Aksi Bukalapak menggenjot bisnis non-marketplace mengundang sejumlah pertanyaan, bahkan memantik pertanyaan apakah Bukalapak meninggalkan bisnis marketplace yang digelutinya sejak awal. Anggapan tersebut langsung dibantah oleh President Bukalapak Teddy Oetomo.
“Kalau ada yang bilang kami ganti haluan dan meninggalkan marketplace itu adalah salah kaprah. Memang banyak yang tanya seperti itu, termasuk para investor,” ujar Teddy pada sesi buka puasa bersama wartawan (20/4).
Menurutnya, Bukalapak masih setia dengan model bisnis marketplace. Itu sebabnya, sejak melantai di BEI, terus memperkuat jumlah pelapak dan Mitra Bukalapak.
Menurut laporan keuangan perseroan per kuartal I 2021, pendapatan disokong oleh lini bisnis Mitra dengan pertumbuhan 284% menjadi Rp764,5 miliar terhadap keseluruhan pendapatan sebesar Rp1,9 triliun. Lini bisnis marketplace tetap menjadi kontributor utama pendapatan sebesar Rp990 miliar, namun pertumbuhannya turun 4% secara yoy.
Model bisnis Bukalapak sangat relevan dengan kondisi negeri yang berpenduduk 173 juta jiwa ini. “Kalau hanya mengandalkan online, tidak mungkin kami bisa menjangkau seluruh penduduk. Untungnya, negara kita sudah punya infrastruktur yang memungkinkan kita [Bukalapak] menjangkau seluruh negeri, yaitu warung.”
Di semester pertama 2022 ini, Bukalapak fokus untuk meningkatkan pendapatan melalui strategi specialty vertical dengan mendorong traffic ke area bisnis yang memiliki margin lebih besar. Makanya, banyak langkah strategis yang dilakukan, termasuk perkuat fokus di bisnis gaming dan meluncurkan bisnis e-gorcery bersama Transmart, Allofresh.
Teddy bilang, strategi tersebut memungkinkan perseroaan untuk memperoleh take rate yang lebih tinggi. “Tahun lalu take rate kami 1,7%. Dengan strategi specialty vertical, take rate-nya bisa high single digit. Paling tidak 4%, ada yang sampai 8%.”
Fokus ke kedua bisnis tersebut dapat memberikan kontribusi pendapatan yang lebih baik, lantaran sudah ada pasar dan tidak perlu bakar duit. Yang mana, kedua area tersebut perseroan bisa langsung monetisasi, dapat memberikan nilai tanpa tanpa perlu diskon-diskonan.
Dia mencontohkan, langkah akuisisi itemku pada tahun lalu dinilai tepat karena kini menjadi salah satu sumber keuntungan perseroan. Itemku sendiri bermain di ranah marketplace yang memungkinkan pengguna untuk melakukan jual-beli aset permainan digital, serta menjual berbagai voucher untuk akses premium ke sebuah game.
Kebutuhan para gamers untuk melakukan top up item game selalu ada, mau ada atau tidak adanya diskon. Makanya, bisnis game ini dinilai sangat stabil.
Teddy menuturkan, itemku telah beroperasi beberapa tahun sebelum diakuisisi Bukalapak, sudah ada transaksi yang terjadi, hanya saja traffic-nya belum besar. Usai diakuisisi, lalu diintegrasikan dengan traffic Bukalapak, volume transaksi di itemku langsung melonjak hingga dua sampai tiga kali lipat.
“itemku sebagai produk standalone itu sendiri sudah profitable, makanya masuk ke strategi specialty vertical. Jadi bukan berarti Bukalapak pindah sudah enggak jadi marketplace lagi.”
Berikutnya, kemitraan dengan Allofresh yang diharapkan dapat menjadi mesin suplai barang kebutuhan stok warung Mitra Bukalapak. Para Mitra dapat memperoleh barang dalam waktu lebih cepat, sehingga bisa menurunkan biaya inventaris. Barang-barang yang diperoleh dari peritel besar memungkinkan para Mitra dapat membeli barang dengan lebih murah, ketimbang beli dari distributor kecil. Mereka pun dapat memiliki daya saing yang lebih tinggi.
Di ranah e-grocery ini, Teddy menilai bahwa persaingannya tidak begitu terpengaruh dengan efek peningkatan harga komoditas, seperti minyak goreng dan bahan bakar minyak. Segmen ini fokus pada kebutuhan harian, bukan sekunder atau tersier yang kemungkinan besar akan terpengaruh. Itu sebabnya, bagi Mitra Bukalapak diharapkan akan lebih resilient.
“Mungkin konsumennya yang dulu belanja langsung banyak, sekarang belanjanya jadi lebih kecil ukurannya, misalnya sachetan. Sebab, kami ini main di warung yang jualan kebutuhan utama, jadi konsumen harus tetap belanja.”
Karena fokus ke specialty vertical ini, Bukalapak membutuhkan dana untuk berbagai peluncuran produk. Hal tersebut sudah menjadi konsekuensi, makanya Teddy memproyeksikan EBITDA tahun ini akan stagnan, yakni di kisaran minus Rp1,5 triliun sampai Rp1,4 triliun.