Tag Archives: sprint asia

Perubahan Pola Masyarakat di Tengah Fintech

Kiat Menghadapi Perubahan Pola Masyarakat di Tengah Perkembangan Fintech

Salah satu transformasi yang cukup terasa di era digital adalah berubahnya cara orang menggunakan uang. Di kawasan kota, masyarakat Indonesia mulai terbiasa bertransaksi, baik itu berbelanja, makan, atau membayar tagihan, melalui ponsel mereka.

Tanpa mengecilkan fungsinya, uang tunai mulai tergantikan oleh dompet digital. Bahkan kini sebagian besar masyarakat urban tak lagi membayar transportasi online dengan uang tunai. Segala aktivitas dapat dilakukan secara seamless asal terhubung dengan internet.

Di balik kemudahan di atas, tentu ada sebuah proses terjadi. Ada tantangan sulit yang dihadapi sejumlah pelaku bisnis dalam mengubah kebiasaan pengguna memakai layanan keuangan digital. Hal ini karena Indonesia memiliki karakter konsumen yang sudah terbiasa bertransaksi dengan uang fisik.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial kedatangan CEO Sprint Asia Technology, Setyo Harsono, yang mengulas tentang bagaimana upaya untuk tetap inovatif di tengah persaingan industri fintech, termasuk mengedukasi pasar.

Tetap inovatif dengan tiga hal utama

Tak dapat dimungkiri, industri fintech Indonesia kini semakin bertumbuh dengan semakin bertambahnya pemain. Persaingan semakin kuat, pelaku bisnis berlomba-lomba menawarkan layanan terbaiknya.

Agar dapat bersaing, Setyo mengungkapkan tiga hal utama yang sekiranya dapat menjadi guidance untuk masuk ke industri fintech. Pertama, pastikan bahwa kita memiliki expertise di bidang yang ingin dimasuki. Jangan sampai masuk ke bisnis ini apabila tidak berpengalaman di bidangnya.

Kedua, jangan sampai pelaku bisnis terlalu habis-habisan dalam memanfaatkan teknologi sehingga melampaui batas. “Teknologi itu menjadi guardian, kita bisa (kembangkan layanan) dari ujung ke ujung, tetapi kita masih punya etika untuk tidak melakukannya,” ungkap Setyo.

Terakhir, pelaku bisnis perlu menghargai nilai dari sebuah joint-effort karena dalam industri ini pesaing bisnis bisa saja menjadi mitra kolaborasi di masa depan.

Mengubah kebiasaan adalah tantangan, perlu edukasi bersama

Bagi Setyo, tantangan terbesar dalam mengembangkan layanan keuangan digital adalah mengubah kebiasaan konsumen. Transisi dari penggunaan uang tunai ke digital akan terasa sulit bagi pasar di Indonesia, mengingat pasar kita terbiasa dilayani.

“Mengubah kebiasaan adalah sesuatu yang sulit di Indonesia karena kita tidak terbiasa dengan budaya self-service. Konsumen Indonesia terbiasa dilayani. Artinya, sesuatu yang baru pasti tantangannya terletak pada habit,” tuturnya.

Dalam kasus ini, ia menilai perlunya edukasi berkelanjutan secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) agar adopsinya menjadi lebih cepat.

Ia mencontohkan saat ATM pertama kali keluar, tak banyak penggunanya karena satu pemain saja yang menyediakan. Apabila semua bank termasuk pemerintah ikut mengedukasi bersama-sama, adopsinya akan lebih mudah.

“Mengubah kebiasaan menggunakan uang tunai berarti menghadirkan kebiasaan baru. Para pemangku kepentingan harus mengadopsi bisnis model baru, selain terlalu memanjakan konsumen.”

Sprint Asia merupakan perusahaan yang menawarkan solusi perbankan berbasis TIK. Hingga tahun 2012, barulah perusahaan masuk ke bisnis payment gateway, salah satunya lewat produk Bayarind. Sejak dua tahun lalu, Bayarind masih menanti lisensi e-wallet dari Bank Indonesia.

Chatbot kini menjadi norma baru layanan pelanggan di perbankan

Ramai-Ramai Mengembangkan Chatbot

Industri perbankan menjadi sasaran berikutnya yang ‘terganggu’ dengan kehadiran teknologi. Perkembangan teknologi yang tidak terbendung, mau tak mau tidak bisa dilawan, tapi harus jadi kawan.

Inilah yang terjadi ketika bank dihadapi dengan salah satu perkembangan teknologi terkini, chatbot. Sebuah robot yang diprogram untuk membalas pesan dibantu dengan kecerdasan buatan agar percakapan terasal lebih natural. Dari sana, lahirlah Vira (BCA), Cinta (BNI), Mita (Bank Mandiri), dan Sabrina (BRI).

Dalam mengembangkan chatbot, bank tidak harus bekerja keras sendiri, bisa gandeng startup yang spesialis di bidangnya. Ada Kata.ai, Bang Joni, Sprint Asia, Botika, Eva, dan lainnya. Persis seperti yang dilakukan oleh BRI dengan gandeng Kata.ai, Bank Mandiri dengan InMotion, BNI dengan Bang Joni.

Pertimbangannya, tren yang terjadi saat ini melakukan kegiatan perbankan sekarang tidak harus lagi harus datang ke cabang tapi bisa lewat ponsel saja tanpa harus unduh aplikasi tambahan apapun. Cukup pakai aplikasi chat messaging atau sosial media yang dipakai untuk bisa akses layanan bank.

Perlu diketahui, pada dasarnya fungsi chatbot digolongkan ke dalam dua kategori, yakni otomasi percakapan dan kebutuhan fungsional. Untuk otomasi percakapan umumnya sering diimplementasikan oleh pedagang online demi meningkatkan interaksi secara kontinu dengan konsumennya.

Sedangkan kebutuhan fungsional, umumnya dirancang secara spesifk dengan melibatkan fitur lain yang kompleks seperti API khusus, otomatisasi pembayaran dan lainnya.

Untuk tahap awal fungsi chatbot yang dihadirkan keempat perbankan tersebut masih menjalankan fungsi customer service yang ada di lapisan pertama. Bertugas membantu jawab pertanyaan yang sifatnya umum dan repetitif.

Dari fungsinya tersebut, chatbot jadi manuver bank bagaimana menjadikan selayaknya saat nasabah menghubungi CS, yang mana bisa dihubungi kapan saja, tutur bahasa yang ramah, dan dapat diandalkan.

Tidak menutup kemungkinan bank lainnya akan menyusul hal serupa seperti yang dilakukan keempat bank besar ini. Mengapa belakangan bank ramai-ramai lirik peluang dari chatbot?

CEO Sprint Asia Technology Setyo Harsoyo punya jawabannya. Menurutnya, pada dasarnya semua perusahaan termasuk bank ingin meningkatkan engagement dengan para customer-nya. Banyak cara yang sudah dilakukan, seperti lewat situs, call center, email, SMS, dan lainnya.

Kemudian lahirnya teknologi chatbot yang berbeda dari semua channel di atas. Dengan chatbot, nasabah dari suatu bank dapat dengan mudah berhubungan dengan bank karena chatbot bisa melayani secara interaktif ribuan nasabah pada saat bersamaan dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan call center.

“Misalnya untuk dapat melayani 1.000 nasabah pada saat bersamaan cukup dengan satu bot, sementara call center memerlukan 1.000 agen,” terang Setyo.

Menambahkan pernyataan Setyo, CEO Kata.ai Irzan Raditya menuturkan chatbot adalah salah satu pilihan strategis karena mereka menyadari tren yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Aplikasi messaging sudah jadi bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, hal tersebut jadi peluang untuk lebih mudah jangkau nasabah melalui akun chatbot di aplikasi messaging favorit mereka.

“Hal inilah yang menurut kami menjadi kelebihan chatbot di bandingkan aplikasi. Friksi dan upaya yang diperlukan dari nasabah untuk mengakses chatbot jauh lebih kecil dibandingkan meng-install aplikasi, buka situs, atau menelepon CS,” terangnya.

“Terlebih lagi, banyak dari bank tersebut telah berinvestasi di kanal media sosial mereka sebagai sarana marketing untuk menggaet ratusan ribu bahkan jutaan audiens. Maka dari itu chatbot hadir sebagai layanan yang memberikan nilai tambah bagi nasabah mereka dengan berbagai macam kegunaan,” sambung Irzan.

Chatbot adalah suatu keniscayaan

DailySocial pun mencoba menghubungi perwakilan keempat bank tersebut untuk mengutarakan pendapatnya. Semuanya sepakat bahwa chatbot adalah suatu keniscayaan yang sudah saatnya untuk diadaptasi lantaran harus mengikuti tren yang terjadi.

“Teknologi yang dipilih dan dikembangkan tentunya didasarkan atas kebutuhan nasabah dari bank. Kami menerapkan pola customer centric dan research yang memadai sebelum launching suatu produk. Kami pilih chatbot untuk jawab kebutuhan masyarakat yang semakin dinamik lewat digital channel,” ujar Direktur BRI Indra Utoyo.

General Manager E-Banking Division BNI Anang Fauzie menambahkan, “Orang spending waktu lebih banyak di aplikasi chat dan mereka lebih menyukai menerima info dan promo lewat media sosial atau aplikasi.”

Pun demikian bagi BCA, Direktur BCA Santoso bilang, “Adopsi terhadap suatu teknologi harus seirama dengan fokus kami yaitu memberikan pengalaman terbaik bagi nasabah.”

Oleh karenanya, BCA melihat chatbot mampu menyampaikan dengan baik tujuan tersebut. Menurutnya informasi yang disampai Vira tidak hanya terbatas untuk nasabah saja, masyarakat umumpun dapat menikmati informasi-informasi yang diberikan Vira.

Bagi Bank Mandiri, chatbot mampu menciptakan komunikasi dua arah seperti selayaknya menghubungi customer service. Sebelumnya perseroan sudah menggunakan social messaging seperti Line untuk promosi dan edukasi, namun sifatnya hanya satu arah, dan masyarakat tidak bisa berinteraksi lebih lanjut.

“Pada perkembangannya, layanan contact center digital Bank Mandiri melalui email dan media sosial telah mencapai 10% dari total interaksi nasabah ke CS,” ujar Senior VP Customer Care Group Bank Mandiri Lila Noya.

Lila melanjutkan, “Pada tahap awal, nasabah dapat berinteraksi melalui chatbot untuk memperoleh informasi tentang produk, layanan, program promosi, dan informasi finansial. Sebab sekitar 70% nasabah yang berinteraksi dengan CS permintaannya terkait hal tersebut.”

Investasi yang worth it

Sekalinya sudah terjun, tentunya bank tidak bisa mundur begitu saja dari chatbot ini. Apalagi implementasinya ini masih tahap awal. Begitupun bagi BNI, Anang bilang keputusan bank untuk terjun ke chatbot ini worth it dengan manfaat chatbot bagi pengembangan bisnis.

Pihaknya mengaku investasi IT akan terus berlanjut menyesuaikan dengan tren industri. Sayangnya Anang tidak menerangkan lebih detil soal nominalnya.

Santoso pun menddukung pernyataan Anang. “Pastinya dengan shifting dunia yang semakin digital, teknologi jadi komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam semua aspek kehidupan maupun dalam organisasi. Tentunya ini akan seiring dengan jumlah investasi IT yang akan dikeluarkan.”

“Kami melihatnya dari sisi efektifitas dan efisiensi layanan. Melalui chatbot, nasabah dapat lebih mudah berinteraksi dengan Bank Mandiri, sehingga bisa memperkuat loyalitas mereka yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan bisnis bank,” tutur Lila Noya.

Dari kacamata para pengembang, menurut Irzan, biaya pengembangan dan operasional chatbot sangat bervariasi, tergantung pada fitur yang ingin dihadirkan seiring ambisi bank ingin seberapa jauh teknologi AI dan machine learning yang ingin diimplementasikan. Termasuk pula pengaruh berapa banyak pengguna yang ingin disasar.

“Kami sendiri menagih biaya operasional chatbot berdasarkan penggunaan (berapa banyak pesan yang masuk, berapa pengguna yang mengajak ngobrol, berpaa lama sesi percakapan antara chatbot dengan pengguna).”

Berdasarkan pengalamannya, meski tidak tidak disebutkan nominalnya, jumlah investasi di chatbot tidak lebih mahal dari jumlah investasi IT yang biasa dihabiskan oleh perusahaan besar.

Sementara bagi CEO Bang Joni Diatche Harahap, biaya untuk pembuatan chatbot sekarang sudah relatif turun tapi tergantung sistem dan kegunaan apa yang akan dilakukan. Bahkan, di dalam platformnya, biaya pembuatannya sangat terjangkau, relatif tanpa harus lewati proses coding, kecuali untuk fitur yang dikostumisasi untuk spesifik perbankan.

Setyo Harsoyo turut berpendapat, “Biaya sangat relatif, tergantung dibandingkan dengan apa? Jika dibandingkan dengan biaya pengadaan dan pengelolaan call center jelas lebih murah.”

Kendati dianggap sebagai investasi yang worth it, masih ada kekurangan yang dirasa oleh para pemain. Lila Noya berpendapat, meski perekaman data melalui Mita sangat mudah dan dapat jadi bahan evaluasi untuk meningkatkan layanan kepada nasabah dan internal kontrol.

Akan tetapi, pengembangan sistem bot untuk dapat merespons permintaan nasabah yang kompleks masih membutuhkan waktu yang relatif lama.

Senada, Anang Fauzie melihat pengkayaan kosa kata sangat menantang karena akan sangat variatif cara orang bertanya dan berbahasa. Namun hal tersebut bisa diakali dengan mengoptimalkan kecerdasan buatan untuk pelajari bahasa, agar ia semakin pintar deteksi bahasa.

 

Teknologi baru, tantangan baru

Irzan Raditya memahami karena masih implementasi tahap awal, kemampuan chatbot yang diterapkan bank di Indonesia tergolong cukup terbatas. Banyak sekali pengembangan yang perlu dilakukan untuk memastikan chatbot memiliki fungsionalitas sekaya aplikasi atau situs.

Saat ini, sambungnya, tantangan utama untuk chatbot yang diimplementasi di kanal media sosial adalah keamanan data. Ketika chatbot merambah fitur transaksi (core banking), opsi terbaik untuk melakukannya adalah lewat aplikasi atau situs milik bank tersebut.

“Maka dari itu mayoritas chatbot yang ada saat ini masih terfokus di fungsi-fungsi komplementer, seperti CS, cari promo kartu kredit/debit, cari ATM terdekat, cari tahu soal produk, daftar kartu kredit, dan gimmick marketing lainnya. Namun kami yakin di masa yang akan datang, chatbot akan bisa mencapai fungsionalitas lebih baik dari sisi teknologinya.”

Ditambah pula, dari sisi teknis mengenai keamanan data, bank tidak diperkenankan untuk menyimpan data nasabah di server eksternal atau cloud. Semua data dan sistem teknologi harus tersimpan di server milik mereka sendiri (on premise).

Dampaknya, terletak pada biaya investasi yang perlu mereka keluarkan saat mencoba mengimplementasikan teknologi baru karena harus bangun infrastruktur teknologi mereka sendiri. Namun di sisi lain, bank hanya akan berinvestasi pada teknologi yang sudah terjamin mengingat kerumitan yang harus mereka hadapi saat implementasi teknologi baru.

“Dengan berlomba-lombanya bank di Indonesia eksplorasi chatbot, ini menunjukkan chatbot bukan lagi sekadar eksperimen teknologi. Tapi sudah jadi sebuah pilihan teknologi yang strategis untuk proses bisnis mereka.”

Di samping itu, tantangan lainnya yang masih harus dihadapi bank saat implementasi teknologi baru adalah soal regulasinya. Menurut Diatche Harahap, regulasi bank terkesan sangat terlambat untuk mengikuti perkembangan teknologi chatbot dengan AI.

Dia mencontohkan, untuk regulasi pembukaan rekening dan transaksi. Saat ini setelah hampir setahun, tak kunjung ada restu dari regulator padahal kebutuhan utama dari chatbot adalah regulasi yang mendukung.

“Regulasi adalah tantangan terbesar, bukan hanya data,” kata Ache, panggilan akrab Diatche.

Selalu membutuhkan sentuhan manusia

Kendati chatbot adalah robot yang menyerupai manusia, namun perbankan memastikan bahwa mereka akan selalu membutuhkan sentuhan manusia yang nyata dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.

“Sampai saat ini, kami belum melihat bahwa robot akan menggantikan manusia 100%. Akan selalu dibutuhkan sentuhan manusia dalam setiap teknologi. Apalagi untuk jenis usaha finansial seperti bank,” kata Santoso.

Bagi bank, berhubungan dengan nasabah secara langsung merupakan sesuatu yang sangat penting. Teknologi atau robot dalam hal ini akan membuat beberapa hal lebih efisiens dan lebih cepat (responsif), baik dari sisi perusahaan maupun nasabah.

Diungkapkan bahwa manusia memiliki unsur relationship yang tidak dapat tergantikan oleh robot. Anang Fauzie menambahkan, chatbot jadi alat untuk bantu dan melengkapi layanan, bukan untuk menggantikan penuh tenaga manusia.

Chatbot, menurutnya, akan membantu tim melayani hal-hal yang simpel namun banyak sekali dibutuhkan atau ditanyakan. Dengan demikian SDM bisa lebih fokus untuk pekerjaan yang lebih kompleks, sehingga tidak menyita waktu mereka.

“Sebagian layanan yang tidak bisa direspon via chatbot misalnya, yang sifatnya konsultatif maka tetap membutuhkan kehadiran layanan manusia,” ucap Indra Utoyo.

Masa depan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina

Tak hanya berguna untuk meringankan beban pekerjaan tim CS, chatbot juga dapat dimaksimalkan untuk keperluan lainnya. Lila Noya mengatakan Mita juga dimanfaatkan perseroan untuk keperluan marketing, menggali kebutuhan nasabah lewat survei dan representasi Bank Mandiri secara korporat.

Selain itu, Anang menambahkan, chatbot dipakai sebagai alat peningkat transaksi dan akuisisi nasabah baru. Serta, data mining untuk mengetahui preferensi nasabah.

“Kelak nasabah bebas memilih sarana atau channel apa yang sesuai dengan keinginan atau preferensi dan pola laku (behavior) yang cocok bagi nasabah,” tandas Santoso.

Sejauh ini bisa dikatakan BCA sebagai bank pelopor yang menghadirkan Vira ke publik pada pertengahan tahun lalu. Santoso menuturkan dampaknya bagi perusahaan adalah peningkatan pengguna dan interaksi dengan nasabah setiap bulannya. Sayangnya, dia tidak disebutkan berapa angka detailnya.

Bagi BCA, hal tersebut menjadi pencapaian yang positif karena semakin sering Vira diajak ngobrol, dia akan semakin “pintar”.

Sedangkan bagi Cinta, dampak bagi BNI adalah perseroan dapat menyebarkan informasi dengan biaya yang rendah karena lewat aplikasi messaging.

“Dengan demikian setiap blast promo yang kami kirimkan dapat dilihat langsung oleh user lewat gadget mereka,” terang Anang.

Perjalanan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina masih sangat panjang. Masih banyak sekali fitur-fitur yang bisa dikembangkan dan akan terus bertambah. Inisiasi empat bank beraset terbesar di Indonesia ini dengan memulainya lebih dahulu bisa menjadi faktor pemicu untuk bank lainnya melakukan hal serupa.

Perkenalkan “Jumienten”, Sprint Asia Rambah Layanan Chatbot

Perusahaan teknologi Sprint Asia resmikan layanan pengembangan chatbot sebagai unit bisnis baru yang ditandai dengan perkenalan Jumienten ke hadapan publik. Layanan baru ini dinilai memiliki peluang yang besar karena implementasinya yang tergolong masih baru di Indonesia.

Dalam menyediakan layanan tersebut, Sprint Asia menggandeng Kata.ai sebagai mitra teknologi penyedia sistem NLP.

“Kami menyasar seluruh perusahaan dari berbagai industri sebagai klien. Ini akan dimulai dari klien existing kami, sekarang ada beberapa yang sudah mulai deploy seperti dari asuransi, bank, dan e-commerce,” terang CEO Sprint Asia Setyo Harsoyo, Kamis (5/4).

Menurutnya, kehadiran chatbot merupakan jawaban atas kebutuhan layanan pelanggan yang kian kompleks. Mengutip dari data eMarketer, komunikasi melalui telepon adalah kanal layanan pelanggan yang paling membuat frustrasi, sementara riset Flurry Analytics menyebutkan aplikasi messaging adalah platform yang paling banyak digunakan pengguna saat ini.

Ia melanjutkan, dengan mengimplementasi teknologi chatbot sebuah perusahaan akan mampu lebih terhubung dengan para konsumennya. Tak hanya itu, chatbot dapat digunakan perusahaan sebagai customer service yang online selama 24 jam tanpa henti. Hal tersebut diklaim dapat mengurangi biaya CS sampai 39%.

Ambil contoh, sebuah chatbot dapat menangani lebih dari 500 konsumen dalam satu waktu, sedangkan di kehidupan nyata seorang agen hanya bisa menangani satu konsumen saja di waktu yang sama.

“Alasan kami menggandeng Kata.ai karena perusahaan ini adalah spesialis di bidang NLP yang canggih, mampu memahami apa yang pelanggan katakan dengan menganalisis konteks dan arti setiap kata dalam Bahasa Indonesia.”

Setyo mengklaim yang membedakan antara chatbot dari Sprint Asia dengan lainnya terletak di sisi pelayanannya. Pihaknya berkomitmen penuh untuk memberikan pelayanan sebagaimana yang selama ini kerap dilakukan sejak Sprint Asia pertama kali berdiri di 18 tahun yang lalu.

Perusahaan, sambungnya, tidak sekadar mendesain chatbot sebagai media tanya jawab, tetapi telah diintegrasikan dengan dasbor analisis yang terus memantau bagaimana performa dan adaptasi layanan terhadap perilaku pengguna. Chatbot ini juga mudah diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada, sehingga tidak perlu waktu lama untuk mengimplementasikannya.

Chatbot buatan Sprint Asia nantinya bakal hadir di berbagai platform messaging dengan Open API seperti LINE, Messenger, Telegram, BBM, dan lainnya.

Lengkapi kemampuan Jumienten

Kendati sasaran klien Sprint Asia dari chatbot ini adalah business to business, namun perusahaan tetap berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan Jumienten. Secara bertahap, kemampuan Jumienten akan terus ditambah agar nantinya semakin pintar dan bisa menjelaskan semua produk dari Sprint Asia.

Jumienten akan dilengkapi dengan produk payment gateway, mobile payment, hingga e-wallet untuk permudah konsumen saat bertransaksi menggunakan Sprint Asia. Jumienten bisa diakses melalui LINE, Messenger, dan Telegram.

“Jumienten itu jadi bukti kami bahwa kami juga bisa buat chatbot, ini prosesnya cukup sebentar hanya sebulan. Akan kami tambahkan produk perusahaan dalam Jumienten secara bertahap.”

Sprint Asia merupakan perusahaan yang sudah berdiri sejak 2000 memberikan inovasi dan pelayanan untuk klien B2B melalui varian layanan seperti transaksi mobile, digital advertising, dan juga payment gateway (Bayarind) untuk integrasi pembayaran online kepada lebih dari ratusan merchant e-commerce dengan layanan seperti kartu kredit, kartu debit, dan akun virtual.