Tag Archives: STARTUP ROOKIE

All you need to know before getting started with your startup

Validari Produk Startup

Bagaimana Startup Memvalidasi Produk Menurut Perspektif Nicko Widjaja

Validasi produk adalah langkah awal yang penting bagi startup dan tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product-market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup memang punya kisahnya masing-masing saat memvalidasi produknya. Berkat bertemu dengan banyak startup, investor juga punya perspektif yang menarik untuk dikulik lebih jauh soal ini. Untuk membahasnya lebih jauh, dalam sesi ini mengundang CEO BRI Ventures Nicko Widjaja sebagai super mentor webinar DSLaunchpad 3.0 x AWS.

Validasi produk bukan proses singkat

Nicko menjelaskan, validasi produk itu artinya ingin menyelesaikan masalah dengan solusi yang diciptakan dan dipakai oleh orang yang tidak dikenal dan mau untuk membayarnya. Untuk mencapai titik tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar karena perlu iterasi terus menerus agar terus sejalan dengan kebutuhan konsumen.

Kesalahan terbesar yang sering ia lihat adalah ambisi startup yang terlalu besar, misalnya sebagai solusi satu atap untuk satu ekosistem. Ia menyarankan sebaiknya dimulai dari hal terkecil terlebih dulu, namun berangkat dari masalah yang nyata dan punya dampak sosial yang besar.

Salah satu contoh terdekatnya adalah bagaimana bisnis ride hailing bisa tumbuh dari awalnya ingin meningkatkan produktivitas pengemudi ojek dapat menerima banyak penumpang, hingga kini dapat menjadi kurir makanan, paket barang, dan sebagainya.

Impact ini baru terasa ketika validasi produk itu berjalan dan ini enggak satu step saja tapi multiple steps. Setelah use case pertama selesai, muncul validasi ide kedua. Setelah berhasil mengoptimalkan idle time pengemudi, muncul isu pembayaran yang memicu validasi produk soal wallet, ternyata banyak pengemudi yang enggak punya uang kembalian. Tapi saat itu use case-nya masih sangat sedikit, ini yang akhirnya perlu dibuktikan.”

Hal yang sama juga terjadi buat startup healthtech untuk produk telemedisnya. Sebelum pandemi, fitur tersebut memiliki use case yang sangat sedikit karena orang masih awam dengan fungsinya. Namun hal tersebut terbalik saat pandemi dan menjadi validasi terbaik untuk telemedis. Ia pun juga melihat bahwa keberhasilan validasi produk itu juga bergantung pada faktor timing, keberuntungan, dan series of events.

“Akhirnya saat ini telemedis berkembang pesat, enggak hanya di situ tapi juga industri pendukungnya. Ada juga insurance, fintech, dan edutech yang berkembang pesat saat ini. Efeknya dari validasi produk yang berhasil itu akan begitu besar dampaknya ke depan.”

Dia melanjutkan, “Sebenarnya yang saya lihat dari validasi produk itu adalah tahapan di mana semua asumsi kita di tes dan apabila kita berhasil membuktikan ini valid, apa yang bisa dilakukan setelah ini. Sebab, jarang sekali startup bangun sesuatu yang benar-benar di luar dari apa yang dia bangun dari core product-nya.”

Asumsi musuh terbesar founder

Menurut Nicko, asumsi adalah musuh terbesar bagi seorang founder. Sebab, validasi produk adalah moment of truth yang membuktikan bahwa asumsi yang dituangkan founder dalam deck dan dipresentasikan ke investor itu benar atau salah. Pasang asumsi terlalu tinggi pun tidak baik karena dapat berdampak buruk, paling parah startup bubar. Oleh karenanya, ketika asumsi salah, founder harus menerima kenyataan tersebut dan perlu bergerak cepat untuk mengubah strateginya.

“Jelas sekali metriknya bukan lihat jumlah apalagi masih di tahap awal. Sebab bicara jumlah itu baru bisa dilakukan ketika masuk Seri B karena membicarakan skalabilitas. Jadi yang penting jumlah tidak perlu tinggi, tapi convertion rate-nya yang tinggi. Karena kalau enggak ada convertion, berarti validasinya salah. Convertion itu rasio, bukan jumlah, ini yang sering orang lupa,” kata dia.

Dalam mengukur validasi produk banyak metrik yang bisa dipakai, namun menurut Nicko, jangan sampai metrik tersebut membuat founder jadi fanatik. Misalnya, founder ingin memakai indikator MAU, itu diperbolehkan asalkan juga memakai take rate, untuk melihat bottom line-nya seperti apa. Atau memakai indikator GTV yang modelnya seperti website traffic, itu tidak apa-apa kalau pengunjung lihat-lihat dulu. Tapi yang penting harus ada convertion rate. “Intinya jangan sampai metrik itu membohongi diri sendiri,” tutup Nicko.

Validasi Ide Startup

Pentingnya Validasi Ide Sebelum Mengembangkan Startup

Mereka yang antusias dengan kewirausahaan, terutama dalam bentuk startup, pasti pernah terbersit suatu ide bisnis. Namun yang namanya ide bisnis tetaplah sebuah ide, ia belum terukur dan belum tervalidasi.

Maka akan wajar apabila gagasan bisnis itu terbentur dengan sejumlah pertanyaan seperti: (1) Apakah ide tersebut sudah tepat sasaran? (2) Apakah semangat dan wawasan dalam gagasan itu sudah mencerminkan kebutuhan pasar? (3) Dan yang tak kalah penting, bagaimana mengukur kebutuhan pasar agar produk yang dihasilkan nanti bisa dipakai khalayak?

Founder & CEO KaryaKarsa Ario Tamat berbagi pengalamannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ario sudah bergelut di dunia startup sejak 2011 silam, ketika menciptakan Ohdio lalu mendirikan Wooz.in. Minat di bidang musik, pengalaman kerja di dunia teknologi dan keyakinan tak ada layanan serupa di saat itu membuat Ario cukup yakin bahwa produknya akan diterima pasar. Namun kenyataan membuktikan semua itu tidak cukup.

“Karena waktu itu berasumsi kami tahu industri musik, orang pasti mau pakai, dan belum ada di pasar. Tapi itu semua asumsi dan nyatanya tidak ada yang pakai,” cetus Ario.

Pengalaman pahit itu membawa bekal berharga bahwa tak semua gagasan bisnis, sebrilian apa pun menurut kita, bisa melahirkan produk yang dibutuhkan konsumen. Ada beberapa fase yang harus dilalui ide itu sebelum menjadi produk jadi yang andal.

Lean startup dapat menjadi metode yang dapat ditempuh karena ini sudah menjadi panduan umum bagi mereka yang ingin mendirikan startup. Ario menjabarkan metode ini berdasarkan pengalamannya dalam #SelasaStartup kali ini.

Fokus ke konsumen

Ario meringkas lean startup sebagai konsep pengembangan ide, sampai ide itu valid dan siap dilempar ke pasar. Hal yang digarisbawahi oleh Ario adalah fokus ke pertumbuhan konsumen alih-alih gagasan bisnis itu sendiri. Mengenali kebutuhan konsumen menjadi lebih penting ketimbang terpaku pada gagasan bisnis dalam hal ini.

Cara mengenal konsumen ini bisa bervariasi. Pilihannya bisa sesederhana menyebar kuesioner via Google Form atau wawancara langsung untuk menggali informasi lebih dalam. Fase ini penting karena kita dapat mengenal lebih dekat apa yang konsumen butuhkan, apa yang mereka keluhkan dari layanan yang ada, sehingga mengikis kadar bias dari ide bisnis yang kita kantongi.

Ario mencontohkan bahaya dari bias ini jika ada produk pengenalan wajah dan sudah meluncur ke publik namun ternyata di beberapa orang dengan fisik tertentu ia tak berfungsi. Perkara itu semata-mata muncul karena dalam pembuatan teknologinya, sampel wajah yang dipakai hanya berasal dari rupa fisik ras Kaukasian.

“Ketika kalian punya ide itu sebenarnya asumsi. Sejauh kalian belum bisa punya data untuk membuktikan itu benar, itu asumsi,” tegas Ario.

Harus berbeda

Jika informasi yang dibutuhkan dari konsumen sudah terkumpul maka bentuk ide bisnis bisa dikatakan lebih matang. Tapi bagaimana kalau sudah ada layanan komersial dengan ide bisnis tersebut? Ario menjawabnya dengan mencari celah masalah di layanan yang sudah ada itu.

Hampir semua layanan memiliki persoalannya sendiri dengan kadar yang belum tentu serupa. Peran kita adalah mencari tahu apa masalahnya dan berapa besar kadarnya itu. Tanpa menawarkan faktor pembeda maka hampir mustahil bagi pemilik ide bisnis dapat bersaing.

“Kalau enggak ada masalah kalian enggak punya kesempatan untuk masuk. Kalau sekadar pengen bikin aja, ya enggak apa-apa, tapi apa yang bisa bikin bisnis kalian lebih unggul. Problem banyak kok di dunia,” gurau Ario.

Berani bereksperimen

Sebuah eksperimen dapat terjadi secara disengaja maupun tidak. Sebuah proyek buku digital hasil kumpulan artikel seputar musik dan teknologi buatan Ario adalah buktinya. Ide Karyakarsa sendiri sudah dimiliki Ario sejak dua tahun sebelum platform itu meluncur ke khalayak.

Ide itu berangkat dari pencarian metode alternatif bagi musisi untuk mendapat pemasukan selain dari metode konvensional. Buku yang ia tulis sendiri ternyata menjadi pemicu utama yang meyakinkan Ario bahwa ide bisnis KaryaKarsa dapat berjalan.

Buku bertajuk Musik, Bisnis, dan Teknologi di Indonesia itu berhasil menarik ratusan pembaca dan lebih jauh lagi dalam sepekan ada 10 orang yang bisa rela memberikan uang untuk membaca bukunya. Ario mendorong eksperimennya lebih jauh dengan membuat platform yang bisa dipakai bagi para kreator konten dan memungkinkan penggemar karya mereka menyisihkan uangnya sebagai bentuk apresiasi yang saat ini berwujud KaryaKarsa dengan total pemasukan lebih dari Rp1 miliar.

“Di saat itu asumsinya adalah gue aja yang nobody bisa, masa’ sih orang yang punya follower banyak, selebriti, atau orang terkenal enggak?” imbuhnya.

Adrian Gunardi

Memahami Metrik “Customer Lifetime Value” dalam Startup

Membangun startup tidak hanya mengandalkan metrik traction untuk validasi bisnis. Pada perjalanannya, founder juga perlu memikirkan metrik lainnya untuk memastikan kelangsungan bisnis.

Salah satu metrik utama adalah Customer Lifetime Value (CLV) atau nilai umur pelanggan, tentang bagaimana pelanggan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis startup.

Metrik ini acapkali dilupakan. Padahal CLV dapat membantu startup untuk mengukur pendapatan dan investasi yang dihabiskan untuk memperoleh pelanggan.

Apa saja hal-hal penting lainnya yang bersinggungan dengan CLV dan bagaimana cara menghitung metrik ini? Selengkapnya simak paparan Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi pada sesi #SelasaStartup berikut ini:

Strategi navigasi P2P lending

Adrian menekankan pentingnya memetakan strategi bernavigasi. Pasalnya, industri fintech sangat teregulasi dan diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika bicara soal ‘bakar uang’ dan regulasi, kedua hal ini tentu sangat bertolak belakang.

Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemain Peer-to-Peer (P2P) lending dapat bernavigasi dan tetap menyeimbangkan posisinya pada industri yang memiliki regulasi ketat.

Sejalan dengan perkembangan bisnis, startup harus mempertahankan keseimbangan saat melakukan ‘bakar uang’ dan menjaga pendapatan tetap naik.

“Karakter dan tantangan pada startup adalah mereka harus tumbuh dan scale dengan cepat. Makanya strategi navigasi ini penting karena kedua poin tersebut sering dikaitkan dengan ‘bakar uang’ dan regulasi,” sebutnya.

Eksplorasi pasar B2B

Bagi sejumlah pemain P2P lending, pasar Business-to-Business (B2B) dianggap lebih menarik dibandingkan Business-to-Consumer (B2C). Tentu saja, mencari traction pada segmen B2C lebih mudah. Namun, bukan itu.

Pentingnya menentukan target pasar akan sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah startup melakukan bakar uang. Bagi Adrian, B2B menjadi lebih menarik karena biaya akuisisi pelanggan jauh lebih rendah dibandingkan B2C.

Berdasarkan riset Roland Berger di 2016, sebagaimana dikutip Adrian, alasan mayoritas pemain fintech di Eropa memilih segmen B2B adalah dapat menghasilkan pendapatan lebih maksimal.

“Sejak awal Investree tidak bermain di ranah B2C karena impact B2B terhadap pendapatan akan lebih tinggi. Ini patut menjadi pertimbangan bagi startup. Lagipula, semakin startup berkembang, investor tidak hanya akan melihat growth, tetapi juga profitabilitas,” paparnya.

Di sisi lain, pasar B2B juga dapat dieksplorasi lebih lanjut, seperti e-procurement. Sebagai startup yang juga masu ke ranah ini, Adrian menilai e-procurement berpotensi besar bagi P2P lending, terutama dapat mendorong lebih banyak borrower.

Ia mencontohkan bagaimana Investree mengakuisisi platform e-procurement Mbiz dan melakukan pendekatan ke Telkom dan Unilever. Yang diincar bukan mereka sebagai korporasi besar, tetapi vendor atau pihak ketiga yang menangani iklan dan event perusahaan ini.

Vendor-vendor ini kebanyakan berada di skala UKM yang membutuhkan cashflow yang jelas. Dengan e-procurement, Investree dapat membantu vendor Unilever maupun Telkom supaya dibayar lebih cepat.

“Kita tahu rata-rata pembayaran procurement vendor itu 90-120 hari. Bahkan ada yang 150 hari. Dengan melebarkan solusi ke ranah ini, ini bisa memudahkan pembayaran vendor,” jelas Adrian.

Menghitung CLV dan timing tepat menyetop ‘bakar uang’

Disebutkan sebelumnya bahwa penentuan target pasar akan berkaitan erat dengan bagaimana startup menentukan strategi bakar uang.

Jika sebuah startup mulai bicara tentang Customer Lifetime Value, pertanyaannya adalah sampai kapan harus melakukan strategi ‘bakar uang’ demi mengakuisisi pelanggan?

Sebagai pelaku P2P lending, Adrian memiliki perhitungan CLV sendiri, yakni pendapatan yang diperoleh borrower selama menjadi borrower di Investree. Jika hanya meminjam dana satu kali, artinya CLV juga hanya satu kali.

Kemudian, biaya untuk akuisisi pelanggan. Investree memperhitungkan beberapa komponen biaya, mulai dari biaya promosi, biaya tenaga kerja yang dipakai untuk memperoleh pengguna, hingga biaya processing. 

“Bobot setiap komponen berbeda. Akan tetapi, cost harus dihitung sampai borrower memberikan pendapatan ke Investree. Begitu ada opex dan gaji yang harus dibayarkan, startup sudah harus menghitung [CLV] karena growth tanpa pendapatan tidak sustain,” ucapnya.

Umumnya setelah tahun pertama, startup perlu menghitung metrik untuk memastikan bahwa penggunaan investasi untuk ‘bakar uang’ tidak lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.

“Perhitungannya adalah CLV dibagi [biaya] akuisisi pelanggan. Di industri B2B, yang dianggap bagus anything above dua kali. Kalau Investree, average empat kali karena kita ada ekosistem yang mendukung sehingga faktor pembilangnya jauh lebih besar,” papar Adrian.

Pentingnya melakukan kolaborasi

Pada dasarnya, eksklusivitas bukan lagi yang utama dalam berbisnis. Adrian juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan ekosistem inti dan pendukung di industri P2P lending untuk menciptakan nilai lebih.

“Daripada mengajukan lisensi [bisnis tertentu], misalnya, lebih baik kita kerja sama dan menciptakan nilai masing-masing bagi bisnis,” katanya.

Adrian kembali mencontohkan bagaimana Investree menghadapi tantangan dalam meningkatkan konversi pada retail lender-nya. Menurutnya, retail lender cenderung menarik dana investasinya lebih cepat, apalagi untuk kebutuhan seasonal seperti hari raya dan liburan.

Retail lender itu tidak sticky ya. Kalau kita ingin masuk ke Telkom [untuk e-procurement], Telkom sebagai anchor partner tentu butuh kepastian bahwa Investree bisa mendukung,” ujarnya.

Hal ini membuat Investree tidak dapat mengukur sustainability fund dan harus mengeluarkan biaya lagi. Untuk mengatasi hal ini, Investree akhirnya melakukan pendekatan ke institutional lender untuk menyeimbangkan segmen pemberi pinjaman dengan retail lender.

Bizdev dalam Startup

Ruang Lingkup Tim Bizdev dalam Startup

Dalam berorganisasi, semua orang dari berbagai divisi punya tugas yang saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Dengan caranya masing-masing, arah yang ingin disasar semuanya sama, ingin mengejar apa yang sudah ditetapkan perusahaan dalam visi.

Pun demikian untuk tim business development atau lebih sering disingkat menjadi bizdev. Ada yang mengasumsikan tim ini termasuk bagian dari sales, padahal sebenarnya sangat berbeda.

#SelasaStartup edisi pekan terakhir di Januari 2020 mengundang CEO Belimobilgue Johnny Widodo untuk berbagi pandangannya soal serba-serbi bizdev dan ruang lingkupnya di startup.

Bizdev tidak sama dengan sales

Sebelum bergabung di Belimobilgue dan menjadi CEO, Johnny merupakan profesional dengan segudang pengalaman di bidang analisis, pemasaran, penjualan dan operasional di lintas industri. Jabatan sebelumnya di Ovo adalah Director of Sales and Partnerships.

Berbekal dari pengalamannya tersebut, ia paham betul bagaimana posisi bizdev yang semestinya. Menurutnya, tim bizdev punya ranah yang berbeda. Mereka punya tugas bagaimana cara mengembangkan bisnis untuk menyasar konsumen baru dan yang sudah ada.

Dia mencontohkan, perusahaan yang bergerak di bidang air kemasan punya target untuk menyasar segmen baru. Sebelumnya perusahaan membuat air kemasan bersama PT A, segel mengambil dari PT B dan label dari PT C. Ketika mau ekspansi, tim bizdev akan tweak ide baru dengan potensial partner yang mau mereka gaet.

“Orang bizdev akan berpikir kenapa enggak jualan minuman karbonasi saja? Dari situ mereka akan berpikir untuk cari rekanan untuk supplier sirup, sementara botol dan merek dari sendiri. Seperti itu cara pikir orang bizdev,” ujarnya.

Sedangkan orang sales adalah orang-orang yang tugasnya untuk menjualkan produk tersebut. Ada target yang harus dicapai oleh mereka secara periodik untuk masing-masing orang.

Kesalahan umum orang bizdev

Menurutnya kesalahan paling umum yang sering dilakukan tim bizdev, terutama di startup baru dirintis, adalah mental block, cenderung gampang berasumsi tapi pada akhirnya tidak melakukannya.

Selanjutnya adalah kurang melakukan follow up. Mereka harus banyak melakukan pemetaan proses agar terekam baik mana yang bisa di-follow up mana yang sebaiknya cari yang lain.

Agar tidak demikian, ia memberi tips bahwa tim bizdev harus open minded, punya inisiatif tinggi dan berani untuk mencoba. “Prinsipnya yang penting coba dulu, dari situ banyak belajar, jangan lupa untuk rajin follow up, dan jangan terpaku sama satu lead. Ketika sudah menemukan atau belum potensial partner, harus rajin explore terus.”

Menentukan skala prioritas

Johnny juga memberikan tips bagaimana menentukan skala prioritas bagi tim bizdev saat menjajaki calon rekanan yang potensial. Dia menekankan bahwa strategi bizdev harus sejalan dengan apa yang diinginkan perusahaan. Perlu diskusi internal dan tes secara terbatas apakah sudah sejalan arahannya.

Ketika sudah jelas, maka tim bizdev mulai mencari enabler-nya. Siapa yang kira-kira bisa diajak kerja sama. Tim harus aktif “ketuk pintu” untuk mendapatkan leads. Terkadang tiap bertemu orang baru, tidak bisa ketemu langsung dengan pihak yang bertanggung jawab sebagai pengambil keputusan.

“Kalau itu terjadi, berarti harus cari celah sampai akhirnya bisa bertemu dengan decision maker untuk langsung presentasi. Dari yang tadinya ide berdasarkan eksplorasi, kini jadi lebih konkret dan bisa langsung dijalankan dengan partner.”

Dengan pengalaman matang Johnny, sejak dia pimpin, dalam kurun waktu Agustus 2019 hingga kini mengalami pertumbuhan yang pesat ketimbang Belimobilgue berdiri di 2017. Disebutkan kini perusahaan telah tersebar di 110 lokasi di tujuh kota, di antaranya Jabodetabek, Bandung, Bali, Surabaya, Medan, Yogyakarta, dan Semarang.

Lalu, ada 2 ribu mitra yang telah digaet untuk membeli suplai mobil bekas yang dijual melalui platform. Tim pun tumbuh pesat hingga 800 orang.

Design Sprint

Memahami Lebih Dalam “Design Sprint”, Teknik Kerja Cepat Masa Kini

Kata agile semakin dikenal sejak startup digital menggeliat. Namun kata ini mengalami difusi semantik karena pemahaman yang kurang. Celakanya, sering di-abuse untuk tujuan yang salah oleh kalangan tertentu. Agile sebetulnya bisa diterapkan dengan utuh apabila menggunakan teknik, dikenal dengan design sprint.

Teknik kerja ini ditemukan oleh Jake Knapp, Design Partner GV (dulu bernama Google Ventures). Sejak itu, gerilya Google, lalu diikuti perusahaan teknologi besar lainnya, sukses dalam meluncurkan produk yang bisa diterima masyarakat luas dalam waktu yang relatif singkat.

Kepada DailySocial, Head of Department Digital Growth Asset Telkomsel Wisnu Ario Supadmono memaparkan design sprint adalah suatu cara teknik kerja untuk menjawab pertanyaan kritikal dalam bisnis dan inovasi melalui desain, prototyping dan menguji ide ke pengguna agar langsung mendapatkan masukan.

Tujuan melakukan design sprint adalah mempercepat proses kerja saat menemukan ideation yang biasa dipakai dalam metode kerja tradisional. Inilah penyebab dari cara kerja tradisional, membuat pengembangan produk di berjalan lambat, sebab harus dipelajari. Tidak bisa langsung di tes ke pengguna.

Sumber : Wisnu Ario Supadmo
Sumber : Wisnu Ario Supadmo

Design sprint memungkinkan hal tersebut. Produk bisa langsung di coba oleh pengguna dalam jumlah terbatas, melalui prototipe  yang menyerupai produk asli. Setelah diuji, produk akan dapat masukan dan bisa langsung segera diperbaiki karena sudah menemukan titik masalahnya ada di mana. Di sini istilah “success fast or fail fast” dapat langsung dibuktikan.

“Inilah mengapa Google bisa bergerak cepat dan produknya bisa langsung diterima di masyarakat, sebab mereka pakai teknik ini,” kata Wisnu.

Perusahaan yang menerapkan cara kerja tradisional biasanya butuh waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan sebuah produk dan mengujinya ke pasar. Kisarannya antara enam bulan sampai setahun, tergantung kompleksitasnya. Akan tetapi, jika menerapkan design sprint, perusahaan hanya butuh maksimal satu minggu untuk langsung tes ke pasar.

Tentunya bagi perusahaan ini sangat efisien karena tidak perlu mengeluarkan ongkos pengembangan lebih. Bahkan dalam kurun waktu tersebut, prototipe (menyerupai produk asli) bisa langsung diuji ke pengguna guna mengetahui apakah mereka suka atau tidak.

Syarat design sprint

Sebelum terjun ke design sprint, ada persyaratan yang harus dipahami. Perlu diikuti antara tujuh sampai sembilan orang dalam satu tim, dengan latar belakang yang berbeda-beda, memerlukan designer, engineer, pebisnis, decision maker dan terpenting dipandu oleh fasilitator (sprint master).

Sprint master adalah sosok yang memfasilitasi supaya proses design sprint itu terjadi. Ia pulalah yang menentukan butuh waktu berapa lama design sprint dilakukan karena melihat dari kebutuhan berbagai stakeholder. Sprint master juga dituntut punya pengalaman mengenai user experience yang paham saat memberikan suatu produk sebaiknya harus seperti apa. Ia juga perlu memiliki sertifikasi resmi.

Setidaknya, anggota yang masuk dalam design sprint adalah orang-orang yang sudah terlibat dalam proyek sebelumnya atau punya pemahaman yang sama.

Sprint master yang disertifikasi dengan yang tidak ada perbedaannya. Sebaiknya perlu disertifikasi karena dia akan running dari nol sampai ada prototipe, dari ide besar sampai bisa diujicoba ke pelanggan. Itu semua di-running dalam design sprint dan difasilitasi oleh sprint master.”

Wisnu sendiri sudah mengantongi sertifikat sprint master dari Sprint Creator di Berlin, Jerman.

Rangkaian fase design sprint

Sumber : SprintCube
Sumber : SprintCube

Ada lima tahap yang terjadi dalam satu siklus design sprint. Pada hari pertama, masuk ke fase perkenalan (introducing). Dalam hari tersebut, semua orang harus berkenalan dan menyepakati bersama apa gol ingin yang didapat dari design sprint ini.

Masalah besar apa yang mau mereka selesaikan? Bila sudah, lalu apa hambatan yang akan timbul apabila mengambil gol tersebut. Itu semua dirumuskan secara bersama-sama agar semua orang ada di jalur yang sama.

Selanjutnya, masuk ke fase pemahaman (understanding) ditandai dengan mengundang orang ahli yang mampu menjelaskan seputar masalah besar yang ingin dipecahkan. Dari sini diharapkan semua anggota sudah memiliki pemahaman yang sama soal gol, tantangan, memasang KPI dan target kapan produk dirilis.

Masuk ke hari kedua, disebut fase ideation. Di sini semua anggota wajib mengeluarkan seluruh ide, mulai dari ide kecil sampai besar. Menariknya, ada teknik bagaimana mengeluarkan banyak 70 ide dalam waktu satu jam, disebut Crazy 8.

Artinya, tiap orang memberikan delapan ide dalam 15 menit atau paling lama satu jam. Misalnya ada delapan anggota dalam satu tim, maka dalam kurun waktu satu jam akan mengumpulkan 64 ide.

“Dari semua ide yang keluar akan timbul ide besarnya seperti apa. Semua orang harus kasih ide sebab tidak ada ide yang tidak baik.”

Hari ketiga berlanjut dengan fase pemilihan ide yang didapat kemarin. Semua anggota boleh memilih ide asalkan sesuai dengan gol yang sudah disepakati bersama. Dari sini akan keluar ide besar yang akan dikerjakan.

Bila diperhatikan, tahap munculnya ideation ini justru tidak dilakukan di hari pertama. Di sinilah perbedaaan yang paling mencolok antara design sprint dengan cara kerja tradisional. Jika ideation dilakukan pertama kali pertemuan, justru akan menjadi liar karena pemahaman gol yang berbeda.

Design sprint vs traditional work / SprintCube
Design sprint vs traditional work / SprintCube

“Kalau ideation duluan, jadinya [ide yang keluar] liar karena belum satu pemahaman. Sementara design sprint, sebelum dimulai, semuanya harus sama-sama memahami apa yang akan dibuat. Semua orang dalam tim harus memiliki pemahaman yang sama.”

Berikutnya di hari keempat, adalah fase prototyping membuat mock up produk yang akan diujicoba ke pengguna. Apabila prototipe yang dibuat adalah aplikasi, ada tools yang bisa dimanfaatkan dan bisa selesai dalam satu hari. Di antaranya memakai Marvel, Figma dan Principle.

Akhirnya masuk ke hari terakhir, hari kelima. Inilah saatnya mock up produk diujicoba langsung ke pengguna dalam jumlah terbatas. Ketika ada masukan, entah itu positif atau negatif, bisa langsung diperbaiki pada saat itu juga.

Dalam rangkaian lima hari, tim sudah dapat mendapat pembelajaran, sudah punya prototipe, ide berikutnya yang bisa dilakukan, dapat tahu di titik mana konsumen tidak suka atau suka dan sebagainya. Seluruh informasi ini tidak bisa didapat sama sekali ketika memakai cara tradisional.

Design sprint 2.0

Sumber : Wisnu Ario Supadmo
Sumber : Wisnu Ario Supadmo

Dalam upgrade dari design sprint ini, tidak ada perbedaan mencolok. Hanya waktu penyelesaian design sprint yang lebih singkat menjadi empat dari. Tidak ada fase yang dihilangkan, tapi justru dirapatkan tanpa mengurangi kualitasnya.

Fase ideation dan pemilihan ide digabung menjadi satu hari. Sementara di design sprint 1.0, keduanya dipisah ke dua hari yang berbeda. Sisanya tidak ada yang berbeda. Istilah 2.0 ini adalah resmi yang dipakai secara global. Sementara apabila ditemukan versi di atas itu, hanya sebatas modifikasi secara personal saja.

Apakah ada pertanda kapan versi 2.0 sebaiknya ini dilakukan? Tergantung dari kesiapan waktu dari anggota tim. Pun, bagaimana sprint master mengatur alokasi waktu, bila sudah sertifikasi ini akan lebih mudah karena sudah punya pengalaman sehingga lebih fleksibel.

“Saya sendiri pernah jalanin design sprint dari 1 hari, 2 hari, 4 hari, bahkan ada yang dua jam. Kalau sprint master sudah pengalaman, dia akan lihat kuncinya dulu, apa yang bisa dirombak dan mengestimasi waktunya.”

Serba serbi manfaat design sprint

1. Menumbuhkan budaya inovasi

Kegiatan design sprint di Telkomsel / Wisnu Ario Supadmono
Kegiatan design sprint di Telkomsel / Wisnu Ario Supadmono

Banyak perusahaan yang mencari inovasi dan bagaimana menyediakan struktur dan alat yang akan memungkinkan tim menemukan hal besar berikutnya. Ini semua dapat difasilitasi sepenuhnya oleh design sprint. Sebagian besar karena kesederhanaannya dan hasil kerja yang berdampak pada kualitas tim.

Selain itu, membantu Anda mengetahui kapasitas anggota tim karena di dalam tim akan dipacu untuk mengeluarkan ide dengan tepat dan terarah.

2. Bisa diterapkan untuk semua kebutuhan

Design sprint dapat diterapkan oleh perusahaan konvensional, tidak hanya melulu buat perusahaan atau startup digital saja yang ingin berinovasi. Bahkan di luar inovasi sekalipun misalnya untuk perumusan kebijakan hukum dan beriklan.

Wisnu memberi contoh salah satu produk dari Telkomsel yang dibuat dengan design sprint adalah aplikasi Loopkita dan fitur daily check-in di dalam aplikasi MyTelkomsel.

3. Visibilitas dan alignment

Saat design sprint berlangsung, para anggota tim dengan keahlian dan latar belakang berbeda, duduk bersama menghadapi tantangan hingga memecah batas hierarki di organisasi perusahaan. Kebersamaan itu dimulai dari hari pertama, saat menggali wawasan pelanggan dan penelitian mendalam.

Dengan membongkar semua informasi secara kolektif, seluruh tim akan mempunyai visibilitas ke titik data yang sama. Wawasan tersebut sangat penting untuk menyelaraskan tim pada gol bersama.

4. Minim risiko, mendapat masukan pengguna sebelum terlambat

Design sprint membantu perusahaan membangun produk yang benar-benar digunakan orang. Dalam waktu singkat, dia akan mengarahkan tim ke pembuatan prototipe yang dapat diuji ke pengguna dan langsung mendapat masukan.

Kalau respons tidak memuaskan, tim masih punya banyak waktu untuk mengambil keputusan lebih tepat lewat sprint selanjutnya. Bila pada akhirnya memutuskan untuk ditutup, juga tidak ada ruginya karena perusahaan belum mengeluarkan ongkos yang besar untuk pengembangan.

Jika harga dari potensi kegagalan atau keberhasilan tinggi, mungkin ada baiknya bereksperimen dengan design sprint. Hipotesis Anda akan divalidasi, sehingga pada akhirnya Anda dan tim akan tahu harus berputar ke arah mana.

5. Tidak perlu tools mahal

Sumber : SprintCube
Sumber : SprintCube

Perlu diketahui, saat melakukan design sprint, peralatan yang dibutuhkan cukup simpel. Cukup menyiapkan kertas tempel warna warni, pulpen sharpie, kertas A4, gunting, sticker berbentuk dot, selotip dan sebagainya. Seluruhnya dibutuhkan untuk hari pertama sampai hari ketiga.

Apabila produk yang ingin dibuat berbentuk aplikasi, baru memakai laptop dengan tools prototipe yang mudah diakses. Tentunya, ini akan membuat ongkos perusahaan dalam pengembangan produk jauh lebih efisien.

6. Waktu kerja delapan jam sehari

Jangan dibayangkan bila masuk ke dalam tim design sprint harus kerja 24 jam setiap hari atau seperti ikut hackathon. Sangat jauh dari itu karena ini mengutamakan kolaborasi tim. Justru jam kerjanya tergolong normal, delapan jam setiap harinya. Meski singkat, pekerjaan ini sangat menguras otak.

Secara ilmiah, delapan jam adalah waktu maksimal otak dapat bekerja. Maka dari itu, anggota butuh diberi nutrisi makanan yang sehat agar tetap bugar. Tak heran, bila di kantor Google disediakan kantin karyawan dengan menu makanan sehat.

7. Tips: Perhatikan sweet spot

Sweet spot / medium.com/retrorabbit
Sweet spot / medium.com/retrorabbit

Hal ini dilakukan sebelum design sprint dimulai pada hari pertama. Sweet spot merupakan posisi untuk menjaga agar anggota tidak kebablasan membuat ide tidak terlalu menitikberatkan pada salah satu pihak saja. Bila ini terjadi, maka rentan akan ditolak mentah-mentah oleh perusahaan.

Oleh karenanya, sprint master harus memikirkan irisan dari apa yang diinginkan pelanggan, apa yang diinginkan perusahaan, dan sejauh mana kemampuan teknologi untuk menyanggupinya. Ketika ketemu benang merahnya, maka gol yang didapat akan jauh lebih realistis.

Hasil dari design print pada akhirnya bisa diimplementasikan, bukan hanya sebagai dokumen saja.

Kiat Menyiapkan Diri Menjadi Pemimpin Startup ala Hadi Wenas

#SelasaStartup edisi pertama tahun 2020 cukup spesial. Hadi Wenas hadir sebagai pemateri, menceritakan pengalamannya saat memimpin bisnis digital di Indonesia. Sejak Mei 2019 ia menjabat sebagai COO Amartha, dengan track record kepemimpinan di Zalora, aCommerce, hingga Mataharimall.

Dalam pemaparannya ada banyak aspek penting yang disorot Wenas, sebagai landasan dalam memimpin sebuah bisnis digital. Berikut ulasannya:

Menentukan prioritas

Menurut Wenas, salah satu pekerjaan krusial di kepemimpinan startup adalah menentukan prioritas pekerjaan. Di dalamnya termasuk proses memahami isu, mencarikan solusi dan melakukan kalkulasi untuk setiap pengarahan yang akan diberikan kepada timnya.

Bagi Wenas, cara cepat untuk menentukan prioritas adalah sesegera mungkin mengeksekusi pekerjaan yang telah dibebankan. Setelah dijalankan nantinya akan terlihat proses dan perkembangan.

“Intinya langsung saja mulai bekerja dan pada akhirnya prioritas atau urutan yang sesuai akan segera terlihat. Jangan terlalu lama memikirkan planning, langsung saja mulai bekerja,” kata Wenas.

Jangan takut gagal

Kegagalan tentunya kerap menghantui semua pendiri startup. Apakah itu saat mulai membangun startup hingga startup sudah berjalan selama 2-3 tahun. Ketika startup pada akhirnya mengalami kegagalan, ada baiknya untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Menurut Wenas, faktor keberuntungan terkadang menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan sebuah bisnis. Jika bisnis berjalan dengan baik, menurutnya faktor mujur tadi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu ketika gagal lakukan introspeksi dan mulai mencari inspirasi hingga cara untuk mulai lagi dengan bisnis atau usaha yang baru.

Ketika Wenas dipercaya untuk menjabat sebagai CEO MatahariMall, terdapat tugas cukup berat yang wajib diselesaikan oleh timnya. Untuk itu penting bagi pimpinan untuk bisa mengenali terlebih dulu kepribadian diri dan timnya, sehingga ketika beban kerja mulai dirasakan, semua tantangan dan permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan secara tuntas.

Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce
Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce

Temukan jati diri

Poin penting lainnya yang kemudian disampaikan oleh Wenas adalah menemukan jati diri. Sebagai seorang introvert, ia terkadang merasa kesulitan untuk melakukan sosialisasi, namun di sisi lain sifat tersebut menjadikan dirinya menjadi lebih teratur dan haus akan detail. Sifat kurang sabar yang sebelumnya menjadi kendala ternyata saat ini justru dianggap sifat yang mendukung kinerja Wenas, karena semua pekerjaan bisa selesai dengan cepat dan membantu dirinya hingga tim untuk bekerja lebih baik lagi.

“Bagi saya yang seorang introvert justru menyukai segala hal serba teratur. Dengan demikian semua permasalahan dan bagaimana cara tepat untuk bisa mengatasinya bisa dengan mudah diselesaikan secara bertahap. Secara otomatis jika ritme kerja sudah ditemukan, pekerjaan tersebut akan selesai lebih cepat,” kata Wenas.

Meditasi mendukung produktivitas

Salah satu kebiasaan yang sudah dilakukan oleh Wenas sejak tahun 2008 lalu adalah secara rutin melakukan meditasi. Meskipun pada awalnya lebih kepada proses penyembuhan tubuh, namun meditasi yang dilakukan olehnya secara rutin justru kini mampu melatih kesabaran hingga meningkatkan produktivitas kerja. Intinya adalah temukan work-life balance, yang akan memberikan pengaruh positif untuk kesehatan tubuh dan karir.

“Meditasi mampu membantu saya melatih kesabaran dan menemukan keseimbangan tersebut. Apakah Anda seorang introvert, extrovert, gemar melakukan secara teratur atau peduli dengan detail. Jika sudah ditemukan jati diri tersebut, pada akhirnya semua pekerjaan akan bisa diselesaikan lebih santai dan tentunya lebih mudah,” tutup Wenas.

Ada perbandingan mencolok antara mengelola banyak tugas dengan multitasking

Mengukur Untung Rugi Multitasking Saat Bekerja

Setiap founder startup pasti tahu betul bagaimana harus produktif setiap harinya dan mengembangkan keterampilan manajemen waktu. Di sisi lain, dua hal ini menjadi bumerang karena founder ditantang untuk mempertahankan fokusnya dan tidak terlalu menyebar melakukan semuanya sendirian.

Oleh karena itu, istilah multitasking dianggap sebagai sesuatu yang positif. Sebab semakin banyak yang bisa Anda lakukan secara sekaligus, semakin produktif hari Anda. Lama kelamaan, multitasking kurang disukai karena menurut suatu penelitian, ketika orang melakukan multitasking, mereka itu sebenarnya kurang produktif secara keseluruhan.

Mengelola banyak tugas vs multitasking

Ambil contoh, ketika menerima telepon dari klien, Anda juga mengecek dokumen soal bisnis lain secara bersamaan. Ini artinya Anda tidak memberikan perhatian secara penuh pada dua tugas tersebut. Sehingga bisa dikatakan multitasking bukan solusi terbaik karena melakukan dua hal sekaligus dalam satu waktu.

Mungkin Anda menyimpulkan solusinya adalah mengurangi pekerjaan agar dapat lebih fokus. Seperti halnya, ketika Anda seorang founder startup mungkin akan lebih efektif apabila hanya menjalankan satu bisnis saja. Anda tidak harus mengambil keputusan seperti itu.

Solusi terbaiknya adalah Anda harus fokus mengelola banyak tugas secara terstruktur, namun tidak melibatkan multitasking. Bagaimana Anda bisa disiplin menggunakan setiap menit yang ada, untuk fokus mengerjakan satu pekerjaan.

Apabila Anda tidak tahu cara fokus dan membuat prioritas, Anda pasti akan kesulitan mengelola satu pekerjaan atau area lain dalam hidup Anda. Bayangkan saja Anda seperti mahasiswa, yang mengambil empat hingga lima kelas per semesternya.

Haruskah mereka hanya mengambil satu kelas pada satu waktu? Tentu saja tidak. Apa yang dilakukan adalah fokus pada satu tugas pada satu waktu, entah dia mengambil satu kelas, tiga atau enam kelas. Pendekatan seperti inilah yang dapat diterapkan dalam bisnis.

Kiat agar tetap produktif dan fokus

1. Selektif tentang proyek yang akan Anda ambil. Semakin sibuk Anda, harus semakin cerdas sebelum memberikan lampu hijau untuk proyek atau tugas. Tanyakan kepada diri sendiri apakah ini benar-benar membantu Anda dalam menuju tujuan, atau hanya menguras waktu saja.

2. Minimalkan interupsi. Saat Anda menjalankan bisnis, orang akan selalu ingin bicara dengan Anda. Jika tidak bisa disiplin membatasi waktu di telepon ataupun saat bertemu langsung, maka Anda akan kesulitan menyelesaikan apapun. Untuk itu, sebaiknya Anda menyisihkan waktu tertentu ketika ingin fokus pada pekerjaan tertentu.

3. Selalu buat meeting yang singkat namun fokus. Sebab meeting yang berlarut-larut tanpa alasan yang baik, pastinya hanya akan menguras waktu dan mengurangi produktivitas Anda.

4. Fokus hanya pada satu tugas dalam satu waktu. Ini adalah tips paling penting dari semuanya. Jumlah waktu yang Anda habiskan untuk satu tugas tidak harus panjang. Bisa menerapkan fokus selama 25 menit saja, lalu istirahat sejenak. Ini bakal sangat efektif untuk Anda sendiri. Kuncinya adalah harus disiplin untuk tidak terganggu dari berbagai faktor, baik dari diri sendiri, ponsel, komputer, atau orang lain.

Ketika Anda memberikan perhatian penuh pada setiap tugas yang saat itu ada di depan mata, maka Anda akan dapat mengelola banyak pekerjaan tanpa disadari. Hal ini tentunya baik untuk kelancaran bisnis, sebab Anda bisa mengurangi potensi kesalahan. Dalam saat yang bersamaan tetap produktif mengerjakan banyak pekerjaan.

Artikel ini membahas beberapa metodologi populer yang dapat dipilih founder untuk mengukur besaran pangsa pasar calon pengguna produk atau layanan startup

Mengukur “Market Size” untuk Startup Tahap Awal

Mengetahui market size (besaran pangsa pasar) penting untuk dilakukan startup sebelum benar-benar meluncurkan produk atau layanan, bahkan baiknya dilakukan sebelum proses pengembangan dilakukan. Tujuannya untuk mengetahui potensi pengguna atau keuntungan yang nantinya bisa didapatkan dari penjualan produk tersebut. Saat melakukan pitching ke investor, statistik terkait market size ini juga menjadi salah satu penjelasan utama yang dibutuhkan –bagi investor ini terkait proyeksi ROI (Return of Investment) yang bisa didapat.

Sebelum membahas lebih rinci tentang metodologi market sizing, di sini akan kembali diulas secara singkat mengenai hal-hal yang dibutuhkan oleh startup tahap awal. Secara umum, setiap startup harus melewati fase yang disebut dengan product-solution-market fit, yakni untuk (1) memvalidasi produk yang dikembangkan benar-benar dibutuhkan, (2) memastikan solusi yang dihadirkan efisien menyelesaikan masalah, dan (3) meyakinkan terdapat konsumen yang akan membuat bisnis bertahan.

Beberapa pertanyaan berikut ini bisa menjadi rujukan founder untuk meyakinkan kembali dengan peluncuran startupnya.

Problem Solution Market Fit
Memahami problem, solution, dan market untuk startup tahap awal / DailySocial

Untuk mendefinisikan problem dan solution, pendekatannya bermacam-macam. Salah satunya bisa menggunakan Business Model Canvas. Sementara untuk mengukur market, terdapat metode lain yang bisa diikuti oleh founder. Dua yang paling populer adalah Top-Down Market Sizing dan Bottom-Up Market Sizing.

Top-Down Market Sizing

Mekanisme ini dilakukan dengan mendefinisikan pangsa pasar pengguna secara universal. Lalu diturunkan ke dalam beberapa level menggunakan atribut penyaringan tertentu, hingga mencapai estimasi pasar potensial yang mengerucut.  Berikut ini contoh mengukur market size untuk sebuah platform online pendidikan sebagai penunjang materi pembelajaran.

Market Size Top Down
Mengukur market size dengan top-down / DailySocial

Menurut APJII, pengguna internet di Indonesia per tahun 2018 sebesar 171,17 jiwa. Karena produk yang akan dilahirkan startup menyasar kalangan pelajar, maka perlu dicari tahu, dari total pengguna internet tersebut berapa persen yang datang dari kalangan pelajar – data ini bisa menjadi lebih kecil lagi jika produk startup menyasar level pelajar tertentu, misal mahasiswa saja. Namun pada contoh ini akan diambil data persentase pelajar secara umum, sehingga didapat angka 71,8% dari pengguna internet adalah pelajar.

Di studi kasus ini, produk yang akan dihasilkan ialah platform online yang berisi berbagai bahan ajar digital. Dari data yang sudah ada sebelumnya, tidak dimungkiri bahwa tidak pelajar menggunakan internet untuk mencari bahan ajar digital. Sehingga perlu dicari data yang lebih mendalam, seberapa banyak pengguna internet dari kalangan pelajar yang memanfaatkannya untuk mencari materi belajar. Dari data yang ditemukan (masih dari APJII) ada sekitar 9,6% memanfaatkan untuk mencari data-data seputar kebutuhan belajar.

Selanjutnya lakukan pengurangan secara berjenjang. Dari angka pangsa pasar umum yang didapat (dalam hal ini pengguna internet di Indonesia), dikurangi dengan jumlah persentase yang merupakan kalangan pelajar, dan dikurangi lagi dengan persentase kalangan pelajar yang memanfaatkan internet untuk mengakses materi belajar. Hasilnya merupakan market size yang bisa dirangkul dengan produk startup tersebut.

Bottom-Up Market Sizing

Kebalikan dari metodologi sebelumnya, bottom-up dimulai dengan mengidentifikasi segmen pelanggan spesifik. Dari sana founder dapat mengukur pangsa pasar dan proyeksi pertumbuhannya. Proses perhitungannya pun dimulai dari cakupan yang paling realistis –mekanisme bottom-up biasanya dipilih karena adanya keterbatasan seperti sumber daya untuk menjangkau pasar. Dengan studi kasus sama dengan contoh pada metodologi sebelumnya, maka didapat proses seperti berikut ini.

Market Size Bottom Up
Mengukur market size dengan bottom-up / DailySocial

Penjelasan simulasi di atas adalah sebagai berikut. Platform online yang berisi materi belajar akan menyasar kalangan siswa SMA yang tengah mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Maka founder dapat mengidentifikasi seberapa banyak SMA di area yang ingin disasar. Dari jumlah sekolah tersebut berapa siswa kelas 3 yang akan mengikuti ujian. Lantas dicari tahu lagi berapa banyak siswa yang sudah menggunakan ponsel pintar dan internet.

Estimasi pasarnya akan cenderung lebih sedikit, namun karena cakupannya dibatasi. Asumsinya ketika startup di fase growth, mereka akan menjangkau pangsa pasar yang lebih luas dengan ekspansi ke provinsi dan kota lain.

Pendekatan mana yang cocok?

Bisa dikatakan kedua metodologi di atas saling melengkapi. Dalam perhitungan pangsa pasar ada terminologi “TAM-SAM-SOM“. TAM merupakan akronim dari Total Addressable Market, yakni siapa saja orang yang diharapkan dapat dijangkau dengan produk yang dikembangkan. SAM merupakan kependekan dari Segmented Addressable Market, yakni porsi dari TAM yang secara spesifik ditargetkan oleh startup. Dan SOM atau Share of The Market, yakni bagian dari SAM yang sudah diraih, pengguna di fase awal startup.

TAM-SAM-SOM
TAM-SAM-SOM dalam perhitungan pangsa pasar / Matthews on Marketing

Metodologi top-down market sizing sangat cocok untuk mengestimasi TAM dan SAM. Sementara bottom-up market sizing lebih cenderung menghitung estimasi SAM dan SOM.

Meminimalkan risiko dalam merekrut talenta, mulai dari memperhatikan situs lowongan kerja, media promosi lowongan, dan "head hunting"

Mengoptimalkan Pencarian Talenta

Dalam menjalankan sebuah startup menambah anggota tim adalah sebuah keniscayaan. Seiring berkembangnya sebuah bisnis tim juga harus berkembang, untuk mengimbangi peningkatan operasional juga untuk melanjutkan inovasi selanjutnya.

DailySocial beberapa kali menerbitkan tips mengenai perekrutan talenta. Beberapa di antaranya berfokus bagaimana menemukan talenta terbaik dan pengalaman dari beberapa pihak.

Untuk melengkapi tips yang ada, tulisan kali ini akan membahas mengenai bagaimana menghindari kesalahan dalam merekrut talenta.

Media promosi lowongan

Di mana kita mempromsikan lowongan akan berpengaruh dengan siapa saja yang akan datang melamar. Untuk itu tidak ada salahnya untuk mengumumkan lowongan pekerjaan melalui media-media yang lebih fresh, misalnya podcast, youtube, atau bahkan acara offline.

Khusus untuk acara offline, salah satu caranya dengan mengadakan acara temu komunitas, seminar atau bahkan open house. Memperhatikan siapa saja yang datang, siapa saja yang tertarik, dan siapa saja yang antusias. Pendekatan ini bermanfaat untuk mengetahui minat dan keterarikan seseorang terhadap tema yang diadakan. Nilai tambah lainnya kita bisa lebih dekat dengan komunitas dan mendapat akses untuk sumber talenta yang lebih banyak

Head Hunting

Mencari talenta baru bukan berarti harus mencari mereka yang sedang membutuhkan lowongan, alternatifnya adalah mencoba memberi tawaran kepada mereka yang memang sudah ada di bidangnya, meski masih bekerja. Hal ini lazim dilakukan oleh startup, tinggal bagaimana penawaran yang dilakukan.

Sistem “jemput bola” ini bisa sangat mengurangi kesalahan / risiko dalam merekrut talenta baru. Proses head hunting lazimnya akan dimulai dengan pengamatan mendalam mengenai perseorangan, mulai dari posisinya sekarang dan kemampuan yang dimiliki. Kemudian pengamatan akan dilanjutkan dengan profil perseorangan.

Yang perlu dipertimbangkan ketika memutuskan memberikan penawaran untuk mereka yang sudah memiliki posisi/pekerjaan adalah nilai tawar. Mereka tentu akan menimbang keuntungan-keuntungan apa yang akan didapatkan dan selalu akan dibandingkan dengan posisi mereka sekarang.

Di sisi lain, proses head hunting, yang biasanya dilakukan untuk mengisi posisi pimpinan atau setidaknya untuk memimpin sebuah tim, memiliki banyak sekali keunggulan. Salah satunya adalah kemampuan dan pengalaman yang terjamin.

Situs pencarian kerja

Situs pencarian kerja bisa jadi cara paling sederhana untuk melakukan proses pencarian talenta baru. Namun perlu diingat, tidak semua situs pencarian kerja menawarkan talenta yang sesuai dengan kebutuhan bisnis. Untuk mengurangi risiko menyaring terlalu banyak pelamar gunakanlah situs pencarian kerja yang terpercaya, atau situs pencarian kerja yang spesifik. Misalnya situs lowongan khusus programmer, public relation, dan lainnya.

Selain situs pencari kerja media sosial juga bisa jadi kanal untuk mencari talenta berbakat. Selain mengetahui profil, media sosial juga sering dijadikan tempat untuk pamer karya dan keterampilan oleh sebagian orang.

Business Model Canvas merupakan mekanisme yang dapat dipilih founder untuk mengidentifikasi dan menganalisis proses bisnis startup yang ingin dijalankan

Membuat “Business Model Canvas” untuk Startup Pemula

Banyak hal yang harus dilakukan founder untuk memastikan bisnis startup berjalan baik ketika diluncurkan, salah satunya dengan mematangkan model bisnis (business model). Model bisnis adalah strategi yang akan dilakukan startup untuk menghasilkan nilai (value) untuk berbagai pihak yang terlibat dalam proses itu sendiri.

Penting untuk menjadi catatan, model bisnis berbeda dengan rencana bisnis (business plan). Tujuan model bisnis ialah untuk membantu startup memvalidasi sumber daya, aktivitas, kanal, hingga hubungan yang akan dijalin. Sementara rencana bisnis lebih kepada strategi untuk mencapai target yang diinginkan — sehingga nantinya akan berbicara mengenai pemasaran, keuangan, dan lain-lain.

Perbedaan model bisnis dan rencana bisnis
Perbedaan model bisnis dan rencana bisnis / NVI

Model bisnis untuk startup tahap awal sifatnya eksperimental. Artinya konsep yang dibuat pertama kali bisa saja tidak berhasil diimplementasikan, karena founder memang perlu melakukan pengujian, validasi dan pembuatan ulang hingga menemukan model yang pas untuk startupnya.

Business Model Canvas

Business Model Canvas (BMC) adalah kerangka kerja yang paling populer untuk mendefinisikan model bisnis startup. Kanvas disusun untuk menjelaskan, memvisualisasikan, menilai, dan mengubah model bisnis agar menghasilkan kinerja yang lebih optimal untuk startup. Kanvas ini dapat digunakan untuk semua jenis startup, tanpa terbatas sektor usahanya. Bagi founder dan/atau mentor startup, BMC digunakan untuk menganalisis kekuatan dan kekurangan proses bisnis.

Susunan Business Model Canvas
Susunan Business Model Canvas / JAM

BMC memiliki sembilan elemen yang saling terhubung. Adapun sembilan elemen tersebut meliputi: (1) Customer Segments, (2) Customer Relationships, (3) Value Proposition, (4) Channels, (5) Revenue Streams, (6) Key Activities, (7) Key Partners, (8) Resources, (9) Cost Structure. Mungkin dalam template yang berbeda penyebutan istilahnya berbeda, namun pada dasarnya tujuannya tetap sama.

Secara fungsi, kesembilan elemen tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yakni desirability (elemen yang mendefinisikan keinginan startup/founder) meliputi customer segments, value proposition dan customer relationships; feasibility (elemen yang mendefinisikan dukungan untuk merealisasikan keinginan tersebut) meliputi channels, key activities, key resources dan key partners; dan viability (elemen yang mendefinisikan ketahanan bisnis) meliputi revenue streams dan cost structure.

Template kanvas BMC yang paling populer digunakan dan gratis dapat diunduh di Strategyzer. Dalam artikel ini, petunjuk pengerjaan yang akan digunakan mengambil template dari situs tersebut.

Penjelasan elemen BMC

Pengisian template BMC dimulai dari kolom Customer Segments di sebelah kanan. Pada dasarnya bagian ini ditulis daftar konsumen yang disasar. Dalam mengisi, founder perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: “Siapa pengguna utama produk Anda? Bagaimana karakteristiknya? Apa saja segmentasi konsumen yang ingin disasar?”, agar menjadi lebih spesifik dan detail.

Segmentasi konsumen bisa beragam, bahkan sebuah produk bisa saja menyasar lebih dari satu segmen. Beberapa jenis segmentasi dalam startup digital seperti B2C (Business to Consumer), B2B (Business to Business), C2C (Customer to Customer), B2G (Business to Government) — atau gabungan dari beberapa segmentasi seperti B2B2C dan B2B2G.

Tidak cukup sampai di situ, masing-masing segmen pelanggan harus dipahami karakteristiknya secara mendalam. Sementara karakteristik masing-masing segmen pelanggan bisa saja berbeda penjabarannya. Bagan di bawah ini adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab founder agar memahami karakteristik calon pelanggannya.

Karakteristik konsumen B2C dan B2B
Memahami karakteristi konsumen dari segmen B2C dan B2B

Kemudian elemen berikutnya Value Proposition, yakni berisi mengenai solusi yang coba ditawarkan kepada pelanggan. Beberapa pertanyaan yang dapat dijawab founder untuk mengisi bagian ini di antaranya: “Masalah apa yang coba diselesai dengan produk/layanan startup Anda? Apakah permasalahan tersebut cukup signifikan? Solusi apa yang ingin ditawarkan? Apa manfaat solusi tersebut bagi konsumen?”.

Lalu yang menjembatani antara dua elemen tersebut di atas Channel, yakni tentang bagaimana solusi disampaikan kepada pelanggan. Prinsip dari elemen channels nantinya akan terkait dengan pemasaran, penjualan, distribusi, dan dukungan pasca penjualan. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab founder untuk mengisi elemen ini antara lain: “Bagaimana startup Anda berkomunikasi dengan pelanggan? Bagaimana menyampaikan produk/layanan ke konsumen?”.

Kemudahan akses ke layanan digital memang membuat poin ini terlihat makin mudah. Media sosial, situs online, atau aplikasi ponsel bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun kembali lagi, pemilihan kanal sebaiknya dipilih berdasarkan karakteristik pelanggan yang sudah diidentifikasi dalam proses sebelumnya.

Revenue Streams menjadi elemen berikutnya yang perlu dipikirkan, yakni bagaimana solusi yang dihasilkan dapat menghasilkan pemasukan bagi startup. Di era digital ini, varian revenue streams menjadi lebih luas. Ada yang bersifat langsung seperti pembayaran per transaksi, lisensi, berlangganan, freemium, iklan, penjualan produk dll. Ada juga yang bersifat tidak langsung seperti referral, affiliate dll. Tiap produk/layanan bisa memiliki mekanisme yang berbeda dan bisa memiliki lebih dari satu mekanisme.

Selain perlu memahami ragam jenis revenue streams untuk bisnis digital, founder juga perlu mencermati beberapa hal berikut: “Bagaimana dengan model perhitungan harga (pricing models) yang diterapkan? Di harga berapa konsumen mau membayar?, “Bagaimana perbandingan kontribusi antar revenue streams? Bagaimana harga yang ditawarkan kompetitor produk sejenis?”.

Selanjutnya masih ada lima elemen yang perlu diisi. Kelimanya diisi berdasarkan empat poin di atas yang sudah didefinisikan. Berikut penjelasan kelimanya:

  • Customer Relationships merupakan mekanisme yang dilakukan oleh startup untuk berhubungan dengan pelanggan. Tujuannya untuk meningkatkan traksi, sehingga tidak berpaling ke produk kompetitor.
  • Key Activities merupakan berbagai kegiatan yang perlu akan dilakukan untuk merealisasikan empat elemen di atas, mulai dari riset konsumen, pengembangan produk, hingga distribusi melalui kanal yang dipilih.
  • Key Resources adalah berbagai kebutuhan yang perlu disediakan untuk merealisasikan model bisnis, bisa berupa dukungan orang, alat atau perangkat lunak, dan lain-lain.
  • Key Partnership adalah pihak-pihak yang menjadi penentu jalannya bisnis. Misalnya yang dikembangkan adalah platform e-commerce, bisa jadi yang menjadi rekanan utamanya adalah pemasok barang atau distributor.
  • Cost Strucuture berisi biaya-biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengembangkan, memasarkan dan mendistribusikan layanan yang berhasil dikembangkan startup.

Berikut ini contoh BMC yang ditemukan di internet, dengan studi kasus beberapa bisnis digital yang saat ini sudah sukses.