Tag Archives: Startup Impact

Dua Startup “Impact” Asal Indonesia Terima Dana Hibah dari The Incubation Network

Dua startup asal Indonesia, Bank Sampah Bersinar dan Kibumi, terpilih mengikuti program “Plastic Waste to Value Southeast Asia Challenge” yang diselenggarakan oleh The Incubation Network. Keduanya termasuk dalam lima peserta terpilih mengikuti program yang bertujuan untuk mendorong kegiatan daur ulang dan upcycling sampah plastik.

Program ini merupakan hasil kerja sama The Incubation Network, Global Plastic Action Partnership, Uplink by the World Economic Forum, dan Alliance to End Plastic Waste yang akan memberikan dana hibah sebesar $72.000 atau sekitar Rp1 miliar bagi inovator terpilih. Adapun, dana hibah tersebut berasal dari Alliance to End Plastic Waste, dan didukung oleh SecondMuse, The Circulate Initiative, Global Affairs Canada, serta DEFRA.

Nicholas Kolesch mewakili Alliance to End Plastic Waste mengungkapkan bahwa sejak awal perusahaan telah terlibat serta terhubung dengan banyak pengusaha yang merintis inovasi dan model bisnis baru untuk meningkatkan pengelolaan dan sirkularitas sampah plastik. “Kami berusaha mendukung startup agar dapat menunjukkan solusi model bisnis yang layak secara teknis, ekonomi, serta memposisikannya untuk investasi, penskalaan, dan replikasi,” jelasnya.

Selanjutnya, dana hibah yang telah disalurkan rencananya akan digunakan untuk mendorong kapasitas operasional bisnis dan meningkatkan fasilitas kerja. Kesempatan ini memungkinkan setiap inovator untuk mengelola, memproses, dan mendaur ulang sampah plastik dalam jumlah yang lebih besar.

Selama lima bulan program ini berjalan, kelima inovator diberi akses ke  berbagai sumber daya dan dukungan, termasuk lokakarya, penyesuaian mentor, serta peluang memperluas jejaring. Terdapat sembilan pakar yang datang dari kalangan pemimpin bisnis, ahli keuangan, pakar pemasaran dan hubungan masyarakat, dan spesialis investasi bertindak sebagai mentor.

Selain itu, para inovator juga dibekali dengan persiapan dalam pengembangan bisnis melalui lokakarya yang berfokus pada pengelolaan dan daur ulang sampah, pemasaran, dan lainnya. Wawasan dan arahan yang diperoleh dari kegiatan ini diharapkan dapat menyempurnakan strategi pemasaran mereka untuk melayani pasar yang lebih luas.

CEO Bank Sampah Bersinar Fei Febri mengungkap, “berkat hibah yang kami terima dari program ini, kami dapat berinvestasi dalam truk pick-up sampah baru. Peluang ini juga memungkinkan kami untuk mengumpulkan lebih banyak sampah dari bank sampah unit binaan kami.”

Didirikan pada 2019, The Incubation Network merupakan kemitraan antara organisasi nirlaba, The Circulate Initiative dan perusahaan inovasi dan dampak, SecondMuse. “Dalam waktu tiga tahun, perusahaan telah memberikan bantuan peningkatan bisnis kepada 358 startup, setara dengan mencegah hampir 148 ribu metrik ton pencemaran sampah plastik ke lingkungan,” ungkap Global Head of Circularity SecondMuse Simon Baldwin.

Kinerja pengelolaan sampah di Indonesia

Berdasarkan data UNEP (2017), Indonesia diketahui menjadi negara penghasil sampah terbesar di Asia Tenggara dengan angka 64 juta ton per tahunnya. Dengan populasi penduduk tertinggi ke-4 di dunia dan rendahnya kesadaran masyarakat, mendukung budaya daur ulang sampah menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bangsa ini.

Mengutip Data Indonesia, kinerja pengelolaan sampah Indonesia disebut semakin membaik pada 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) di Indonesia sebesar 50,25 poin pada 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,38% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 50,06 poin.

 

Sumber: Data Indonesia

Capaian ini tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa semakin banyak startup ataupun layanan pengelolaan sampah di Indonesia. Di Indonesia sendiri, selain kedua penerima dana hibah di atas, startup yang menawarkan layanan manajemen sampah termasuk OctopusDuitin, dan Rekosistem.

Ikhtiar Kibumi Jembatani Pemulung dan Industri Daur Ulang Sembari Perangi Sampah

Sudah jadi fakta umum bahwa Indonesia masuk dalam kondisi gawat darurat sampah. Merajuk dari data Bappenas, Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton limbah plastik setiap tahunnya. Jumlah ini diperkirakan akan berlipat ganda menjadi 13,6 juta ton pada 2040.

Masalah ini semakin genting karena hanya sekitar 30% dari sampah plastik di Indonesia yang terkelola. Sementara, sisanya akan mencemari laut, dibakar, atau dibuang sembarangan sehingga memberikan ancaman bagi lingkungan dan biodiversitas. Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa industri daur ulang di Indonesia itu kesulitan dengan rendahnya pasokan daur ulang di lapangan. Ironisnya, mereka harus mengimpor dari luar negeri.

“Industri ini masih sangat bergantung pada rantai nilai tradisional, di mana 80% barang daur ulang dikumpulkan dari sana. Di Indonesia sendiri, industri daur ulang mengimpor 800.000 ton barang daur ulang setiap tahunnya untuk mengisi kekosongan pasokan,” terang Founder dan CEO Kibumi Hadiyan Fariz Azhar saat dihubungi DailySocial.id, Kamis (15/12).

Isu mengenai sampah lah yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Kibumi pada 2019. Fariz panggilan akrab dari Hadiyan, melihat bahwa sampah di Indonesia itu sangat tidak terkelola. Akan tetapi, ada industri daur ulang yang sangat bergantung dengan kehadiran sampah-sampah tersebut.

Masalah lain muncul, ternyata selama ini industri daur ulang tidak bisa menjangkau lokasi TPA (tempat pembuangan akhir) atau sejenisnya. Selain tidak punya akses, kebanyakan sampah yang sudah masuk ke sana sudah tertumpuk dan kualitasnya terus menurun karena sudah tercampur dengan sampah jenis lainnya dalam jangka waktu yang lama.

“Kita lihat dari sisi ekonomi sirkular, ada rantai yang terputus karena sumber sampah, yakni rumah tangga, pabrik, dan perkantoran, tidak tersambung dengan industri daur ulang. Sisi inilah yang tadinya kami pikir harus diisi,” tuturnya.

Para pendiri Kibumi terdiri dari empat orang. Selain Faiz, ada Andi Manggala Putra (CFO), Wahyudin Gorang (COO), dan Christine Halim (Komisaris). Masing-masing latar belakang dari para pendiri saling mendukung dalam pendirian Kibumi. Pertemuan mereka bertiga dengan Christine, yang bergabung sebagai ADUPI (Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia) memperkuat fundamental manajemen di Kibumi.

Kibumi itu sendiri artinya Kita Bumi. Faiz ingin mengajak masyarakat untuk kembali merawat bumi yang sama saja dengan merawat diri sendiri.

Model bisnis Kibumi

Model bisnis awal dari Kibumi mirip dengan apa yang sedang dijalankan oleh Octopus, Duitin, dan Rekosistem, yakni mengambil sampah dari rumah tangga dengan membayar iuran bulanan mulai dari Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Ada sejumlah benefit yang diterima konsumen apabila mereka mampu memilah sampahnya dengan baik. Salah satunya iuran gratis atau mendapat uang ekstra dari Kibumi.

“Seiring berjalannya waktu kita lihat cost dari model bisnis ini karena ke B2C cukup tinggi, harus ada edukasinya. Lalu kita belajar, setelah dapat knowledge dan hitung secara bisnis agar sustain, ternyata value chain dari sumber sampah ke industri itu sudah diisi oleh pemulung, junkshop. Pengumpulan sampah itu 80% dilakukan oleh mereka,” kata Fariz.

Kibumi pun akhirnya pivot tepat di akhir 2020, setelah memerhatikan sisi keberlanjutan perusahaan ke depannya. Kini Kibumi memosisikan diri sebagai agregator supply chain. Perusahaan mengoptimasi proses pengumpulan sampah dari pemulung di berbagai lokasi, lalu hasilnya dijual kembali ke perusahaan daur ulang.

Perusahaan menyediakan infrastruktur sumber daur ulang end-to-end dengan teknologi melalui cara berkelanjutan untuk para pemulung agar mereka dapat bekerja lebih efisien. Misalnya, dengan bantuan Kibumi, mereka bisa memilah lebih banyak plastik botol lebih cepat dengan mesin. Lalu untuk pengemasannya sebelum diterima oleh perusahaan daur ulang, per botolnya ditekan jadi lebih kecil sehingga mencapai kapasitas maksimal untuk satu truknya.

Dampak nyata yaterasa bagi para pemulung adalah mereka mendapat peningkatan nilai sampah dari mitra pemulung dan lapak, hasil dari efisiensi biaya, dan peningkatan kapasitas setelah bergabung dengan Kibumi. Kisarannya mencapai Rp800-Rp900 per kilogram. Diharapkan ada efek domino yang bisa dirasakan, mengingat ini berakitan erat dengan perbaikan taraf hidup mereka.

“Pada akhirnya misi awal kita bisa tercapai karena kapasitas para teman-teman infomal ini bisa meningkat. Lalu dari sisi efisiensi juga tercapai, dari dampak sosial juga jauh lebih baik karena sektor informal ini berada di bawah garis kemiskinan. Ada banyak isu di sana. Kita merasa kalau kita bisa bantu improve kapasitas mereka, masalah bisa terurai satu per satu,” ujarnya.

Sumber: Kibumi

Dari sisi infrastruktur, tak hanya bangun hub di tiap provinsi, perusahaan juga memanfaatkan perangkat lunak dan keras untuk bantu meningkatkan efisiensi. Dari sisi perangkat keras tersedia conveyor belt dengan mesin yang sudah ditingkatkan fiturnya agar hasil kerjanya lebih berkualitas.

Lalu, mengembangkan IoT yang dipasangkan di mesin Kibumi untuk mempermudah proses kerja sehingga tidak memerlukan banyak orang, dan bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan alat pemilah sampah botol berdasarkan warna. Keduanya diharapkan bisa segera teralisasi agar proses kerja jauh lebih efisien.

Sumber: Kibumi

Teknologi digital dimanfaatkan untuk membangun kemampuan ketertelusuran data dari hulu ke hilir. Misalnya, aplikasi untuk rumah tangga, ESG dasbor untuk menampilkan seluruh material flow, dan ERP platform untuk mendigitalkan, mengotomasi, dan menghubungkan proses di junkshop.

Galang pendanaan

Sebagai bagian dari startup impact, perusahaan mengukur dampak yang diciptakan dengan indikator peningkatan nilai plastik dan pengurangan jejak emisi karbon. Untuk mengukur nilai plastik, pihaknya menghitung dari ongkos-ongkos yang berhasil dikurangi, termasuk logistik, setelah dibangun hub. Dari situ akan terlihat bagaimana produktivitas yang berhasil diciptakan oleh para pemulung yang diukur dengan nominal mata uang.

Kemudian, emisi karbon dapat dihitung per botol. Botol berukuran 600 ml itu biasanya punya emisi karbon 20 gram. Dari situ bisa dihitung total botol yang dikirim ke perusahaan daur ulang. Sebagai catatan, pemantaan plastik daur ulang itu 30% lebih rendah jejak emisi karbonnya daripada plastik virgin.

Plastik virgin adalah resin plastik yang diproduksi menggunakan gas alam, minyak bumi, dan minyak mentah. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi jenis plastik ini belum pernah diproses sebelumnya. Jadi, plastik virgin merupakan plastik baru tanpa bahan daur ulang.

Sejauh ini, perusahaan berhasil mencegah 72 juta sampah botol masuk ke lautan, mendaur ulang 12 juta botol baru per bulan, dan menciptakan kenaikan nilai plastik hingga 10%.

Sumber: Kibumi

Kinerja perusahaan diklaim terus menunjukkan progres yang menjanjikan. Dalam dua tahun, pendapatan Kibumi tumbuh tiga kali lipat secara year-on-year dan sudah cetak untung. Perusahaan telah memroses 4.200 ton sampah botol, membangun empat hub, dan bekerja sama dengan 210 junkshop (dengan 2.500 pemulung) yang berlokasi di Jawa, Sumatera, dan Bali.

“Tujuan kami pivot as a business agar sustain. Saat ini kita masih bootstrap tapi sudah self-sustaining. Profit yang kita dapat kita putar untuk acquire partner junkshop dan kami jual lagi ke pabrik daur ulang. Kami dapat harga jual yang bagus dari mereka dan ada kontrak jangka panjang.”

Saat ini perusahaan sedang menggalang pendanaan tahap awal dengan nilai target $5 juta. Rencananya dana tersebut akan digunakan untuk perbesar jaringan kemitraan Kibumi dengan junkshop dari 250 menjadi 3.000 junkshop dan perbanyak hub menjadi 12 hub. Kemudian, menambah jenis sampah baru untuk didaur ulang selain sampah botol, seperti kertas dan kardus.

“Kami kejar nilai penjualan dari $1,5 juta jadi $13,5 juta. Sudah ada masterplan yang cukup detail, daerah mana saja, karena sejak dua tahun ini Kibumi mampu perkuat operasional dan efisiensi di lapangan. Bisnis ini terbilang sulit karena banyak detail-detail yang sangat penting, harus akurat agar layanannya bisa sempurna dan tetap efisien. Tanpa itu pasti akan susah.”

Ikhtiar CarbonEthics Bantu Masyarakat Pesisir Sembari Pulihkan Keseimbangan Iklim

Kerusakan lingkungan global terus berlanjut mengancam habitat seluruh makhluk hidup. Langkah kecil pun dimulai oleh Agung Bimo Listyanu (CEO), Innandya Irawan (COO), dan Jessica Novia (CMO), yang bertemu di One Young World Summit 2018 di Belanda untuk memulai CarbonEthics. Saat itu, ketiganya bertugas sebagai delegasi dari masing-masing perusahaan, berusaha mencari jalan keluar untuk mengurangi emisi karbon.

“Dari situ kita aware bahwa iklim enggak bisa nunggu. Makanya, we need to do something beyond our office dan ignite the spirit dari tiap korporasi untuk mengambil aksi. Akhirnya mulai bangun CarbonEthics di Mei 2019,” kata Agung Bimo Listyanto, atau lebih akrab disapa Bimo saat dihubungi DailySocial.id.

Masing-masing co-founder ini datang dari latar belakang yang beragam. Bimo punya pengalaman sebagai geothermal engineering ditambah pernah bekerja di dunia komersial untuk sales dan marketing, serta pernah bertanggung jawab memegang fund khusus ESG. Sementara, Jessica punya segudang pengalaman di dunia kreatif, digital marketing, dan manajemen konsultasi.

Terakhir, Innandya mendalami industri energi didukung dengan pengalaman lainnya di bidang commercial and investment appraisal, strategi dekarbonisasi, dan lainnya. Seluruh kemampuan dari ketiganya mendukung satu sama lain dalam merancang visi dan misi CarbonEthics. Sebagai catatan, ketiga co-founder ini baru akan full time di CarbonEthics per Januari 2023 mendatang.

“Sejak awal kami melabelkan diri sebagai corporate activist, yang punya privileges mendorong korporasi dari dalam. Tapi perlu juga untuk dorong dari luar, seperti mengevaluasi kebijakan dari perusahaan yang dirasa masih kurang bagi lingkungan. Kami buat CarbonEthics karena kami ingin reach lebih banyak pihak turut serta.”

Site visit di Kepulauan Seribu / CarbonEthics

Berdayakan masyarakat sambil mengurangi emisi karbon

Dalam upaya mengurangi emisi karbon, perjalanan CarbonEthics dimulai dengan menemui para petani di pesisir pantai untuk memulai fokus pada restorasi ekosistem biru. Salah satunya, dengan menanam mangrove, lamun, dan rumput laut. Kelompok masyarakat ini paling rentan terhadap isu lingkungan, sebab apabila permukaan air laut naik, rumah merekalah yang pertama akan tenggelam.

Terlebih, selama pandemi kesejahteraan para petani ini sangat terdampak. Penghasilan mereka bahkan turun hingga 90% karena penurunan permintaan dari restoran yang tutup, menurut temuan CarbonEthics.

“Mangrove, lamun, dan rumput laut ini bisa menyerap karbon antara 4-10x lebih banyak dari hutan di darat. Namun bukan itu yang ingin kita coba selesaikan. Tapi dari sisi isu ESG, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan economic value dari apa yang ditanam.”

Tim CarbonEthics, dibantu oleh 100 relawan, perlahan mendekati para petani pesisir untuk mulai menanam mangrove, dengan program pendampingan dari awal hingga pemantauan rutinnya. Proses menyeluruh ini dilakukan selama satu hingga dua tahun. Mangrove, lamun, atau rumput laut yang ditanam ini merupakan pesanan yang dibeli oleh konsumen CarbonEthics, entah dari konsumen ritel atau korporat.

Para petani inilah yang bertugas untuk merawatnya, dibantu oleh tim CarbonEthics dalam pendampingan. Untuk menjaga kepercayaan dari seluruh pihak, tim juga melakukan intervensi dari sisi ekonomi untuk mencegah para petani menebang atau menjual mangrove yang telah ditanam. Sejak awal pendampingan, tim mulai membentuk kelompok tani sebelum diedukasi. Kemudian bangun bedeng, pilih site, semuanya dilalui lewat izin resmi dari pemerintah setempat.

“Berjalan satu tahun kita lihat apakah mereka bisa kita edukasi untuk next step, biasanya setelah tanam mangrove, istrinya [petani] ngapain? Kita ajarkan mereka buat sabun dari bibit bekas mangrove agar bisa punya penghasilan. Lalu bisa juga buat batik dari bibit mangrove yang sudah layu, ini bisa jadi pewarna batik alami.”

Sumber: CarbonEthics

Ia tidak setuju dengan program yang on off, semua harus berkelanjutan sampai masyarakat di pesisir itu teredukasi. Bahwa mereka dapat hidup, memperoleh nilai ekonomi dengan mengandalkan mangrove.

Sejauh ini, menurut Bimo, CarbonEthics telah memiliki tiga area penanaman yang tersebar di Pulau Harapan, Kep. Seribu, Pulau Dompak, Kep. Riau, dan Padangbai, Bali. Khusus Bali, CarbonEthics menanam terumbu karang. Kendati terumbu karang ini tidak termasuk ekosistem karbon biru, namun penanaman ini diharapkan dapat merestorasi keanekaragaman hayati di dalam laut yang sudah terlanjur rusak karena ulah manusia.

Dalam menciptakan dampak pengurangan emisi karbon secara lebih luas, CarbonEthics menggaet lebih banyak korporasi agar dapat turut serta. Bimo menuturkan, pihaknya menyediakan kalkulator jejak karbon di dalam situsnya agar konsumen dapat melihat seberapa banyak emisi karbon yang terbuang dalam kehidupan sehari-hari.

Konsumen dapat menghitung jejak karbon dari kendaraan darat dan udara, listrik, makanan, dan plastik. Misalnya, akses dari rumah ke kantor dapat dihitung jaraknya dan diekstrapolasi selama satu tahun. Begitu pun dari makanan yang dikonsumsi per porsinya selama satu minggu, konsumsi plastik, dan tagihan listrik. Setelah seluruh data dimasukkan, tim akan mengirimkan dasbor yang dapat dilihat konsumen beserta rekomendasi ekosistem karbon biru yang perlu ditanam untuk restorasi emisi yang terbuang.

“Kalau konsumen korporat ada jasa servis berbayar untuk perhitungan jejak emisi sesuai dengan protokol ESG. Lalu dari situ ada rekomendasi berapa banyak karbon yang harus dikurangi, dan sisa dari emisi terbuang ini dikompensasi dengan restorasi ekosistem karbon biru.”

Sejauh ini, paket ekosistem karbon biru yang dijual CarbonEthics di situsnya telah dibeli oleh 2 ribu orang dan lebih dari 80 perusahaan turut berpartisipasi. Garnier – L’Oréal Indonesia, PT Allianz Indonesia, The Body Shop, Nike, dan lainnya adalah beberapa nama korporasi besar sudah bergabung.

Indikator dampak yang dihasilkan

Sumber: CarbonEthics

Dalam mengukur dampak bagi lingkungan, CarbonEthics mengandalkan Social Return of Investment (SROI). Setiap Rp1 yang diinvestasikan ke perusahaan akan menghasilkan nilai Rp4. Alhasil perbandingannya 1:4, hasil mengukur dari tiga aspek, yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dari aspek sosial, tim mengukur berapa banyak petani yang ikut dan teredukasi, juga berkomitmen dalam menjalankan aksi iklim. Tak lupa mengukur dari anggota keluarga dari petani yang ikut terdampak dalam program. Lalu, dari sisi ekonomi, mengukur seberapa jauh penambahan penghasilan dari dan sebelum petani ikut program. Terakhir, dari aspek lingkungan, menghitung berapa banyak karbon yang terserap, baik itu dari mangrove, lamun, atau rumput laut.

Dari laporan perusahaan saat ini, dari aspek lingkungan, CarbonEthics telah menyerap lebih dari 5,3 juta kg gas CO2e diasingkan, 68.357 pohon bakau ditanam, 3.025 bibit lamun ditanam, 4.050 bibit rumput laut ditanam, dan 4.270 karang bayi ditanam. Berikutnya dari aspek sosial, sebanyak 184.933 orang pengguna, 2.709 aksi iklim dijanjikan, 16 orang dengan peningkatan pendapatan, dan 91 langsung dan tidak langsung penerima manfaat pesisir anggota komunitas. Dari aspek ekonomi, sebanyak 22% peningkatan rata-rata pendapatan petani.

Dalam keseluruhan proses bisnis di CarbonEthics, mayoritas masih menggunakan pendekatan tradisional. Namun, kini tim sudah melengkapi aspek teknologi berbentuk platform yang digunakan petani untuk memasukkan informasi dari mangrove, baik dalam bentuk foto dan ukuran pohon selama enam bulan sekali. Informasi tersebut nantinya dipakai untuk konsumen yang membeli mangrove dari CarbonEthics.

Pasalnya, perusahaan memberlakukan jaminan garansi, bakal melakukan penanaman ulang apabila yang berlaku selama dua tahun. “Kami akan transparan memberi tahu pertumbuhan mangrove lewat situs. Ada garansi proteksi selama dua tahun sebelum mangrove stabil, apabila sebelum periode tersebut mangrove mati, akan segera kita ganti. Namun value yang selalu kita tekankan adalah kepastian mereka hidup lewat proses iterasi yang terus kita improve.”

Bimo pun memercayai prospek startup impact seperti CarbonEthics punya ruang pertumbuhan yang sangat lebar. Saat ini pangsa pasar bisnis keberlanjutan memang masih niche, tapi dari waktu ke waktu pertumbuhannya begitu pesat. Karena masih niche, timbul tantangan dari segi harga jual yang lebih mahal, membuat adopsi terasa sulit untuk menjangkau pasar yang lebih umum.

“Sekarang demand ada tapi harga masih mahal. Tapi seiring waktu, masyarakat kian teredukasi, harapannya economic of scale dapat tercipta sehingga tercipta harga jual yang sama.”

Maka dari itu, untuk menyambut pertumbuhan yang bakal lebih pesat, para co-founder CarbonEthics siap menjadi full time di bisnis ini. Ditargetkan ke depannya, perusahaan dapat memperluas area karbon biru di beberapa titik di Indonesia.

Sumber: CarbonEthics

Saat ini CarbonEthics juga tengah melakukan penggalangan dana, ditargetkan sampai dengan Desember 2022.

Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.

Masuk ke ekonomi sirkular, SIRCLO mengumumkan pilot project dengan MallSampah untuk pengelolaan sampah di UMKM SIRCLO

SIRCLO Gandeng MallSampah untuk Daur Ulang Sampah UMKM

SIRCLO mengumumkan kolaborasi dengan MallSampah, platform end-to-end pengelolaan sampah/limbah menjadi barang daur ulang yang produktif dan bernilai ekonomi. Inisiasi tersebut muncul karena munculnya urgensi pengelolaan sampah seiring meningkatnya laju ekonomi di sektor UMKM, seiring ditandai masuknya SIRCLO ke ekonomi sirkular.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, sebanyak 60% sampah berakhir di tempat pembuangan akhir, kemudian 30% tidak terkelola, dan hanya 10% yang berhasil di daur ulang. Sampah yang tidak berhasil di daur ulang dan menumpuk di udara terbuka berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global. Dengan jumlah UMKM yang ditargetkan mencapai 14,5 juta tahun ini, kegiatan bisnis sektor UMKM tentunya berkolerasi emisi dan sampah yang dihasilkan.

“Sebagai perusahaan teknologi yang menyediakan ekosistem bisnis terpadu, kolaborasi strategis dengan MallSampah ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak pelaku usaha untuk menerapkan sustainability dan strategi inovatif dalam prosesnya. Inisiatif ini hanyalah langkah awal SIRCLO untuk berkontribusi dalam terciptanya sistem ekonomi sirkular yang baik, dimulai dari pelaku UMKM hingga komunitas akar rumput,” ucap Impact Manager SIRCLO Jiwo Damar Anarkie dalam keterangan resmi, Senin (18/7).

Dia melanjutkan, mengutip dari Bank Dunia, 40% penduduk kota di Indonesia belum memiliki akses pengumpulan sampah dasar. Hal ini akan menyebabkan kenaikan produksi sampah di perkotaan per harinya dari 105 ribu ton per hari menjadi 150 ribu ton per hari, angka ini meningkat 42%.

Studi internal SIRCLO juga menyebutkan, bahwa 1 UMKM di sektor perdagangan menghasilkan 2 kg sampah setiap harinya atau 60 kg per bulan. Angka tersebut belum dihitung dari jumlah sampah rumah tangga pelaku UMKM yang rata-rata menyumbangkan 1 kg sampah per hari. Dengan kondisi ekosistem SIRCLO saat ini, ada setidaknya 500 kg – 1 ton sampah dapat dihasilkan setiap harinya.

Data di atas semakin menggambarkan urgensi program edukasi pengelolaan sampah terhadap pelaku UMKM dan memulai ekonomi sirkular dari sektor UMKM. Melalui inisiatif yang juga merupakan pilot project dalam skala yang terbatas ini, SIRCLO ingin melihat minat dari UMKM dalam mendukung pelestarian lingkungan hidup.

Inisiatif awal ditandai dengan pelaksanaan webinar yang sudah berlangsung pada akhir Juni 2022. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan sampah per kategori, pengambilan sampah oleh mitra MallSampah, sampai kegiatan daur ulang hingga Agustus 2022, diharapkan kegiatan diikuti secara aktif oleh 100 mitra UMKM SIRCLO.

“Teknologi MallSampah digunakan untuk mengetahui jejak pengelolaan sampah, kapan dan di mana pengambilannya, berapa lama proses daur ulang, hingga hasil dari daur ulang sampah tersebut. Diharapkan dengan digitalisasi inisiatif ekonomi sirkular ini, SIRCLO dapat memantau jejak sampah yang dihasilkan dan menjadi apa sampah yang dihasilkan tersebut.”

UMKM rekanan SIRCLO nantinya akan mendapat insentif menarik dengan menukarkan sampah hasil usaha, baik itu plastik, kardus, botol, kertas lainnya. Setelah pilot project ini selesai, insiatif ekonomi sirkular akan dikelola menjadi gerakan green economy. Kapasitasnya diperluas dengan menjangkau gudang SIRCLO, brand prinsipal, serta distributor yang bekerja sama dengan perusahaan.

“Dengan digitalisasi ekonomi sirkular, SIRCLO dan brand-distributor juga dapat memantau pergerakan sampah/carbon footprint hingga produk daur ulang yang dihasilkan. Besar harapan kami agar inisiatif ini berlangsung secara jangka panjang dengan berlandaskan nilai-nilai untuk melestarikan lingkungan hidup,” tutup Jiwo.

Kerja sama B2B bagi MallSampah

Founder & CEO MallSampah Adi Saifullah Putra menuturkan, perusahaan sebagai circular economy platform tidak hanya memfasilitas masyarakat secara individu atau B2C saja, tapi juga mencakup B2B melalui penyediaan teknologi pada sektor-sektor strategis, khususnya FMCG, F&B, e-commerce, dan lainnya.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kesadaran terhadap pengumpulan dan pendaurulangan sampah yang bertanggung jawab membutuhkan solusi hand-in-hand pada semua pemangku kepentingan, termasuk UMKM agar terampil dan konsisten dalam memulihkan produk pasca-konsumsi.

“Sebagai inovasi digital yang mengoptimalkan implementasi sistem manajemen persampahan berbasis ekonomi sirkular, MallSampah berkolaborasi dengan SIRCLO untuk memperkenalkan sistem daur ulang sampah yang real-time dan efisien secara masif dengan pendekatan bottom-up dan berdampak ekonomis serta tetap menjaga keberlangsungan lingkungan,” ucap Adi.

Untuk B2B, salah satu inisiatif yang dilakukan bersama Kopi Soe dengan merilis MallSampah Reverse Machine (RVM) atau disebut dengan Ms Box. Inovasi yang diresmikan pada akhir tahun lalu ini merupakan alternatif dari fitur drop off di aplikasi MallSampah yang memungkinkan konsumen dapat mendaur ulang mulai dari satu cup plastik.

Setelah melalui riset yang cukup matang yang selama ini ditemukan di negara maju, Ms Box yang dikembangkan perusahaan dapat diadopsi oleh UMKM dan mudah diakses oleh masyarakat. Pada umumnya, RVM menggunakan mesin sensor dan sumber daya listrik, namun Ms Box menggantinya dengan fitur Ms Box dan teknologi di aplikasi MallSampah.

“Hal ini membuat RVM dari MallSampah 50%-70% lebih terjangkau dari RVM pada umumnya. Strategi ini sengaja kami ciptakan agar RVM dapat diadopsi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Setiap botol yang ditukar oleh user terkonversi menjadi Ms Point yang dapat di-redeem dengan berbagai voucher menarik di merchant partners, termasuk menukarnya menjadi e-wallet,” ucap Adi secara terpisah dikutip dari blog perusahaan.

Botol yang telah ditampung di dalam box akan dijemput oleh mitra kolektor Mallsampah dan dipastikan berakhir di industri daur ulang untuk diproses kembali menjadi bahan baku dan barang baru. Sistem Ms Box ini dapat berjalan dengan baik karena adanya pihak yang bekerja sama, dalam hal ini Kopi Soe. Mallsampah akan melakukan monitoring secara berkala pada boks percontohan ini agar dapat hasil yang maksimal dalam pengimplementasiannya.

Adapun jenis sampah yang dapat dimasukkan ke dalam Ms Box adalah seluruh jenis PET dan PP, atau lebih sering dikenal dengan botol bekas air minum kemasan dan cup plastik boba. Masyarakat hanya perlu mengunduh aplikasi Mallsampah di Play Store atau App Store.

Adapun untuk implementasi manajemen pendaurulangan sampah yang dilakukan oleh MallSampah terbagi menjadi tiga model, yakni MallSampah App, MallSampah for Brands, dan MallSampah for Government. Hingga kuartal III 2022, diklaim perusahaan telah menjangkau lebih dari 50.000 recycler users dan telah digunakan oleh berbagai brand ternama seperti Coca Cola, Nutrifood, Tokopedia, Gojek, The Body Shop, Sociolla, PUPR, Le Minerale, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kopi Soe, dan lainnya.

Sementara itu, perusahaan telah memberdayakan dan mendigitalisasi pekerjaan lebih dari 600 kolektor lokal, 100 ton sampah terdaur ulang, dan mengurangi 45.000 emisi karbondioksida setiap bulannya.

Di Indonesia sendiri, semakin banyak startup yang mencoba menyelesaikan isu pengelolaan sampah, ada Gringgo, Waste4Change, OCTOPUS, Duitin, Jangjo, Rekosistem, dan masih banyak lagi.

Application Information Will Show Up Here
Startup Waste Management Indonesia Jangjo

Platform Manajemen Sampah “Jangjo” Memperoleh Pendanaan Tahap Awal dari Darmawan Capital

Platform manajemen sampah Jangjo mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed) dari Darmawan Capital dengan nominal yang dirahasiakan. Melalui investasi ini, Jangjo ingin memodernidasi proses pengelolaan sampah dengan mendorong kolaborasi stakeholder melalui teknologi sehingga memberikan keuntungan secara ekonomi maupun dampak ke lingkungan.

Sebagai informasi, Jangjo dipimpin oleh Joe Hansen (Co-founder dan Commisioner), Nyoman Kwanhok (Co-founder dan CEO), Eki Setijadi (COO), dan  Hendra Yubianto (CMO).

Sementara, Darmawan Capital merupakan perusahaan investasi yang berfokus untuk menciptakan sustainable growth di ekosistem digital Indonesia. Beberapa portofolionya antara lain Indodax, Lyfe, DokterSehat, Udana, Kredibel, Nobi, Farmaku, dan Tokenomy.

“Investasi di Jangjo membuktikan bahwa pengelolaan sampah mulai menarik bagi investor, baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi,” tambah Co-founder & Commisioner Jangjo Joe Hansen dalam keterangan resminya

Lebih lanjut, Co-founder & CEO Jangjo Nyoman Kwanhok mengungkap permasalahan utama pada pengelolaan sampah di Indonesia adalah tidak terintegrasinya stakeholder di ekosistem ini. Maka itu, Jangjo ingin menciptakan solusi pengelolaan sampah yang berkelanjutan dengan konsep sirkular ekonomi demi menghubungkan para stakeholder.

Stakeholder yang dimaksud melingkup penghasil sampah (masyarakat), pengangkut sampah (operator), tempat singgah sampah sementara (hub), dan pengelolaan sampah (industri). “Kami menargetkan dapat meningkatkan proses daur ulang hingga 20 kali lipat, dan menciptakan ekosistem sirkular ekonomi lewat platform Jangjo,” tutur Nyoman.

Untuk mengatasi masalah di atas, ujarnya, Jangjo mengembangkan solusi utama, yakni edukasi pemilahan dan pengangkutan sampah terpilah untuk wilayah Jakarta. Warga yang teredukasi memilah sampah dapat menggunakan jasa penjemputan sampah untuk didaur ulang oleh industri

Edukasi pemilahan sampah dilakukan secara door-to-door untuk kawasan residensial. Kemudian, Jangjo Rangers akan melakukan pencatatan data sampah pilah lewat aplikasi.

Saat ini, Jangjo menyalurkan 55 macam produk untuk didaur ulang, termasuk sterofoam, kaca beling, dan minyak jelantah. Dari setiap proses pengambilan sampah terpilah ini, warga akan mendapatkan berbagai reward, seperti saldo e-wallet atau minyak goreng.

Tantangan pengelolaan sampah

Dalam pemberitaan sebelumnya dengan DailySocial.id, perwakilan Waste4Change Bijaksana Junerosano menyoroti tantangan dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Salah satunya adalah ongkos pengelolaan sampah terlalu murah dibandingkan tanggung jawab yang harus diemban. Apabila ada kenaikan biaya, hal ini akan menuai protes dari warga.

Pria yang karib disapa Sano ini mengungkap, jika ingin mendorong ekosistem pengelolaan sampah, aspek pembiayaan harus lebih baik sehingga tidak melulu bergantung pada anggaran pemerintah yang terbatas.

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat sebanyak 337,33% sampah di Ibu Kota berasal dari rumah tangga di 2020. Sumber sampah terbanyak lainnya berasal dari pasar (16,35%), kawasan (16%), perniagaan (7,29%), fasilitas publik (5,25%), dan perkantoran (3,22%). Survei Waste4Change menambahkan bahwa pandemi Covid-19 di 2020 memicu peningkatan jumlah sampah di kategori rumah tangga.

Di tengah-tengah tantangan tersebut, para pelaku startup mulai mengambil inisiatif dan tertarik untuk meningkatkan dampak lingkungan melalui teknologi. Selain Jangjo yang fokusnya mendaur ulang dari sampah pilah, ada juga WLabku yang mendaur ulang limbah tebu sebagai pakan ternah (bagasse). Wlabku juga didukung oleh Gayo Capital.

Kemudian, Duitin mengembangkan layanan digital yang memfasilitasi daur ulang dan memungkinkan masyarakat dapat meminta pengambilan sampah di rumahnya dan mendapatkan reward. Duitin merupakan startup lulusan program akselerator Google pertama di Indonesia.

Powerbrain Manajemen Energi IoT

Powerbrain “Menghijaukan” Bangunan Lewat Manajemen Energi Berbasis IoT

DailySocial.id kembali mengeksplorasi jejak pelaku startup berdampak (impact) di Indonesia yang membawa misi terhadap peningkatan kualitas hidup dan lingkungan. Kali ini, kami berkesempatan berbincang dengan Founder & CEO Powerbrain Irvan Farasatha.

Sekilas informasi, Powerbrain berdiri di awal 2020 dan menawarkan solusi smart energy management berbasis IoT dan aplikasi bagi segmen bangunan di Indonesia. Powerbrain juga terpilih sebagai salah satu finalis peserta program Startup Studio Indonesia oleh Kementerian Kominfo.

Berawal dari pengalamannya bekerja di perusahaan terdahulu di bidang energi, Irvan terinspirasi untuk berkontribusi terhadap penghematan energi di Indonesia demi mengurangi efek pemanasan global.

Seperti diketahui, penggunaan listrik dan panas lewat pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu faktor utama yang memicu global warming. Indonesia memang telah menerapkan penggunaan energi terbarukan, tetapi baurannya baru mencapai 11,5% menurut data Badan Pusat Statistik di 2020.

Sementara, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik di Tanah Air mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021 atau setara dengan 92,2% dari target 2021 sebesar 1.203 kWh per kapita.

Bagaimana Powerbrain dapat mengoptimalkan operasional bisnis melalui sistem manajemen energi cerdas dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi?

Awal mula

Ketertarikan Irvan Farasatha untuk berkontribusi terhadap pengurangan efek pemanasan global bermula ketika ia bekerja di HydroSmart Srl, sebuah perusahaan di bidang energi terbarukan berbasis di Italia. Saat itu, ia menggarap proyek untuk memonitor, melacak, dan mengoptimalkan konsumsi energi.

Irvan terpikir untuk menerapkan proyek ini di Indonesia karena sesuai dengan visinya dalam mendukung upaya zero carbon emission. Melihat perkembangan kondisi pemanasan global, Indonesia berpotensi terdampak signifikan mengingat posisinya sebagai negara tropis dengan suhu panas dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

“Saya pikir [proyek] ini dapat diimplementasi di Indonesia. Along the way, saya bertemu dengan Rilwanu Lukman (Co-founder) untuk mendirikan bisnis [Powerbrain] ini,” ungkap Irvan.

Mengutip sebuah riset, ia mengatakan bahwa efek pemanasan global utamanya dipicu oleh aktivitas yang bersifat energy activation process, 30% disumbang dari industri manufaktur, 20% dari transportasi, dan 20% dari pemakaian listrik untuk barang elektronik.

Dengan terlibat dalam upaya mendukung zero carbon emission, ujarnya, ia bisa saja beralih ke pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, bukan berarti harus masuk ke produksi energi terbarukan (renewable). 

Menurutnya, di lingkup energi terbarukan, Irvan menilai masih ada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah intermitensi atau ketidakmampuan pembangkit listrik energi terbarukan untuk menghasilkan energi secara terus menerus.

Pain point

Di 2020, Irvan, Rilwanu, dan timnya mulai mengembangkan smart energy management sebagai solusi penghematan konsumsi energi pada bangunan.

Berdasarkan riset yang dilakukan, ia menemukan bahwa pemilik usaha atau bangunan kecil dan medium jarang menerapkan sistem manajemen energi. Pada bangunan berskala besar, sistem semacam ini memang terpasang, tetapi penerapannya kurang optimal karena mungkin pengetahuan pekerja terbatas.

Di samping itu, ia juga menemukan pemilik bangunan jarang mempekerjakan building manager dengan keahlian optimalisasi energi. Posisi ini istilahnya semacam versi digitasi dari energy manager untuk bangunan. Ada opsi lain, misalnya menyewa engineering team, tetapi biayanya tidak murah.

Menurutnya, manajemen energi identik dengan labor-intensive process dan capital-intensive process. Artinya, butuh proses kerja dan modal yang besar untuk mencapai sebuah hasil.

Sumber: Powerbrain

“Untuk itu, kami memulai dari kecil, mengumpulkan data terkait konsumsi energi. Di sini, kami dapat membantu pelaku bisnis untuk mengoptimalkan konsumsi energi mereka. Kami melihat banyak bangunan yang konsumsi energinya melebihi dari kemampuan optimal,” ujarnya.

Hipotesis Irvan adalah setiap pelaku bisnis ingin menghemat energi tanpa perlu mengganggu aktivitas di bangunan tersebut. Biayanya lebih terjangkau dan tidak lebih besar dibandingkan pengurangan energi yang bisa didapatkan oleh pemilik usaha atau gedung.

Produk yang ditawarkan

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor), automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi dan menghemat biaya opex, serta aplikasi berbasis web dan mobile untuk memantau dan melacak konsumsi listrik.

“Kami melihat kebutuhan data di sektor energi sangat besar. Ketika kita memutuskan untuk menuju zero emission carbon, data akan menjadi fundamental,” ucapnya.

Dari ketiga produk ini, hanya software dan backend yang digarap sendiri oleh Powerbrain untuk mendukung transfer data dan analitik. Sementara, perangkat IoT-nya diproduksi dan diimpor dari Tiongkok.

Solusi Powerbrain tidak dikembangkan secara kustom, kecuali untuk jumlah instalasi perangkat. Pengguna juga tidak dikenakan biaya instalasi perangkat, melainkan lewat model berlangganan per bulan dengan maksimal target penghematan energi sebesar 30%. Powerbrain menggunakan skema profit sharing dari penghematan yang dihasilkan.

Contoh penghematan energi oleh klien Powerbrain / Sumber: Powerbrain

Pada salah satu use case-nya, penggunaan Smart Relay (salah satu perangkat Powerbrain) yang terintegrasi dengan server dapat memampukan cooler untuk bekerja secara full-load selama jam operasional. Di luar jam operasional, Smart Relat bisa menjaga temperatur dalam suhu ruang dengan menyesuaikan compressor. Pemilik usaha dapat menghemat 40% atau Rp1,7 juta per tahun.

Saat ini, Powerbrain dijalankan oleh tujuh orang, termasuk di antaranya Irvan dan Rilwanu. Di sepanjang 2021, Powerbrain telah mendapatkan 60 proyek instalasi, di mana 90% berasal dari kawasan Jabodetabek.

Pendanaan dan scale up

Di tahun pertamanya mengembangkan Powerbrain, Irvan mengaku mengalami kesulitan untuk mengakselerasi bisnisnya. Hal ini disebabkan oleh belum siapnya pasar dalam memahami pentingnya konsumsi energi. Ini juga yang membuat sales process di Powerbrain cukup panjang karena perlu upaya edukasi pasar.

Kedua, sektor energi merupakan salah satu industri raksasa di dunia. Jika bicara soal peralihan ke energi terbarukan saja, misalnya, prosesnya tidak mudah dan memakan waktu karena produknya tidak 100% digital. Adopsinya tidak akan bisa secepat disrupsi pada e-commerce yang platformnya mencakup one-for-all.

“Energi termasuk high-risk tolerance dalam konteks inovasi. Masyarakat pun memiliki risk tolerance yang tajam terhadap error di bidang energi. Bayangkan saja jika ada kesalahan sedikit terhadap transmisi energi, hal ini bisa berpotensi blackout. Dampaknya sangat signifikan terhadap bisnis, bisa rugi ratusan juta atau miliar rupiah dalam beberapa detik,” paparnya.

Ketiga adalah sumber permodalan. Venture Capital belum banyak yang tertarik berinvestasi ke sektor ini karena isu skalabilitas bisnis. Kendati begitu, Powerbrain mengandalkan bootstrapping serta berhasil memperoleh pendanaan dari program bootcamp Shell LiveWIRE dan angel investor untuk menggerakkan bisnisnya. “Malahan, baru-baru ini kami menutup pendanaan pre-seed. Namun, kami belum bisa sebutkan nilai dan investornya,” tuturnya.

Untuk mengukur pertumbuhan bisnis, Powerbrain menggunakan metrik pendapatan dari instalasi perangkat dan software di bangunan. Adapun, metrik dampak diukur dengan mengacu pada penghematan konsumsi energi yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap zero emission carbon.

Standardisasi produk

Mengingat model bisnis ini masih terbilang baru, Irvan menargetkan pendanaan ini difokuskan untuk standardisasi perangkat dan memperkuat lini produk. Terlebih, bisnis di bidang manajemen energi terbilang risiko tinggi sehingga membutuhkan SNI.

“Di 2022, kami akan memperkuat produk dan energy analytic karena kami ingin mengejar another milestone dengan target sales lebih dari Rp5 miliar. Tahun lalu, kami generate more than Rp1 miliar di 2021,” ujarnya.

Secara business nature, ungkapnya, kegiatan operasional Powerbrain tidak membakar uang untuk mengakuisisi pelanggan. Artinya, Powerbrain tidak perlu melakukan fundraising berkali-kali.

“Kami ingin coba menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang memiliki extensive product di energy analytic. Kami akan siapkan infrastrukturnya di tahun ini. Kalau berjalan dengan lancar, rencananya kami ingin masuk ke infrastruktur data untuk kendaraan listrik di tahun mendatang.”