Startup (terlebih digital) dikenal sebagai bisnis pemula dengan eksekusi cepat. Untuk memastikan performa cepat dan tepat itu, seringkali dihubungkan dengan bagaimana bisnis dapat menjangkau entitas-entitasnya. Mulai dari rekanan, pangsa pasar, pendanaan hingga basis bisnis. Tak heran jika kota dengan pusat bisnis umumnya menjadi pilihan. Lokasi di pusat bisnis seperti ibukota memang memberikan akses yang menjanjikan untuk perkembangan bisnis. Namun apakah itu artinya di daerah sulit untuk melakukan pengembangan bisnis seperti layaknya di kota besar?
Pada dasarnya internet telah memberikan peluang baru. Internet memangkas jarak dan waktu menjadi sesuatu yang lebih sederhana. DailySocial mencoba mewawancarai beberapa penggiat startup dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan startup di Indonesia. Kami berbincang tentang bagaimana bisnis digital dapat dijalankan di daerah, kendala apa saja yang dihadapi dan alasan yang membuat mereka bertahan untuk tetap tinggal di sana.
Memulai startup di luar ibukota
Pada kenyataannya masih banyak pengembang startup di daerah yang mengalami kesulitan mengakselerasi bisnisnya. Banyak alasannya. Salah satunya karena mereka terkesan jauh dari jangkauan investor.
Soekma A Sulistyo, salah seorang penggiat startup yang tergabung dalam komunitas SoloconValley, menceritakan bahwa di Solo sendiri banyak penggiat startup yang mencoba bersama-sama mengembangkan bisnisnya. Mereka masih terkendala beberapa hal, di antaranya masalah mentor, ekosistem pasar lokal, dan masalah modal (dalam hal ini akses ke investor).
Untuk masalah mentor, Soekma menjelaskan dirinya dan teman-teman di SoloconValley ingin terus berusaha menambah pengetahuan mereka dengan menghadirkan mentor-mentor untuk membimbing bisnis. Hanya saja mereka yang tergabung dalam SoloconValley masih belum mampu untuk menghadirkan mentor yang berpengalama. Di sinilah mereka berharap adanya bantuan.
Masalah ekosistem dan modal menjadi permasalahan selanjutnya. Perkara ekosistem ini, menurut Soekma, meskipun ide bisnis yang dijalankan didesain untuk skala internasional namun penerimaan masyarakat di sekitar masih tergolong rendah jadi kesempatan mereka untuk dikenal menjadi semakin sedikit.
Pengalaman yang sedikit berbeda diungkapkan Istofany Api Diany, founder Fitinline. Internet, menurutnya, mampu memfasilitasi kebutuhannya dengan baik untuk mengembangkan startupnya di Yogyakarta. Masalah klasik yang diceritakan justru biaya pengiriman produk fisik dari Yogyakarta yang umumnya lebih mahal jika dibandingkan dari Jakarta. Namun, untuk menjangkau konsumen, Istofany mengatakan hal itu bukan isu besar.
Fajar Assad, sebagai salah satu inisiator Komunitas Startup Makassar dan founder Lean Skill, juga berkisah tentang kondisi startup Makassar dan masalah yang sering kali ditemui penggiat startup di sana. Sejauh ini, menurut Fajar, startup yang muncul di Makassar sudah bisa dibilang cukup banyak. Hanya saja startup hanya muncul berbarengan dengan beberapa event startup yang sempat hadir di Makassar, sementara kelanjutannya masih belum jelas.
Fajar mengisahkan banyak startup di Makassar yang butuh pendampingan. Provokasi untuk menjalankan startup diharapkan tidak hanya sebatas pada mendirikan startup, tetapi juga sampai dengan menjalankan dan mengelola startup secara profesional.
“Sayangnya program-program tersebut hanya sekedar memicu/provokasi utk lebih banyak orang membuat startup digital hanya untuk mengikuti program tersebut. Hal ini bagus akan tetapi jika tidak diimbangi dengan pendampingan/pembinaan yang berkelanjutan akan membuat startup tadi akan drop pada titik waktu tertentu. Produk yang mereka develop sekarang harus go-to market dan harus terus growth. Sayangnya cara atau pengalaman untuk hal demikian belum banyak bisa dipelajari di sini, [di] kota Makassar,” ujar Fajar.
Menurut Fajar, di Makassar sebenarnya keberadaan startup mulai dilirik masyarakat dan media lokal. Hal ini diduga karena popularitas startup kenamaan, seperti Tokopedia, Go-Jek, Traveloka, dan Lazada yang sudah terdengar hingga Makassar. Pemerintah kota Makassar sendiri dianggap belum melihat potensi startup digital sebab masih belum banyak wadah komunitas startup untuk berinteraksi dengan pemerintah kota.
Fajar berkesimpulan rekan-rekan sesama founder masih belum aktif mengembangkan pengetahuan mereka sehingga pengembangan startup berjalan di tempat. Salah satu yang diharapkan adalah ajang berbagi pengalaman dari startup-startup yang memiliki ekosistem yang sama namun berjalan untuk pasar atau masyarakat lain. Di sini validasi ide menjadi penting.
Alamanda Shantika, salah satu nama di balik kesuksesan Go-Jek yang sekarang menjadi bagian Kibar demi misinya “memprovokasi” startup-startup di Indonesia, menjelaskan bahwa validasi ide adalah hal terpenting.
Perempuan yang akrab disapa Ala ini menjelaskan potensi startup di daerah cukup besar. Ragam masalah lokal bisa diselesaikan oleh startup yang beroperasi di tempat tersebut. Di Bali misalnya, banyak yang coba menghadirkan solusi digital yang mengangkat permasalahan sektor pariwisata. Atau di Yogyakarta yang mencoba menyelesaikan permasalahan pertanian.
“Saya udah keliling beberapa kota waktu Next Dev dan 1000 Startup. Banyak bedanya, Indonesia kaya banget dan budaya kita beragam. Justru yang di luar kota masalahnya lebih banyak yang mereka angkat. Misalnya Bali lebih ke pariwisata, di Jogja masalah pertanian, berbagai macam problem yang ada. Dari segi potensi mereka gak kalah, mereka sudah melek banget tentang startup,” papar Ala.
Masalah pengetahuan bisnis startup, menurut Ala, sebenarnya saat ini bisa diakses dengan mudah berkat adanya internet. Intinya ada pada kemauan dan upaya masing-masing untuk terus belajar.
“Kalau mau ngerjain produk kita harus challenge diri kita sendiri. Terus jangan pikir produk kita sudah keren, karena yang paling penting adalah mendengarkan orang lain, market validation. Saya udah mentoring banyak startup. Kadang mereka terlalu pede, kadang idenya tidak dibutuhkan market, kadang sampai juga problem-nya sebenarnya tidak ada, problem-nya tidak sebesar itu [yang disebutkan]. Jadi market validation dan mau mendengarkan kata market itu penting,” saran Ala.
Solusi Bekraf sebagai komponen pendorong industri kreatif nasional
Pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan penggiat startup di daerah ini. Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari menjelaskan bahwa saat ini pemerintah melalui Bekraf aktif untuk mengajak pemuda daerah untuk membangun melalui dua program. Yang pertama adalah Bekraf Developer Day (BDD) dan BEKUP (Bekraf for Pre-Startup). Dua program Bekraf ini diharapkan mampu memacu tumbuhnya startup-startup di daerah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dengan teknologi digital.
Ketika ditanya mengenai apa yang perlu dikembangkan untuk membantu startup-startup daerah ini tumbuh, Hari menjelaskan, “Yang paling penting adalah membangun ekosistem yang membuat startup dapat tumbuh subur. Dari hulu, harus tersedia pool of talent yang siap dan telah disiapkan menjadi pengusaha. Tidak kalah penting adalah tersedianya jaringan mentor yang akan melakukan coaching di inkubator-inkubator bisnis secara rutin.”
“Kemudahan dalam membentuk Badan Usaha, sehingga para startup tidak dipusingkan dengan kegiatan awal. Insentif pajak baik kepada pelaku startup dan juga pemodalnya. Tidak terlepas harus adanya ekosistem untuk para Venture Capital untuk exit baik itu lewat IPO atau lewat Merger atau Akuisisi. Tidak kalah penting adalah pendaftaran Kekayaan Intelektual (KI) dan monetisasinya,” lanjutnya.
Beberapa hal yang menjadi keuntungan startup di daerah
Yogyakarta adalah kota yang “adem”. Demikian disampaikan Istofany saat ditanya mengapa tetap bertahan di kota pelajar tersebut. Tak semua bisnis harus dijalankan di pusat bisnis besar, nyatanya banyak hal yang menginspirasi di daerah. Salah satu alasan mengapa akhirnya ia memilih berbasis di Yogyakarta justru karena ia terinspirasi dengan kebiasaan “kerja” masyarakat di Yogyakarta.
Dengan berbagai keterbatasan dibumbui kreativitas, orang-orang di sini mampu mengimbangi berbagai kebutuhan bisnis dan persaingan pasar. Hal tersebut yang turut mendorong semangat juang rekan-rekan di daerah.
Yogyakarta saat ini juga sedang hype dengan kultur startup. Istofany mengatakan umumnya pemain baru ini banyak fokus di produk (pengembangan), sangat mirip dengan karakteristik sebagai kota pelajar. Sisi bisnis masih kurang dipahami baik. Untungnya Yogyakarta masih “asri” dalam bisnis, pressure-nya tak seketat di Jakarta. Semua bisa berjalan santai sehingga memberi kesempatan untuk menyiasati kekurangan tadi.
Sama halnya dengan Solo, Makassar, dan daerah-daerah lain. Peluang untuk mengembangkan bisnis digital atau startup terbuka lebar. Hanya memang perjuangan dan tingkat kesulitan prosesnya berbeda-beda. Butuh ide dan eksekusi yang disesuaikan dengan permasalahan masing-masing.
Di zaman digital ini, roda bisnis dapat digerakkan dari mana saja. Terlebih saat produk yang ditawarkan berbentuk layanan digital. Tantangannya justru bagaimana kita mampu menghadirkan strategi terbaik yang memanfaatkan potensi yang ada dari lingkungan kita. Menjadikan alasan tinggal di luar ibukota sebagai hambatan berkembang adalah kurang tepat, karena masalah ibukota berbeda dengan yang ada di daerah.
–
Randi Eka Yonida berkontribusi dalam penulisan artikel ini