Tag Archives: Startup Life

Para pekerja "remote working" menceritakan suka dan duka pengalamannya bekerja di startup

Suka Duka Bekerja secara “Remote Working”

Bekerja di startup umumnya menawarkan pilihan kepada karyawan untuk kebebasan bekerja di mana saja alias remote working.  Hal ini menjadi berkah buat orang-orang yang ingin melarikan diri dari suasana kubikel, ingin tetap fokus kerja dengan sengaja menjauhi “gosip” dari rekan kantor, dan berbagai alasan lainnya.

Meskipun demikian, untuk para atasan, ada pekerjaan ekstra untuk memantau karyawannya agar tetap fokus kerja dan menyelesaikannya secara on time. Meski berkesan manis, pada praktiknya konsep remote working tidak semudah yang dibayangkan. Pasti ada suka dan dukanya.

DailySocial mengompilasi curahan enam pekerja startup dari berbagai latar belakang yang kesehariannya bekerja remote, bagaimana tips agar tetap produktif dan duka yang dialami sebagai pegawai yang bekerja di luar kantor. Berikut ini rangkumannya:

Tips remote working yang produktif

1. Selalu menjaga komunikasi

Ryza, yang bekerja sebagai jurnalis di sebuah startup media, menjelaskan, komunikasi adalah unsur terpenting harus dijaga ketika bekerja remote. Komunikasi ini, menurutnya, akan membuat koordinasi kerja dengan rekan jadi lebih optimal. Down side-nya, dia harus sepenuhnya bergantung pada koneksi internet. Ada tiga back up koneksi yang dia siapkan agar tetap terhubung di dunia maya.

“Dari awal emang sudah kerja remote, dulu itu takut banget kalau ada salah. Tapi seiring waktu, sadar kalau yang penting itu koordinasi dan komunikasi, makanya ‘up time’-nya harus 100%,” ujarnya.

Kebutuhan koneksi internet yang handal untuk berkomunikasi menjadi hal yang krusial. Menurut Bambang, yang bekerja di startup yang sama, setiap minggunya selalu ada meeting mingguan bersama seluruh tim dengan video conference. Karena koneksi internet yang tidak selalu baik di rumahnya, ia hanya bisa menangkap paling banyak 40% informasi yang disampaikan.

“Bukan karena tidak mengerti, tapi lebih karena alat yang kurang optimal dalam menghantarkan suara dan gambar. Walaupun tentu ada faktor lain di luar ini yang ikut berperan, seperti kualitas koneksi dan peralatan saya,” tutur Bambang.

Wynee yang berprofesi sebagai konsultan komunikasi mengamini hal ini. Menurutnya, komunikasi itu hal terpenting yang harus dijaga oleh orang-orang yang bekerja remote. Tak apa kerja dari luar, asalkan selalu responsif dan gampang dihubungi tim.

“Biar enggak nyusahin tim [kalau susah dihubungi],” terangnya singkat.

2. Punya jam kerja

Biasanya pekerja remote, terutama yang bekerja di rumah, memiliki jam kerja yang “abu-abu”. Tidak ada batasan 9-to-5 ala pekerja kantoran. Anisa, yang kesehariannya berprofesi sebagai jurnalis bercerita, kantornya memberi kebebasan bagi tim redaksi untuk bekerja di mana saja, mau di rumah, co-working space atau melancong ke tempat yang diinginkan.

Sebagai batasan, tim menetapkan jam kerja yang tetap setiap harinya. Dalam kurun waktu tersebut, tiap anggota tim harus selalu available untuk bekerja. Secara rutin, mereka melakukan meeting melalui audio atau video call.

“Selain hal-hal yang bersifat teknis, seperti salah paham karena koneksi internet buruk ketika berkomunikasi, sebenarnya kerja remote itu menuntut karyawan untuk mandiri dan memiliki inisiatif tinggi.”

Agak berbeda, Adimas, seorang konsultan IT, menjelaskan, perusahaannya membolehkan karyawannya untuk kerja remote asalkan mengisi timesheet mingguan. Itu pun hanya berlaku untuk pekerjaan yang bisa diselesaikan sendiri. Untuk pekerjaan yang butuh brainstorming dengan tim, apalagi berkaitan dengan ide kreatif, sebaiknya dilakukan tatap muka.

Ketika mengisi timesheet, dia harus mengisi hari dan kegiatan yang dilakukan sepanjang hari itu. “Terkait masalah jam kerjanya, professionally responsible aja sih,” terangnya.

3. Ajang aktualisasi diri

Di luar keseharian kerja, apabila memungkinkan, bisa menjadi ajang aktualisasi diri untuk mengembangkan diri. Bambang mengaku, seringkali dia dilibatkan dalam proyek lain di luar editorial, yang sebenarnya dia cukup antusias melakukannya.

Pasalnya, seperti manusia pada umumnya, dia butuh suasana baru agar kesehatan mental lebih terjaga. Sebagai pekerja remote yang tidak banyak terlibat secara sosial di kantor, aktualisasi diri dengan dunia luar adalah hal yang sangat baik.

Meskipun demikian, hal ini jangan sampai membuat Anda jadi gegabah. Menurut pandangan Anisa, terkadang kebebasan yang diberikan dari bekerja remote itu membuat orang jadi gegabah dalam mengambil proyek sampingan. Jika tidak bisa bagi waktu, hal ini justru bisa mengganggu performa pekerjaan utama.

4. Kreatif dengan platform

Ada sejumlah platform yang bisa membuat Anda tetap terhubung dengan atasan. Anisa menyebut platform yang biasa dipakainya saat bekerja adalah Slack dan Asana. Keduanya cukup populer dipakai oleh perusahaan teknologi.

Beda halnya dengan Mayank yang bekerja di sebuah agensi komunikasi. Platform yang bisa ia pakai saat kerja adalah Google Sheet dan Google Slide. Dari situ, tim bisa saling memberi komentar agar koordinasi bisa lebih cepat. Aplikasi untuk video conference call juga paling banyak dimanfaatkan saat meeting mingguan dengan tim.

Apabila ada salah satu anggota tidak bisa ikut, setidaknya anggota lainnya perlu membuat penjelasan singkat dan jelas dalam sebuah dokumen apa saja pekerjaan yang harus diselesaikan.

“Biasanya kan kalau mau setup campaign ada planned budget yang mau di-burn. Nah itu perlu dijelaskan pakai platform apa, best practice dari campaign sebelumnya bagaimana, materi yang bagus seperti apa menurut platform-nya. Tapi itu semua bisa di-set online dokumennya,” ujar Mayank.

Stigma remote working

1. Masih mendapat citra negatif

Anisa bercerita, di Indonesia masih ada stigma sosial tertentu terhadap orang yang kerja remote. Dari pengalaman pribadinya, ada seorang kenalan yang terpaksa menolak tawaran untuk kerja remote karena keluarganya takut mengira dia menganggur.

Selain itu, masih ada juga yang menganggap kerja remote itu sebagai “kerja santai” yang kurang menghasilkan dari segi gaji. Stigma seperti ini pada akhirnya bisa mempersulit perusahaan untuk cari kandidat yang tepat dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, dia memastikan profesional yang ingin kerja remote harus memiliki support system yang layak, entah melalui keluarga, teman, komunitas, atau perusahaan itu sendiri.

Perusahaan harus mau berinvestasi dalam fasilitas yang dukung kesehatan karyawan, seperti subsidi untuk kerja di coworking space pilihannya atau mengadakan office outing.

Ryza tak menampik ketika dirinya baru bekerja secara remote, ia pernah menjadi bahan gosip tetangganya.

“Tapi itu pas awalnya saja sih [sekarang sudah tidak].”

2. Butuh pertemuan rutin

Dalam setahun, Bambang hanya ke kantor tiga sampai empat kali. Frekuensi tegur sapa yang sangat jarang di dunia nyata, membuat Bambang harus beradaptasi di setiap bertemu rekan kantor. Ritme pergantian karyawan baru di startup biasanya cukup tinggi, yang mau tak mau membuatnya harus perlahan-lahan membaur dengan kondisi.

“Ada momen di mana saya merasa tidak mengerti apa yang dibicarakan rekan-rekan di kantor. Situasi ini memaksa saya untuk lebih banyak mendengarkan sebelum benar-benar ikut mengalir dalam perbincangan.”

Dia melanjutkan, “Makanya sebisa mungkin terapkan pertemuan untuk pekerja remote yang sifatnya rutin, bukan cuma insidental. Misalnya buat pertemuan rutin dua kali setahun, di luar outing atau event. Harapannya untuk memperkuat ikatan antara pekerja remote dan rekan kantor. Dengan atasan juga.”

Anisa menuturkan, hanya ada enam orang yang bekerja di kantor pusat. Selebihkan bekerja di tanah air masing-masing — kantornya diisi pegawai multinasional. Kegiatan tahunan yang digelar kantornya jadi ajang untuk saling mengenal satu sama lain.

3. Tidak semua orang cocok kerja remote

Meski terlihat kerja remote mengasyikkan, tapi menurut Anisa tidak semua orang cocok dengan hal tersebut. Dia menganggap kerja remote lebih cocok untuk profesional yang sudah pengalaman kerja minimal dua atau tiga tahun dan tidak disarankan untuk fresh graduate.

Dia beralasan, fresh graduate butuh pengawasan dan bimbingan yang lebih intens dibandingkan yang sudah punya pengalaman kerja. Apalagi, kemandirian adalah faktor yang penting dalam kerja remote.

Pada akhirnya, semua yang terlihat menyenangkan itu tidak selalu manis di tiap momennya. Tinggal bagaimana Anda menyiasatinya. Jangan sampai kebebasan kerja remote jadi bumerang yang mengacaukan koordinasi tim.

Empat Hal yang Wajib Diperhatikan Perempuan Sebelum Bekerja di Startup

Saat ini sudah banyak perempuan yang tertarik untuk bekerja di startup. Apakah untuk mengisi posisi jajaran engineer, pemasaran hingga tim media sosial. Meskipun dominasi tetap ada di kalangan pria, namun dunia startup menawarkan banyak kemudahan dan tentunya suasana kerja yang dinamis, cocok untuk Anda perempuan Indonesia yang ingin bekerja di startup.

Artikel berikut ini akan mengupas 4 hal yang wajib diketahui oleh perempuan, jika tertarik untuk bekerja di startup.

Kultur startup

Saat ini sudah banyak startup yang menerapkan kultur startup di kalangan internal. Hal tersebut memang banyak dianjurkan oleh para pakar hingga praktisi dan penggiat startup. Selain mampu menerapkan kerangka dan struktur perusahaan yang tepat, kultur perusahaan juga bisa menempatkan para pegawai hal-hal yang wajib dilakukan dan dihindari. Jika Anda perempuan tertarik untuk bekerja di sebuah startup baru atau yang sudah establish, baiknya cermati dulu kultur dari startup tersebut. Hal ini penting dilakukan, untuk memastikan karakter dan kebiasaan Anda, apakah cocok dengan kultur startup yang diincar atau tidak.

Perhatikan latar belakang dan berita terkini tentang startup

Cara lain yang wajib dilakukan adalah dengan melakukan pengecekan secara menyeluruh kondisi keuangan dan berapa banyak nilai dari startup yang Anda incar. Jangan hanya tergoda dengan fasilitas, kantor yang terlihat keren dan hip, namun ternyata tidak cukup mampu menghasilkan profit. Idealnya startup yang sehat adalah startup yang memiliki organisasi dan keuangan yang baik, sehingga Anda sebagai pegawai nantinya bisa merasa nyaman dan aman bekerja di startup tersebut.

Usia dan pengalaman dari CEO

Kebanyakan CEO dan pendiri startup adalah pria yang masih berusia muda. Meskipun terbukti sudah banyak startup yang berawal dari pengalaman minim serta usia belia dari CEO namun bisa sukses dan menjadi perusahaan besar saat ini (Facebook, Snapchat, Airbnb), namun hal tersebut bisa juga menyebabkan startup tidak bisa berjalan dengan baik, karena kurangnya pengalaman dari CEO. Untuk itu cari tahu lebih mendalam pengalaman, visi dan misi serta strategi yang dimiliki oleh CEO muda di startup yang Anda incar. Jika mereka mampu memperlihatkan potensi dan peluang yang ada, bisa dipastikan startup akan tumbuh dengan baik.

Perempuan di jajaran manajemen

Sebagai perempuan tentunya Anda bisa menilai secara langsung, kultur serta kebiasaan yang ada pada startup dari jajaran manajemen atau supervisor. Jika di startup tersebut tidak memiliki perempuan yang memegang peranan penting, bisa dipastikan startup tersebut kurang menghargai atau memerlukan peranan perempuan untuk memegang posisi kunci. Hal ini tentunya bisa menjadi penilaian yang krusial bagi Anda perempuan muda, yang berencana untuk bekerja di startup tersebut.

Beberapa Hal Yang Akan Ditemui Ketika Bekerja di Startup

Realitas sering kali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan dalam ekspektasi. Pun demikian realitas bekerja di startup, kendati merupakan sebuah startup populer, seperti yang diceritakan oleh Andrew Ettinger dalam tulisannya. Setidaknya ada empat hal yang diperkirakan, terkait dengan etos kerja di startup, yakni (1) seseorang akan bekerja keras, didukung dengan banyak hal di dalamnya, (2) ide keren menjadi kunci semuanya, (3) prioritas kerja yang mudah diatur, dan (4) komunikasi yang lebih terbuka.

Sayangnya pemikiran tersebut semakin lama ia berada di startup semakin terkikis. Lantas ada hal baru yang ia rasakan. Dan hal tersebut tampaknya juga umum terjadi kepada para pekerja (khususnya millennial) yang berada dalam sebuah lingkungan startup.

(1) Bekerja di startup tidak mudah, menantang, namun menyenangkan

Banyak hal yang akan dilakukan, setidaknya dicoba. Berpindah divisi menjadi hal yang tak sulit seperti korporasi. Kadang role yang digenggam tidak sama dengan kompetensi yang didapat semasa studi. Itu akan menjadi hal yang tidak mudah, bahkan sangat berat, lantaran harus mempelajari dari awal. Setiap hari akan selalu ada tantangan. Bagi beberapa orang yang memiliki “passion” di sana, bisa jadi hal ini akan menjadi hal yang sangat menyenangkan.

(2) Budaya startup berbeda, mampu beradaptasi adalah kuncinya

Menjadi sesuatu yang harus diperhatikan, bahwa kehidupan bekerja di startup erat kaitannya dengan anomali kultur di dalamnya. Semua akan bergerak begitu dinamis seperti bisnis digital itu sendiri. Kuncinya adalah mampu menyesuaikan dengan ragam perubahan yang akan sering terjadi, yang kadang juga berisiko. Saat sudah mampu beradaptasi, maka di situlah “jiwa berjuang dalam startup” mulai tertanam.

(3) Malu-malu akan membunuhmu

Ya, keterbukaan memang menjadi salah satu bagian dalam startup. Itupun akan sangat bergantung bagaimana tiap anggotanya menyikapi. Ide kreatif terkadang datang secara individual, oleh karenanya penting untuk tidak malu berbicara menyampaikan apa yang menjadi gagasan dalam benaknya, khususnya dalam inovasi produk dan strategi bisnis. Begitu juga sebaliknya, penerimaan terhadap gagasan orang lain juga perlu diterapkan dalam diri (open mind).

(4) Semua harus serba transparan

Memiliki tim yang kecil, produk yang spesifik hingga kompetisi yang sengit membawakan binsis harus bisa menjadi transparan. Membagikan apa yang ada dalam tubuh bisnis bukan berarti menyampaikan aib, justru menghadirkan banyak umpan balik yang baik untuk bisnis itu sendiri. Itu cakupan secara umum. Lebih spesifiknya transparansi juga penting diterapkan dalam manjerial dan komunikasi antar tim. Itulah startup, ketika semua harus tahu agar bisa berperan.

(5) Memiliki banyak rencana dan tanggung jawab

Ide yang muncul akan selalu menghadirkan to-do list baru, di luar penyempurnaan produk itu sendiri. Sikap tanggung jawab penting untuk dimiliki, sehingga semua dapat berjalan mulus. Keutuhan tim dalam startup juga bergantung pada masing-masing individu di dalamnya. Saat semua berjalan dengan baik, maka semua rencana akan mulus melaju, demikian sebaliknya.

5 Hal yang Wajib Diketahui Sebelum Bekerja di Startup

Bekerja di startup tidak selamanya penuh dengan fasilitas yang lengkap dan menyenangkan, jam kerja yang fleksibel hingga kebebasan mengenakan pakaian kerja. Diperlukan mental yang tebal serta kemampuan untuk beradaptasi dan bekerja dengan baik dalam tim.

Meskipun terlihat ‘menjanjikan’, kenyataannya bekerja di startup tidak selalu menghasilkan pendapatan yang besar, bonus yang berlimpah dan lainnya. Banyak risiko yang harus dihadapi jika Anda memutuskan bekerja di startup, seperti bisnis yang tidak bisa berjalan, efisiensi dan pengurangan pegawai, dan alasan lainnya.

Artikel berikut ini akan membantu Anda mempersiapkan diri paling tidak mendapatkan sedikit gambaran, seperti apa bekerja di startup.

Harus bisa menerima perubahan

Jangan heran ketika startup tempat Anda bekerja kerap berganti gedung kantor. Hal ini banyak terjadi di startup yang baru mulai membangun usahanya yaitu berpindah-pindah gedung kantor. Perubahan ini tentunya bisa menjadi hal yang membuat frustasi, apalagi untuk Anda yang terbiasa bekerja di perusahaan konvensional yang memiliki rutinitas serta dinamika bekerja yang sudah pasti.

Bisa bekerja secara multitask

Jika Anda memutuskan untuk bekerja di startup bersiaplah untuk melakukan pekerjaan secara ‘random‘ artinya jangan kaget atau heran ketika tugas Anda sebagai programmer misalnya diminta untuk membantu menjadi fotografer atau teknisi saat acara internal atau launching produk terbaru startup. Bekerja di startup artinya Anda harus siap dengan berbagai tugas atau tanggung jawab yang berbeda diberikan sewaktu-waktu. Jangan pernah menolak tugas ‘acak’ yang diberikan. Lakukan semua demi kemajuan startup.

Manfaatkan pengalaman serta wawasan pekerja senior

Saat ini kebanyakan startup didominasi oleh pekerja muda yang baru saja lulus universitas atau yang lebih dikenal dengan generasi millennial. Hal tersebut tentunya menjadikan suasana kerja sarat dengan anak muda yang terbilang masih baru, sedikit pengalaman dan kurang wawasan.

Saat startup sudah mulai berjalan, biasanya pihak investor hingga Founder akan memperkerjakan karyawan senior yang diharapkan bisa membantu dalam hal manajemen perusahaan hingga pengembangan produk. Ketika pekerja senior ini mulai masuk ke lingkungan kerja, manfaatkan pengalaman yang mereka miliki dengan semangat kerja ala startup yang tidak dibatasi dengan ruang kerja atau birokrasi yang biasanya banyak ditemui di perusahaan konvensional.

Luangkan lebih banyak waktu

Bekerja di startup artinya Anda harus meluangkan waktu lebih untuk menyelesaikan tugas yang ada. Jika Anda bisa memberikan kontribusi dengan bekerja lebih keras, pimpinan dan jajaran manajemen pastinya akan menyadari dan bakal memberikan penghargaan untuk Anda. Hal tersebut banyak terjadi di kultur perusahaan seperti startup, yang kerap memberikan recognition kepada karyawannya yang dinilai memiliki prestasi.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jangan terlalu tergantung dengan fasilitas lebih yang diberikan oleh perusahaan, misalnya minuman soda gratis, snack time atau cemilan gratis. Jika saatnya tiba, bisa jadi keuntungan lebih tersebut dihentikan oleh perusahaan.

Kemungkinan startup menutup bisnis

Saat ini sudah banyak startup yang dimasa awal mendapatkan perhatian, dana hingga model bisnis yang kuat terpaksa harus gulung tikar dalam tahun pertama bahkan mungkin setelah lima tahun berjalan. Hal tersebut merupakan kenyataan yang banyak terjadi di dunia startup berbasis teknologi. Untuk itu sebelum Anda memutuskan bekerja di startup, pastikan untuk mengetahui keuangan startup dalam jangka panjang, visi dan misi startup, hingga strategi yang diambil agar bisa bertahan.

Jika ternyata di masa awal Anda melihat startup sudah mulai menunjukkan kemunduran dan tidak memiliki arah yang pasti, jangan ambil kesempatan bekerja di startup tersebut.

Menghadapi Kompetisi Bisnis Startup

Kisah mengenai keberhasilan startup macam Facebook, Google, AirBnB dan beberapa lainnya memang layak untuk disimak. Selain untuk memotivasi diri dalam mengembangkan bisnis, menyimak kisah keberhasilan mereka juga bisa menambah referensi soal bagaimana kita menghadapi persaingan di startup. Terlebih untuk ekosistem startup yang masih dalam tahap berkembang seperti di Indonesia saat ini. Sangat penting untuk memahami bagaimana cara menangani kompetisi bisnis startup.

Kegelisahan dalam menghadapi persaingan startup bahkan terjadi sebelum startup belum terbentuk, sejak dalam ide, sejak dalam pikiran. Biasanya kegelisahan ini meliputi keinginan untuk segera melakukan eksekusi, mengeluarkan produknya dengan segera. Takut akan ada orang dengan pemikiran yang sama lebih dulu mengeksekusi idenya, kalah start.

Atau mungkin kegelisahan semacam dari pemikiran bahwa kejenuhan pasar akan kompetisi berimbas pada sulitnya meningkatkan akuisisi pelanggan, kesadaran terhadap layanan yang ada dan harga yang tinggi. Atau mungkin kegelisahan seperti brand yang diinginkan sudah ada di pasar, ketakutan terhadap pesaing dengan suntikan dana yang lebih besar dan lain sebagainya.

Ada beberapa cara untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi kegelisahan sehingga fokus bisa lebih banyak diberikan untuk perbaikan kualitas layanan dan hal berguna lainnya. Tahap pertama adalah mengubah cara pandang atau psikologi Anda. Ubah dari yang semula bisa menggunakan “Kami khusus . . .” pada saat awal mula peluncuran menjadi “Fitur kami mirip, hanya saja kami punya”.

Dengan mengubah perspektif ini Anda bisa datang memasuki kompetisi dengan (sedikit) lebih tenang. Anda tidak perlu berusaha untuk mengalahkan atau mengenalkan diri. Bisnis yang datang belakangan biasanya memenangi persaingan dengan menyuguhkan kualitas yang lebih bagus dibanding pendahulunya, menawarkan kemewahan yang belum diberikan sebelumnya.

Setelah mengubah perspektif selanjutnya adalah memberikan fokus lebih pada retensi. Selalu ingat pertumbuhan pengguna bukanlah tujuan dari bisnis. Setelah mengalami fase pertumbuhan pengguna selalu cari jalan keluar untuk bagaimana mempertahankan mereka, bagaimana terus memberikan pengalaman terbaik dengan memberikan yang mereka butuhkan agar tidak meninggalkan produk Anda.

Langkah terakhir yang bisa dicoba untuk menghadapi kompetisi startup adalah dengan memperkuat brand. Banyak hal yang bisa didapat dengan memperkuat brand. Salah satunya meningkatkan retensi pengguna.