Belum lama ini, Valve mengumumkan bahwa mereka harus menunda peluncuran Steam Deck selama dua bulan akibat krisis chip global yang terus berkelanjutan. Selagi konsumennya bersabar menunggu, Valve kembali memberikan update mengenai konsol genggam calon penantang Nintendo Switch tersebut.
Dikatakan bahwa Valve baru saja merampungkan prototipe final dari Steam Deck, dan bersamanya mereka juga ingin memperlihatkan seperti apa packaging yang bakal diterima konsumen mulai Februari 2022. Seperti yang bisa kita lihat, boks kemasan Steam Deck ini tampak begitu minimalis dan nyaris tanpa branding.
Selain unit konsol Steam Deck itu sendiri, paket penjualannya turut mencakup sebuah adaptor daya untuk charging, kontras dengan tren yang terus bertambah populer di dunia smartphone, dengan semakin banyaknya ponsel yang dijual tanpa charger sama sekali. Valve juga bilang bahwa jenis colokan adaptornya akan disesuaikan dengan region dari masing-masing konsumen, meski sayangnya Indonesia masih belum termasuk salah satunya, setidaknya di tahap pemesanan awalnya ini.
Setiap unit Steam Deck juga akan datang bersama sebuah carrying case, termasuk untuk varian termurahnya. Gambar di bawah adalah carrying case untuk varian 64 GB dan 256 GB, sedangkan varian 512 GB bakal disertai case yang lebih spesial yang masih misterius.
Menurut Valve, prototipe versi final dari Steam Deck ini bakal mereka gunakan untuk sejumlah pengujian tambahan, sekaligus sebagai dev kit yang akan mereka kirim ke kalangan developer. Prototipe final ini mengemas sejumlah penyempurnaan jika dibandingkan dengan versi yang sempat didemonstrasikan ke awak media pada bulan Agustus lalu, akan tetapi Valve tidak merincikan apa saja yang berubah.
Valve juga bilang bahwa akan ada sejumlah perubahan minor pada versi finalnya yang bakal diproduksi secara massal setelah ini. Dengan kata lain, prototipe terakhirnya ini pun masih belum 100% merepresentasikan versi ritel yang bakal diterima konsumen nantinya.
Dengan segala daya tariknya, Steam Deck berpotensi menjadi salah satu gadget terpanas tahun depan. Valve sendiri tampaknya cukup pandai membangun momentum; update singkat mengenai packaging dan prototipe versi final ini jelas dimaksudkan untuk semakin menumbuhkan hype yang sudah tergolong besar, namun di saat yang sama juga membantu membangun image Valve sebagai perusahaan yang transparan.
$400 untuk sebuah konsol genggam yang jauh lebih perkasa ketimbang Nintendo Switch merupakan premis yang sangat menggiurkan, belum lagi fakta bahwa konsol tersebut juga bisa berfungsi layaknya PC tradisional ketika dibutuhkan. Tidak heran kalau kemudian Steam Deck terus menjadi buah bibir meski peluncurannya harus ditunda dua bulan.
Sambil menunggu, Valve rupanya ingin berbagi lebih banyak mengenai konsol genggamnya tersebut. Lewat sebuah live stream yang ditujukan untuk kalangan developer, Valve menyingkap banyak detail baru terkait Steam Deck, khususnya dari sudut pandang teknis. Berikut rangkuman poin-poin yang paling menarik dari presentasi Valve.
1. Aerith SoC
Penggemar Final Fantasy VII mungkin bakal tersenyum mendengar ini: chip bikinan AMD yang mengotaki Steam Deck dinamai Aerith. Sebagai pengingat, chip ini merupakan sebuah APU yang menggabungkan 4-core dan 8-thread CPU Zen 2 dengan 8 compute unit (CU) RDNA 2.
CPU-nya mampu berjalan di kecepatan 2,4-3,5 GHz, sementara GPU-nya di 1-1,6 GHz. Sepintas terkesan pelan, dan chip-nya pun tidak dibekali teknologi turbo boost sama sekali. Menurut Valve, rancangan seperti ini disengaja guna memastikan performa Steam Deck bisa konsisten di segala skenario.
“Performa game Anda dalam sepuluh detik pertama kemungkinan besar bakal sama dengan performanya dua jam dari sekarang, atau seterusnya jika perangkat dicolok ke listrik,” terang Yazan Aldehayyat selaku Hardware Engineer Valve.
2. TDP 15 W
Aerith secara spesifik dirancang untuk beroperasi seefisien mungkin, dengan rentang thermal design power (TDP) sebesar 4-15 W. Namun sekali lagi, supaya kinerjanya bisa konsisten, baik dalam posisi handheld atau docked, Valve tidak membatasi seberapa besar daya yang bisa dikonsumsi oleh Aerith.
Kendati demikian, Valve tetap menerapkan sejumlah optimasi, semisal fitur global frame rate limiter (30 fps atau 60 fps) untuk game apapun sehingga masing-masing pengguna bebas menentukan apakah mereka lebih mementingkan performa atau daya tahan baterai.
Tidak kalah menarik adalah bagaimana Steam Deck dirancang agar membatasi kecepatan charging, kecepatan download, atau bandwith SSD-nya ketika suhu perangkat terdeteksi cukup tinggi. Tujuannya supaya kinerja optimal GPU-nya tetap bisa dipertahankan dalam kondisi yang kurang ideal, seperti ketika sedang bermain di bawah terik matahari misalnya.
3. RAM 16 GB
Aerith ditandemkan dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 16 GB dan VRAM 1 GB. Valve menjelaskan bahwa mayoritas game modern sebenarnya tidak membutuhkan memori lebih dari 8 GB atau 12 GB, dan angka 16 GB ini murni Valve maksudkan untuk keperluan future-proofing.
Kok VRAM-nya kecil sekali? Ya, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa memorinya bersifat unified. Ini berarti GPU-nya bisa memanfaatkan kapasitas ekstra (hingga 8 GB) seandainya VRAM 1 GB tersebut terbukti kurang. Secara total, Steam Deck punya bandwith memori sebesar 88 GB/detik.
4. Performa mengalahi mini PC seharga $670
Pada laman dokumentasi untuk developer, Valve membandingkan Steam Deck dengan mini PC seharga $670 yang mengemas prosesor Ryzen 7 3750H, GPU Radeon RX Vega 10, dan RAM DDR4 16 GB. Menurut Valve, CPU-nya memang sedikit lebih perkasa ketimbang milik Steam Deck, akan tetapi GPU-nya lebih lemah dan bandwith memorinya lebih kecil, sehingga secara keseluruhan Steam Deck masih lebih superior.
5. eMMC vs SSD NVMe
Seperti yang kita tahu, Steam Deck hadir dalam tiga varian storage: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, tipe storage yang digunakan adalah eMMC, sementara dua varian sisanya menggunakan SSD NVMe. Sudah bukan rahasia kalau NVMe punya kinerja yang lebih gegas dibanding eMMC. Namun yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh selisihnya?
Di atas kertas, selisihnya rupanya tidak terlalu jauh kalau berdasarkan penjelasan Valve. Untuk loading game, varian 64 GB dengan eMMC cuma sekitar 12% lebih lambat dari varian 512 GB dengan NVMe, sedangkan untuk booting awal, selisihnya berkisar 25%. Waktu loading yang paling lama adalah jika game disimpan di kartu microSD, yakni sekitar 18% lebih lambat.
6. FSR untuk semua game
Secara teknis, port USB-C milik Steam Deck bisa mengakomodasi hingga dua monitor 4K 60 Hz sekaligus. Tentu saja itu konteksnya bukan bermain, sebab Steam Deck jelas bakal sangat kewalahan menjalankan game di resolusi setinggi itu.
Kabar baiknya, Steam Deck sepenuhnya kompatibel dengan teknologi upscaling FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD, yang tentunya bisa membantu meningkatkan performa ketika dipaksa menjalankan game di atas resolusi bawaannya (1200 x 800).
Memang tidak semua game, melainkan hanya judul-judul yang sejauh ini sudah mendukung FSR itu sendiri. Kendati demikian, Valve sudah punya rencana untuk merilis update sehingga Steam Deck bisa mendukung FSR di level sistem operasi, sehingga FSR dapat diaplikasikan ke game apapun.
7. Steam Remote Play
Berbekal Wi-Fi AC (Wi-Fi 5), Steam Deck diyakini mampu memberikan pengalaman Remote Play yang optimal — game dijalankan di PC, lalu di-stream oleh Steam Deck via Wi-Fi. Kenapa harus streaming kalau perangkatnya sanggup menjalankan game secara mandiri? Well, Valve bilang baterai Steam Deck bisa bertahan lebih lama saat dipakai streaming daripada saat menjalankan game-nya sendiri.
8. Quick suspend/resume
Sebagai sebuah konsol genggam, sudah sewajarnya apabila Steam Deck mendukung fitur quick suspend/resume. Tekan tombol power, maka perangkat masuk ke sleep mode. Tekan kembali, maka pengguna bisa langsung melanjutkan sesi bermain terakhirnya. Tidak dinyala-matikan seperti PC atau laptop.
Agar fitur ini bisa bekerja, Valve harus mengubah cara kerja sistem cloud save yang Steam tawarkan. Kalau sekarang sinkronisasinya cuma berlangsung ketika pengguna keluar dari game, nantinya sinkronisasi bakal berlangsung di background ketika fitur suspend tadi aktif.
Teorinya, ini berarti pengguna dapat berpindah dari Steam Deck ke PC secara cepat, ataupun sebaliknya. Tinggal pause game-nya, maka progresnya bisa langsung dilanjutkan di perangkat yang lain. Praktis dan sangat membantu.
Kabar mengecewakan bagi yang sudah tidak sabar menanti Steam Deck. Peluncuran konsol genggam besutan Valve tersebut terpaksa ditunda dua bulan. Yang tadinya dijadwalkan bakal dikirim ke konsumen pada bulan Desember 2021 kini harus mundur ke Februari 2022.
Di titik ini, sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu alasannya kenapa. Ya, apa lagi kalau bukan karena dampak dari fenomena kelangkaan chip global. Kalau industri otomotif saja sampai terkena imbasnya, apalagi industri gadget secara umum.
“Kami meminta maaf soal ini — kami melakukan yang terbaik untuk mengatasi masalah rantai pasokan global, tapi akibat krisis material, komponen tidak bisa tiba di fasilitas manufaktur kami tepat waktu sesuai dengan jadwal peluncuran awal kami,” tulis Valve dalam sebuah posting blog.
Perlu dicatat, Februari 2022 itu adalah estimasi tercepatnya, dan masing-masing konsumen bakal melihat estimasi waktu pengiriman yang berbeda berdasarkan antrean. Bahkan yang sama-sama melakukan pemesanan di hari pertama pengumuman Steam Deck pun bisa mendapati estimasi waktu pengiriman yang berbeda kalau menurut The Verge.
Kalau boleh menyimpulkan, stok Steam Deck sepertinya bakal cukup langka untuk beberapa waktu, kurang lebih sama nasibnya seperti Nintendo Switch maupun PlayStation 5.
Kabar baiknya, penundaan ini berarti Valve punya lebih banyak waktu untuk mengatasi isu kompatibilitas yang melanda Steam Deck. Seperti yang kita tahu, Steam Deck memang sudah dilengkapi dukungan software anti-cheat, akan tetapi masing-masing developer tetap perlu memperbarui game-nya agar software anti-cheat yang digunakan tidak bentrok dengan compatibility layer milik Steam Deck.
Belum lama ini, Valve juga sempat mengumumkan bahwa mereka akan meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan Steam Deck. Singkat cerita, Valve masih punya banyak PR, dan semoga saja penundaan ini berarti Steam Deck nantinya bisa meluncur dalam kondisi benar-benar matang.
Menjelang peluncuran resmi Steam Deck pada bulan Desember mendatang, Valve rupanya tengah sibuk meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan konsol genggamnya tersebut.
Seperti yang kita tahu, Steam selama ini memang lebih fokus mendistribusikan game untuk PC berbasis Windows ketimbang platform lain. Di saat yang sama, Steam Deck menjalankan sistem operasi berbasis Linux, dan hardware-nya juga berbeda dari PC tradisional. Artinya, tidak semua game yang tercantum di katalog Steam bakal berjalan secara optimal di Steam Deck.
Demi menghindari kesalahpahaman di kalangan konsumen Steam Deck, Valve akan membagi katalog Steam ke empat kategori yang berbeda: Verified, Playable, Unsupported, dan Unknown. Masing-masing disertai ikonnya tersendiri agar lebih mudah dikenali.
Game yang masuk kategori Verified dipastikan kompatibel dengan OS milik Steam Deck dan dapat dioperasikan sepenuhnya menggunakan controller-nya. Game di kategori ini juga siap disajikan di resolusi native milik Steam Deck (1280 x 800 atau 1280 x 720) tanpa masalah.
Tidak kalah penting, game dengan label Verified dijamin tidak akan bentrok dengan software anti-cheat. Nantinya, deretan game yang masuk kategori ini akan punya tempat sendiri di tab “Great on Deck”, baik di Store maupun di Library.
Kategori Playable mencakup game yang perlu diutak-atik secara manual oleh pengguna agar dapat dimainkan di Steam Deck. Agar lebih transparan, Steam akan memberikan detail lebih lengkap mengenai apa yang salah pada laman tiap-tiap game yang masuk kategori ini.
Salah satu contoh game yang masuk kategori Playable adalah Team Fortress 2, dengan alasan beberapa fiturnya tidak bisa diakses menggunakan controller Steam Deck (harus via touchscreen atau virtual keyboard), dan ada beberapa controller glyph yang tidak pas atau bahkan hilang.
Kategori Unsupported jelas ditujukan untuk game yang tidak bisa dijalankan oleh Steam Deck sama sekali. Contoh gampangnya adalah Half-Life: Alyx dan sederet judul game virtual reality (VR) lainnya. Pesan buat Valve: mungkin ini saat yang tepat untuk mengembangkan Half-Life: Alyx versi non-VR.
Terakhir, ada kategori Unknown yang sesimpel belum sempat dicek kompatibilitasnya oleh Valve. Mengecek satu demi satu game yang tersedia di katalog masif Steam tentunya bakal memakan waktu. Jadi upaya ini memang akan terus dijalankan meski Steam Deck nantinya sudah mulai dijual secara resmi.
Perlu dicatat, kategorisasi ini sifatnya tidak permanen. Semisal ada update yang dirilis oleh masing-masing developer game, atau jika software milik Steam Deck sendiri sudah semakin disempurnakan, kategori suatu game bisa saja berubah; dari sebatas Playable menjadi Verified, misalnya.
Valve saat ini juga tengah mengembangkan semacam fitur compatibility checker sehingga konsumen bisa mengecek koleksi game-nya masuk ke kategori mana saja sebelum membeli Steam Deck. Ikon kategorinya tadi akan muncul di setiap judul game, baik di Store maupun di Library.
Dengan banderol mulai $399 dan spesifikasi jauh di atas Nintendo Switch, tidak heran apabila Valve Steam Deck berhasil mencuri perhatian banyak gamer. Kalau ditanya kenapa bisa murah, salah satu alasannya adalah karena Valve tidak membebani konsumen dengan biaya lisensi Windows. Sebagai gantinya, Steam Deck menggunakan sistem operasi rancangan sendiri yang berbasis Linux.
Berhubung memakai Linux, Steam Deck harus mengandalkan bantuan compatibility layer bernama Proton agar mampu menjalankan game–game yang dikembangkan untuk Windows. Proton masih belum sempurna. Bahkan untuk beberapa judul game, Proton sama sekali tidak bisa menanganinya akibat ‘intervensi’ dari software anti-cheat yang digunakan di game–game tersebut.
Untung tidak selamanya harus seperti itu. Belum lama ini, Epic Games mengumumkan bahwa software anti-cheat populernya, Easy Anti-Cheat (EAC), kini sudah sepenuhnya mendukung sistem operasi Linux dan macOS. Lebih spesifik lagi, EAC kini dipastikan tidak akan lagi mengganggu compatibility layer macam Wine atau Proton itu tadi.
Dengan kata lain, Steam Deck jadi bisa menjalankan deretan game yang menggunakan EAC macam Apex Legends, Black Desert Online, Fall Guys, dan masih banyak lagi. Syaratnya, developer masing-masing game harus mengaktifkan dukungan atas Proton lebih dulu. Namun kalau memang tujuannya adalah menjangkau lebih banyak pemain (para pengguna Steam Deck), saya yakin developer rela mengambil langkah ekstra tersebut, terutama jika prosesnya semudah yang diklaim oleh Epic.
EAC bukan satu-satunya software anti-cheat yang eksis di industri video game saat ini. Software lain yang tak kalah populer adalah BattlEye, yang digunakan di game–game seperti PUBG dan Destiny 2. Game kebanggaan Epic, Fortnite, bahkan menggunakan kombinasi EAC dan BattlEye.
Kabar baiknya, BattlEye pun juga dipastikan bakal kompatibel dengan Steam Deck, berdasarkan pernyataan langsung CEO BattlEye, Bastian Suter, kepada The Verge. Namun kembali lagi, keputusan finalnya — apakah game akan di-update supaya kompatibel dengan Proton dan Steam Deck — ada di tangan masing-masing developer.
Andai pengguna Steam Deck nantinya benar-benar tidak mau dihadapkan dengan problem seputar kompatibilitas, mereka masih punya satu solusi pamungkas: install sendiri Windows ke Steam Deck, sebab konsol genggam tersebut memang sepenuhnya bisa diperlakukan layaknya sebuah PC konvensional.
Kehadiran Steam Deck sebagai konsol genggam yang mampu memainkan berbagai game PC memang masih terasa seperti mimpi. Namun dari berbagai tes yang diperlihatkan baik oleh Valve ataupun dari berbagai tech reviewer memang menunjukkan bahwa konsol genggam ini memiliki potensi yang sangat besar.
Apalagi narasi yang sebelumnya tersebar di berbagai media adalah konsol ini nantinya mampu memainkan game apapun yang ada di Steam. Pierre-Loup Griffais dari Steam bahkan mengklaim bahwa mereka tidak dapat menemukan game PC yang tidak dapat dimainkan oleh Steam Deck.
Hype ini ternyata membuat Presiden dari CodeWeaver, James B. Ramey sedikit khawatir karena ia merasa bahwa hal tersebut agak tidak mungkin bahwa setiap game yang ada di Steam mampu berfungsi penuh di dalam konsol ini.
How much did Codeweavers know about the Steam Deck before its announcement?
What does the Steam Deck mean for Proton compatibility? What’s the future of the Steam Deck? How big of a product will this be?…These questions and more answered! #opensource#gaming#linux#softwarehttps://t.co/jXweyvi0fw
CodeWeaver merupakan partner dari Valve yang ikut mengerjakan software Proton untuk Steam Deck. Proton merupakan software yang memungkinkan game PC Windows untuk dimainkan di dalam SteamOS yang memiliki basis Linux.
Ramey mengutarakan kekhawatirannya tersebut di dalam podcast Boiling Steam dengan memperingatkan bahwa mungkin ada kesalahpahamam pada pernyataan Valve bahwa Steam Deck dapat menjalankan setiap game. Hal ini dikarenakan pernyataan tersebut meleburkan dua makna terhadap kemampuan Steam Deck.
Ramey merasa bahwa apa yang disebutkan oleh Griffais merujuk pada kemampuan hardware dari Steam Deck mulai dari pengolah grafis, RAM, hingga penyimpanan yang mampu untuk memainkan semua game. Padahal masih ada potensi ketidakcocokan Proton saat memainkan beberapa game di Steam Deck.
Berita baiknya adalah bahwa Valve terus meningkatkan jumlah game-game yang siap dimainkan di Steam Deck. Ramey juga yakin bahwa pengembangan Proton yang masih terus berlangsung dapat memastikan bahwa Steam Deck nantinya mampu mendukung cukup banyak game saat diluncurkan pada bulan Desember mendatang.
Proton juga disebut sebagai proyek hidup yang terus bernafas. Sehingga, pengembangan terus dilakukan untuk membuat lebih banyak game dapat berjalan tanpa masalah lewat software tersebut.
Konsol Steam Deck memang direncanakan untuk dirilis pada bulan Desember mendatang yang sayangnya belum mencantumkan tanggal pastinya. Para pembeli yang berminat juga sudah dapat memesan konsolnya dengan memilih dari 3 pilihan penyimpanan yang disediakan.
Mobile gaming dianggap sebagai salah satu alasan mengapa PlayStation Vita gagal ketika Sony meluncurkan handheld tersebut pada akhir 2011/awal 2012. Sejak saat itu, muncul diskusi bahwa mobile gaming akan mematikan industri konsol, khususnya handheld. Meskipun begitu, Nintendo Switch, yang dirilis pada 2017, sukses besar. Perusahaan Jepang itu bahkan berencana untuk meluncurkan versi baru dari Switch, bernama Switch OLED, pada Oktober 2021. Tak hanya Nintendo, Valve juga akan merilis handheld, yang dinamai Steam Deck, pada Desember 2021. Dua hal ini menunjukkan, industri konsol handheld masih belum mati.
Awal Mula Konsol Handheld
Tak bisa dipungkiri, Nintendo punya peran besar dalam industri konsol handheld. Empat dari lima konsol handheld terpopuler sepanjang masa merupakan konsol buatan perusahaan Jepang tersebut. Baca sejarah Nintendo di tautan ini.
Selain itu, Nintendo juga dianggap sebagai perusahaan yang berhasil mempopulerkan konsol handheld. Meskipun begitu, Nintendo bukan perusahaan pertama yang membuat konsol handheld. Perusahaan pertama yang membuat handheld adalah Mattel, yang meluncurkan Auto Race pada 1976. Walau disebut “konsol”, Auto Race hanya bisa digunakan untuk memainkan satu game balapan.
Setelah peluncuran Auto Race, ada beberapa perusahaan yang mencoba untuk mengikuti jejak Mattel, seperti Coleco dan Milton Bradley. Sama seperti Mattel, dua perusahaan itu juga membuat handheld yang hanya bisa memainkan satu game saja. Salah satu konsol handheld generasi pertama yang laku keras adalah Merlin. Konsol yang dirilis pada 1978 itu berhasil terjual sebanyak lebih dari empat juta unit.
Microvision mengawali era kedua dari konsol handheld. Konsol buatan Milton Bradley itu juga menjadi handheld pertama yang menggunakan cartridge. Dengan begitu, Microvision bisa memainkan lebih dari satu game. Namun, sejak diluncurkan, Microvision punya banyak masalah, seperti yang disebutkan oleh Engadget. Salah satunya, jumlah game yang terbatas. Selain itu, layar LCD pada Microvision juga sering mengalami masalah “screen rot” karena proses manufaktur yang primitif. Keypad pada Microvision juga mudah rusak.
Konsol handheld pertama buatan Nintendo adalah Game & Watch, yang dirilis pada 1980. Sejak 1980 sampai 1991, Nintendo akan merilis beberapa versi dari Game & Watch. Pada awalnya, desain Game & Watch sangat sederhana. Di konsol ini, Anda hanya akan menemukan d-pad dan sebuah tombol. Daya tarik utama dari handheld ini adalah karena ia bisa memainkan sejumlah game yang populer ketika itu, seperti Donkey Kong, Mario Bros, dan Balloon Fight.
Pada 1984, Epoch meluncurkan handheld yang dinamai Game Pocket Computer. Konsol handheld tersebut memiliki layar LCD berukuran 75×64 pixels. Jika dibandingkan dengan Microvision, Game Pocket Computer memiliki kualitas yang jauh lebih baik. Hanya saja, konsol yang hanya bisa memainkan lima game itu tetap tidak populer.
Nintendo meluncurkan Game Boy pada 1989. Game Boy bisa dibilang sebagai salah satu konsol paling sukses sepanjang sejarah. Harga yang terjangkau menjadi salah satu alasan mengapa Game Boy bisa sukses. Faktor lain di balik kesuksesan Game Boy adalah game-game yang bisa dimainkan di handheld tersebut. Ketika diluncurkan, Game Boy sudah dilengkapi dengan Tetris, yang dianggap sebagai salah satu game terbaik dari konsol ini.
Pada tahun yang sama Nintendo meluncurkan Game Boy, Atari merilis Lynx. Handheld tersebut dikembangkan oleh Atari bersama dengan Epyx. Jika dibandingkan dengan Game Boy, Lynx punya grafik yang lebih baik. Hanya saja, Lynx juga punya harga yang lebih mahal. Atari merombak desain Lynx pada 1991. Sayangnya, hal itu tidak membuat Lynx menjadi lebih populer dan Nintendo tetap menguasai pasar konsol handheld.
Selain Atari, NEC juga mencoba untuk bersaing dengan Nintendo di pasar handheld dengan meluncurkan Turbo Express dari NEC. Dari segi ukuran, Turbo Express tidak jauh berbeda dengan Game Boy. Tak hanya itu, konsol ini juga sudah punya layar warna. Anda bahkan bisa menggunakannya sebagai TV. Namun, harganya yang lebih mahal — Game Boy dihargai US$109 dan Turbo Express US$300 — membuatnya tak populer.
Pada 1990, Sega merilis Game Gear. Konsol handheld itu terbilang cukup sukses pada eranya. Sama seperti Lynx dan Turbo Express, Game Gear juga sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Sega juga berhasil menekan harga dari Game Gear, menjadi US$149. Jika dibandingkan dengan Lynx dari Atari, Game Gear juga punya pilihan game yang lebih beragam. Namun, kesuksesan Sega dengan Game Gear tetap tak bisa menggoyahkan Nintendo sebagai penguasa pasar konsol handheld.
Sega kembali menantang dominasi Nintendo dengan merilis Nomad pada 1995. Pada dasarnya, Nomad merupakan versi portable dari Genesis, home console buatan Sega. Genesis sendiri cukup populer, dengan total penjualan mencapai 30,75 juta unit. Sayangnya, baterai Nomad tidak dapat bertahan lama. Selain itu, ukuran Nomad juga cukup besar. Alhasil, handheld tersebut pun gagal.
Game.com dari Tiger Electronics menjadi konsol handheld pertama yang dilengkapi dengan internet. Handheld tersebut juga dilengkapi dengan fitur Personal Digital Assistant (PDA). Sayangnya, jumlah game yang bisa dimainkan di konsol itu tidak banyak. Selain itu, fungsi internet di konsol tersebut juga sangat terbatas. Anda hanya bisa menggunakan internet untuk membuka email atau menjelajah internet dalam bentuk teks.
Neo-Geo, yang dikenal berkat game arcade mereka, meluncurkan konsol handheld bernama Neo-Geo Pocket pada 1998. Ketika itu, Pocket masih menggunakan layar hitam putih. Sejak awal peluncuran, Pocket memang sudah menemui masalah. Satu tahun setelah Pocket diluncurkan, Neo-Geo merilis Pocket Color. Mereka juga berhasil membawa beberapa game yang menjanjikan ke konsol tersebut. Sayangnya, mereka gagal mendapatkan dukungan dari developer pihak ketiga.
Nintendo merilis Game Boy Color pada 1998. Sesuai namanya, handheld tersebut sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Selain itu, ia juga dilengkapi dengan fitur backward compatibility. Artinya, konsol itu bisa memainkan game-game di Game Boy. Hanya saja, grafik Game Boy Color lebih baik dari pendahulunya. Pada 1999, Bandai merilis WonderSwan, yang digantikan oleh WonderSwan Color satu tahun kemudian. Salah satu daya jual dari konsol buatan Bandai tersebut adalah karena ia merupakan satu-satunya handheld yang bisa memainkan game-game Final Fantasy. Hal ini membuat konsol itu cukup sukses di Jepang. Namun, hubungan Nintendo dan Squaresoft — developer dari Final Fantasy — membaik. Dengan begitu, pemilik Game Boy Advance dapat memainkan game Final Fantasy, yang merupakan kabar buruk untuk Bandai.
Game Boy Advance, yang Nintendo rilis pada 2001, juga punya dampak besar pada industri konsol handheld. Sama seperti pendahulunya, salah satu keunggulan GBA adalah pilihan game yang beragam. Di GBA, Anda bisa memainkan game-game yang di-porting dari home console Super Nintendo. Selain itu, GBA juga punya beberapa game orisinal, seperti Advance Wars. Pada 2003, Nintendo merilis versi baru dari GBA yang disebut GBA SP. Versi terbaru tersebut sudah dilengkapi dengan frontlit display.
Nokia mencoba untuk menarik perhatian gamers ketika mereka meluncurkan N-Gage pada 2003. Dari segi komputasi, N-Gage memang cukup mumpuni. Hanya saja, ketika itu, mobile gaming masih belum booming seperti sekarang. Orang-orang belum terbiasa dengan ide memainkan game di ponsel. Alhasil, Nokia hanya menjual 3 juta unit N-Gage. Masih pada 2003, Nintendo memperkenalkan Nintendo DS. Ketika desain DS diunggah ke internet, banyak gamers yang mereka skeptis. Namun, perlahan tapi pasti, Nintendo berhasil memenangkan hati para gamers dengan meluncurkan game-game berkualitas untuk DS.
PlayStation Portable, yang diluncurkan pada 2004, menjadi konsol handheld pertama dari Sony. Ketika diluncurkan, PSP merupakan handheld dengan daya komputasi terbaik. Selain itu, PSP juga bisa dihubungkan ke PlayStation 2 dan 3, PC, PSP lain, dan bahkan internet. Tak hanya untuk bermain game, PSP juga bisa digunakan untuk menonton film. PSP adalah satu-satunya handheld yang menggunakan Universal Media Disc (UMD) sebagai storage. Konsol handheld Sony ini cukup sukses. Buktinya, total penjualan PSP mencapai lebih dari 80 juta unit.
Tiger Telematics merilis Gizmondo pada 2005. Handheld ini punya daya komputasi yang cukup mumpuni dan punya berbagai fitur unik, seperti GPS dan kamera. Sayangnya, harga yang mahal dan kurangnya game yang menarik membuat handheld itu menjadi tidak populer. Handheld ini hanya terjual sebanyak kurang dari 25 ribu unit, menjadikannya sebagai salah satu konsol handheld terburuk. Sejak peluncuran Gizmondo, ada sejumlah handheld yang diluncurkan, seperti GP2X — yang memungkinkan untuk memainkan game dari banyak konsol lain dengan bantuan simulator — digiBlast, V.Smile Pocket, VideoNow XP, Didj, Pandora, iXL, dan lain sebagainya. Hanya saja, tidak ada handheld yang berhasil meraih sukses layaknya konsol buatan Nintendo.
Pada 2011, Nintendo merilis 3DS. Sama seperti pendahulunya, 3DS punya dua layar. Handheld tersebut juga punya toko digital sendiri dan bisa digunakan untuk memainkan game-game DS. Sayangnya, 3DS tidak sesukses DS. Menurut GeekWire, salah satu alasan mengapa 3DS kurang populer adalah harganya yang cukup mahal, yaitu US$250 saat diluncurkan. Untuk mengatasi masalah ini, Nintendo memotong harga 3DS US$170. Sayangnya, strategi ini gagal untuk mendorong penjualan 3DS.
Di tahun yang sama, untuk lebih tepatnya pada Desember 2011, Sony juga meluncurkan handheld baru, yaitu PlayStation Vita. Walau Nintendo gagal untuk mendominasi pasar dengan 3DS, Sony juga tak bisa menggantikan posisi Nintendo dengan Vita. Sama seperti 3DS, Vita juga dianggap sebagai proyek gagal Sony. Kegagalan Vita dan 3DS bukan akhir dari indusstri konsol handheld. Masih ada sejumlah konsol handheld yang diluncurkan, seperti Kids Pad dari LG, Neo Geo X, GWC Zero, Shield Portable dari NVIDIA, GPD XD dan GPD Win, serta Arduboy. Namun, pasar konsol handheld baru kembali bergairah setelah Nintendo meluncurkan Switch, yang merupakan konsol hibrida.
Kegagalan PS Vita dan Kesuksesan Nintendo Switch
Apa yang membuat PS Vita gagal? Dan kenapa Nintendo bisa sukses dengan Switch? Sebelum membahas jawaban dari dua pertanyaan itu, coba Anda perhatikan daftar konsol handheld terpopuler di bawah ini. Daftar ini dibuat berdasarkan total penjualan dari masing-masing konsol:
1. Nintendo DS, terjual sebanyak 154 juta unit
2. Game Boy & Game Boy Color, terjual sebanyak 118,69 juta unit
3. Nintendo Switch, terjual sebanyak 84,59 juta unit
4. Game Boy Advance, terjual sebanyak 81,51 juta unit
5. PlayStation Portable, terjual sekitar 80-82 juta unit
Seperti yang bisa lihat pada daftar di atas, empat dari lima konsol handheld terlaris merupakan buatan Nintendo. Faktanya, Nintendo DS merupakan konsol paling laku nomor dua, hanya kalah dari PlayStation 2, yang merupakan konsol terpopuler sepanjang masa.
Jika dibandingkan dengan home console — seperti PlayStation dan Xbox — konsol handheld punya kelebihan sendiri. Salah satunya adalah mobilitas. Handheld tak hanya punya desain yang lebih ringkas dari home console, ia juga bisa dimainkan tanpa TV. Dengan begitu, Anda bisa membawa handheld ketika Anda sedang berpergian. Selain itu, dari segi harga, handheld juga cenderung lebih murah. Saat diluncurkan pada Maret 2017, Nintendo Switch dihargai US$300. Sebagai perbandingan, PlayStation 4 dihargai US$399 ia diluncurkan. Padahal, PS4 diluncurkan pada 2013. Tentu saja, handheld juga punya kekurangan, seperti daya komputasi yang kurang mumpuni dari home console.
Oke, sekarang, mari kita membahas tentang alasan mengapa PS Vita gagal dan Nintendo Switch sukses.
Sony meluncurkan PlayStation Vita pada Desember 2011, pada tahun yang sama ketika Nintendo merilis 3DS. Namun, seperti yang sudah dibahas di atas, 3DS tidak sesukses pendahulunya. Sayangnya, 3DS bukanlah satu-satunya pesaing yang harus PS Vita hadapi. Ketika itu, PS Vita juga harus bersaing dengan Android dan iPhone. Memang, jika dibandingkan dengan 3DS atau Vita, daya komputasi smartphone masih lebih cupu. Meskipun begitu, smartphone punya keunggulan sendiri, yaitu ia bisa digunakan untuk hal lain selain bermain game, seperti mengakses email, menonton video, dan lain sebagainya.
Untuk memenangkan hati para gamers, Sony merilis sejumlah game eksklusif untuk PS Vita, seperti Uncharted: Golden Abyss. Game itu mendapatkan skor 80% di Metacritic dan 8,5/10 di IGN, yang berarti, game itu tidak buruk sama sekali. Hanya saja, Golden Abyss — atau game-game eksklusif untuk Vita lainnya, seperti Persona 4 Golden — kurang menarik di mata gamers kasual. Pasalnya, kebanyakan game eksklusif Vita punya cerita yang berbobot. Artinya, game-game itu tidak bisa dimainkan dalam waktu sebentar, tidak cocok untuk dimainkan di sela-sela waktu luang. Sementara itu, di smartphone, Anda akan bisa menemukan banyak game kasual, seperti Candy Crush.
Hal lain yang menjadi alasan mengapa Vita gagal adalah ketiadaan dukungan dari developer pihak ketiga. Game-game dari franchise populer — seperti Monster Hunter, Kingdom Hearts, Metal Gear Solid, dan Tekken — tak pernah diluncurkan untuk Vita, seperti yang disebutkan oleh The Gamer. Harga juga punya peran di balik kegagalan PS Vita. Saat diluncurkan, harga Vita cukup mahal, yaitu US$249. Bersamaan dengan Vita, Anda juga harus membeli memory cards untuk menyimpan game. Ketika itu, harga memory card belum semurah sekarang. Memory card dengan kapasitas 4GB saja dihargai US$20, sementara memory card dengan kapasitas 32GB dihargai US$100. Sekarang, Anda bisa menemukan memory card 32GB dengan harga di bawah Rp100 ribu.
Walau dianggap gagal, Vita sebenarnya punya beberapa fitur menarik, seperti cross-play. Ketika Anda memainkan game yang sama di PS3 dan Vita, Anda bisa melanjutkan game Anda dari save point yang sama. Hanya saja, fitur cross-play ini cukup merepotkan, tidak semudah fitur cross-platform di game-game modern. Untuk menggunakan fitur cross-play, Anda harus mengunggah data dari PS3 ke cloud dan mengunduhnya di PS Vita. Pada akhirnya, Sony diperkirakan hanya dapat menjual 16 juta unit PS Vita.
Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Ketika itu, mobile game sudah menjadi industri dengan nilai US$46,1 miliar. Menurut perkiraan Newzoo, industri game pada 2017 bernilai US$108,9 miliar. Hal itu berarti, mobile game memberikan kontribusi sekitar 42% dari total pemasukan industri game. Namun, Nintendo Switch tetap dapat bertahan dan justru menjadi salah satu konsol handheld terpopuler. Gamasutra menyebutkan, salah satu daya tarik Switch adalah game-game eksklusif dari Nintendo, seperti Legend of Zelda: Breath of the Wild dan Mario Odyssey. Selain membuat game sendiri, Nintendo juga menggandeng developer pihak ketiga untuk membuat game di Switch. Berkat usaha Nintendo ini, para pemilik Switch bisa memainkan game dari berbagai franchise populer, termasuk Monster Hunter, BioShock, dan Dark Souls.
Game berbobot layaknya hukuman mati bagi Vita. Namun, hal ini justru menjadi daya jual Switch. Mengapa begitu? Alasannya sederhana: karena pada 2017, mobile gamers sudah mulai tertarik dengan game-game “serius”. Vainglory, yang merupakan game MOBA, dirilis pada November 2014. Pada 2015, Tencent merilis Honor of Kings, alias Arena of Valor. Setelah itu, Tencent juga mengembangkan ekosistem esports dari Honor of Kings. Alhasil, mobile game pun mulai dianggap serius. Pada 2016, Vulkan API dirilis. API tersebut memungkinkan smartphone untuk menampilkan grafik game yang lebih baik dan menghemat daya baterai smartphone. Dan pada 2017, Razer merilis smartphone khusus gaming, yang menjadi bukti keberadaan hardcore mobile gamers.
Selain jajaran game yang menarik, keunggulan lain dari Switch adalah desainnya yang eye-catching. Walau Switch bisa masuk dalam kategori konsol handheld, tapi ia juga bisa dianggap sebagai home console. Ketika terpasang pada dock, Switch bisa dimainkan layaknya home console biasa. Dan keunikan ini menjadi salah satu daya jual Switch.
Steam Deck: Dapatkah Membuat Industri Handheld Kembali Bergairah?
Kesuksesan Nintendo dengan Switch menjadi bukti bahwa industri handheld belum mati. Dan Nintendo bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik untuk membuat konsol handheld. Pada akhir 2020, GPD, perusahaan asal Tiongkok memperkenalkan konsol handheld yang bisa digunakan untuk memainkan game PC, dinamai GPD Win 3. Sementara pada Maret 2021, Aya Neo, perusahaan asal Tiongkok lainnya, mengadakan kampanye crowdfunding di Indiegogo untuk membuat konsol handheld berbasis Windows yang bisa digunakan untuk bermain game PC.
Belum lama ini, Valve juga mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Steam Deck pada Desember 2021. Sama seperti GPD Win 3 dan Aya Neo, Steam Deck juga merupakan konsol handheld yang bisa memainkan game PC. Pengumuman akan Steam Deck disambut dengan hangat. Buktinya, hanya dalam sehari, daftar pre-order dari konsol itu langsung penuh. Keberadaan konsol-konsol handheld gaming PC ini menunjukkan bahwa masih ada tempat untuk konsol handheld di masa depan. Memang, jika dibandingkan dengan smartphone, konsol handheld sebenarnya punya kelebihan tersendiri.
Salah satu keunggulan konsol handheld adalah pilihan game yang lebih menarik. Game eksklusif merupakan strategi yang biasa digunakan oleh perusahaan pembuat konsol seperti Sony dan Nintendo untuk mendorong penjualan konsol mereka. Sementara dalam kasus Steam Deck, konsol itu bahkan bisa mengakses ribuan game yang tersedia di Steam. Selain itu, keberadaan konsol handheld juga bisa membantu Anda untuk menghemat baterai smartphone. Pasalnya, bermain game di ponsel — apalagi game yang berat — bisa menghabiskan baterai dengan cepat. Padahal, sekarang ini, kita semakin tergantung pada smartphone. Jadi, walau smartphone bisa digunakan untuk bermain game, sebagian gamers mungkin lebih memilih untuk bermain di konsol handheld, apalagi ketika mereka sedang berpergian dan jauh dari colokan.
Seperti yang disebutkan oleh Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners, konsep handheld gaming PC bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, untuk mempopulerkan konsol handheld yang bisa memainkan game PC, konsol itu harus bisa memenuhi dua persyaratan. Pertama, konsol itu punya daya komputasi yang cukup mumpuni untuk memainkan game-game PC. Kedua, harga konsol tersebut cukup terjangkau bagi kebanyakan orang.
Steam Deck menggunakan AMD Zen 2. PC Gamer menyebutkan, APU yang digunakan pada Steam Deck didasarkan pada arsitektur Zen 2 — yang juga digunakan pada prosesor Ryzen 3000 — dan RDNA 2, yang bertanggung jawab atas pemprosesan grafik. Dari segi jumlah Compute Unit, Steam Deck memang masih kalah dari Xbox Series X — Steam Deck punya 8 Compute Unit dan Xbox Series X punya 20. Meskipun begitu, Valve mengklaim bahwa Steam Deck cukup kuat untuk memainkan semua game yang ada di Steam.
“Kami ingin agar Steam Deck bisa memainkan semua game yang ada di Steam,” kata Pierre-Loup Griffais, developer Valve, dikutip dari PC Gamer. “Dan kami belum menemukan game yang tidak bisa dimainkan oleh konsol ini.”
Masalah kedua yang harus bisa diselesaikan oleh Steam Deck dan konsol handheld untuk game PC lainnya adalah harga. Kepada IGN, Gabe Newell mengaku, harga yang Valve tetapkan untuk Steam Deck itu “menyakitkan”. Namun, dia sadar, jika Valve ingin Steam Deck sukses, mereka harus rela memasang harga yang terjangkau. Berikut daftar harga Steam Deck, berdasarkan besar memori:
Versi 64GB, seharga US$399
Versi 256GB, seharga US$529
Versi 512GB, seharga US$649
Sebagai perbandingan, Aya Neo dihargai sekitar US$700-900, sementara GPD Win 3 dihargai US$1.60 di Amazon. Valve berani untuk menekan harga Steam Deck karena mereka masih bisa mendapatkan untung dari penjualan game di Steam. Jadi, secara teori, Steam Deck berpotensi untuk menjadi handheld yang populer. Dan hal ini bisa mendorong pertumbuhan pasar konsol handheld. Sekalipun penjualan Steam Deck tidak terlalu sukses, keberadaannya akan tetap menarik bagi sebagian gamers, khususnya fans Valve.
Penutup
Setelah mempopulerkan konsep handheld, Nintendo menguasari pasari konsol handheld selama beberapa dekade. Walau sempat gagal dengan 3DS, Nintendo kembali mendulang sukses ketika mereka merilis Switch. Kesuksesan Nintendo dengan konsol handheld mendorong banyak perusahaan lain untuk membuat handheld. Namun, tidak ada konsol yang dapat menggoyahkan posisi Nintendo. Dalam daftar konsol handheld terlaris sepanjang masa, PSP jadi satu-satunya konsol yang tidak dibuat oleh Nintendo.
Meskipun begitu, saat ini, muncul beberapa perusahaan yang mencoba untuk merealisasikan konsep handheld gaming PC, seperti Valve, GPD dan Aya Neo. Dari ketiga perusahaan itu, Valve menjadi satu-satunya perusahaan yang berani menekan harga dari konsol mereka. Tidak heran, mengingat Valve memang lebih besar dari GPD dan Aya Neo. Selain itu, walau Valve hanya mendapatkan untung kecil dari penjualan Steam Deck — atau justru tidak mengambil untung sama sekali — mereka masih bisa mendapatkan untung dari Steam.
Terlepas dari itu, jika konsep handheld gaming PC berhasil direalisasikan, hal itu akan mengubah lanskap industri gaming, membuat konsol handheld kembali relevan dalam industri game saat ini.
Gebrakan yang dilakukan oleh Valve terhadap pasar konsol genggam sekaligus PC ini memang menjadi perhatian utama banyak gamer di seluruh dunia. Bahkan konsol yang masih dalam tahap pemesanan ini telah terjual habis.
Hal ini dilaporkan oleh banyak gamer lewat postingan media sosialnya dan juga di forum Reddit. Steam Deck baru diperkenalkan oleh Valve hanya sehari yang lalu (16 Juli 2021). Dan saat Valve membuka slot pemesanan, semuanya habis dipesan kurang dari satu jam saja.
Looks like preorders for Steam Deck are sold out. Website now says expected order availability set for Q1 2022 pic.twitter.com/uJpl3JiqRs
Mayoritas calon pembeli ini mengalami eror pada website pemesanannya saat akan melakukan pembayaran. Bahkan beberapa kostumer mengatakan bahwa mereka terkunci untuk bertransaksi di Steam karena terlalu banyak menekan tombol pembelian.
Steam Deck memang menjadi gebrakan baru yang memungkinkan gamer untuk merasakan memainkan game-game PC kesayangan mereka secara portabel. Kehadiran Steam Deck ini sebelumnya telah ditebak sebelumnya lewat project rahasia Valve yang menggunakan kode nama SteamPal.
Meskipun diklaim mampu memainkan game-game yang ada di Steam Library para pemain, Steam Deck sayangnya belum menunjukkan performa lapangannya secara nyata. Padahal dalam video perkenalannya, Steam Deck diperlihatkan dapat memainkan game AAA terbaru seperti Star Wars: Jedi Fallen Order dan bahkan Control.
Seperti yang dibahas oleh Digital Foundry dalam video terbarunya, masalah performa dan kompatibilitas masih menjadi perhatian utama dari PC portabel ini. Mereka membandingkan Steam Deck dengan konsol next-gen paling terjangkau saat ini yaitu Xbox Series S.
Secara performa Steam Deck memang lebih lemah daripada Series X namun masih jauh lebih superior dari apa yang ditawarkan Nintendo Switch. Selain spesifikasi, sistem operasi yang diusung juga menjadi kekhawatiran banyak gamer.
Valve memang mengatakan bahwa pengguna mampu menginstal Windows ke dalam Steam Deck namun sistem operasi bawaannya adalah Steam OS yang berbasis Linux. Dan para game mengkhawatirkan masalah kompatibilitas yang akan mereka hadapi saat memainkan game nantinya.
Solusi yang dipersiapkan Valve adalah teknologi mereka bernama “Proton”. Teknologi ini nantinya memungkinkan Steam Deck untuk menerjemahkan kode game Windows untuk dapat berjalan di Linux. Meskipun tentu tidak semua game dapat berjalan sempurna menggunakan teknologi ini.
Dan terakhir adalah masalah daya tahan, sebagai konsol genggam Steam Deck tentu akan terbentur dengan kapasitas baterai yang dimiliki. Meskipun secara tertulis baterai dari Steam Deck adalah 40 Whr, lebih dari dua kali lipat dari baterai yang dimiliki Nintendo Switch yaitu 16 Whr. Namun variasi game yang akan dimainkan tentu akan mempengaruhi daya tahan baterainya.
Valve dikabarkan akan mulai mengirimkan konsol Steam Deck pada Desember tahun ini. Dan pemesanan tahap kedua baru akan dibuka pada kuartal kedua 2022 mendatang. Jadi kelihatannya para gamer harus ekstra bersabar hingga tahun depan bila ingin memesan konsol ini.
Tidak bisa dipungkiri, Nintendo Switch berhasil membuat tren handheld console jadi populer kembali. Satu demi satu handheld console yang banyak terinspirasi Switch terus bermunculan — GPD Win 3, Aya Neo, One Xplayer — dan puncaknya adalah ketika perangkat dengan konsep serupa datang dari perusahaan sekelas Valve.
Bagi yang ketinggalan berita, Valve baru saja menyingkap Steam Deck, sebuah perangkat portabel yang diproyeksikan sebagai sebuah handheld gaming PC. Anggap saja ini Switch, tapi yang controller-nya tidak bisa dilepas-pasang, dan yang siap menjalankan segudang game PC.
Steam Deck pada dasarnya merupakan opsi yang masuk akal buat para gamer PC. Kalau Anda punya 100+ game di library Steam Anda sekarang, maka semua itu juga bisa Anda mainkan di Steam Deck tanpa perlu membayar apa-apa lagi.
Valve bahkan berbaik hati dan tidak ingin mengunci pengguna Steam Deck dalam ekosistem mereka. Kalau mau, Anda bahkan bisa meng-install Epic Games Store maupun deretan game launcher lainnya di Steam Deck. Anda bahkan bisa menghapus sistem operasi bawaannya dan meng-install Windows jika memang perlu.
Valve memang merancang Steam Deck sebagai sebuah PC tulen. Perangkat menjalankan versi terbaru SteamOS, sistem operasi berbasis Linux yang dapat berfungsi layaknya sebuah sistem operasi komputer tradisional. Dengan begitu, Steam Deck pun bisa dipakai untuk keperluan-keperluan umum seperti browsing atau streaming video.
Valve memastikan bahwa semua game yang tersedia di katalog Steam dapat berjalan secara optimal di Steam Deck. Untuk mewujudkannya, Valve membekalinya dengan custom AMD APU (4-core/8-thread) yang ditenagai arsitektur CPU Zen 2 dan GPU RDNA 2, plus RAM berkapasitas 16 GB.
Di atas kertas, performanya jelas jauh melampaui Nintendo Switch, tapi masih terkesan cupu untuk ukuran gaming PC. Namun itu bukan masalah besar mengingat layarnya cuma memiliki resolusi 1280 x 800; cukup tajam untuk ukuran 7 inci, dan di saat yang sama tidak terlalu menuntut performa GPU. Berdasarkan pengalaman hands-on IGN, Steam Deck cukup kapabel untuk menjalankan sejumlah game berat macam Star Wars: Jedi Fallen Order maupun Death Stranding.
Untuk storage-nya, Steam Deck bakal hadir dalam tiga varian: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, jenis storage yang digunakan adalah eMMC, sedangkan varian 256 GB dan 512 GB mengandalkan SSD NVMe yang punya kecepatan baca dan tulis jauh lebih kencang. Masing-masing varian juga dilengkapi slot kartu microSD untuk keperluan ekspansi storage.
Controller yang lengkap dan mode docked
Posisi stik analog yang sejajar dengan tombol D-Pad dan tombol action mungkin terkesan tidak umum bagi konsumen yang sudah terbiasa dengan layout controller milik PlayStation maupun Xbox, namun ini sengaja dilakukan supaya Steam Deck punya cukup ruang untuk sepasang trackpad. Ingat, Steam Deck dirancang untuk memainkan game PC, dan sejumlah judul memang bakal lebih nyaman dimainkan menggunakan mouse atau trackpad.
Alternatifnya, layar LCD milik Steam Deck merupakan sebuah touchscreen, dan ini bakal sangat cocok untuk judul-judul game kasual maupun yang memanfaatkan sistem point-and-click. Di sisi atas, kita bisa menemukan empat tombol trigger, dan di punggungnya pun masih ada empat tombol trigger ekstra yang configurable. Namun kalau memang tidak bisa lepas dari mouse dan keyboard (ataupun periferal-periferal lainnya), Anda bisa menyambungkan semua itu via Bluetooth, atau via USB dengan bantuan USB hub atau dock.
Dock? Ya, seperti halnya Nintendo Switch, Steam Deck juga dapat dihubungkan ke monitor atau TV via sebuah unit dock. Yang berbeda, unit dock-nya ini harus dibeli secara terpisah. Dalam posisi docked, resolusi display-nya rupanya tidak terbatasi di 720p saja, akan tetapi performanya jelas bakal terdampak kalau pengguna mencoba menaikkan resolusinya.
Harga dan ketersediaan
Rencananya, Valve bakal menjual Steam Deck mulai Desember 2021. Di Amerika Serikat, Valve mematok harga $399 untuk varian 64 GB, $529 untuk varian 256 GB, dan $649 untuk varian 512 GB.
Banderol $399 tentu terdengar sangat menarik karena hanya terpaut $50 dari Nintendo Switch OLED yang diluncurkan baru-baru ini. Berdasarkan pernyataan Gabe Newell sendiri selaku bos Valve, Valve sepertinya memang tidak mengambil untung terlalu banyak (atau malah merugi?) dengan menetapkan harga yang sangat agresif untuk Steam Deck. Kemungkinan yang mereka kejar adalah keuntungan dari penjualan game di Steam, kurang lebih sama seperti strategi yang Microsoft terapkan untuk Xbox.
Kepada IGN, perwakilan Valve menjelaskan bahwa seandainya Steam Deck terbukti berhasil menuai respon positif dan laris terjual, mereka pun siap untuk meluncurkan iterasi-iterasi berikutnya. Tidak menutup kemungkinan juga bakal ada produsen hardware lain yang meluncurkan perangkat handheld serupa, terutama mengingat SteamOS memang dapat digunakan secara cuma-cuma.
Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa Valve memang tidak mencari untung dari penjualan hardware Steam Deck itu sendiri. Semakin banyak perangkat serupa yang tersedia di pasaran, berarti semakin banyak pula konsumen yang terekspos oleh dagangan Steam, dan pada akhirnya yang diuntungkan juga Valve sendiri.