Tag Archives: Startup Legal Clinic

Ivan Lalamentik

Startup Legaltech Lexar Bantu Pendiri Bisnis Urus Berbagai Perizinan

Aspek legal sering jadi permasalahan serius yang dihadapi pengusaha ketika hendak memulai bisnis, termasuk bagi startup. Hal tersebut yang melatarbelakangi lahirnya Lexar sebagai startup yang bergerak di bidang hukum (legaltech). Didirikan oleh Ivan Lalamentik, visi utamanya menjadi penyedia solusi legal terpadu.

Lexar mulai beroperasi pada 2015 lalu dengan nama awal Startup Legal Clinic dan berganti nama seperti sekarang per April 2018. Keseriusan Lexar menatap bisnisnya seiring dengan keinginan pemerintah untuk mempermudah laju bisnis di Indonesia. Saat ini layanan Lexar dapat diakses melalui platform berbasis web.

Target utamanya kalangan UKM atau startup tahap awal yang masih awam mengenai hukum. Salah satu layanan utama mereka adalah pendirian perseroan terbatas (PT) secara online.

Ivan mengatakan, pada dasarnya Lexar merupakan service provider, bukan marketplace. Dalam hal pendirian PT ini, mereka akan bekerja dengan mitra yang sudah terkurasi. Kecuali tanda tangan dokumen, pengerjaan dokumen, hingga pengurusan ke badan-badan pemerintah terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal Pajak semua dilakukan oleh Lexar tanpa bertatap muka dengan pelanggannya.

Ivan mengklaim Lexar dapat mengerjakan pendirian PT dengan durasi satu hingga dua pekan. Ketika waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan PT pada waktu lampau yang bisa mencapai 2-3 bulan, Ivan menyebut tak sedikit pelanggan mereka yang terkejut akan cepatnya layanan legaltech mereka.

“Bahkan pernah rekor kita mengerjakan ini cuma 4 hari,” imbuh Ivan yang juga berperan sebagai Managing Director Lexar.

“Target kita memang ease of doing business. Kita support banget pemerintah punya plan.”

Pemerintah memang berambisi mengerek level kemudahan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2016 silam yang menargetkan Indonesia menempati peringkat 40 dalam kemudahan berbisnis (EODB) pada 2020.

Kenyataannya, harapan Jokowi itu belum terkabul. Laporan Bank Dunia tahun ini menunjukkan kemudahan berbisnis Indonesia berada di peringkat 73 dengan skor 69,6. Meskipun skor tersebut naik sedikit dibanding laporan tahun lalu, peringkat Indonesia dalam laporan ini tak bergerak. Kita pun masih tertinggal oleh negara-negara Asia Tenggara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Model bisnis

Lexar memiliki tiga model bisnis yang terdiri dari transaction-based, subscription-based, dan referral. Layanan berdasarkan transaksi ini termasuk salah satu di antaranya pendirian PT tadi.

Lexar membanderol mulai dari Rp9 juta untuk bantuan legal pendirian PT. Layanan lainnya seperti pendirian PT PMA mulai dari Rp5 juta, pengurusan administrasi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Rp3 juta, perlindungan HAKI mulai dari Rp2,5 juta, hingga pengurusan Kartu Izin Tinggal Terbatas Sementara (KITAS) untuk warga negara asing dengan harga Rp13 juta.

Sementara untuk layanan hukum berbasis langganan menurut Ivan lebih ditujukan kepada usaha yang mengalami pertumbuhan cepat sehingga butuh bantuan legal yang memadai.

“Jadi biasanya habis mereka berdiri kita bantuin setup infrastruktur legal mereka sampai akhirnya mereka bisa hire dan lempar ke orang yang akan di-hire nanti, itu model subscription,” lanjut Ivan.

Terakhir, model referral menghubungkan kebutuhan pelanggan dengan penyedia jasa lain yang diperantarai oleh Lexar. Umumnya layanan yang dibutuhkan masih berkaitan dengan pendirian PT semisal mencari kantor virtual atau pembuatan rekening perusahaan. Dari jasanya ini, Lexar akan mendapat imbalan dari transaksi yang terjadi.

Pendanaan

Model bisnis demikian menandakan sejak awal Lexar fokus mencari profit ketimbang membesarkan valuasi perusahaan. Ini sebabnya selama 4 tahun beroperasi status pendanaan Lexar masih bootstrap. Tim mereka pun tergolong ramping.

Kendati begitu, Ivan memastikan Lexar segera menggelar pengumpulan dana untuk seed funding pada bulan depan setelah satu setengah tahun berkiprah sebagai legaltech. Ia mengupayakan investor mereka nanti akan diikuti oleh venture capital, angel investor, firma hukum, ataupun individu yang punya pengaruh dalam industri legal.

“Tapi kita enggak jual ide karena kita sudah ada traksi, sudah ada revenue, sudah ada barang yang sudah jadi,” tegasnya.

Perusahaan Teknologi Bidang Hukum Inisiasi Pendirian Asosiasi “Regtech” dan “Legaltech” Indonesia

Sejumlah perusahaan teknologi bidang hukum menginisiasikan pendirian asosiasi khusus industri hukum dinamai Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia (Indonesian Regtech and Legaltech Association IRLA). Pendirian asosiasi ini menjadi upaya untuk mendorong masyarakat Indonesia yang melek hukum dan mendorong terciptanya inovasi baru.

Perusahaan yang bergerak sebagai inisiator pendirian asosiasi ini, di antaranya Lawble, Privy.id, LegalGo, PopLegal, Startup Legal Clinic, dan eClis.id.

Regtech adalah smart legal tool yang menggunakan teknologi inovatif untuk membantu masyarakat dan bisnis pada umumnya memahami dan patuh terhadap peraturan yang berlaku. Sementara legaltech itu mencakup segala jenis produk dan jasa yang berkaitan pada layanan inovatif berbasis teknologi untuk meningkatkan pelayanan dalam hal legalitas.

Asosiasi ini menjadi wadah untuk berbagai perusahaan yang bergerak di sektor hukum dengan satu tujuan, yaitu peningkatan literasi dan edukasi tentang hukum. Juga, sebagai mitra masyarakat untuk berhubungan dengan regulator dan pemerintah.

Masyarakat dapat berhubungan langsung dengan asosiasi untuk pemahaman hukum, sehingga diharapkan tidak ada lagi multiinterpretasi pada suatu legalitas atau regulasi.

Dalam prakteknya, asosiasi akan banyak berurusan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham) dan kementerian lainnya, semisal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Pemahaman hukum sangat penting bagi negara yang sedang berkembang. Fokus utama kami adalah edukasi masyarakat, bukan pelayanan bisnis kepada para pebisnis, praktisi hukum, dan sebagainya. Apabila kita memakai baju asosiasi, kita akan melepas seluruh atribut bisnis kita karena itulah tujuan dari IRLA dibentuk,” terang Ketua Umum IRLA dan CEO Lawble Indonesia Charya Rabindra, Senin (18/9).

Kesadaran regulasi dan hukum masih minim

Menurut Charya, hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun sayangnya, tingkat pemahaman masyarakat masih sangat rendah. Tercermin dari kurangnya kesadaran membayar pajak.

Regtech dan legaltech memang merupakan industri yang masih asing di telinga orang Indonesia, tetapi industri ini mencakup hampir segala sektor yang berkaitan dengan hukum dalam masyarakat. Terlebih, sejak hadirnya teknologi digital yang telah menjangkau berbagai sektor mulai dari finansial, transportasi, imigrasi, jasa, dan sebagainya.

Menurutnya, dengan adanya bantuan teknologi yang mumpuni, hukum bukan lagi menjadi sesuatu yang kompleks dan bisa dihindari. Melainkan menjadi sesuatu yang ingin dipahami dan dicari tahu oleh masyarakat.

Melihat fenomena tentang perspektif hukum yang komplek, memunculkan timbulnya urgensi untuk membentuk asosiasi khusus membidangi industri hukum. Dia berharap, lewat asosiasi akan menyatukan segala usaha dari berbagai pihak untuk modernisasi sektor hukum di Indonesia.

Program kerja asosiasi

Dalam program kerja, IRLA mendorong inovasi, memfasilitasi integrasi dan kolaborasi di seluruh ekosistem regtech dan legaltech dalam skala global. Salah bentuknya adalah mengadakan komunikasi rutin dan advokasi intensif dengan regulator di tingkat nasional maupun internasional.

Anggota dapat memperluas jaringan dan membuka peluang kolaborasi antara sesama dalam meningkatkan pertumbuhan regtech dan legaltech di Indonesia. Selain itu, anggota dapat mengakses data dari lembaga nasional maupun internasional yang bekerja sama dengan asosiasi. Asosiasi juga akan menggaet beberapa universitas untuk meningkatkan literasi mengenai bidang ini.