Tag Archives: Startup Metric

Fundraising Saat Tech Winter

VC Berikan Tips Penggalangan Dana di Masa Tech Winter

Tech winter yang terjadi beberapa waktu belakang [dan sampai saat ini] berdampak langsung pada ekosistem startup di Indonesia. Gejolak perekonomian global membuat aliran investasi ke venture capital melambat, akibatnya alokasi pendanaan ke startup pun menurun. Hal ini membuat founder harus bekerja ekstra keras saat melakukan fundraising atau penggalangan dana investasi.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pemodal ventura yang cukup aktif di Indonesia, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa proses seleksi (due-diligence) saat menilai startup menjadi lebih ketat akhir-akhir ini. Di sisi lain, para investor mulai berpikir lebih konservatif dengan mengutamakan metrik revenue atau profitabilitas sebagai milestone yang harus dicapai startup di tahap tertentu.

Kendati demikian, bukan berarti pendanaan ke startup menjadi mandek. Faktanya, tahun ini lebih dari 10 pemodal ventura mengumumkan dana kelolaan baru yang alokasinya akan banyak ke startup Indonesia. Artinya dananya tersedia, tinggal bagaimana strategi agar startup mendapatkan penilaian layak dari para analis di VC. Hal ini tergambar pada laporan yang baru diterbitkan DSInnovate, jumlah transaksi pendanaan awal masih tinggi [mendominasi] sampai Q3 tahun ini, bahkan pada kuartal ketiga terlihat adanya tren peningkatan dari sisi nilai yang cukup signifikan.

Tren pendanaan startup Indonesia selama periode Q1-Q3 2023 / DSInnovate
Tren pendanaan startup Indonesia selama periode Q1-Q3 2023 / DSInnovate

Artikel ini mencoba mengompilasi sejumlah tips yang diberikan oleh 4 pemodal ventura ternama dan teraktif di Indonesia untuk para founder startup tahap awal yang sedang merencanakan penggalangan dana untuk startupnya.

Berfokus pada kemampuan utama startup

Sebelum melakukan penggalangan dana, tim East Ventures menyarankan para founders untuk dapat berfokus pada kemampuan utamanya (core competency), agar dapat mencapai keberlangsungan secara finansial (financial sustain). Para founder juga perlu untuk benar-benar bijaksana (prudent) dalam mengatur penggunaan mereka dan menaruh perhatian lebih ke unit economic. Terlebih, era di mana ekspansi secara agresif dan melakukan uji coba produk baru sebaiknya lebih ditahan dulu.

“Pesan kami tetap sama, kami menyarankan para startup untuk tidak melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Hal ini senada dengan apa yang disarankan tim AC Ventures. Mereka berpendapat bahwa founder [startup tahap awal] selayaknya melakukan bootstrapping terlebih dulu dan lakukan fundraising saat startup sudah memiliki model bisnis yang terbukti [mencapai product-market fit]. Founder juga perlu lebih selektif memilih investor, pastikan bermitra dengan investor yang memiliki long term conviction di Indonesia.

“Kami memiliki preferensi untuk berinvestasi pada suatu bisnis yang sudah memiliki revenue, meskipun masih kecil,” imbuh VP of Investment AC Ventures Alvin Cahyadi.

Memiliki rencana yang jelas

Ada beberapa pendekatan dalam menyusun strategi penggalangan investasi, salah satu faktor terpentingnya adalah startup harus memiliki rencana bisnis yang jelas. Beberapa pertanyaan berikut ini bisa ditanyakan oleh founder ke dirinya, untuk menilai seberapa clear rencana dan proyeksi yang bisa dicapai:

  1. Apa yang ingin saya capai dalam X bulan mendatang dan sebanyak apa dana [investasi] yang dibutuhkan?
  2. Berapa banyak dana yang bisa saya kumpulkan dan apa yang bisa saya capai dengan itu?
  3. Dapatkan saya merinci penggunaan dana tersebut, seperti dengan memaparkan contoh atau studi kasus penggunaannya?

Pertanyaan pertama bertujuan untuk memberikan gambaran besar tentang capaian jangka pendek/menengah yang akan diraih oleh startup. Idealnya bisa memberikan rencana antara 12-18 bulan mendatang dengan memberikan proyeksi keuangan dan target penggalangan dana yang terperinci.

Sementara untuk pertanyaan kedua, founder bisa menjawab dengan mencoba memberikan penilaian bisnis yang sedang dijalankan saat ini dengan mempertimbangkan proyeksi selama 12-18 bulan berikutnya. Sertakan juga rentang dilusi yang menurut founder masuk akal, potensi investasi yang dapat dirampungkan, dan target realistis yang bisa dicapai dalam periode tersebut.

“Investasi dalam bisnis dengan ekonomi unit yang solid adalah praktik yang bijak. Penting untuk memahami bagaimana bisnis/startup dapat menghasilkan keuntungan dan mendukungnya dengan data. Menurut saya saat ini, sebagai investor, kita seharusnya memberikan lebih banyak perhatian pada validasi bisnis daripada narasi semata,” ujar Head of Investment MDI Ventures Gani Putra Lie.

Frugal living mindset; perkuat nilai kolaborasi

CIO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Dennis Pratistha juga memberikan pandangannya. Menurutnya sekarang investor memiliki ekspektasi startup early stage untuk menerapkan frugal living mindset; yakni cara berpikir yang menekan pengelolaan keuangan yang bijaksana dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Selain itu, investor ingin melihat kemampuan startup untuk menjaga pertumbuhan yang sehat, melakukan inisiatif yang berdampak positif pada bottom line, mengatur keuangan perusahaan dengan baik, dan melakukan fundraising di waktu yang tepat sehingga memiliki runway yang cukup.

“Hal yang tidak kalah penting bagi investor adalah akses untuk transparansi data agar investor dapat melakukan assessment, monitoring, dan memberikan dukungan jika diperlukan untuk founder,”  tambahnya.

Ia juga menyebutkan, sebagai sebuah CVC walaupun tesis investasi MCI agnostik, mereka memiliki strategi untuk berinvestasi kepada startups yang diyakini dapat memberikan value melalui pengembangan bisnis. MCI mencari founder yang kolaboratif dan memiliki produk yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat membawa inovasi baru untuk induk perusahaan.

Secara spesifik dari sisi kriteria, selain metrik yang biasa dinilai investor, MCI menekankan fokus pada beberapa hal berikut:

  • Pertumbuhan revenue yang sehat dengan memastikan adanya dampak positif pada bottom line.
  • Kecepatan cash conversion cycle atau account receivable turnover.
  • Kekuatan bisnis untuk mendekati operating cash flow yang positif.
  • Expenses startup sampai dengan burn rate relatif terhadap
  • Efektivitas dan efisiensi dari keseluruhan kegiatan operasional bisnis.

“MCI selalu membantu startup untuk mempercepat integrasi dan kolaborasi dengan ekosistem Mandiri Group sehingga startup dapat berkembang terutama dalam kondisi winter ini. Salah satu cara yang kami lakukan adalah melalui program Xponent yang merupakan acara business matchmaking semi-annual untuk mempertemukan startup dengan business units Mandiri Group. Selain itu, MCI memiliki program akselerator Zenith yang tujuannya untuk mempercepat proses integrasi ke dalam ekosistem Mandiri Group melalui mentoring, workshop, dan synergy creation,” ujar Dennis.

Sebagai CVC, MDI juga memiliki pandangan yang sama soal kolaborasi. Gani mengatakan, “Tentang kolaborasi di antara portofolio, saya berpikir ini penting dalam bisnis apa pun. Berkolaborasi dan bermitra dengan pihak lain untuk mengisi kekurangan yang tidak dapat Anda isi sendiri adalah kunci kesuksesan. Di MDI Ventures, kami memiliki divisi ‘sinergi’ yang tujuannya adalah menciptakan kemitraan di antara para pemangku kepentingan kami, yang mencakup Telkom Group, BUMN, perusahaan lain, dan juga portofolio MDI Ventures.”

Metrik pada Startup

Serba-Serbi Menentukan Metrik pada Startup

Metrik menjadi sebuah standar bagi pelaku startup dalam mengukur pencapaian bisnisnya. Tentu saja, startup wajib memiliki metrik agar dapat memahami bisnis yang mereka jalankan dan menentukan strategi bisnis ke depan.

Dalam webinar bertajuk “Measurements & Metrics“, CEO GoPlay Edy Sulistyo berbagi perspektif dan pengalaman menariknya dalam menggeluti bisnis konten on-demand di Indonesia. Edy yang sudah lama berkarir di dunia media entertainment ini mengungkap serba-serbi metrik di dunia startup.

Selengkapnya, simak rangkuman menarik yang dipaparkan Edy pada rangkaian sesi program akselerator ActCelerate yang diselenggarakan oleh MCash, SiCepat, dan DailySocial.id ini.

Menentukan metrik

Metrik “Bintang Utara” atau acap disebut “North Star” banyak digunakan oleh pelaku startup sebagai patokan bagi perusahaan untuk mencapai target bisnisnya. Ibaratnya one single metric.

Setiap vertikal bisnis startup punya metrik berbeda, tidak ada satu pun yang sama. Misalnya, bisnis e-commerce bisa jadi berpatokan pada Money Transaction User (MTU) atau Daily Transaction User (DTU). 

Pada kategori bisnis lain, bisa juga metriknya mengacu pada Monthly Active User (MAU) dan Daily Active User (DAU), atau DAU to MAU ratio untuk mengukur stickiness setiap pengguna. Semua itu kembali lagi tergantung pada jenis produk, bisnis, maupun visi-misi yang ditentukan startup. 

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menentukan metrik? Tentu saja sejak awal membangun bisnis. Ini menjadi penting untuk mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai. Jika ingin mencapai suatu target, caranya dapat diterjemahkan melalui metrik. 

Metrik yang dicari investor

Edy memetakan tiga kategori metrik besar yang diincar investor. Pertama, metrik berbasis transaksi. Investor melihat pentingnya metrik berbasis transaksi untuk melihat seberapa sustainable sebuah bisnis, apakah dapat menghasilkan pendapatan atau EBITDA positif. 

Kedua, ada investor yang menyukai metrik berbasis MTU dan DTU. Umumnya, metrik ini digunakan pada produk dengan model berlangganan (subscription). Dengan metrik ini, investor dapat mengetahui seberapa banyak pengguna yang menggunakan layanan per hari atau bulannya.

Ketiga, DAU to MAU ratio. Bagi investor, metrik ini sangat penting karena dapat menunjukkan kualitas sebuah produk. “Ini menjadi honest metric tetapi sebetulnya sulit dijalankan. Biasanya, metrik ini wajib bagi startup yang sudah masuk tahapan seri E ke atas,” paparnya.

Ambil contoh, DAU sebuah layanan media entertainment berada di angka Rp100 ribu. Artinya, setiap harinya pengguna menghabiskan Rp100 ribu untuk konten. Apabila dikalikan selama 30 hari, kita akan mengantongi 3 juta unique user. Biarpun kelihatannya banyak, bagi Edy ini tidak menunjukkan hasil yang bagus karena tidak ada stickiness pengguna.

“Kalau ingin mencapai, misalnya, DAU to MAU ratio 20%, kita harus membuat 87% pengguna kembali lagi untuk spend besoknya. No amount of money yang bisa mengorkestrasikan itu. [Untuk mencapai ini] kita harus purely punya product-market fit,” tambahnya. 

Memitigasi kegagalan metrik

Setiap orang/divisi di perusahaan harus saling onboard dengan apa yang mereka kerjakan dan capai. Edy menilai, terlalu banyak metrik yang ingin dikejar akan menyulitkan startup dalam mencapai visi dan misinya. Apalagi kalau masing-masing divisi mengejar metrik yang berbeda. 

“Harus ada satu metrik yang matter the most. Memang semua metrik itu penting, tetapi tidak mungkin semua harus dicapai seluruhnya. Di kasus kami, biasanya kami adakan daily stand-up untuk saling mengetahui metrik apa yang ingin dikejar. Kan kalau berbeda jadi ketahuan. Selama semua tahu apa yang sedang dilakukan, ini dapat memitigasi kemungkinan gagal [sebuah metrik],” jelas Edy.

Tapi, ada pula kasus startup mengganti metriknya. Misalnya, startup beralih ke metrik ads-based karena MTU dianggap sudah tidak relevan dengan bisnisnya. Kemudian, berganti lagi ke DAU. Dengan catatan, semua ini dapat berubah tergantung pertumbuhan perusahaan, tahapan, dan arah bisnisnya di masa depan.

Menarik investor dengan metrik

Eddy menilai, melakukan comparable business menjadi salah satu strategi penting ketika mencari investor. Tujuannya adalah mengetahui posisi bisnis kita di industri, apakah ada yang jauh lebih besar dari bisnis yang kita jalankan, dan apakah ada kompetitor yang sampai ke jalur IPO.

“Jika tujuannya sampai ke IPO, mencari informasi soal kompetitor bisa membantu kita untuk menentukan valuasi. Misalnya, kompetitor kita melantai ke bursa. Kalau valuasi kompetitor dinilai dari sepuluh kali price to earning ratio, di sini kita dapat memperkirakan pendapatan atau valuasi bisnis kita,” ucapnya. 

Tak harus mencari studi kasus di perusahaan yang IPO, pelaku startup juga bisa menilik ke perusahaan private. Pembandingnya dapat dilihat dari sejumlah metrik, seperti GMV atau jumlah klien mereka.

Tapi perlu diteliti juga. Apabila kontribusi klien mencapai 50%, ini dapat menjadi red flag karena apabila kliennya berhenti, perusahaan dapat berpotensi kehilangan 50% pendapatannya. Bisa jadi ini pertanda bahwa bisnisnya belum product-market fit.

Jangan merekayasa metrik

Menurut Edy, ada saja pelaku startup yang merekayasa metrik demi meningkatkan valuasi atau memperoleh pendanaan dari investor. Baginya, hal ini tidak patut ditiru karena akan berbalik ke startup itu sendiri.

“Jangan sampai kita sengaja membuat metrik bohongan. Ketika mereka berhasil mengantongi valuasi dan pendanaan dengan nilai lebih besar, di sini your nightmare starts. Mendapat pendanaan bukan berarti selesai, justru semakin besar money yang diperoleh, semakin besar pula bebannya. Apalagi kalau raise money dengan valuasi di inflated number,” ungkapnya.

Edy mengatakan, startup punya runway terbatas dari pendanaan yang diterima sehingga kemungkinan besar mereka harus cari pendanaan baru lagi mengingat investor tidak suka dengan pertumbuhan bisnis yang lambat. Dari sini, masalah akan mulai muncul karena startup mau tak mau harus kembali merekayasa metriknya demi mencapai metrik yang lebih besar. Dengan kata lain, metrik bohongan ini tidak akan pernah ada habisnya.

Metrik Startup Tahap Awal

Metrik Startup Tahap Awal yang Dipertimbangkan Investor

Untuk mengakselerasi bisnis, founder startup tahap awal biasanya melakukan penggalangan dana ke investor, baik kalangan angel ataupun venture capital. Mempelajari pengalaman startup terdahulu, ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan agar sukses mengantongi dana investasi pre-seed atau seed funding. Pertama, mereka bisa “menjual” pengalaman atau visi founder disertai dengan potensi besaran pasar yang akan digarap lewat produk/layanan yang dikembangkan.

Kedua, ini pendekatan yang lebih terukur, yakni menyuguhkan capaian bisnis kepada investor. Tentu konteksnya adalah penerimaan pasar terhadap minimum viable product (MVP) yang telah diluncurkan; untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan sudah mencapai product-market fit. Di sini founder perlu menggunakan metrik yang tepat untuk menggambarkan situasi bisnis di fase early-adoption. Statistik tersebut bisa menjadi bekal bagi investor untuk melihat potensi startup di waktu mendatang saat disuntik modal untuk pertumbuhan.

DailySocial telah berbincang terhadap beberapa perwakilan venture capital untuk menanyakan metrik yang biasa mereka lihat ketika bertemu dengan startup tahap awal yang tengah mencari dana. Pertama, kami berbincang dengan Principal Indogen Capital Kevin Chandra. Ia mengatakan, bahwa metrik akan sangat bergantung pada model bisnis yang diadopsi oleh startup.

“Untuk B2B, di mana siklus penjualan cenderung bergerak jauh lebih lambat, kami cenderung melihat efisiensi penjualan berdasarkan channel di fase awal. Kemudian, untuk model bisnis yang memiliki elemen pendapatan berulang, salah satu metrik utama yang kami evaluasi adalah Net Monthly Recurring Revenue (Net MRR). Jadi tidak ada satu formula yang cocok untuk diterapkan ke semua,” ujarnya.

Net MRR adalah pendapat bersih bulanan yang didapatkan oleh startup. Perhitungannya didasarkan pada uang yang didapat kemudian dikurangi berbagai biaya-biaya yang menyertai. Misalnya di e-commerce, revenue ini baru dihitung dari total hasil penjualan barang dikurangi berbagai biaya seperti potongan untuk diskon atau pengembalian barang karena cacat.

Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi Kevin
Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi

Kevin melanjutkan, spesifik untuk startup tahap awal Indogen selalu melihat dua metrik utama, yakni Vanity dan KPI. Metrik Vanity digunakan untuk membantu memahami posisi startup dalam satu lanskap. Contohnya untuk startup berbasis e-commerce biasanya dengan melihat GMV (Gross Merchandise Value), yakni total nilai penjualan seluruh barang dalam periode tertentu.

“Metrik berbasis KPI dinilai dari pengguna akhir yang mendapatkan value dari produk/layanan yang dijajakan atau dikenal dengan ‘aha moment’. Contohnya, 7 teman dalam 10 hari adalah pengukuran yang dipilih perusahaan seperti Facebook untuk memahami bahwa mereka memiliki tanda awal dari product-market fit. KPI tentu akan berkembang seiring pertumbuhan bisnis. Dan ini menjadi indikator utama (yang jelas) untuk memahami bisnis yang dilakukan pada waktu tertentu,” imbuh Kevin.

Dalam hipotesis investasinya, Indogen Capital sendiri cukup sector agnostic. Mereka berinvestasi di berbagai lanskap bisnis. Beberapa portofolionya meliputi Travelio (proptech), Carsome (car marketplace), Hijup (e-commerce), GoWork (coworking space), Wahyoo (new retail), Ekrut (job marketplace), dll.

Kami juga berbincang dengan Head of OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi, CVC yang baru diresmikan awal tahun ini biasanya mengukur calon portofolio potensial menggunakan tiga penilaian utama. Yakni didasarkan pada customer acquisition cost, customer lifetime value, dan customer cohort.

Customer acquisition cost dipakai untuk mengukur seberapa banyak (biaya) yang mereka keluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru, untuk mengukur (memastikan) tidak terlalu mahal dan diukur bersamaan dengan customer lifetime value,” ujarnya.

Customer lifetime value mengukur pendapatan yang diterima bisnis dari tiap pelanggannya. Jadi mengukur transaksi yang mereka lakukan secara berulang setelah pembelian pertamanya. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin baik bagi bisnis. Sementara customer cohort analysis merupakan metrik analisis yang digunakan untuk mempelajari perilaku pengguna dari waktu ke waktu dan memahami retensi pelanggan.

Kendati di bawah naungan perusahaan induk perbankan, OCBC NISP Ventura memiliki portofolio yang unik. Sejak debutnya, mereka telah berinvestasi di empat startup meliputi AwanTunai (fintech), Sirclo (e-commerce enabler), Dekoruma (e-commerce furnitur), dan Kiddo (marketplace aktivitas anak).

Proyeksi profitabilitas

Pada dasarnya statistik pertumbuhan awal juga menjadi variabel yang digunakan oleh investor untuk memperkirakan potensi ROI (Return of Investment), salah satunya dengan menerawang potensi profitabilitas dari model bisnis yang diaplikasikan. Hal tersebut juga diungkapkan Selina Koharjo selaku Investment Analyst Vertex Ventures. Karena setiap startup yang ia temui unik dan beroperasi di industri berbeda, mereka menggunakan dua metrik utama untuk melihat potensi pertumbuhan ke depan, yakni unit economy dan customer cohort analysis.

Unit economics digunakan untuk melihat pendapatan dan biaya yang terkait dengan satu unit produk atau layanan dan memproyeksikan profitabilitas sebuah startup,” kata Selina.

Kendati demikian, Selina juga mengatakan bahwa pihaknya memahami bahwa di fase awal sebagian besar bisnis akan mengeluarkan banyak biaya operasional — termasuk untuk akuisisi pengguna.

Namun menurutnya, unit economics adalah fondasi yang akan menopang sebuah startup saat mereka tumbuh dan berkembang. “Dengan menganalisis berbagai komponen biaya startup di industri serupa, kami dapat menilai efisiensi setiap startup dengan lebih baik,” imbuhnya.

Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi Selina
Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi

Lebih lanjut ia mencontohkan, analisis unit economics untuk startup direct-to-consumer dapat menyoroti area kekuatan atau peningkatan dalam direct costs, variable costs, outliers, dan fixed expenses. “Dalam industri startup, mungkin akan banyak tergoda mengandalkan asumsi pertumbuhan signifikan tanpa strategi monetisasi. Kenyataannya, terutama seperti yang disoroti selama pandemi ini, ketika unit ekonomi tidak diprioritaskan, kesuksesan startup akan diuji,” jelas Selina.

Sementara itu, untuk cohort analysis menurutnya diperlukan karena startup terus melakukan iterasi dan inovasi. Kelompok pelanggan terbaru idealnya akan meningkatkan retensi. Meskipun perusahaan mungkin tumbuh secara cepat, pertumbuhan ini mungkin tidak berkelanjutan jika bergantung pada pelanggan baru saja. Jadi, membandingkan cohort (kelompok pelanggan) dari setiap startup dapat menyoroti product-market fit.

“Selain itu, memahami unit economics dan cohort analysis akan memungkinkan kami memahami customer lifetime value […] Karena memperoleh pelanggan baru mungkin mahal, startup baru dapat tumbuh secara berkelanjutan jika customer lifetime value lebih besar daripada biaya akuisisi. ” ujarnya.

Vertex Ventures memiliki cakupan investasi di Asia Tenggara dan India, beberapa portofolionya di Indonesia meliputi HappyFresh (online grocery), RateS (social commerce), Aruna (aquatech), Gredu (edtech), Tanihub (agtech), Tjetak (printing marketplace), dan lain-lain.

Menemukan peluang kolaborasi

Di ekosistem startup Indonesia, juga terdapat kalangan investor yang berasal dari korporasi. Disebut Corporate Venture Capital, selain berinvestasi pada pertumbuhan startup mereka juga mencari peluang sinergi atau inovasi. Salah satu pemodal ventura korporasi yang cukup aktif di Indonesia adalah Central Capital Ventura (CCV) dari Bank Central Asia (BCA). Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Investment Analyst CCV Anthony Adiputra Lauw untuk mendiskusikan tentang metrik yang biasa mereka gunakan ketika mempertimbangkan untuk berinvestasi ke calon portofolionya.

Di CCV, Anthony dan tim selalu memeriksa semua peluang investasi secara holistik. “Sebagai lengan inovasi dan investasi BCA, mereka selalu ingin memosisikan dirinya sebagai investor strategis pertama dan utama. Jadi satu-satunya metrik terpenting yang kami fokuskan untuk semua fintech, fintech-enabler, atau embdedded-fintech startup, adalah nilai tambah strategis yang mereka hadirkan [terkait sinergi dengan BCA],” ujarnya.

Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi Anthony
Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi

Sinergi adalah bentuk mutualisme, artinya harus memberikan keuntungan bagi pihak yang terlibat. Demikian pula prinsip di CCV, mereka tidak hanya ingin mendapatkan nilai strategis dari inovasi yang dilahirkan startup, namun juga berharap bisa memberikan nilai lebih untuk perkembangan startup itu sendiri; misalnya dengan menghubungkan mereka dengan jaringan lembaga keuangan di grup BCA di seluruh Indonesia.

“Untuk itu, cakupan investasi CCV telah berkembang di luar fintech, karena kami memiliki tujuan untuk bersinergi dengan rangkaian industri yang lebih luas yang dapat berkolaborasi dengan pertumbuhan perusahaan kami. Saat mencari founder dengan solusi inovatif untuk bermitra dengan BCA dan ekosistemnya, tidak pernah ada metrik tunggal yang cocok diterapkan ke semua [jenis startup],” jelas Anthony.

Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika CCV berinvestasi pada startup p2p lending, mereka mengidentifikasi saluran sinergi yang kuat antara mereka dan BCA. “Akseleran dan KlikACC [portofolio CCV] sama-sama berhasil menaklukkan segmen pasar yang mungkin belum dimiliki oleh BCA. Dengan demikian, kami dapat membina kerja sama yang mulus dan saling menguntungkan; bank mendapatkan eksposur yang lebih luas, sementara startup mendapatkan likuiditas dari BCA.”

Selain dua startup yang sudah disebutkan, CCV yang sudah berdiri sejak tahun 2017 tersebut telah berinvestasi ke pemain lain meliputi Wallex (fintech), Element (biometrik), Qoala (insurtech), Pomona (loyalty), Julo (fintech), dll.

Berinvestasi pada pre/post-traction

Seperti yang diungkap pada paragraf pembuka, kadang investor juga berinvestasi pada startup yang sama sekali belum menghasilkan traction. Salah satunya Genesia Ventures, menurut penjelasan Elsha E. Kwee selaku Investment Manager, untuk startup yang masih sangat awal atau baru beberapa bulan diluncurkan tidak banyak data yang bisa didapat atau dianalisis. Sering kali yang dilakukan adalah melihat beberapa cakupan faktor seperti kondisi pasar (market size, competition, customer pipeline, dll), model bisnis, dan founder.

Sementara untuk startup yang sudah memiliki beberapa traction, biasanya Elsha menggunakan metrik berbeda untuk setiap model bisnis. Tapi sebagian besar akan bermuara pada dua hal, yakni recurring revenue dan user engagement.

“Saya percaya bahwa pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberi solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna sehingga ia mau membayar. Sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan,” ujarnya.

Untuk revenue atau pendapatan, ia mengatakan akan sangat bergantung pada apakah layanan/produk adalah sesuatu yang harus memberikan nilai sejak awal atau apakah model bisnis tersebut harus mengumpulkan jumlah pengguna yang besar terlebih dulu sebelum memberikan nilai kepada pengguna. Misalnya online marketplace, sangat bergantung pada efek jaringan dan nilainya meningkat seiring penambahan jumlah pengguna, sehingga pendapatan di awal mungkin belum terlalu penting diperhitungkan.

Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi Elsha
Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi

Elsha juga memberikan contoh lain. Untuk startup menyediakan SaaS seperti sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah, penting untuk mulai menghasilkan pendapatan dari awal daripada membiarkan sekolah menggunakan platform secara gratis. Karena jika sudah diberikan secara gratis, bisanya sulit untuk mengonversinya menjadi pengguna berbayar. Untuk tipe layanan SaaS, memiliki banyak pengguna tanpa pendapatan bukan pertanda baik untuk keberlangsungan bisnis.

“Kemudian terkait keterlibatan pengguna, itu bergantung apakah perusahaan adalah marketplace, SaaS, B2C, B2B, atau lainnya. Contohnya, saya mengharapkan keterlibatan pengguna lebih tinggi (berdasar DAU dan/atau MAU) dari B2C seperti aplikasi sosial atau komunitas ketimbang SaaS untuk layanan perpajakan,” jelas Elsha.

Genesia Ventures berinvestasi pada startup tahap awal di Asia, kendati sector-agnostic mereka memiliki kecenderungan pada startup B2B dan SaaS. Beberapa portofolionya di Indonesia termasuk Bobobox (hospitality), Qoala (insurtech), Finantier (fintech), Logisly (logistic), dan lain-lain.

Partner SeedPlus Tiang Lim Foo turut memberikan pendapatnya. Memang sulit untuk mengeneralisasi metrik untuk semua startup. Namun ia selalu memiliki beberapa variabel dasar untuk analisis, meliputi jumlah pelanggan, tingkat keterlibatan pelanggan dengan produk, dan nilai pendapatan. Hal tersebut, sambungnya, dipengaruhi oleh pengalamannya berinvestasi sebagian besar di startup B2B untuk produk SaaS.

“Jumlah pelanggan memberikan saya indikasi tentang ukuran audiens yang mereka miliki saat ini dan seberapa cepat startup membangun ukuran audiens tersebut. Sementara tingkat keterlibatan memberikan saya gambaran tentang seberapa berguna produk yang dihasilkan, dan secara alami indikator nilai terbaik adalah berapa banyak pelanggan yang membayar layanan tersebut, dan seberapa besar nilainya,” ujar Tiang.

SeedPlus adalah perusahaan modal ventura bermarkas di Singapura. Mereka sudah memiliki tiga portofolio di Indonesia, meliputi Travelstop (SaaS), Qoala (insurtech), dan Logisly (logistic).