Tag Archives: startup talent

Tim R&D Line tersebar di beberapa negara, memiliki berbagai cara mendapatkan talenta

Peran Tim Lokal untuk Penetrasi Layanan Line

Beberapa dari kita mungkin mengenal Line sebagai aplikasi pesan instan. Meskipun demikian, pada dasarnya Line lebih dari sekedar aplikasi pesan instan karena sebagai perusahaan teknologi mereka mulai mengembangkan beberapa fitur dan layanan. Baik yang tergabung dalam aplikasi Line maupun yang terpisah. Mulai dari fitur baca berita hingga fitur fintech.

Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana Line masuk ke pasar-pasar lokal. Mereka menempatkan tim produk dan engineer di beberapa negara untuk bisa mengetahui kondisi dan minat pasar lokal terhadap produk-produk yang sedang mereka kembangkan.

Di Indonesia, sejumlah anggota tim produk dan engineer Line merupakan anggota tim TemanJalan yang diakusisi Line Indonesia pada November 2017. Termasuk di dalamnya adalah Product Manager Line Indonesia Fauzan Helmi Sudaryanto yang membantu Line merangkul lebih banyak pengguna di Indonesia.

Kepada DailySocial, Fauzan membeberkan bahwa tim produk dan engineer di setiap negara memiliki tugas untuk memberikan wawasan kepada Line tentang kondisi pasar lokal. Tentang bagaimana kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap produk baru, termasuk rekam jejak layanan serupa yang pernah hadir sebelumnya.

Berdasarkan insight tersebut, tim lokal memiliki peluang untuk meluncurkan produknya sendiri.

Meski tidak bisa menentukan layanan apa yang akan diluncurkan oleh Line global, tim lokal Line memiliki peran penting untuk memberikan masukan mengenai layanan apa yang cocok untuk pasar tersebut. Jika cocok, layanan tersebut bisa diaplikasikan juga di negara-negara lain.

Fauzan menambahkan, tak jarang mereka berdiskusi dengan tim lokal lainnya untuk mengembangkan produk yang sama. Salah satu contohnya adalah keputusan memisahkan Line Today menjadi sebuah aplikasi terpisah.

Line sudah memperkenalkan layanan-layanan baru di Indonesia, seperti aplikasi Line Today (yang terpisah dari aplikasi utama Line), T-GO! (sebuah layanan kuis), Line Today Buzz, dan beberapa lainnya. Mereka juga memudahkan pengembang bereksplorasi dengan chatbot di dalam layanan pesan instan Line.

Cara Line membangun tim lokal

Sebagai perusahaan teknologi, Line saat ini bisa dikategorikan sebagai perusahaan global. Aplikasi dan layanannya sudah digunakan banyak orang di banyak negara di dunia. Pun dengan tim-tim lokal mereka.

Fauzan bercerita, Line memiliki banyak tim lokal yang tersebar di beberapa negara, tidak hanya di pasar-pasar potensial. Nantinya talenta lokal tersebut akan dimanfaatkan Line untuk mengembangkan proyek-proyek yang ada, baik proyek global maupun lokal.

Untuk di Indonesia sendiri Line tercatat memiliki beberapa cara untuk membangun tim. Salah satunya dengan akuisisi, seperti yang dilakukan terhadap TemanJalan tahun 2017 silam. Fauzan menambahkan bahwa sebenarnya mereka memiliki banyak cara untuk membangun tim lokal, termasuk menyoroti mereka yang memiliki potensi atau mereka yang menjuarai kompetisi. Seleksinya pun tidak hanya dilakukan oleh tim lokal, tetapi juga tim global.

we are opening our ears, our eyes, [..] untuk how to get the best talent di Indonesia,” imbuh Fauzan.

Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) merilis hasil survei soal perusahaan digital dan umumkan program idEA Works yang bakal diselenggarakan Februari 2019

idEA Gelar idEA Works, Program Menyeimbangkan Suplai dan Permintaan Talenta Digital

Survei idEA menyebut sebuah startup paling tidak harus mengeluarkan biaya sebesar Rp210 juta sampai Rp1,1 miliar untuk merekrut C-level lewat headhunter. Tingginya biaya ini disebabkan kurangnya suplai SDM talenta digital di Indonesia.

Ketua Umum idEA Ignatius Untung merinci lebih jauh, untuk level junior biaya yang harus dirogoh startup antara Rp13,2 juta sampai Rp29 juta. Level menengah Rp25 juta sampai Rp79 juta dan level senior Rp66 juta sampai Rp264 juta. Biaya ini belum termasuk gaji dan fasilitas lain untuk talenta.

Sudah menghabiskan biaya yang tinggi, rasio pegawai keluar masuk (turnover rate) cukup tinggi mencapai 19,22%. Rasio ini cukup tinggi dibandingkan perusahaan konvensional di bawah 10%.

“Karena suplainya yang kecil, jadinya ada tren bajak membajak talenta. Pastinya kalau pindah perusahaan yang dilihat adalah gajinya pasti naik. Ini yang membuat biaya tinggi,” ujarnya, Kamis (8/11).

Profesi talenta digital dengan gaji termahal di Indonesia adalah di sektor IT, seperti programmer, developer, dan engineer. Kemudian disusul product manager, data (business intelligent), digital marketing, brand manager, dan sales. Kelima profesi tersebut sekaligus dinobatkan memiliki turn over rate tertinggi dibandingkan pekerjaan lainnya.

Survei juga menyebut tahun depan diprediksi kebutuhan talenta digital bakal naik 35,1%. Pada tahun ini pertumbuhan rekrut talenta digital mencapai 76,8%. Perusahaan berpotensi rugi minimal Rp20 juta perbulan untuk setiap posisi yang mengalami kekosongan.

Padahal, setiap kali perusahaan mendapat talenta dan bertahan antara 2 sampai 3 tahun, dia dikategorikan sebagai pegawai yang baik. Sebab setiap talenta memiliki life time value secara rerata lebih dari Rp720 miliar.

Dari hasil survei dilihat, posisi terbesar talenta hanya bertahan di satu perusahaan antara 1 sampai dua tahun. Talenta yang bekerja lebih dari 5 sampai 6 tahun jumlahnya terkecil.

“Karena aset terbesar startup ada SDM. Beda dengan perusahaan besar yang punya aset tetap seperti tanah, gedung, dan sebagainya. SDM juga bukan aset yang susut secara nilainya.”

Untuk menyelesaikan soal ini, idEA akan membuat panduan soal gaji yang bisa menjadi acuan buat para perusahaan startup demi memperbaiki kondisi. Bagaimana sebaiknya gaji yang harus diberikan untuk setiap profesi sebab selama ini tidak ada sumber data yang valid dalam penentuannya.

“Sehingga, meski status sudah unicorn jadi perlu tahu seberapa besar gaji yang pantas diberikan ke pegawainya. Jangan karena sudah unicorn, uangnya banyak jadi bisa seenaknya [menggaji]. Meski ini nantinya hanya bersifat panduan saja, tidak diwajibkan harus dipatuhi.”

Tidak hanya melakukan survei soal rekrutmen saja, idEA juga menyelidiki dari sisi suplai di lapangan. Hasilnya, sebanyak 87% calon mahasiswa memilih jurusan bukan dengan alasan ideal, kemudian sebanyak 50,55% calon mahasiwa memutuskan jurusan karena faktor eksternal.

Lalu, fakta lain memperlihatkan 65,55% calon mahasiswa hampir tidak tahu pekerjaan dari jurusan yang dipilih. Kondisi ini mengakibatkan lulusan yang dihasilkan oleh universitas adalah biasa-biasa saja. Bisa dijadikan sebagai salah satu penyebab angka pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi hingga semester I/2018 mencapai 800 ribu orang.

“Ini merupakan akibat dari contextless learning di Indonesia. Hasilnya kebanyakan lulusan universitas ditempatkan sebagai lulusan yang pas-pasan atau mediocre graduates,” tambah Ketua Bidang Human Capital Development idEA Sofian Lusa.

Survei idEA ini dilakukan terhadap startup, pelajar SMA, dan guru yang berlokasi di tiga kota, Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Masing-masing ketegori responden di tiap kota diambil 500 orang responden.

Gelar idEA Works

Atas hasil survei internal asosiasi, ditambah survei yang disadur dari lembaga lain, memutuskan untuk menggelar program pelatihan SDM “idEA Works.” Program ini bakal digelar pada Februari 2019 dengan menggandeng pelaku industri, kampus, dan sekolah menengah atas, berikutnya akan jadi agenda tahunan rutin idEA untuk kedepannya.

Ada dua turunan program dari IdEA Works ini. Ada idEA Works Edu sebagai expo informasi sekolah dan karir yang menyasar anak sekolah sebelum masuk ke perguruan tinggi dan idEA Works Pro untuk forum pengembangan karier profesional.

“Program yang bakal kami jalankan ini ternyata beriringan dengan pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan pemerintah. Selanjutnya kami membangun dari sisi SDM,” ucap Untung.

Asosiasi akan melakukan canvassing ke berbagai sekolah menengah atas di Jakarta untuk presentasi ke pelajar, orang tua, dan guru memberikan mereka edukasi secara menyeluruh tentang pekerjaan di era digital.

Bakal ada materi soal profil pekerjaan, kisaran gaji yang diterima, bagian dalam bagaimana perusahaan digital bekerja, hingga suasana kantor. Seluruh informasi tersebut akan tersedia dan bisa diakses materinya oleh para orang tua. Sehingga ada gambaran soal minat, bakat, dan jurusan yang tepat dan nantinya bisa memberi profesi yang berdampak.

“Ini bisa memberikan benefit kepada kampus karena mereka bisa dipertemukan dengan bibit mahasiswa yang bagus dan dorong anak-anak untuk tertarik merintis karir di perusahaan digital.”

Sementara itu, untuk idEA Works Pro merupakan jembatan untuk orang-orang yang baru merintis karir atau sudah level profesional dan ingin meningkatkan kemampuan dirinya agar lebih baik. Atau bisa juga mencari kesempatan baru di perusahaan digital.

“Ini [idEA Works Pro] bukan job fair. Bisa buat cari kerja, namun juga dipakai untuk orang-orang yang mau perbagus kariernya dengan insight dari pakar-pakarnya karena juga ada seminar.”

Konsep mencari kerja yang diusung disebut Elevator Pitch. Jadi kandidat melakukan pitching selama dua menit di depan perusahaan apa kemampuan pribadi yang diunggulkan sehingga bisa bermanfaat buat perusahaan. Ada juga Win Job Competition dengan menyelesaikan case study yang ditantang oleh perusahaan, lalu kandidat akan pitching, dan kalau terpilih dialah yang berhak mendapat pekerjaan tersebut.

“Melalui idEA Works kami berkomitmen untuk membantu kampus, dan talenta muda untuk menjadi lulusan berkualitas yang bisa memberikan kontribusi pada ekonomi digital Indonesia,” pungkas Untung.

Bukan pendanaan yang menjadi kebutuhan utama startup Indonesia, melainkan talenta

Produksi Talenta Startup Berkualitas Lebih Cepat Dimulai dari Sekolah

Menarik benang merah peluncuran Database Startup Indonesia, kehadirannya diharapkan tak hanya berperan bagi penentu kebijakan di masa depan, tetapi juga dalam merancang program dan kaitannya menciptakan talenta sesuai dengan kebutuhan industri startup.

Minimnya jumlah talenta telah menjadi isu bagi industri startup di Indonesia beberapa tahun belakangan. Geliat industri startup yang semakin berkembang rupanya tak diimbangi dengan jumlah dan kualitas talenta yang ada.

Menurut Founder dan CEO HAHO Anthonius Andy Permana, ada potensi monopoli talenta dari startup-startup berstatus unicorn. Ia menilai talenta yang bekerja di sini adalah talenta yang memiliki kualitas dan sesuai kebutuhan startup.

“Mau bajak atau hire [talenta], apa harus dari Tokopedia atau Go-Jek?” tanyanya saat sesi tanya-jawab di peluncuran Database Startup Indonesia di Nusa Dua, Bali.

Menjawab hal ini, Ketua Umum Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) Joddy Hernady mengakui Indonesia saat ini masih sangat kekurangan talenta. Kalaupun ada, talenta ini dirasa belum mampu memenuhi startup yang kebutuhannya semakin kompleks.

“Riset yang kami lakukan di 2013 mengungkap seperti apa kebutuhan startup. Bukan pendanaan yang ada di urutan pertama, tetapi talenta, terutama di bidang software developer, untuk backend, frontend,” ungkap Jorry ditemui usai peluncuran Database Startup Indonesia di Nusa Dua, Bali.

Menurutnya ada kasus di mana talenta di Indonesia belum dapat menyelesaikan masalah ketika startup melakukan scale up.

“Buat software untuk 100 ribu pengguna dengan jutaan pengguna itu berbeda. Ketika scale up, mereka belum mampu mengatasi masalah itu,” tambahnya.

Sekjen MIKTI Andy Zaki juga menilai bahwa penciptaan talenta berkualitas akan lebih cepat apabila dimulai dari kebutuhan akademis di sekolah maupun perguruan tinggi.

“Suplai dan demand tidak sebanding. Harus banyak. Kualitas talenta juga harus ditingkatkan. Maka itu caranya adalah menambah talenta startup adalah lewat program belajar di sekolah, universitas, ada juga inisiasi dari pemerintah dan stakeholder terkait,” kata Andy.

MIKTI sejak beberapa tahun lalu mulai berkolaborasi dengan perguruan tinggi dalam menciptakan talenta, misalnya program D3 yang output-nya dinilai akan lebih unggul dibandingkan S1 untuk keahlian teknis.