Tag Archives: standalone vr headset

Pimax Luncurkan VR Headset Baru dengan Resolusi Display 12K dan Full Body Tracking

Sejak tahun 2016, Pimax terus membuat gebrakan di industri virtual reality (VR) headset, utamanya terkait resolusi display. Yang terbaru, Pimax menyingkap headset bernama Reality 12K QLED, dan sesuai namanya, ia mengunggulkan display berteknologi QLED dengan resolusi total sebesar 12K.

Secara teknis, headset ini mengemas sepasang panel Mini LED berukuran 5,5 inci dengan kepadatan piksel sebesar 1.200 ppi. Tidak cukup sampai di situ saja, display-nya juga menawarkan refresh rate maksimum 200 Hz serta field of view yang sangat luas — 200° horizontal dan 135° vertikal.

Yang mungkin langsung memicu pertanyaan adalah, adakah PC yang sanggup menangani resolusi setinggi itu mengingat 8K saja masih jauh dari kata mainstream? Well, itulah gunanya teknologi foveated rendering. Berbekal eye tracker besutan Tobii, perangkat bisa mendeteksi ke arah mana mata pengguna melihat secara real-time, dan informasi tersebut akan digunakan oleh sistem untuk menentukan bagian mana yang perlu di-render dalam resolusi penuh dan mana yang tidak.

Namun mata bukan satu-satunya bagian tubuh yang bisa dibaca pergerakannya oleh headset ini. Empat buah kamera di bagian depannya mewujudkan tracking 6DoF, dan perangkat pun dirancang agar dapat memonitor pergerakan controller sekaligus tangan pengguna secara langsung.

Di dalam, masih ada dua kamera lagi untuk facial tracking. Pimax bahkan turut menyematkan tiga kamera ekstra yang dihadapkan ke bawah, yang bertugas untuk memonitor pergerakan bibir sekaligus tubuh dan kaki.

Menariknya, Pimax Reality 12K QLED tidak selamanya harus terhubung ke PC, sebab ia sebenarnya juga merupakan headset bertipe standalone yang mampu beroperasi secara mandiri layaknya Oculus Quest 2 maupun HTC Vive Flow. Chipset yang tertanam bahkan sama seperti milik Quest 2, yakni Qualcomm Snapdragon XR2.

Tanpa perlu terkejut, performanya bakal menurun dalam mode standalone. Display-nya pun juga dibatasi di resolusi 8K atau 5K saja dalam mode ini, demikian pula refresh rate-nya di 120 Hz dan field of view di 150°. Suplai dayanya sendiri datang dari baterai 6.000 mAh yang terpasang di sisi belakang.

Di atas kertas, Pimax Reality 12K QLED terdengar amat menjanjikan, sehingga tidak heran kalau harganya tergolong mahal: $2.399. Yang menarik, bagi konsumen yang sudah memiliki headset Pimax lain, mereka bisa mendapat potongan harga sebesar harga asli headset yang dibelinya itu. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai kuartal ke-4 tahun depan.

Sumber: VR Focus.

Ringkas dan Ringan, VR Headset HTC Vive Flow Utamakan Kenyamanan Ketimbang Performa

Bocorannya sempat bertebaran belum lama ini, VR headset terbaru HTC akhirnya diperkenalkan secara resmi. Perangkat bernama Vive Flow ini sangatlah berbeda dari headset-headset yang pernah HTC rilis selama ini, baik dari segi bentuk maupun skenario penggunaan.

Mari kita bahas desainnya terlebih dulu, sebab ini merupakan salah satu nilai jual utamanya. Seperti yang bisa kita lihat, wujudnya jauh lebih menyerupai kacamata ketimbang VR headset pada umumnya. Bentuknya langsung mengingatkan saya pada konsep headset bernama Project Proton yang HTC ungkap tahun lalu. Namun ketimbang memadukan VR dan AR sekaligus, Vive Flow murni menawarkan VR saja.

Realitas virtual itu disajikan melalui sepasang display LCD dengan resolusi 1600 x 1600 per mata dan refresh rate 75 Hz. Field of view-nya tergolong cukup luas di 100°, dan pengaturan fokus untuk tiap mata dapat dilakukan via kenop yang mengitari kedua lensanya di sisi dalam.

Tersamarkan oleh kaca berwarnanya adalah sepasang kamera yang bertugas untuk menangani kapabilitas inside-out motion tracking. HTC bilang nantinya bakal ada dukungan hand tracking, tapi sejauh ini belum ada kepastian kapan fitur tersebut bakal tersedia.

Sebagai gantinya, pengguna butuh sebuah smartphone Android untuk mengoperasikan Vive Flow, sebab ia tidak kompatibel dengan controller milik lini Vive Pro maupun Vive Cosmos. Andai diperlukan, Vive Flow tentu juga dapat meneruskan konten dari smartphone secara wireless.

Mirroring konten ini opsional karena Vive Flow merupakan VR headset tipe standalone yang dapat beroperasi secara mandiri. Performanya ditunjang oleh chipset Qualcomm Snapdragon XR1 — versi lebih lawas dari Snapdragon XR2 yang digunakan oleh Oculus Quest 2 — plus RAM 4 GB dan penyimpanan internal sebesar 64 GB.

Ia juga dibekali modul baterainya sendiri, tapi HTC bilang daya tahannya cuma beberapa menit saja. Idealnya, kalau menurut HTC sendiri, pengguna perlu menyambungkan Vive Flow ke sebuah aksesori battery pack yang dijual terpisah, atau ke power bank apapun yang memiliki kapasitas 10.000 mAh, agar perangkat bisa beroperasi selama beberapa jam.

Kompromi soal baterai ini perlu dilakukan demi menekan bobot perangkat sebanyak mungkin. Benar saja, berat Vive Flow diklaim tidak lebih dari 189 gram (bahkan lebih enteng daripada kebanyakan headset gaming). Bandingkan dengan Oculus Quest 2, yang bobotnya sudah menembus angka 1/2 kilogram.

Kenyamanan pada dasarnya merupakan salah satu faktor kunci buat Vive Flow. Saat sedang tidak digunakan, kedua tangkainya bahkan bisa dilipat layaknya kacamata, sehingga ia dapat disimpan ke dalam carrying case berbentuk tabung.

Dari sini bisa kita simpulkan juga bahwa performa bukanlah aspek yang ingin diprioritaskan HTC di sini. Vive Flow tidak dirancang untuk menjalankan game-game VR dengan grafis yang memukau, melainkan untuk streaming video maupun bercengkerama di platform social VR, dan sesekali bermain game-game VR yang sederhana.

Bentuknya yang menyerupai kacamata dan tanpa dibekali strap kepala juga mengindikasikan kalau ia tidak dirancang untuk digunakan selagi penggunanya aktif bergerak. Vive Flow akan lebih nyaman digunakan selagi duduk diam. HTC bahkan mengilustrasikan meditasi sebagai salah satu skenario penggunaan Vive Flow.

HTC Vive Flow bukanlah perangkat yang bisa dibilang murah. Di Amerika Serikat, HTC mematok harga $499, jauh lebih mahal daripada Oculus Quest 2. Murah atau mahal itu memang relatif, dan bisa jadi HTC menilai harganya cukup rasional buat target konsumen mereka, yakni generasi Baby Boomer.

Sumber: Ars Technica dan The Verge.

Fokus ke Segmen Enthusiast dan Enterprise, HTC Luncurkan Vive Pro 2 dan Vive Focus 3

Oculus dan HTC memulai kiprahnya di ranah virtual reality pada saat yang hampir bersamaan, akan tetapi masing-masing kini bermain di segmen yang berbeda. Oculus kini berfokus di segmen consumer secara luas dengan Quest 2 sebagai satu-satunya VR headset yang mereka tawarkan, sedangkan HTC lebih condong ke segmen enthusiast dan enterprise.

Keduanya sepertinya sudah cukup nyaman dengan segmentasi seperti itu. HTC belum lama ini memperkenalkan dua VR headset baru, yakni Vive Pro 2 dan Vive Focus 3, dan keduanya tidak ada yang dimaksudkan untuk menjadi pesaing Oculus Quest 2. Vive Pro 2, seperti pendahulunya, ditujukan untuk kalangan enthusiast yang memiliki PC berspesifikasi tinggi, sedangkan Vive Focus 3 adalah penerus Vive Focus Plus yang ditujukan buat kalangan enterprise.

Secara fisik, desain Vive Pro 2 tampak cukup identik seperti pendahulunya. HTC merasa tidak banyak yang perlu diubah, sebab headset tersebut sudah terbukti nyaman digunakan. Yang dirombak adalah jeroannya, spesifiknya panel display-nya, yang kini menawarkan resolusi 5K (2448 x 2448 pixel per mata), refresh rate maksimum 120 Hz, dan field of view seluas 120°.

Lain ceritanya dengan Vive Focus 3. Desainnya sudah banyak diubah demi meningkatkan kenyamanannya secara signifikan. Rangkanya kini terbuat dari bahan magnesium, menjadikannya sekitar 20 persen lebih ringan daripada pendahulunya, dan di saat yang sama jauh lebih tahan banting daripada headset serupa yang bodinya terbuat dari plastik.

Distribusi beratnya pun kini lebih seimbang berkat modul baterai yang diposisikan di belakang. Lebih menarik lagi, baterainya bisa dilepas-pasang dengan mudah, sangat cocok untuk kebutuhan konsumen enterprise yang mungkin mengharuskan headset untuk beroperasi nonstop selama berjam-jam.

Seperti sebelumnya, Vive Focus 3 merupakan headset bertipe standalone, yang berarti ia dapat beroperasi secara mandiri tanpa bantuan PC ataupun smartphone. HTC memercayakan chipset Qualcomm XR2 sebagai otaknya, sedangkan display-nya cukup mirip seperti Vive Pro 2 tadi — 2448 x 2448 pixel per mata dengan field of view 120° — hanya saja refresh rate-nya cuma 90 Hz.

Di Amerika Serikat, HTC Vive Pro 2 kabarnya akan segera dipasarkan dengan harga $749 (headset-nya saja), atau $1.399 untuk paket lengkap yang mencakup dua base station dan dua controller. Vive Focus 3 di sisi lain akan dijual seharga $1.300 mulai akhir bulan Juni mendatang.

Sumber: Engadget dan UploadVR.

Oculus Quest 2 Disingkap, Bawa Display 90 Hz dan Performa yang Lebih Kencang

Setelah beberapa kali dirumorkan, virtual reality headset Oculus Quest 2 akhirnya resmi menyapa dunia. Melanjutkan jejak pendahulunya sebagai VR headset bertipe standalone, Quest 2 hadir dengan sederet pembaruan yang cukup signifikan.

Kita mulai dari display-nya, yang kini menawarkan resolusi 1832 x 1920 pixel per mata, atau sekitar 50% lebih tinggi daripada milik Quest generasi pertama. Tidak kalah penting dari resolusi adalah refresh rate, dan di sini lagi-lagi Quest 2 juga membawa peningkatan, dari 72 Hz menjadi 90 Hz.

Guna mengakomodasi hardware yang semakin canggih, tentunya dibutuhkan otak yang lebih cerdas lagi. Quest 2 mengandalkan Snapdragon XR2, chipset anyar yang baru Qualcomm perkenalkan menjelang akhir tahun lalu, yang memang dirancang secara khusus untuk VR headset maupun AR headset. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 6 GB dan pilihan storage internal antara 64 GB atau 256 GB.

Komponen-komponen tersebut dikemas dalam rangka baru yang sedikit lebih kecil sekaligus lebih ringan (503 gram). Seperti yang sudah kita pelajari dari bocoran gambarnya, desainnya sepintas kelihatan kalah premium dari pendahulunya karena tidak ada lagi bahan kain yang melapisi panel plastiknya. Namun itu semestinya tidak perlu menjadi masalah seandainya perangkat bisa terasa lebih nyaman di kepala.

Sebelum ini, sempat muncul kekhawatiran bahwa Quest 2 tidak dilengkapi kenop untuk mengatur jarak fisik antara lensa kiri dan kanan alias IPD (interpupillary distance). Memang benar kenopnya sirna, tapi untungnya Quest 2 masih menawarkan mekanisme untuk menyesuaikan IPD, yakni dengan menggeser kedua lensanya secara manual. Jeleknya, ini berarti pengguna harus melepas perangkat dulu agar bisa melakukan pengaturan.

Oculus tidak lupa menawarkan sejumlah aksesori opsional untuk Quest 2. Jadi seandainya pengguna tidak suka dengan strap yang luwes seperti yang terdapat dalam paket penjualan aslinya, mereka bisa membeli strap model lain yang kaku, atau yang di belakangnya dilengkapi modul baterai tambahan, yang juga berguna untuk semakin menyeimbangkan distribusi berat.

Juga ikut direvisi desainnya adalah controller Oculus Touch, yang diyakini lebih nyaman dalam genggaman ketimbang versi sebelumnya. Kinerja tracking-nya pun telah dioptimalkan agar lebih irit daya – sampai 4x lebih irit kalau kata Oculus sendiri. Bicara soal baterai, Quest 2 sendiri diklaim punya daya tahan yang sama seperti pendahulunya, yakni sekitar 2 – 3 jam dalam sekali charge.

Satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana kehadiran Quest 2 memicu Oculus untuk menyetop pengembangan seri Rift. Mereka berdalih Quest 2 lebih superior ketimbang Rift S di segala aspek, dan seandainya pengguna ingin memakai Quest 2 untuk bermain game VR di PC macam Half-Life: Alyx, mereka bisa menyambungkan Quest 2 ke PC menggunakan kabel Oculus Link – yang sayangnya harus ditebus secara terpisah.

Kabar baiknya, Oculus Quest 2 dibanderol cukup terjangkau: mulai $299, alias lebih murah $100 daripada harga pendahulunya saat diluncurkan. Pemasarannya dijadwalkan akan berlangsung mulai 13 Oktober mendatang.

Sumber: Oculus.

Bocoran Gambar Tunjukkan Perubahan Desain yang Diusung Penerus Oculus Quest

Kehadiran virtual reality headset baru dari Oculus sepertinya sudah semakin dekat. Setelah rumor mengenai penerus Oculus Quest mulai beredar pada bulan Mei lalu, Oculus belum lama ini juga dikabarkan bakal memproduksinya secara massal mulai akhir Juli ini – plus mereka pun juga sudah menghentikan produksi Oculus Go.

Sekarang, bocoran gambar suksesor Quest itu juga sudah mulai bermunculan di jagat maya. Semuanya berawal dari unggahan seorang pengguna Twitter bernama WalkingCat (@h0x0d), yang sendirinya merupakan sosok leaker yang cukup terkenal dan punya reputasi yang bagus, hingga akhirnya foto unitnya disebar di Reddit.

Meski sepintas perangkat ini tampak identik seperti Oculus Quest generasi pertama, ada beberapa poin yang bisa kita pelajari yang ternyata sesuai dengan rumor sebelumnya. Yang pertama, kalau melihat foto tampak atasnya, kelihatan bahwa perangkat ini sedikit lebih tipis dibanding Quest generasi pertama, dan ini tentu saja berpengaruh langsung terhadap bobot perangkat secara keseluruhan.

Oculus juga tidak sebatas mengganti warnanya saja. Sejalan dengan rumornya, bagian samping yang tadinya berlapis kain sekarang cuma plastik. Kesan premiumnya jelas berkurang, akan tetapi perubahan material ini semestinya dapat menekan harga jualnya, serta memangkas bobotnya lebih signifikan lagi.

Perubahan lain yang mungkin bakal kurang disukai konsumen adalah hilangnya kenop IPD (interpupillary distance), alias kenop untuk mengatur jarak fisik antara lensa kiri dan kanan supaya bisa disesuaikan dengan posisi mata masing-masing pengguna yang tentu berbeda satu sama lain. Pada Quest generasi pertama, kenop ini diposisikan di sisi bawah, sedangkan di bocoran gambar suksesornya ini kenopnya sama sekali tidak kelihatan di sisi manapun.

Ini bukan pertama kalinya Oculus mengeliminasi kenop IPD dari perangkat buatannya. Sebelum ini, Oculus Rift S sudah lebih dulu hadir tanpa kenop IPD, dan penyesuainnya cuma bisa dilakukan via software. Mungkin saja ini juga berkaitan dengan misi Oculus untuk mengurangi bobot perangkat sekaligus menjadikan penerus Quest lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Andai sang leaker bisa kembali dipercaya kali ini, kita bakal melihat penerus Oculus Quest ini diluncurkan pada tanggal 15 September mendatang.

Sumber: The Verge.

VR Headset Oculus Go Resmi Dipensiunkan

Diumumkan sekitar tiga tahun lalu, Oculus Go merupakan salah satu pelopor kategori virtual reality headset bertipe standalone atau all-in-one. Harganya memang lebih mahal daripada VR headset macam Samsung Gear VR, akan tetapi penggunaannya jelas lebih praktis karena perangkat dapat beroperasi tanpa perlu diselipi smartphone atau tersambung ke komputer.

Namun kalau dibandingkan dengan headset non-portable macam Oculus Rift, Oculus Go jelas terkesan amat terbatas kemampuannya. Yang paling utama, Go cuma mendukung tracking 3DoF, bukan 6DoF. Ini berarti Go tidak bisa memonitor pergerakan kepala secara menyeluruh; perangkat tidak akan mengenali perpindahan posisi kepala (naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan).

Maka dari itu ketika Oculus Quest diperkenalkan setahun setelahnya, pamor Go pun langsung redup. Quest sama-sama berwujud standalone dan dapat beroperasi secara mandiri, tapi di saat yang sama ia menawarkan kapabilitas tracking 6DoF sehingga menjadikannya sangat cocok untuk keperluan gaming.

Singkat cerita, tracking 6DoF ibarat syarat wajib yang harus dipenuhi VR headset, terutama jika gaming merupakan ranah yang dituju, dan Oculus beserta Facebook menyadari hal itu. Mereka memutuskan untuk berhenti menjual Go tahun ini juga, dan mereka memastikan bahwa ke depannya tidak akan ada lagi VR headset baru dari mereka yang cuma menawarkan tracking 3DoF seperti Go.

Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus
Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus

Meski sudah di-discontinue, Oculus Go dipastikan tetap bisa dipakai seperti biasa. Oculus tetap akan merilis sejumlah perbaikan via software sampai tahun 2022, namun jangan mengharapkan adanya fitur baru buat Go. Menjelang akhir tahun nanti, Oculus Go juga tidak akan lagi kedatangan aplikasi baru maupun update terhadap yang sudah ada.

Dipensiunkannya Go ini berarti Oculus bisa mengerahkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk mengembangkan Quest beserta Rift. Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan suksesor Quest yang lebih ergonomis sekaligus lebih canggih. Namun sebelum itu terealisasi, Oculus akan lebih dulu menyempurnakan Quest yang ada sekarang.

Caranya adalah dengan mempermudah proses distribusi konten. Memasuki awal tahun depan, aplikasi untuk Quest tak hanya bisa didapat dari Oculus Store saja, tapi bisa juga dari developer-nya langsung dan tanpa melibatkan proses sideloading yang rumit. Mekanisme baru ini tentunya lebih memudahkan pihak developer mengingat mereka tak lagi perlu menunggu aplikasinya disetujui di Oculus Store, dan Oculus berharap ini bisa memicu gelombang baru konten berkualitas buat seluruh konsumen Quest.

Sumber: Upload VR dan Oculus.

XRSpace Mova Adalah Standalone VR Headset Persembahan Eks CEO HTC

Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru yang diperkirakan bakal dirilis tahun depan. Namun sebelum itu terwujud, ada perangkat lain yang ingin mencuri panggung. Namanya XRSpace Mova.

Sebagian besar dari kita pasti baru pertama kali ini mendengar nama XRSpace. Namun ternyata startup asal Taiwan ini punya pengalaman yang cukup panjang di industri VR. Itu dikarenakan pendirinya adalah eks CEO HTC, Peter Chou, dan XRSpace memastikan perangkat bikinannya lebih superior daripada yang sudah ada sekarang.

XRSpace Mova

Benar saja, dari segi spesifikasi, Mova selangkah lebih unggul ketimbang Oculus Quest maupun HTC Vive Focus. Chipset yang digunakan adalah Snapdragon 845 (bukan 835 seperti di Quest dan Vive Focus), RAM-nya berkapasitas 6 GB (bukan 4 GB), dan baterainya punya kapasitas 4.600 mAh (Quest cuma 3.648 mAh).

Istimewanya, semua itu dikemas dalam perangkat berdimensi hanya sekitar separuh Vive Focus. Bobotnya juga cuma berkisar 470 gram, jauh lebih ringan daripada Quest (571 gram) maupun Vive Focus (695 gram). Mova juga dipastikan kompatibel dengan jaringan 5G.

XRSpace Mova

Terkait display, Mova memakai panel beresolusi 2880 x 1440 pixel dengan refresh rate 90 Hz. Ukuran layarnya belum dirincikan, demikian pula luas sudut pandangnya, tapi semestinya lebih kecil dari biasanya mengingat kepadatan pixel-nya cukup tinggi di angka 702 ppi.

Juga menarik adalah bagaimana Mova dapat memonitor pergerakan kaki. Tracking-nya mungkin tidak sekomprehensif jika dibantu sensor eksternal, akan tetapi sudah cukup untuk memungkinkan penggunanya bermain sepak bola di dalam VR. Lebih lanjut, kemampuan tracking kaki ini juga mewujudkan pembuatan avatar digital berukuran satu badan penuh.

XRSpace Manova

XRSpace percaya avatar mereka jauh lebih immersive ketimbang milik platform social VR lain yang sering kali hanya menampilkan separuh tubuh ke atas. Avatar ini krusial untuk interaksi sosial antar sesama pengguna Mova, namun itu baru sebagian dari cerita lengkapnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah soal kemudahan. Setiap paket penjualan Mova dilengkapi satu unit controller untuk sesi gaming, akan tetapi metode navigasi utamanya mengandalkan hand tracking.

XRSpace Manova

Gesture yang dapat dikenali begitu beragam. Dari yang simpel seperti berjabat tangan antar avatar, sampai yang kompleks seperti mengambil objek dan melemparkannya. XRSpace menjanjikan banyak aktivitas yang dapat dilakukan di platform social VR-nya, Manova. Ya, XRSpace tidak bergantung pada platform seperti Viveport atau Steam. Mereka sudah menyiapkan sendiri platform konten untuk Mova.

Sepintas XRSpace Mova memang terkesan agak kelewat ambisius, apalagi mengingat harganya dipatok cukup mahal di angka $599. Untuk sekarang, perangkat ini baru dipasarkan di Taiwan, sebelum menyusul ke dataran Eropa dalam waktu dekat.

Sumber: Engadget.

Penerus Oculus Quest Rumornya Lebih Ringkas dan Punya Display Lebih Mumpuni

Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru, demikian laporan yang diberitakan Bloomberg berdasarkan informasi dari sejumlah sumber internal. Perangkat ini dimaksudkan menjadi penerus Oculus Quest, VR headset yang dapat beroperasi secara mandiri, tanpa harus tersambung ke PC maupun smartphone.

Beberapa prototipe standalone VR headset yang tengah diuji disebut 10% – 15% lebih ringkas ketimbang Quest. Bobotnya pun juga lebih ringan di kisaran 450 gram. Bandingkan dengan Oculus Quest yang berbobot sekitar 566 gram, yang mungkin terlalu berat untuk sejumlah orang, apalagi setelah digunakan cukup lama.

Salah satu cara yang sedang dipertimbangkan untuk memangkas bobot perangkat adalah dengan mengganti bahan kain di bagian samping menjadi plastik. Lebih lanjut, Oculus juga berniat mengganti material karet dan velcro pada bagian strap dengan bahan yang lebih elastis. Harapannya tentu supaya perangkat jadi lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Selain lebih ringkas dan lebih ergonomis, VR headset baru ini juga bakal menawarkan display dengan refresh rate 90 Hz agar konten bisa tersaji secara lebih mulus. Mengapa tidak 120 Hz sekalian? Oculus juga sedang sibuk mengujinya, namun 90 Hz sepertinya bakal menjadi pilihan demi memperpanjang daya tahan baterai.

Sebagai perbandingan, display Oculus Quest memiliki refresh rate 72 Hz, sedangkan Oculus Rift S yang lebih powerful menawarkan refresh rate 80 Hz. Belum diketahui seberapa tinggi resolusinya maupun jenis panelnya, namun semestinya tidak mungkin lebih rendah dari 1440 x 1600 pixel (resolusi display OLED milik Oculus Quest).

Oculus Quest

Pembaruan lain yang Oculus terapkan ada pada controller-nya. Berkat rancangan baru, controller-nya jadi lebih nyaman digunakan sekaligus tidak lagi terkendala penutup baterai yang mudah lepas. Kabar baiknya, controller anyar ini juga akan kompatibel dengan Oculus Quest.

Perihal tracking, perangkat ini masih akan menawarkan tracking 6DoF seperti Oculus Quest. Jadi menggunakan empat kamera bawaannya, perangkat bisa memonitor pergerakan kepala sekaligus tubuh pengguna tanpa harus dibantu oleh sensor eksternal.

Fitur-fitur lain yang masih akan dipertahankan mencakup tuas fisik untuk mengatur jarak antar display supaya pas dengan posisi mata, serta dukungan terhadap Oculus Link, yang memungkinkan perangkat untuk disambungkan ke PC (via kabel) demi meningkatkan performa secara signifikan.

Awalnya Oculus berniat meluncurkan perangkat ini menjelang akhir tahun 2020. Namun berhubung pandemi melanda, perilisannya tak akan berlangsung hingga setidaknya tahun depan. Belum diketahui pula apakah perangkat ini bakal menggantikan Oculus Quest sepenuhnya, atau malah dijual sebagai model yang berbeda.

Sumber: Bloomberg.

Qualcomm Pamerkan Standalone VR Headset yang Dapat Menyambung ke PC Secara Wireless

Di ajang Game Developers Conference tahun lalu, Qualcomm memamerkan sebuah VR headset tipe standalone yang ditenagai oleh chipset Snapdragon 845, serta mengemas teknologi eye tracking yang terintegrasi. Seperti biasa, perangkat tersebut dimaksudkan untuk menjadi referensi desain bagi pabrikan yang tertarik menggarap produk serupa.

Pada event GDC tahun ini, Qualcomm masih membawa VR headset yang sama, namun yang tidak kita ketahui, mereka telah menambahkan chip wireless 802.11ad yang memungkinkan koneksi nirkabel dengan bandwith sebesar 60 GHz. Untuk apa komponen tersebut? Untuk berkomunikasi dengan PC secara lancar.

Sepintas kedengarannya sepele, namun penambahan chip ini memberikan ‘nyawa’ baru buat VR headset ini. Secara mendasar, ia memang merupakan sebuah standalone VR headset macam Oculus Quest, tapi di saat yang sama, ia juga bisa terhubung ke PC secara nirkabel, sehingga penggunanya dapat menikmati konten-konten di PC secara lebih immersive.

Qualcomm standalone VR headset reference design with Snapdragon 845

Qualcomm mengklaim latency-nya tidak lebih dari 16 milidetik, dan itu sebenarnya sudah bisa dibilang cukup mulus. Namun hal paling menarik dari inisiatif Qualcomm ini adalah bagaimana proses komputasi bakal dibagi antara PC dan VR headset. Ini berarti pengguna tak diwajibkan memiliki PC dengan spesifikasi kelewat perkasa, sebab ada Snapdragon 845 yang siap membantu.

Satu-satunya syarat adalah, PC yang digunakan harus mampu terhubung ke jaringan Wi-Fi 802.11ad. Qualcomm juga telah menyiapkan software khusus yang akan mengatur jalur komunikasi maupun pembagian porsi proses komputasi antara PC dan headset. Game yang dimainkan sendiri tak perlu diubah sama sekali oleh developer-nya masing-masing.

Kapan perangkat seperti ini bakal terwujud? Sejauh ini, satu yang sudah pasti bakal datang dari Pico, yaitu Pico Neo 2, yang dijadwalkan meluncur ke pasaran pada babak kedua tahun ini. Qualcomm tentunya masih punya sejumlah mitra lain, dan salah satunya rupanya adalah HTC, sehingga tidak menutup kemungkinan apabila penawaran dari mereka nantinya adalah Vive Cosmos.

Sumber: CNET dan Qualcomm.

HTC Vive Focus Plus Adalah Standalone VR Headset untuk Kalangan Enterprise

Masih ingat dengan HTC Vive Focus, standalone VR headset yang diumumkan mendekati akhir tahun 2017 lalu? Di atas kertas, perangkat tersebut terdengar sangat berpotensi dan mengusung sejumlah kesamaan seperti HTC Vive Pro, sehingga wajar apabila akhirnya HTC memosisikannya sebagai produk premium.

Meski begitu, ada satu hal yang mengganjal dari Vive Focus. Secara teknis, headset-nya telah mendukung tracking enam sudut gerakan alias 6DoF, akan tetapi controller-nya ternyata cuma dibekali sensor 3DoF. Alhasil, sinergi antar keduanya jadi tidak maksimal.

HTC Vive Focus Plus controllers

Guna membenahi problem tersebut, HTC memutuskan untuk menghadirkan model anyar bernama Vive Focus Plus yang ditujukan secara spesifik untuk kalangan enterprise. Perbedaannya? Yang paling utama adalah sepasang controller 6DoF yang sudah termasuk dalam paket penjualan.

Spesifikasi lainnya nyaris identik dengan Vive Focus orisinal. Kendati demikian, HTC mengklaim telah menyematkan lensa baru pada Vive Focus Plus sehingga kualitas visualnya meningkat cukup signifikan. Lebih lanjut, HTC juga bilang Vive Focus Plus sedikit lebih unggul dalam hal kenyamanan.

HTC Vive Focus Plus

Sebagai produk enterprise, HTC tentunya sudah menyiapkan fitur-fitur khusus seperti Kiosk Mode, Gaze Support, dan yang paling penting, device management tool untuk mengatur deployment perangkat. Terkait kapabilitas 6DoF-nya, HTC juga mengklaim sudah ada sejumlah developer yang mengerjakan aplikasi untuk memaksimalkan potensinya di dunia enterprise, semisal aplikasi simulasi pelatihan medis garapan SimforHealth.

HTC berniat mengumumkan banderol harga beserta jadwal pemasaran Vive Focus Plus di ajang Vive Ecosystem Conference (VEC) pada akhir Maret nanti. Meski produk ini disasarkan ke kalangan enterprise, HTC tidak menutup kemungkinan jika ada konsumen umum yang tertarik membelinya. Pun begitu, faktor harga akan selalu menjadi pertimbangan utama, terlebih karena salah satu rivalnya, Oculus Quest, bakal dipasarkan seharga $400 saja.

Sumber: Road to VR.