehingga gambar terlihat seperti aslinya.
Untuk memaksimalkan pengalaman streaming konten Netflix mendekati 4K dan 8K di rumah, TV X90J, X95J, dan A80J dilengkapi teknologi XR 4K Upscaling dan XR 8K Upscaling pada TV Z9J. Pengguna dapat menonton dari sisi manapun, panel X-Wide Angle pada TV X95J dan Z9J akan memastikan warna tetap asli dari semua sisi.
Rangkaian TV BRAVIA XR juga dilengkapi dengan fitur Sound-from-Picture Reality, yang menyelaraskan posisi suara dengan gambar pada layar dan dapat mengubah suara apapun menjadi surround sound 3D. Berkat 3D Surround Upscaling pengguna akan mendapatkan pengalaman audio sinematik dengan format terbaru seperti Dolby Atmos.
Satu hal lagi yang menyempurnakan rangkaian TV BRAVIA XR adalah kehadiran fitur spesifik yang didesain untuk menghadirkan pengalaman bermain PlayStation 5. Melalui fitur Auto HDR Tone Mapping dan Auto Genre Picture Mode, yang mendukung kompatibilitas HDMI 2.1 untuk resolusi dan frame rate tinggi 4K 120fps.
Fitur Auto HDR Tone Mapping akan mengoptimalkan pengaturan HDR secara otomatis saat melakukan pengaturan awal dengan PlayStation 5. Fitur ini akan memberikan gambar optimal yang secara khusus disesuaikan dengan produk TV BRAVIA XR yang digunakan.
Hal ini memungkinkan pengguna untuk melihat detail dan warna krusial, bahkan dalam adegan dengan kontras tinggi. Kemudian, dengan fitur Auto Genre Picture Mode, TV terbaru ini akan secara otomatis beralih ke mode gaming untuk memberikan aksi yang lebih responsif saat bermain game favorit.
Keempat TV BRAVIA XR juga didukung oleh Google TV yang terhubung dengan hands-free Google Assistant untuk mengakses beragam tontonan menarik. Juga tersertifikasi IMAX Enhanced TV, sehingga dapat menghadirkan pengalaman IMAX Theater di rumah dan terhubung dengan seluruh layanan streaming bersertifikat IMAX.
Rangkaian TV BRAVIA XR juga memiliki Netflix Calibrated Mode untuk menghadirkan konten Netflix berkualitas studio bagi para kreator. Harga keempat seri BRAVIA XR terbaru ini dibanderol mulai dari Rp16.999.000 untuk X90J 4K LED dan hingga Rp149.999.000 untuk Z9J 8K LED.