Baru-baru saja diumumkan bahwa stadion Eden Park di Selandia Baru akan membuka pusat kegiatan esports. Eden Park Esports High Performance Centre akan mulai dikembangkan di stadion ayng mengurai sejarah panjang olahraga khas negara persemakmuran seperti kriket dan rugby.
Eden Park Esports High Performance Centre rencananya akan rampung dan dibuka pada akhir tahun 2020 mendatang. Nantinya akan dipersiapkan seluruh fasilitas yang bisa mendukung kegiatan esports secara penuh. Mulai dari broadcast studio, training room, dan tentu saja tidak terlupa jaringan LAN dan internet berkecepatan tinggi.
Adapun dikabarkan bahwa nantinya Eden Park akan menjadi stadion kandang bagi beberapa organisasi esports yang sudah berkecimpung lama di kancah esports region Pasifik dan Oseania. Tercatat organisasi esportsDire Wolves akan memindahkan operasinya ke Eden Park.
Sedangkan organisasi esports fighting game Standing Fierce juga akan bergabung bersama Eden Park dengan sebuah inisiatif menjangkau komunitas dan menjaga regenerasi atlet esports dari region Pasifik dan Oseania di masa depan. Rencananya Eden Park akan menyelenggarakan turnamen di level komunitas secara rutin.
Nick Sautner, selaku CEO Eden Park menyatakan pendapatnya kepada esports insider, “Esports High Performance Centre akan menunjukkan kemampuan Eden Park untuk dapat berkembang, berevolusi, dan menjadi yang terdepan dengan teknologi baru.”
Jika ditilik dari sisi bisnis, memadukan esports arena dan stadion olahraga tradisional adalah hal yang potensial dan cukup masuk akal. Pada tahun 2017 Guinivere Capital pertama kali mencoba membangun Esport High Performace Center di Sidney Cricket Ground yang kali ini diteruskan dengan membuka fasilitas yang sama di Eden Park. Tidak terlupa juga Korea Selatan sudah menanggapi esports dengan serius dan mengembangkan beberapa stadion esports dan terus berkembang sampai sekarang.
Lebih jauh lagi, berkembangnya industri esports di lingkup global lambat laun membutuhkan dukungan yang lebih dari segi infrastruktur. Dengan dibangunnya fasilitas yang bersifat dedicated akan menunjukan visi dan komitmen jangka panjang sebuah negara, mengingat esports dapat memberikan dampak yang positif bagi ekonomi. Faktanya, aktivitas esports menjadi salah satu bidang yang tetap bisa bertahan dan berjalan meskipun di tengah pandemi yang melanda.
Di sisi lain, sebuah stadion olahraga, hanya akan menadi ruang kosong yang tidak terpakai jika memang tidak ada aktivitas baik dari klub yang berlatih ataupun gelaran turnamen berlangsung. Dengan dibukanya pusat kegiatan esports di stadion tentu saja akan menjadi pilihan solusi yang baik dalam memanfaatkan stadion serta dapat menarik lebih banyak demografi usia muda yang sudah menjadikan gaming dan esports sebagai bagian dari lifestyle untuk datang dan menikmati euforia yang sama ketika menonton pertandingan olahraga tradisional secara langsung.
Di tengah hype seputar esports, tidak heran jika semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjadi investor. Menurut laporan The Motley Fool, pada 2018, total investasi di esports mencapai US$4,5 miliar. Angka ini diperkirakan masih akan terus naik. Pelaku industri real estate menjadi salah satu pihak yang tertarik untuk berinvestasi di esports. Jika pelaku industri properti tertarik untuk ikut masuk ke dunia esports, ada tiga hal yang bisa mereka lakukan.
1. Membangun hotel khusus esports
Belum lama ini, Atari menjual lisensi namanya untuk membuat sejumlah hotel. Hotel Atari pertama dibangun di Phoenix, Arizona. Hotel tersebut dibangun oleh True North Studio dan GSD Group. Saat ini, juga ada Downtown Grand di Las Vegas. Hotel ini menyasar gamer dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bermain bersama, melakukan siaran streaming, atau bahkan menyelenggarakan turnamen sendiri.
Seiring dengan berkembangnya esports, sejumlah hotel juga tertarik untuk menyediakan tempat untuk menyelenggarakan turnamen esports. Berbagai developer properti juga dikabarkan tertarik untuk membangun hotel khusus esports.
2. Membangun stadion esports
Newzoo memperkirakan bahwa tahun ini, jumlah penonton esports akan mencapai 495 juta orang. Memang, turnamen esports besar seperti Intel Extreme Masters mengundang penonton yang tidak sedikit. Hanya saja, saat ini belum banyak stadion khusus esports yang telah ada. Dengan diterapkannya sistem kandang-tandang di beberapa liga esports, ini akan membuat semakin banyak arena khusus esports yang dibangun.
Salah satunya adalah Esports Stadium Arlington di Texas. Stadion itu diklaim sebagai stadion esports terbesar di Amerika Serikat. Selain digunakan untuk menyelenggarakan turnamen, stadion tersebut juga menyediakan ruangan privat yang bisa digunakan untuk pelatihan pemain atau bootcamp. Luxor Hotel juga memutuskan untuk membuat HyperX Esports Arena, stadion esports dengan luas 30 ribu kaki.
Sementara itu, di Indonesia, DG Esports Stadium menjadi salah satu stadion khusus esports. Hanya saja, salah satu masalah yang ditemui oleh perusahaan ketika membangun stadion esports adalah mencari klien yang hendak menggunakan fasilitas tersebut.
3. Mall
Pada 2019, Simon Property Group mengumumkan bahwa mereka menenamkan saham dan menjadi salah satu pemegang saham di Allied Esports, perusahaan yang membuat stadion esports. Selain itu, Simon Property Group juga tertarik untuk membuat fasilitas esports di berbagai pusat perbelanjaan mereka. Fasilitas pertama yang mereka buat ada di Mall of Georgia. Fasilitas khusus esports ini akan memiliki luas 13 ribu kaki persegi dan bisa digunakan untuk menyelenggarakan turnamen atau sebagai studio siaran. Dikabarkan, mereka akan membuat berbagai fasilitas esports serupa di kawasan lain di Amerika Serikat.
Allied Esports akan membangun fasilitas esports di Mall of Georgia, Amerika Serikat. Proses perombakan pusat perbelanjaan tersebut akan dimulai pada Q2 2020. Diperkirakan, fasilitas esports ini sudah akan dapat digunakan pada semester kedua tahun ini. Fasilitas ini akan memiliki luas 13 ribu kaki persegi dengan dua tingkat. Tempat tersebut akan digunakan untuk menyelenggarakan turnamen esports rutin, baik profesional maupun amatir. Selain itu, tempat ini juga akan digunakan sebagai tempat diadakannya berbagai acara esports. Rencananya, fasilitas itu juga akan dilengkapi dengan PC gaming, konsol, dan peralatan untuk melakukan streaming. Semua itu akan bisa diakses oleh para pengunjung mall setiap harinya.
“Sejak lama, kami merasa bahwa komunitas gaming dan esports di kawasan tenggara Amerika Serikat, khususnya di kawasan metropolitan Atlanta, berkembang pesat. Dan kami percaya, fasilitas esports di Mall of Georgia akan menjadi pusat berkumpul para fans esports di kawasan tersebut,” kata Jud Hannigan, CEO Allied Esports, dikutip dari Esports Observer. Pembangunan fasilitas esports di Mall of Georgia merupakan bagian dari kerja sama Allied Esports dengan Simor Property Group, yang dimulai pada Juni 2019. Kedua perusahaan itu berencana untuk membangun sejumlah fasilitas esports di beberapa pusat perbelanjaan milik Simon Group. Selain itu, mereka juga akan mengadakan turnamen nasional untuk atlet esports amatir yang dinamai Simon Cup.
Di Amerika Serikat, jumlah mall terus berkurang. Menurut laporan 2017 Credit Sussie, sekitar 25 persen mall di AS akan tutup pada 2022. Alasannya karena jumlah pengunjung yang terus turun. Untuk menarik pengunjung, mall kini mulai menawarkan tempat hiburan. Mengingat esports kini tengah populer, tidak aneh jika Simon memutuskan untuk menambahkan fasilitas esports di mall miliknya. Menurut NPD Group Senior Sports Industry Adviser, Matt Powell, menyediakan fasilitas hiburan di mall bisa meningkatkan jumlah pengunjung.
“Tujuan utama dari fasilitas hiburan ini, yang mulai bermunculan di berbagai mall, adalah untuk meningkatkan jumlah pengunjung, untuk menarik pengunjung yang lebih muda,” kata Powell, menurut laporan Foot Wear News. Namun, apakah strategi Simon Group untuk membangun fasilitas esports di mall miliknya akan sukses baru akan diketahui pada akhir tahun ini.
“Penambahan fasilitas Allied Esports akan sangat bermanfaat untuk mall, dan pasti akan membawa pengunjung baru yang mungkin sebelumnya, tidak tertarik untuk berbelanja di mall tersebut,” kata Sarah Williams, SVP dan National Director of Retail Brokerage, JLL. “Keberadaan fasilitas itu juga akan mendorong pemasukan, terutama karena mall menyediakan makanan dan minuman.”
Selama ini, Allied Esports memang fokus pada bisnis stadion esports di Amerika Serikat. Menurut laporan Esports Observer, 4 dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang ada di bawah manajemen Allied Esports. Di Indonesia sendiri, ada beberapa perusahaan yang membuat fasilitas khusus untuk esports, seperti Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Sayangnya, untuk mencari klien yang mau menggunakan stadion tersebut bukanlah perkara mudah.
Industri esports memang tengah bertumbuh pesat. Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke ranah esports sebagai sponsor atau rekan kerja sama. Meskipun begitu, stadion khusus esports masih tak banyak. Sulitnya mencari pelanggan adalah salah satu masalah yang dihadapi pihak yang hendak membangun venue esports sendiri. Namun, ini tak menyurutkan niat perusahaan asal Swedia, Space, untuk membuat sebuah pusat gaming dengan luas 7.500 meter persegi dan 7 lantai. Space memilih Stockholm sebagai lokasi dari venue esports tersebut. Diperkirakan, tempat ini akan bisa dibuka untuk umum pada 2021.
Space Stockholm akan dilengkapi dengan 500 PC gaming, menjadikannya sebagai salah satu gaming center paling besar di Eropa. Selain itu, tempat tersebut juga dilengkapi dengan ruangan untuk bermain konsol dan game VR. Space tak hanya berharap menarik gamer sebagai pengunjung. Karena itu, mereka melengkapi fasilitas mereka dengan studio musik dan tempat untuk membuat konten, serta restoran, co-working space, gym, dan bahkan klub. Dengan semua fasilitas ini, Space berharap, mereka akan dapat menarik 5.000 pengunjung setiap harinya. Space juga menawarkan program keanggotaan, memungkinkan anggota untuk menggunakan co-working space, gym, dan Space Club, yang memiliki batas umur minimal 23 tahun. Anggota juga bisa mendapatkan jam gratis untuk bermain.
Space didirikan oleh tiga orang: Head of Esports Music Label, Enter Records, Gustav Käll, Chairman dan Partner Architecture Partner DAP Group, Lars Bloomberg, dan CEO Pop House Sweden Per Sudin. Pop House Sweden juga telah menanamkan investasi ke Space, meski tidak disebutkan berapa jumlahnya. Käll menjadi rekan kerja Sundin ketika dia bekerja untuk Universal Music pada 2016 setelah dia meninggalkan Clutch Enterainment. Käll mengatakan, membuat gaming center memang telah menjadi cita-citanya selama lima tahun belakangan.
“Menurut saya, gaming center bukanlah bagian akhir dari ekosistem, tapi bagian penting yang akan mendorong pertumbuhan esports,” kata Käll, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Keberadaan gaming center membuat game bisa dimainkan semua orang, karena tidak semua orang bisa membeli komputer high-end sekarang ini.” Perusahaan asal Amerika Serikat, Nerd Street Gamers, juga melakukan hal yang sama. Setelah mendapatkan kucuran dana sebesar US$12 juta, mereka berencana untuk membuat fasilitas esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.
“Dalam budaya online, semua orang tertarik dengan gaming, musik, dan pembuatan konten,” kata Käll. “Ketiga hal itu adalah tiga jenis hiburan yang paling dinikmati oleh generasi muda. Kami ingin membawa ketiganya dalam satu atap.” Karena itulah, Space Stockholm tak hanya menyediakan fasilitas untuk bermain game, tapi juga studio musik dan tempat untuk menciptakan konten.
“Space Stockholm, dengan tempatnya yang unik di pusat ibukota Swedia, akan menjadi landmark budaya — tidak hanya untuk kota Stockholm, tapi juga seluruh Swedia,” kata Anna König Jerlmyr, Mayor of Stockholm. “Tempat ini menjanjikan masa depan yang cerah untuk Sergels Torg dengan menciptakan pusat budaya digital yang modern dan progresif.” Swedia merupakan tempat asal dari dua developer ternama, Mojang dan King. Selain itu, dua perusahaan platform streaming musik, Spotify dan Soundcloud, juga berasal dari negara tersebut. Perusahaan media asal Swedia, Modern Times Group, juga merupakan pemilik DreamHack dan pemilik saham mayoritas dari ESL.
Tahun ini, esports menjadi bahan pembicaraan hangat. Tidak heran, dengan jumlah penonton hampir mencapai satu miliar orang, esports kini menjadi industri bernilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, sebenarnya, turnamen esports besar sudah diadakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Intel Extreme Extreme Masters yang telah diadakan sejak 2014 atau League of Legends Championship untuk Amerika Utara yang dimulai sejak 2015. Turnamen besar ini biasanya mendundang penonton yang tidak sedikit. Para penyelenggara turnamen seperti ESL biasanya menggunakan stadion untuk menyelenggarakan turnamen tersebut. Misalnya, babak akhir IEM biasanya diadakan di Spodek, Katowice, Polandia. Spodek adalah komplek multifungsi dengan kapasitas penonton mencapai 11.500 orang. ESL harus menggunakan komplek multifungsi karena memang saat ini, belum banyak stadion khusus esports dengan kapasitas besar.
Menurut data dari The Esports Observer, stadion khusus untuk esports dengan kapasitas lebih dari 400 tempat duduk sebenarnya telah ada sejak 2013. Ialah Nexon E-sports Stadium dengan kapasitas 436 orang yang terletak di Seoul, Korea Selatan. Stadion khusus esports dengan kapasitas terbesar berada di Tiongkok, yaitu Zhongxian E-sports Stadium, yang dibuka pada 2018. Stadion yang terletak di di Chongqing itu memiliki luas 5.574 meter persegi dan kapasitas 7.000 orang. Pada tahun yang sama, Texas juga membuka stadion khusus esports dengan luas lebih dari 9.200 meter persegi dan kapasitas 1.000 orang. Anda bisa melihat daftar stadion esports dengan kapasitas di atas 400 orang pada tabel di bawah.
Allied Esports Entertainment dan Bisnis Stadion Esports
Di Amerika Serikat, satu nama yang dikenal ketika membahas soal bisnis stadion esports adalah Allied Esports Entertainment. Perusahaan itu berdiri ketika Black Ridge Acquisition Corp (BRAC) mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises. Pada awalnya, BRAC adalah perusahaan tempurung dari perusahaan minyak dan gas yang dibuat hanya untuk mengakuisisi perusahaan lain. Setelah mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises pada Agustus lalu, BRAC banting setir dari sektor energi ke esports.
Di situs resminya, Allied Esports Entertainment mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang menaungi beberapa stadion dan fasilitas produksi konten. Memang, dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang, 4 di antaranya ada di bawah manajemen Allied Esports Entertainment. Namun, bukan berarti perusahaan itu mendapatkan untung besar. Allied Esports Entertainment mengatakan, sebelum akuisisi, Allied Esports dan WPT Enterprises mengalami kerugian sebesar US$3,9 juta pada semester pertama 2019. Sementara selama 2018, keduanya mengalami kerugian sebesar US$31 juta. Meskipun begitu, kepada The Esports Observer, juru bicara Allied Esports Entertainment mengaku optimistis. Dia berkata, “Ke depan, kami percaya diri dengan strategi kami dan kami akan memanfaatkan momentum pada semester pertama 2019, ketika pendapatan kami naik 40 persen.”
Menariknya, kerugian yang dialami Allied Esports dan WPT Enterprises tidak menghentikan TV Azteca dan Simon Property Group untuk mengucurkan dana investasi pada Allied Esports Entertainment. TV Azteca dan Simon Property Group masing-masing menanamkan US$5 juta pada Allied Esports Entertainment. Sebagai perusahaan properti, Simon Property mendapatkan US$5,66 miliar pada 2018. Investasi mereka pada Allied Esports Entertainment terbilang kecil. Pihak Simon menjelaskan, mereka tertarik untuk melakukan investasi di ranah esports karena mereka ingin melihat dampak adanya tempat khusus esports pada jumlah pengunjung dan kebiasaan belanja konsumen di pusat perbelanjaan mereka. Bersama Allied Esports Entertainment, Simon membuat longue Allied Esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.
“Fokus kami adalah menyediakan tempat bagi komunitas untuk berkumpul, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbelanja, makan, dan menikmati hiburan,” kata Executive Vice President dan COO of Development, Simon, Mark Silvestri, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Esports adalah cara inovatif bagi kami untuk memperkuat aspek komunal dengan format baru yang unik agar dapat menarik perhatian banyak orang.” Menurut Simon, sukses atau tidaknya pengintegrasian longue esports ke mall mereka akan didasarkan penerimaan pengunjung mall akan keberadaan tempat khusus esports ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, arena khusus esports masih belum banyak. Salah satu perusahaan yang memiliki stadion khusus esports adalah Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Namun, tidak sedikit turnamen yang diadakan di pusat perbelanjaan seperti Mall Taman Anggrek atau exhibition hall seperti Jakarta International Expo. Pihak penyelenggara memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan tempat untuk turnamen esports. Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memilih tempat turnamen esports adalah besarnya turnamen tersebut.
“Kalau level nasional, offline to online, dengan kapasitas dua sampai tiga ribu penonton dan tribune seat, mungkin Tennis Indoor Senayan atau Britama Kelapa Gading sangat oke supaya bisa dapat dokumentasi yang legendary,” kata Rezaly ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id via pesan singkat. “Itu hanya untuk turnamen satu game. Tapi, kalau turnamen multigame, bisa gunakan exhibition hall seperti Kartika Expo, JIE Expo, atau Mall Taman Anggrek.”
Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah tempat lokasi. “Kayak ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga sepreti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Senada dengan Rezaly, Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing and Creative MET Indonesia juga mengatakan bahwa kapasitas tempat dan kemudahan akses memang faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu, spesifikasi tempat, seperti luas area, kemungkinan untuk dekorasi tempat, adalah hal lain yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara.
Dunia Games adalah salah satu dari sedikit eksibitor yang memiliki arena khusus esports. Meski enggan untuk menyebutkan jumlah investasi untuk membangun DG Esports Stadium yang terletak di Pluit Selatan, Rezaly mengungkap bahwa proses touchup stadion itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Stadion tersebut biasanya digunakan untuk acara kelas menengah, dengan jumlah penonton sekitar 300-400 orang. “Di kantor juga ada ruangan di vertical garden atau diorama lantai 10. Ada LED khusus di sana, tinggal dipakai. Kalau untuk grassroot level, selain cafe, kita juga memaksimalkan penggunaan kantor GraPari di 141 titik di Indonesia.”
Rezaly mengaku, saat ini, mencari klien yang mau mengadakan turnamen di DG Esports Stadium adalah hal yang menantang. Memang, dia menjelaskan, ada banyak turnamen online yang diadakan. “Tapi, kalau offline, selain publisher atau BEKRAF, tahun ini tidak banyak yang mau investasi besar-besaran. Karena klien lebih memilih untuk menggunakan mall untuk acara kelas menengah karena jumlah penonton yang cenderung aman,” katanya. “Tapi, untuk High Grounds, Dunia Games atau Liga Games, yang punya stadion untuk in-house production, itu masih oke. Toh ada bisnis utama yang menghitung fasilitas sebagai aset.” Padahal, dia memperkirakan, jika penyelenggara menggunakan stadion khusus esports, mereka bisa menghemat biaya hingga 40-60 persen. Tidak hanya itu, pihak penyelenggara juga tak lagi direpotkan dengan mobilisasi peralatan atau internet. Karena, biasanya tempat khusus untuk esports sudah dilengkapi dengan semua itu.
Reza dari MET Indonesia, setuju dengan pendapat Rezaly. “Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujarnya, melalui pesan singkat.
“Kalau diselenggarakan di mall, ada opportunity penonton yang datang lebih banyak, tergantung dari trafik mall-nya sendiri,” kata Reza. “Tapi, setiap mall juga pasti memiliki aturan-aturan yang membatasi keleluasaan penyelenggara event, misalnya seperti ukuran panggung yang terbatas, pencahayaan yang tidak boleh terlalu gelap, dan lain-lain. Sedangkan kalau di venue khusus esports, hal-hal seperti itu bisa lebih dikustomisasi sehingga penyelenggara bisa lebih mengeskplorasi ide-ide untuk membuat event yang lebih out of the box.” Dia memberikan Regular Season MPL ID S4 sebagai contoh. Dia bercerita, MET Indonesia menyelenggarakan kompetisi itu di tempat khusus berupa hall kosong. Dengan begitu, mereka bisa menghias ruangan sesuai kebutuhan agar penonton dan pemain bisa merasa lebih nyaman. “Sejauh ini, review-nya positif. Semua senang dan penonton yang hadir setiap harinya bisa mencapai 400 orang dan bahkan mencapai 1000 orang kalau big match.”
Menurut Reza, salah satu masalah yang ditemui oleh penyelenggara ketika tidak ada tempat khusus untuk acara esports adalah terkait jadwal. “Padatnya jadwal penggunaan tempat sehingga penyelenggara harus berebut dengan acara konvensional lain dan spesifikasi tempat yang belum sesuai dengan kebutuhan turnamen,” katanya. “Namun tantangan ini dapat ditanggulangi selama penyelenggara sanggup untuk memproduksi kebutuhan dekorasi panggung dan interior lainnya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara tersebut.”
Potensi Bisnis Stadion Esports di Indonesia
Ketika ditanya tentang potensi bisnis pembangunan stadion khusus esports, Rezaly mengatakan investasi besar yang digelontorkan untuk membangun stadion tersebut tidak dapat kembali dalam waktu singkat. “Kalau untuk komersil jangka pendek, jujur, saran saya, lebih baik dikalkulasi ulang. Karena investasi dan biaya operasinya berat,” ungkap Rezaly. Meskipun begitu, dia merasa bahwa Telkomsel tidak menyesal untuk membuat DG Esports Stadium. “Ya worth it, jika dihitung nilai PR-nya. Tapi kalau dari segi komersil, masih challenging,” akunya. Masalah utama yang mereka hadapi saat ini adalah mencari klien.
Menariknya, meskipun Rezaly mengatakan mencari klien untuk DG Esports Stadium tidak mudah, dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan Telkomsel akan membuat arena khusus esports lain. “Terutama untuk luar Jawa alias Indonesia Timur dan Sumatera,” ujarnya. “Kita ada beberapa titik Loop Station yang didesain agar bisa menjadi gamers hub juga.” Informasi tambahan, Loop Station adalah kantor layanan Telkomsel yang menargetkan anak muda, yang merupakan pelanggan Loop. Berbeda dengan GraPARI yang merupakan kantor layanan Telkomsel biasanya, Loop Station dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga ia cocok untuk digunakan sebagai tempat hangout. “Karena ada LED besar dan koneksi internet di Loop Station, tinggal manage komunitas lokal untuk isi acaranya.” Dia menceritakan, bagi Telkomsel, membuat acara pada level grassroot lebih menarik. “Karena kami juga harus memberikan pelayanan ke pelanggan kami di rural area. Di sana, tidak ada hiburan. Games itu bisa mempersatukan merek non-endemik seperti kami ke generasi milenial.”
“Di luar Jawa, masih ada potensial untuk menggarap berbagai kegiatan sebagai jalur agar gamers di kawasan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi champion di wilayahnya dan berlanjut ke nasional. Karena di kota-kota besar dan Jakarta, kan sudah banyak tim pro. Mereka pasti sudah minder duluan,” ungkap Rezaly. Dia mengatakan, Telkomsel rutin mengadakan turnamen setiap minggu pada level yang berbeda-beda. “Baik kelas warung, ruko, cafe, sampai dengan mall. Yang online juga, kita maintain sendiri para pemainnya di platform turnamen Dunia Games dengan WhatsApp atau Discord.” Salah satu alasan Dunia Games lebih tertarik untuk mengembangkan komunitas di luar Jawa adalah potensi pendapatan yang lebih besar. “Secara revenue untuk top up voucher, pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa, walau jumlah pengguna data dan smartphone tetap lebih banyak di Jawa. Namun, keinginan untuk membeli, lebih merata di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Sumatera.”
Industri esports melibatnyak banyak pelaku, mulai dari developer dan publisher game, tim dan atlet profesional, sampai penyelenggara turnamen. Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab untuk membuat stadion esports? Soal ini, Reza menjawab, “Pada dasarnya semua pihak yang ingin mendorong perkembangan ekosistem esports bisa saja turun tangan untuk penggarapan venue khusus esports, karena semua yang bersinggungan dengan esports bisa memanfaatkan adanya venue tersebut.” Dia mengaku, sebagai penyelenggara, MET juga memiliki rencana untuk membuat tempat khusus esports. Sayangnya, dia enggan untuk membagikan informasi lebih lanjut.
Selain DG Esports Stadium, Anda juga bisa menemukan NXL Esports Center di The Breeze, BSD City. Satu hal yang menarik dari NXL Esports Center adalah karena ia merupakan gaming house yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tidak hanya itu, Anda bahkan bisa mengasah kemampuan Anda bermain game di sini. “Tempat kita itu utamanya untuk tempat latihan, tempat tanding, pengajaran, shooting, stream, mini museum, dan toko offline,” kata Richard Permana, CEO dari TEAMnxl> saat dihubungi melalui pesan singkat. “Para atlet kami datang setiap hari untuk latihan sekaligus bertanding. Untuk sesi pengajaran, biasanya di akhir minggu kami undang pengajar yang paling kompeten di game tersebut. Ke depan, event pengajaran mau kami level up lagi. Jadi, orang sekali bayar, ikut kelasnya misalnya lima kali dalam satu bulan.”