Tag Archives: startup exit

Sepanjang 2020 tercatat 13 aksi korporasi dalam bentuk M&A. Sebagian besar akuisisi dilakukan untuk memperkuat model bisnis yang dimiliki startup terkait.

Tren Konsolidasi Ekosistem Startup Indonesia Sepanjang Tahun 2020

Berdasarkan kaleidoskop ekosistem startup Indonesia 2020, sepanjang tahun lalu tercatat 13 aksi korporasi dalam bentuk merger and acquisition (M&A). Sebagian besar akuisisi dilakukan untuk memperkuat atau menambah model bisnis yang dimiliki oleh startup terkait. Misalnya saat platform agregator logistik Shipper mengakuisisi Porter dan Pakde dibarengi dengan inisiatif perusahaan memperluas cakupan bisnis ke pergudangan dan fulfillment. Belum lagi soal rumor yang santer beredar, terkait rencana merger antara Gojek dan Tokopedia.

Di tahun 2021, banyak pihak mengatakan tren konsolidasi bakal makin diprioritaskan oleh para startup. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam kesempatan wawancara bersama DailySocial mengatakan, “Konsolidasi akan banyak lagi di tahun ini. Semakin segmented pasar, kita akan melihat banyak orang mengerjakan hal berbeda-beda. Konsepnya seperti ini, kalau ada satu startup ditambah satu hasilnya bisa lebih dari dua, dalam artian bisa lebih efisiensi dan memperbesar peluang, maka konsolidasi sangat memungkinkan untuk membuat lebih powerful.”

Bagi startup yang sudah besar, misalnya di level unicorn, konsolidasi juga bisa dipandang sebagai strategi untuk memperluas cakupan model bisnis – semua ingin menjadi super app. Pilihannya memang ada dua, mereka bisa saja mengembangkan layanan serupa di internal. Namun beberapa tahun belakang tampaknya pola pikirnya mulai bergeser ke arah konsolidasi. Seperti yang dilakukan oleh Gojek yang beberapa tahun terakhir sibuk melakukan akuisisi, totalnya sampai 13 startup termasuk yang paling baru pemimpin bisnis point-of-sales lokal, Moka.

Ada banyak variabel penentu, namun yang paling diperhitungkan terkait biaya. Membuat semuanya dari baru, selain harus menyiapkan semua dari nol (tim, infrastruktur, pengetahuan dll), perusahaan dihadapkan dengan tantangan untuk melakukan edukasi pasar, akuisisi pengguna, bahkan melawan pesaingnya. Akuisisi bisa saja bernilai sama dalam hitung-hitungan tersebut, namun dengan tempo yang jauh lebih singkat. Contohnya kolaborasi cepat yang dilakukan Gojek dan Moka melahirkan GoStore pasca proses akuisisi rampung.

draft_konsolasi_startup-01

Peluang kolaborasi juga makin luas cakupannya, tidak hanya antarpemain di segmen pasar yang sama. Hal ini diceritakan oleh Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh, bisnisnya adalah layanan SaaS untuk UKM dan korporasi.  Ia mengatakan, sepanjang 2020 banyak sekali kesempatan kemitraan yang mendekat. Kolaborasinya juga tidak hanya sekadar membahas integrasi produk lewat API, tapi meliputi proses bisnis, sampai strategi go-to-market. Beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama pun beragam, termasuk perbankan dan asuransi. “Jadi 2021 ke depan itu harusnya makin banyak opportunity untuk kolaborasi,” ujar Suwandi.

Lebarkan bisnis

Di sisi startup, kebanyakan memang cukup terbuka untuk menjajaki kolaborasi mutual. Misalnya disampaikan oleh perwakilan OVO, “Kami selalu terbuka untuk melakukan win-win collaboration. Kesediaan kami untuk berkolaborasi telah menjadi ciri khas dari strategi dan pendorong pertumbuhan kami. Kemitraan dengan Grab dan Tokopedia, misalnya, membantu meningkatkan penerimaan OVO secara signifikan dalam perjalanannya menjadi platform [berskala] nasional.”

Baik Tokopedia dan Grab sama-sama memiliki persentase saham di OVO. Dan untuk memperkuat inti bisnisnya, OVO sendiri juga sempat melakukan akuisisi terhadap startup fintech lending Taralite dan fintech investment Brareksa. Narasumber kami tersebut juga mengatakan, dengan misi kolaborasi yang digenggam, secara sistem OVO juga didesain untuk mampu menciptakan interoperabilitas untuk membantu mitra strategis terhubung ke dalam ekosistem aplikasinya.

Hal serupa juga dikatakan oleh CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, di perusahaannya peluang kolaborasi adalah sesuatu yang dijalakan terus menerus. Fokusnya bukan ke siapanya, tapi lebih ke sinergi apa yang dapat mendukung vii masing-masing. Halodoc sendiri saat ini juga telah terintegrasi ke super app Gojek, diawali dengan investasi yang diberikan decacorn tersebut dalam seri A pada tahun 2016.

Konsolidasi juga tidak hanya berbicara antara startup dengan startup. Lebih dari itu, saat ini tidak jarang korporasi tertarik untuk melakukan sinergi dengan startup demi mendapatkan percepatan inovasi bisnis. Di sisi korporasi, corporate venture capital (CVC) menjadi strategi yang sejauh ini paling ampuh digunakan untuk menjaring kandidat startup potensial. Salah satunya dilakukan oleh MDI Ventures, CVC di bawah naungan Telkom Group yang kini diberi mandat untuk memperlebar jangkau integrasi, tidak hanya ke perusahaan induknya tapi juga ke perusahaan lain di lingkungan BUMN.

Kepada DailySocial, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami memiliki dua KPI utama yang terukur, yakni menciptakan valuation growth dari investasi yang diberikan dan men-deliver sinergi dengan Telkom dan perusahaan BUMN lainnya. Tugas kami memastikan startup terkait sudah terbukti, misalnya terkait market fit dan unit economic, sehingga ketika di-plug in ke korporasi dapat memberikan nilai lebih kepada masing-masing. Startup butuh kapital dan pasar, korporasi punya itu. Sementara korporasi membutuhkan inovasi digital, startup memiliki itu.”

MDI Ventures banyak memberikan pendanaan kepada startup later stage, seri B ke atas. Menurutnya ini juga menjadi proven layer untuk memastikan startup tersebut memang sudah benar-benar matang. Terkait konsolidasi startup dengan BUMN, ia juga bercerita tentang inisiatif “ecosystem building” yang digarap bersama CVC BUMN lainnya. Pada dasarnya ini adalah sebuah working group untuk mendorong digitalisasi di beberapa sektor strategis, mulai dari kesehatan, pertanian, dan logistik. Serta menjembatani inovasi potensial dengan perusahaan di lingkungan BUMN.

Dorongan exit

Golden Gate Ventures dalam laporannya berjudul “Southeast Asia Exit Landscape: A New Frontier” mengatakan, bahwa kematangan ekosistem startup di Asia Tenggara juga akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah exit. Dorongan pemain besar regional untuk melakukan akuisisi membuat M&A jadi opsi keberhasilan exit yang akan banyak dicapai. Laporan tersebut dibuat sebelum pandemi melanda, namun dari sinyal yang diberikan pasar, justru banyak terjadi percepatan.

draft_konsolasi_startup-02

Jika ditelisik lebih dalam, M&A menjadi jalur exit ideal untuk portofolio yang tengah dalam tahap pertumbuhan (maksimal dengan valuasi setara centaur), sementara untuk startup yang sudah mapan IPO tetap jadi jalur yang terus diupayakan. Beberapa unicorn lokal sudah menggaungkan rencana untuk melantai di bursa dalam waktu dekat. Menanggapi ini Willson juga mengatakan bahwa memang sudah saatnya para startup di Indonesia memperhitungkan IPO sebagai jalur exit mereka.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah  mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. Khususnya di US, mereka mulai cetak uang, maka nilai uang jadi turun. Dan membuat public market semakin liquid, makanya semua stock market lagi hijau semua, masih murah melebihi tahun 2008. Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Untuk persiapan IPO, konsolidasi juga dapat memiliki arti. Pertama adalah untuk meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Kedua, untuk mempersempit peluang persaingan pasar – terlebih jika kedua perusahaan dapat saling memperkuat lini bisnisnya. Dan yang ketiga, untuk meningkatkan kepercayaan publik terkait kekuatan bisnisnya. Belum banyak contoh startup melantai di papan pengembangan, menjadi penting untuk debutnya nanti benar-benar memberikan pengalaman terbaik bagi ekosistem.


Gambar Header: Depositphotos.com

Chandra Tjan: Indonesia’s Digital Ecosystem Is Quite Green, Momentum for Investors and Startups

Alpha JWC Ventures becomes one of the most active venture capital in Indonesia. After pouring investment for 10 startups in the past year, the list goes up to 41 portfolios by the end of 2020. This year, they plan to close the third fund that is said to worth much bigger than the previous one in order to aggressively contribute to Indonesia’s startup landscape.

In order to discover Alpha JWC Ventures’ vision and goals, we had the opportunity to do an exclusive interview with one of their founders, Chandra Tjan. He’s not quite the newbie in this industry as he used to be the Co-Founder & Managing Partner in East Ventures’ first fund in 2009. His investment footprints included the seed funding of Tokopedia, Traveloka, Disdus (acquired by Groupon), Pricearena (acquired by Yello Mobile), and few others.

“In 2009, I’ve been living in Singapore for 10 years and already settled down, also had a career as a banker at Credit Suisse and Citigroup. I saw the huge potential and opportunities in the technology sector in other countries such as America, Japan, and China. I think Indonesia could’ve been that too. Technology and its social impact will advance Indonesia’s ecosystem, and I want to take part in that process,” he said.

He continued, “It turns out at that time, there were already several technology/startup companies in Indonesia, however, they have not enough capability to capture funds from foreign investors in order to grow. Therefore, I returned to Indonesia to focus on this technology sector. Together with several colleagues, I founded East Ventures and became a Managing Partner in its first fund. I was also East Ventures’ sole full-time  Partner focused in Indonesia [at that time].”

Later on, together with his two colleagues Jefrey Joe and Will Ongkowidjaja, Chandra founded Alpha JWC Ventures in 2015. To date, the team has managed two funds with a value of nearly $200 million or the equivalent of 2.7 trillion Rupiah. The funds were collected from LPs from Indonesia, Singapore, the United States, several European countries, Japan, China, and Korea. They mainly focused on early stage and every year they have target to invest in 8-10 startups. However, Alpha JWC Ventures is quite often involved in the follow-on investment for series B. The ticket sizes given vary from $200 thousand to $15 million.

“In 2013, they started to have a different vision in East Ventures resulting in me, Jefrey, and Will founded Alpha JWC Ventures in 2015. We did quite a different approach from investors in Southeast Asia, and still ongoing. Alpha JWC was founded as an institutional and independent fund. With strict discipline in investment strategy, every decision can be accounted for later. From previous experiences, I also learned the importance of assisting founders in the early days of startups, therefore, we apply a value-add approach and build a great value-creation team at Alpha JWC,” Chandra explained.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Alpha JWC Ventures’ Co-Founder Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Digital ecosystem is yet to bloom

With the existence of decacorn, unicorns, and dozens of centaurs in various business landscapes, Chandra said Indonesia’s digital ecosystem is quite green- even though it is starting to form. There are some factors to support the maturity of a digital startup ecosystem, among those, the competition between players will be tighter, the market will become saturated, and it will be difficult for companies to grow exponentially.

“Indeed, it is getting into shape, but it’s still a long way to go. Indonesia’s digital industry is still green, and this is good news for us as investors and startups. It means that the market holds enormous potential to be discovered and developed, and the growth projection is beyond great in almost all sectors and target markets. This is a very big momentum in Indonesia,” Chandra said.

The conditions brought Alpha JWC Ventures to adopt a sector-agnostic view. They invest in various business ideas in various sectors estimated to have great growth potential with a positive impact on society.

“In terms of investment, we always look at 3 factors: people, product, and potential — the quality of the founders who built the startup, products that provide solutions to real problems for people’s need, and the potential for the product to develop in terms of features and users. Among those three, the quality of the founder is the most important factor in our Point of View, because ideas and products can change at an early stage, but we can only hold on to the founder’s commitment and vision,” he explained.

In 2020, the startup ecosystem had to encounter Covid-19 pandemic. Startups and investors had to form many adjustments. On the other side, Chandra sees that the pandemic has succeeded in forcing investors to pay more attention to fundamentals and unit economics in startups – something that Alpha JWC Ventures has been implemented since the beginning. Also, a pandemic has accelerated digital adoption in Indonesia, therefore, startups will find it easier to introduce their products to the public.

“For us, higher digital adoption will bring high investment potential, and this is the right time to invest. However, being selective is crucial, whether these startups can survive and thrive despite a pandemic. Since the beginning of the year, we are actively invest in new companies and follow-on investments into our portfolio, and until now we are satisfied with the results,” Chandra explained.

Exit strategy

To date, Alpha JWC Ventures has scored 3 portfolio exits through acquisition. Exit, through M&A or IPO, is indeed one way for venture capitalists to get ROI from their investment expense. They will profit from an increase in the valuation, based on the growth of the related startup.

Regarding the exit strategy, Chandra said that they currently focus on becoming a long-term partner for their portfolio. “Exit is certainly important, but making exit the main focus will actually damage the dynamics with the portfolio. We will exit at the right time, and ‘right’ means a different thing for each startup.”

He added, “To date, we have successfully brought 3 startups to exit, Spacemob was acquired by WeWork less than a year from our investment; DealStreetAsia was acquired by Nikkei to realize their vision of bringing quality news from Asia to the world; and Jualo was acquired by our other portfolio, Carro, as an expansion path in Indonesia. All three happened at the right moment and we are proud of this achievement. ”

Indonesia’s digital ecosystem in the future

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan becomes one of Alpha JWC Venture’ signature portfolio of new retail / Kopi Kenangan

Chandra also revealed that investors need to read the future trends or even create the trend. “In 2010, for example, I saw that e-commerce would become an ‘idol’ in society, at that time people are getting familiar with fast and cheap internet connections. I started with Tokopedia and Traveloka. Then, 6 years ago, when we started Alpha JWC, we saw that people are getting more comfortable making transaction through digital applications and will definitely need a more practical way of payment and an affordable source of funds, that’s why we started investing in several fintech startups such as Kredivo and Modalku. Both have now become the leading players in Indonesia and part of people’s daily lives.”

He also mentioned, “It is likewise the new retail trend in the F&B sector. In 2018, we saw technology has made it easier for startups and consumers, therefore, we made a big investment in Kopi Kenangan. Many people considered this investment is a crazy act then. However, we can prove that not only did we make the right choice, but we are bringing the trend of VC investment for new retail startups – something that was unlikely in Indonesia. Always one step ahead, that’s the key. ”

Regarding the startup ecosystem, he thought that Indonesia is approaching an “inflection point”. The ecosystem has started to rise 10 years ago, and accelerated in the last 5 years; Supposedly, soon after the pandemic ends, the development will accelerate both in terms of quality, innovation, the quantity of startups, and cooperation between players.

Alpha JWC Ventures also has plans to expand its business in Southeast Asia. “After Indonesia, Singapore, and Malaysia, we believe Vietnam will become the next digital hotspot in Southeast Asia. The startup ecosystem in Vietnam is quite similar to Indonesia, only a little younger, that’s why we find it interesting.”

Regarding expansion for its startup portfolio, Chandra believes more that each portfolio has its own focus, and regional expansion is not always the best, especially with the Indonesian market that is quite large and still some space left to be discovered. “Some of our startups are going regional in the near future, but at the moment I can’t reveal much,” concluded Chandra


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures menjadi salah satu pemodal ventura aktif di Indonesia. Tahun 2020 mereka berinvestasi di 10 startup. Total memiliki 41 portofolio startup

Chandra Tjan: Ekosistem Digital di Indonesia Belum Matang, Kesempatan Bagi Investor dan Startup

Alpha JWC Ventures menjadi salah satu pemodal ventura yang aktif di Indonesia. Tahun 2020, mereka berinvestasi di 10 startup. Jumlah ini menambah deretan perusahaan portofolio menjadi 41 buah. Tahun 2021 ini, mereka berencana menutup fund ketiganya yang diklaim memiliki nominal yang lebih besar sehingga bisa lebih agresif bermanuver di lanskap startup Indonesia.

Untuk mendalami visi dan tujuan Alpha JWC Ventures, kami berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu founder mereka, Chandra Tjan. Di ekosistem, ia bukan orang baru karena sebelumnya di tahun 2009 ia sempat menjadi Co-Founder & Managing Partner East Ventures dalam Fund 1-nya. Keterlibatannya termasuk dalam investasi awal Tokopedia, Traveloka, Disdus (diakuisisi Groupon), Pricearena (diakuisisi Yello Mobile), dan beberapa lainnya.

“Di 2009, saat itu saya sudah 10 tahun tinggal di Singapura dan sudah settle down dan berkarier sebagai bankir di Credit Suisse dan Citigroup. Di sana, saya melihat besarnya potensi dan kesempatan sektor teknologi di negara lain seperti Amerika, Jepang, dan Tiongkok. Saya rasa Indonesia harusnya bisa seperti itu juga. Teknologi dan social impact-nya akan memajukan Indonesia, dan saya ingin ikut berperan di proses tersebut,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “Ternyata, saat itu di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan teknologi/startup, tapi mereka tidak punya kemampuan menarik dana dari investor asing untuk berkembang lebih besar. Melihat kebutuhan itu, saya pulang ke Indonesia untuk fokus di sektor teknologi ini. Bersama beberapa rekan, saya mendirikan East Ventures dan menjadi Managing Partner di fund pertamanya. Saya juga menjadi satu-satunya Partner East Ventures yang full-time dan fokus di Indonesia [saat itu].”

Kemudian di tahun 2015, bersama dua rekannya Jefrey Joe dan Will Ongkowidjaja, Chandra mendirikan Alpha JWC Ventures. Hingga saat ini, ada dua fund yang dikelola dengan nilai hampir $200 juta atau setara 2,7 triliun Rupiah. Dana tersebut dibukukan dari LP yang berasal dari Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Korea. Setiap tahun, mereka memiliki target berinvestasi ke 8-10 startup dengan fokus utama pendanaan tahap awal. Kendati demikian, tak jarang Alpha JWC Ventures juga terlibat dalam follow on investment untuk seri B. Ticket size yang diberikan berkisar $200 ribu s/d $15 juta.

“Pada 2013, terjadi perbedaan visi di East Ventures dan akhirnya di 2015 saya bersama Jefrey dan Will mendirikan Alpha JWC Ventures. Pendekatan yang kami ambil cukup berbeda dengan investor-investor di Asia Tenggara, bahkan hingga saat ini. Alpha JWC didirikan sebagai fund yang independen dan institusional. Dengan disiplin ketat dalam strategi investasi sehingga setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Dari pengalaman sebelumnya, saya juga belajar pentingnya mendampingi founder di masa-masa awal startup, karena itu di Alpha JWC kami menerapkan pendekatan value-add approach dan membangun tim value-creation yang besar,” terang Chandra.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Ekosistem digital belum matang

Kendati saat ini Indonesia sudah memiliki decacorn, unicorn, dan puluhan centaur di berbagai lanskap bisnis, menurut Chandra ekosistem digital di Indonesia masih belum matang–meski sudah mulai terbentuk. Ada beberapa indikasi untuk kematangan sebuah ekosistem startup digital, di antaranya kompetisi antarpemain akan semakin ketat, pasar akan menjadi saturated, dan sulit bagi perusahaan untuk berkembang secara eksponensial.

“Memang sudah semakin terbentuk, namun masih jauh dari matang. Industri digital Indonesia masih muda, dan ini adalah berita baik bagi kami selaku investor dan para startup. Artinya potensi pasar masih luar biasa besarnya untuk ditemukan dan dikembangkan, dan proyeksi growth masih sangat besar di hampir semua sektor dan target pasar. Ini adalah masa-masa yang sangat menarik bagi Indonesia,” kata Chandra.

Kondisi tersebut membuat Alpha JWC Ventures memilih mengadopsi pandangan sector-agnostic. Mereka berinvestasi pada berbagai ide bisnis di berbagai sektor yang ditaksirkan memiliki potensi pertumbuhan yang besar dan memberikan dampak positif di masyarakat.

“Dalam berinvestasi, kami selalu melihat 3 faktor: people, product, dan potential — kualitas founder yang membangun startup tersebut, produk yang memberikan solusi pada masalah riil yang dibutuhkan orang banyak, dan potensi berkembangnya produk itu secara fitur dan pengguna. Di antara ketiganya, kualitas founder adalah faktor yang paling penting dalam pertimbangan kami, karena ide dan produk bisa berubah di tahap awal, hanya founder yang bisa kita pegang komitmen dan visinya,” jelasnya.

Tahun 2020 ekosistem startup dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh pelaku startup maupun investor. Chandra sendiri di satu sisi melihat, bahwa pandemi berhasil memaksa investor untuk lebih memperhatikan fundamentals dan unit economics di startup — sesuatu yang sudah diterapkan sejak awal di Alpha JWC Ventures. Di sisi lain, pandemi membawa percepatan adopsi digital di Indonesia, sehingga startup-startup akan lebih mudah mengenalkan produknya ke masyarakat.

“Bagi kami, digital adoption yang semakin tinggi membawa potensi investasi yang tinggi pula, sehingga justru inilah saat yang tepat untuk melakukan pendanaan. Namun, selektif itu harus, termasuk apakah startup-startup ini bisa bertahan dan berkembang meski menghadapi pandemi. Sejak awal tahun, kami terus aktif melakukan investasi ke perusahaan baru dan follow-on investment ke portofolio kami, dan hingga saat ini kami merasa puas dengan hasilnya,” jelas Chandra.

Strategi exit

Sampai saat ini, Alpha JWC Ventures sudah melakukan exit di 3 portofolionya melalui akuisisi. Exit, melalui M&A atau IPO, memang menjadi salah satu cara bagi pemodal ventura untuk mendapatkan ROI dari apa yang telah diinvestasikan. Mereka akan mendapati untung dari peningkatan nilai valuasi, didasarkan pada pertumbuhan startup terkait.

Terkait strategi exit, Chandra mengatakan bahwa saat ini fokus mereka adalah menjadi mitra jangka panjang untuk portofolionya. “Exit tentu penting, tapi menjadikan exit sebagai fokus utama malah akan merusak dinamika dengan portofolio. Kami akan exit di waktu yang tepat, dan ‘tepat’ itu punya arti yang berbeda bagi setiap startup.”

Ia menambahkan, “Sejauh ini, kami berhasil exit dari 3 startup, Spacemob diakuisisi WeWork kurang dari satu tahun dari investasi kami; DealStreetAsia diakuisisi Nikkei untuk mewujudkan visi mereka membawa berita berkualitas dari Asia ke seluruh dunia; dan Jualo diakuisisi oleh portofolio kami lainnya, Carro, sebagai jalur ekspansi di Indonesia. Ketiganya terjadi di momen yang tepat dan kami bangga atas pencapaian ini.”

Proyeksi ekosistem digital Indonesia

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio “signature” new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan

Chandra juga mengungkapkan, pentingnya bagi investor untuk membaca tren di masa mendatang atau bahkan menciptakan tren itu sendiri. “Di 2010 misalnya, saya melihat e-commerce akan menjadi ‘idola’ di masyarakat yang saat itu mulai akrab dengan koneksi internet cepat dan murah. Saya mulai dengan Tokopedia dan Traveloka. Lalu, 6 tahun lalu, saat kami memulai Alpha JWC, kami melihat bahwa masyarakat yang mulai nyaman dengan beberapa aplikasi digital sehari-hari pasti akan membutuhkan cara pembayaran yang lebih praktis serta sumber dana yang terjangkau, karena itu kami mulai investasi di beberapa startup fintech seperti Kredivo dan Modalku. Keduanya kini sudah menjadi salah satu pemain terbesar di Indonesia dan bagian hidup sehari-hari masyarakat.”

Lebih lanjut ia menambahkan, “Begitu juga dengan tren new retail di sektor F&B. Tahun 2018, kami melihat teknologi dapat memberikan kemudahan bagi startup dan konsumen, karena itu kami memberikan investasi besar pada Kopi Kenangan. Investasi ini dianggap gila oleh banyak orang pada saat itu. Tapi, saat ini, kami bisa membuktikan bahwa tak hanya kami melakukan pilihan tepat, tapi kami membawa tren pendanaan VC ke startup makanan — sesuatu yang tadinya tidak terpikirkan di Indonesia. Always one step ahead, itu kuncinya.”

Terkait ekosistem startup sendiri, ia menilai di Indonesia tengah mendekati “inflection point”. Ekosistem sudah mulai menanjak sejak 10 tahun yang lalu, kemudian mengalami akselerasi di 5 tahun terakhir; diyakini sebentar lagi setelah pandemi berakhir perkembangannya akan semakin melesat baik dari segi kualitas, inovasi, kuantitas startup, dan kerja sama antara para pemain.

Alpha JWC Ventures sendiri juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi bisnis di Asia Tenggara. “Setelah Indonesia, Singapura, dan Malaysia, kami percaya Vietnam akan menjadi digital hotspot selanjutnya di Asia Tenggara. Ekosistem startup di Vietnam juga mirip dengan Indonesia, hanya saja sedikit lebih muda, karena itu kami tertarik ke sana.”

Lalu terkait ekspansi untuk portofolio startupnya, Chandra lebih percaya bahwa setiap portofolio punya fokusnya masing-masing, dan tidak selalu ekspansi regional itu yang terbaik, apalagi dengan market Indonesia yang sangat besar dan masih bisa dieksplorasi lebih lanjut lagi. “Ada beberapa startup kami yang akan melakukan ekspansi regional dalam waktu dekat, tapi saat ini saya belum bisa cerita banyak,” tutup Chandra.

Investor punya andil mengarahkan "exit" bagi portofolio startup-ya. Fokus pendiri startup biasanya adalah mengurusi bisnis dan membuatnya berkelanjutan / DepositPhotos

Perlukah Strategi “Exit” Startup Dipersiapkan Sejak Awal

Antara merger, akuisisi, dan IPO, mana strategi exit yang tepat untuk startup Anda? Apakah founder startup perlu mempersiapkan strategi exit sejak awal? Jawaban pertanyaan tersebut perlu dilihat dari berbagai sisi.

Menurut Partner Golden Gate Ventures Michael Lints, saat awal startup berdiri sangat sulit untuk membuat strategi exit. Saat itu, founder akan disibukkan untuk mencari tahu product market fit, retensi pengguna, roadmap produk, dan bagian penting bisnis lainnya, sehingga memikirkan strategi exit hampir mustahil karena masih terlalu dini.

Di sisi lain, investor ingin founder fokus bangun bisnis mereka, menambah value dengan distraksi sedikit mungkin. Pepatah mengatakan bahwa perusahaan yang kuat dapat menggalang dana (atau exit). Exit itu sendiri merupakan tonggak penting buat perusahaan — bukan berarti founder yang exit.

Kapan dan bagaimana exit yang tepat

Lints menuturkan, waktu dan strategi exit sangat penting untuk memaksimalkan keuntungan dari perusahaan dan investor. Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa memprediksi kapan hal tersebut datang karena tidak ada yang bisa memprediksi masa depan.

“Mitos pertama adalah rencana exit startup membuahkan hasil. Terlalu banyak situasi tak terduga untuk memprediksi seperti apa jalan keluar pada lima atu tujuh tahun kemudian.”

Realita kapan harus keluar harus didukung strategi antara founder dan investor. Ibarat menata rumah, seluruh proses perlu dilakukan secara teratur. Tidak masalah apakah Anda sedang bersiap untuk exit atau putaran penggalangan dana tahap akhir, sebab Anda ingin memastikan rumah dalam keadaan rapi.

Berikut ini adalah beberapa checklist yang perlu disiapkan jika sudah berpikir untuk melakukan exit:

  1. Apakah semua laporan keuangan sudah terkini dan diaudit? Sebab acquirer ingin meninjau aspek penting ini. Jika tidak diaudit, perusahaan perlu memberikan argumen jelas mengapa demikian.
  2. Apakah semua prosedur perusahaan sudah ada dan didokumentasikan?
  3. Bagaimana proyeksi bisnis berdasarkan historis laporan keuangan?
  4. Bagaimana prospek perusahaan, produk dan peta jalan industri?
  5. Apa skenario exit untuk semua pendiri, staf dan pemegang saham? Dalam kasus keuntungan, apakah insentif selaras?

Secara terpisah, DailySocial juga meminta pandangan investor lokal terhadap hal ini. CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro menuturkan, strategi exit itu sudah harus dipersiapkan secara jeli oleh founder saat memetakan roadmap — saat memulai putaran pendanaan dari tahap awal hingga seterusnya.

Di mata investor, strategi exit itu artinya bisa menjual saham di startup pada investor lain atau melalui IPO.

“Idealnya startup sudah ada roadmap, termasuk fundraising dan exit, karena investor pasti nanya.”

Menurutnya, founder pasti sadar betul bahwa investor butuh exit setelah berinvestasi sekian lama. Mayoritas VC mengelola dana dari sekumpulan investor, alias bukan uang VC itu sendiri.

Oleh karena itu, investor juga punya andil untuk mengarahkan portofolionya tipe-tipe exit yang cocok untuk masing-masing portofolionya. “Ada yang cocoknya IPO dan ada yang cocoknya misalnya dibeli oleh unicorn, dan lain-lain.”

MCI sendiri sudah exit untuk dua portofolionya, yakni Moka (saat diakusisi penuh oleh Gojek) dan Cashlez (saat IPO pada Mei 2020).

“Semakin terjadi investasi dan divestasi, ekosistem startup dan VC akan semakin sehat.”

Pandangan founder startup

Mengungkap strategi exit suatu startup ke publik bukan menjadi suatu kewajiban seorang founder, namun melihat pandangan mereka tentang strategi exit menarik untuk disimak. DailySocial menghubungi dua founder startup dari Modalku dan Super (Nusantara Technology) untuk memberikan pandangannya terhadap isu ini. Keduanya sama-sama telah mengantongi pendanaan dari pihak eksternal.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memandang strategi exit tidak memiliki urgensi yang penting. Ia beralasan karena exit adalah suatu hal yang tidak dipikirkan secara konstan karena dinamika industri startup yang bergerak cepat, sehingga tidak tepat untuk fokus ke hal-hal lain selain mengembangkan perusahaan itu sendiri.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu mengembankan fundamental dan bisnis. Exit merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UMKM yang berpotensi,” papar Reynold.

Meskipun demikian, ia berpendapat opsi exit untuk setiap perusahaan pasti berbeda-beda. Tidak ada satu opsi yang cocok untuk diimplementasikan untuk seluruh jenis startup karena perlu disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan perusahaan.

“Fokus utama kami bukan untuk mempersiapkan strategi exit, melainkan untuk mengembangkan perusahaan dan menjangkau lebih banyak UMKM di Indonesia untuk mewujudkan dunia keuangan Indonesia yang lebih inklusif.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan CEO Super Steven Wongsoredjo. Super adalah aplikasi social commerce yang dijalankan Nusantara Technology.

Steven menuturkan, ketika pihaknya memutuskan untuk merintis Super, ia tahu bahwa tim akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Menurutnya, skenario exit terbaik adalah kondisi di mana aplikasi Super dapat menjadi bisnis yang berkelanjutan dan berdampak pada masyarakat.

“Artinya kami menciptakan bisnis yang berdampak pada masyarakat dan pemangku kepentinngan. Oleh karena itu, bagian ekuitas dari investor dan founder akan menjadi hot deal di pasar likuid.”

Super sendiri masih tergolong baru di ranah social commmerce. Layanan ini didirikan sekitar dua tahun lalu. Untuk itu, di proses perintisan Super, tim bekerja keras membangun product market fit yang sesuai dengan target konsumennya di kota lapis dua dan tiga.

“Fakta menariknya, saya tidak mengambil gaji selama dua tahun di perusahaan ini. Sebab hal yang paling mendesak adalah menemukan product market fit dan menumbuhkan perusahaan, yang akan membawa keuntungan nantinya.”

Steven berpandangan, buat startup Indonesia, cara terbaik adalah melikuidasi saham lewat pasar swasta untuk jangka pendek. Maka dari itu, perlu ada diskusi antara investor lama untuk menentukan kapitalisasi agar mendapat keputusan terbaik yang menguntungkan semua pihak.


Gambar header: Depositphotos.com

Funding gap mendorong pendiri startup Asia Tenggara menjual perusahaannya lebih cepat

Monk’s Hill: “Funding Gap” Picu Pendiri Startup Asia Tenggara Jual Perusahaannya Lebih Cepat

Selain perkembangan startup di 2017, Monk’s Hill Ventures dalam laporan terbarunya yang bertajuk The State of Southeast Asia Tech Report 2018 juga menyoroti terjadinya gap pada pendanaan (funding gap) industri startup Asia Tenggara, khususnya dari Seri A ke Seri B dan selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir. Gap itu disebut memicu penjualan perusahaan lebih cepat.

Menurut Director Mountain Partners Malaysia AJ Azizuddin, pendanaan startup di Asia Tenggara sebetulnya sangat berkembang, tetapi masih ada gap besar. Misalnya, pendanaan untuk Seri A banyak dan merata, namun perbedaannya sangat jauh dengan pendanaan di Seri B dan C.

“Ini artinya ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh venture capital (VC) dalam melihat situasi ini,” ungkap Azizuddin.

Sepanjang 2017 pendanaan putaran awal (seed) diberikan sebanyak 148 kali, putaran Seri A sebanyak 55 kali, sedangkan Seri B hanya 23 kali.

Partner Golden Gate Ventures Michael Lints mengakui, adanya gap pada putaran pendanaan, khususnya antara Seri A dan B. Menurut Lints, gap ini membuat startup jadi terlalu cepat untuk diakuisisi perusahaan lain.

“Saya rasa bakal butuh tiga tahun atau lebih sebelum kawasan Asia Tenggara mengalami banyak aksi exit, apalagi kalau melihat dari bertumbuhnya kawanan startup unicorn. Lihat saja data global, butuh tujuh hingga delapan tahun sebelum perusahaan mampu menciptakan nilai dari pemegang saham yang sesungguhnya,” papar Lints.

Data startup yang exit di tahun 2017

Di laporan ini, Monk’s Hill juga menyoroti fenomena exit atau situasi ketika sebuah startup dicaplok dalam bentuk merger atau akuisisi (M&A). Dalam tiga tahun terakhir, jumlah startup yang exit dilaporkan semakin meningkat di Asia Tenggara.

Startup “exits” di Asia Tenggara di 2013-2018
Startup “exits” di Asia Tenggara di 2013-2018

Tercatat hanya ada sembilan startup secara resmi melakukan Initial Public Offering (IPO) di Asia Tenggara di tahun 2017, sementara 155 startup lainnya diakuisisi di periode yang sama. Berdasarkan data periode 2013-2018, tren akuisisi semakin meningkat.

Startup yang menjadi perusahaan publik lewat IPO mengalami tren naik turun selama periode 2013-2018. Tercatat ada 37 IPO di 2013, kemudian turun di 2014 (11 buah) dan 2015 (8 buah). Tren startup IPO naik lagi menjadi 13 buah di 2016, lalu turun di 2017 (9 buah).

CEO 1337 Ventures Bikesh Lakmichan menyebutkan, langkah exit melalui proses M&A akan terus berlanjut ke depannya. Hingga Juni 2018, sudah ada 64 akuisisi dan diperkirakan mencapai 121 akuisisi di sepanjang tahun ini.

“Banyak startup yang percaya diri untuk memulai langkah baru dengan akuisisi. Saya pikir tantangan pada valuasi menjadi faktor utama banyak startup yang menunda untuk exit. Tidak semua exit didominasi oleh Tiongkok. Saya rasa kita perlu melihat firma private equity global masuk ke permainan ini,” ungkap Lakmichan.