Tag Archives: Stevanus Iskandar Halim

Introducing “Equity Crowdfunding” Platform in Indonesia

The concept of offering stock through crowdfunding or known as equity crowdfunding (ECF) began to emerge in Indonesia. Some new platforms are adopting the concept. There are three startups officially acquired license form OJK per December 2019, namely Santara, Bizhare, and CrowdDana.

Simply put, the ECF platform presents to help business or projects to raise a fund with the crowdfunding mechanism. Then, those who participated (investors) will receive shares with adjusted percentage.

It’s similar to an investment, the ones who “plant” their money into a business or project will eventually receive the outcome. Obviously, with various amounts based on different risks.

The FSA has already issued regulations regarding the ECF as stated in POJK Number 37 of 2018 concerning Crowdfunding Services through Information Technology-Based Stock Offering. It regulates platforms, investors, and the amount of money raised from crowdfunding.

Further details on the ECF platform in Indonesia

Of the three services which officially obtained OJK license (per December 2019), two of them come with the same concept, namely Santara and Bizhare. Both are creating opportunities for SMEs to offer their shares through platforms and raise funds. Looking for a different market, CrowdDana allows offering shares/investments in property assets to be more affordable.

Santara‘s CEO, Avesena Reza claims that they currently have the largest distribution of funds, investor base, and publishers. However, he did not reveal the exact number. In fact, Santara’s optimism is visible through their plans in 2020.

Starting from building portfolio management, strengthening risk management, network distribution, and adding technology into the execution plans to-do-list.

“We’ve made various improvements in terms of technology, such as user experience, easy access, integration with Dukcapil, collaboration with other technology players. We also plan to implement blockchain technology later this year, as a back-office recording mechanism for all digital assets,” Reza explained.

A similar statement comes from Bizhare‘s Founder & CEO, Heinrich Vincent. He said they already had 35 thousand investors from 34 provinces throughout Indonesia by 2020. The distributed fund has reached Rp27 billion, with total dividends to investors reaching Rp1.5 billion per January 2020.

“Our plan in 2020 is to help more SMEs in Indonesia gain more benefits and rapid expansion, by improving our analysis system while conducting education and utilizing digital technology to assist them. In addition, we will also launch a secondary market feature for investors, to be able to sell their shares, as well as other surprises that we will inform soon,” Vincent added.

Meanwhile, CrowdDana announced two boarding projects successfully funded earlier this year. The value reached Rp14.6 billion and it is likely to increase by now. In their latest interview with DailySocial, they mentioned there will be a new vertical, namely the food and service business.

“From the public and franchise business owners’ responses, the demand is huge. On the investor side, investing in a restaurant or service business is also easier to understand, compared to property. From the publisher [franchise owner] side, they are to expand the business but have no access to financial funding,” CrowdDana’s Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer, Stevanus Iskandar Halim said.

The possibility for the ECF industry is getting wide open since some companies have entered the processing stage for a license. One of which is Likuid, an ECF platform that offers stock offering services for creative projects.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Appreciated regulations and education on progress

The regulation issued by FSA is very appreciated by Reza and Vincent. Both agreed on the current beleid is enough to protect the industry, either for investors, platforms, or businesses. However, it still requires coordination to keep the regulation relevant to the current situation in the field.

“To date, the equity crowdfunding regulation in Indonesia is enough to keep all parties fulfilled, from the Providers, Issuers, or Investors. Although there are still some things to improve, especially in terms of adjustment to players on field,” Vincent said.

Meanwhile, Reza said, “In terms of principle, the issuance of POJK 37 is a quite a good step to legitimize that the ECF platform activities are licensed by the regulator or the FSA, not a bulging investment. The regulation that is yet to have its complexity related to the implementation of the ECF is a potential that should be optimized for the organizing platform to innovate / breakthrough in existing business processes.”

Currently, the challenge has been on public education and business owners. In terms of the public, there is an urgency to socialize there are other investment options besides gold, mutual funds, or shares on the stock exchange called equity crowdfunding. Including understanding the existing regulations and risks.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Equity Crowdfunding di Indonesia

Mengenal Platform “Equity Crowdfunding” di Indonesia

Konsep penawaran saham melalui urun dana atau dikenal equity crowdfunding (selanjutnya disebut ECF) mulai bermunculan di Indonesia. Beberapa platform mulai mengadopsi konsep ini. Per Desember 2019 ada tiga startup  yang resmi mengantongi izin OJK yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

Secara sederhana, platform ECF hadir untuk membantu bisnis atau proyek untuk mendapatkan dana dengan mekanisme patungan. Kemudian mereka yang ikut berpartisipasi (investor) akan mendapat kepemilikan saham dengan persentase yang disesuaikan.

Sama halnya dengan investasi, nantinya mereka yang “menanamkan” dananya ke sebuah bisnis atau proyek juga akan menerima hasilnya. Tentu dengan besaran hasil dan risiko yang berbeda-beda.

OJK sudah mengeluarkan regulasi mengenai ECF yang tertuang dalam POJK Nomor 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini mengatur platform, investor, hingga besaran uang yang boleh dikumpulkan dari penawaran saham yang dilakukan.

Lebih jauh soal platform ECF di Indonesia

Dari tiga layanan yang sudah resmi mengantongi izin OJK (per Desember 2019), dua di antaranya memiliki konsep yang sama, yakni Santara dan Bizhare. Keduanya membuka peluang bagi UKM untuk menawarkan sahamnya melalui platform dan menghimpun dana. Mencari pasar yang berbeda, CrowdDana memungkinkan penawaran saham/investasi di aset properti supaya lebih terjangkau.

CEO Santara Avesena Reza mengklaim bahwa mereka saat ini memiliki penyaluran dana, basis investor dan penerbit terbesar. Hanya saja ia tidak menjelaskan berapa jumlah pasti dari ketiganya. Kendati demikian optimisme Santara juga terlihat dari rencana yang ingin mereka lakukan di 2020 ini.

Mulai dari penguatan manajemen portofolio, penguatan manajemen risiko, persebaran jaringan kerja, hingga pengautan teknlogi masuk dalam daftar rencana yang akan dieksekusi.

“Kami melakukan berbagai macam peningkatan dari sisi teknlogi, seperti dari user experience, kemudahan akses, integrasi dengan Dukcapil, jolaborasi dengan pelaku teknologi lain. Penggunaan blockchain juga kami rencanakan diimplementasikan akhir tahun ini, sebagai mekanisme pencatatan back office untuk semua digital aset,” terang Reza.

Hal senada juga disampaikan Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent. Ia menceritakan bahwa sampai 2020 ini mereka sudah memiliki 35 ribu investor yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dana yang disalurkan pun menyentuh angka Rp27 miliar dengan total dividen yang dibagikan ke investor mencapai Rp1,5 miliar per Januari 2020.

“Rencana untuk tahun 2020 ini tentunya kami ingin membantu lebih banyak UKM di Indonesia untuk bisa merasakan manfaat dan ekpansi lebih pesat, dengan meningkatkan sistem analisis kami, sambil melakukan edukasi serta pendampingan kepada mereka dengan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, kami juga akan meluncurkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya, serta kejutan lainnya yang akan kami infokan beberapa waktu ke depan,” terang Vincent.

Sementara itu, di awal tahun ini CrowdDana mengumumkan bahwa sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai. Nilainya mencapai Rp14,6 miliar dan kemungkinan saat ini sudah lebih. Di wawancara terakhir dengan DailySocial, mereka menyebutkan bahwa tahun ini akan masuk ke vertikal baru, yakni bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal [masyarakat], berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit [pemilik franchise], mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” terang Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer CrowdDana Stevanus Iskandar Halim.

Kemungkinan industri ECF kian ramai terbuka lebar mengingat saat ini sudah ada beberapa yang masuk dalam tahap pengurusan izin. Salah satu di antaranya adalah Likuid, sebuah platform ECF yang menawarkan layanan penawaran saham untuk proyek kreatif.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Regulasi yang diapresiasi dan edukasi yang masih terus berjalan

Regulasi yang dikeluarkan OJK diapresiasi Reza dan Vincent. Keduanya sepakat bahwa beleid yang ada saat ini sudah cukup untuk melindungi industri, baik untuk investor, platform maupun bisnis. Kendati demikian kordinasi masih tetap dilakukan untuk menjaga relevansi regulasi dengan kondisi di lapangan.

“Saat ini regulasi equity crowdfunding di Indonesia sebenarnya sudah cukup menjaga kebutuhan berbagai pihak, mulai dari sisi Penyelenggara, Penerbit atau Pemodal. Walaupun memang masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, terutama dari sisi kesesuaian dengan kebutuhan para pelakunya di lapangan,” ujar Vincent.

Sedangkan Reza mengatakan, “Pada prinsipnya dengan dikeluarkannya POJK 37 tersebut merupakan langkah yang cukup bagus untuk melegitimasi bahwa aktifitas yang dilakukan platform ECF sudah seizin regulator atau OJK, bukan investasi bodong. Belum kompleksnya aturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan ECF ini merupakan potensi yang bisa dioptimalkan bagi pihak platform penyelenggara untuk melakukan inovasi/terobosan dalam bisnis proses yang ada.”

Sejauh ini yang menjadi tantangan ECF ada pada edukasi masyarakat dan pemilik usaha. Di sisi masyarakat ada urgensi untuk menyosialisasikan ada opsi lain investasi selain emas, reksa dana, atau saham di bursa saham bernama equity crowdfunding. Termasuk pemahaman regulasi dan risiko yang ada.

CrowdDana

Lewat Skema “Equity Crowdfunding”, CrowdDana Mudahkan Masyarakat Berinvestasi di Proyek Properti

Sejak regulasinya diresmikan OJK pada 2019 lalu, platform berbasis  equity crowdfunding bermunculan dan makin diminati masyarakat. Secara konsep model bisnisnya mirip dengan p2p lending, hanya saja sebagai pemberi pinjaman (layaknya lender) mendapatkan imbalan berupa saham yang dijual pemilik usaha (layaknya borrower).

Per Desember 2019, sehubungan dengan POJK Nomor 37/POJK.04/2018 saat ini ada tiga perusahaan digital yang mendapatkan izin OJK, yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

CrowdDana sendiri fokus awalnya membiayai proyek properti. Sejak debut, sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai, mencapai Rp14,6 miliar. Dan saat ini masih berjalan satu proyek pembangunan lainnya targetkan dana Rp6,8 miliar.

“Dari semua aset properti yang kami analisis, indekos jadi yang paling menguntungkan. Dikarenakan permintaan yang besar dari penyewa, efisiensi pengelolaan dan persentase okupansi yang stabil,” terang Co-Founder & Chief Product & Marketing Officer CrowdDana, In.

Model bisnis CrowdDana

CrowdDana (PT Crowddana Teknologi Indonusa) adalah sebuah platform yang menghubungkan investor dan asset manager properti. Di platform ini, investor dapat menggelontorkan dananya ke proyek properti yang ditawarkan dengan modal rendah, mulai dari Rp1 juta.

Platform ini didirikan sejak April 2019 dan berhasil menggaet izin dari OJK dengan nomor KEP93/D.04/2019 tertanggal 31 Desember 2019.

Terkait model bisnis yang diterapkan Stevanus mengatakan, “CrowdDana mengambil biaya sebesar 3% dari dana yang dihimpun. Selain itu, ketika properti indekos sudah operasional, CrowdDana mengambil biaya sebesar 5% dari pendapatan.”

Dari daftar penggalangan yang tengah dan selesai berjalan, return of investment yang ditawarkan mencapai 16%. Setiap proyek selesai rata-rata didanai 40-50an investor. Aturan OJK menyatakan jumlah pemegang saham tidak boleh lebih dari 300 pihak, mengikuti UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Beleid tersebut juga dijadikan variabel utama dalam kalkulasi penentuan nilai minimal investasi untuk setiap proyek.

Dalam skema equity crowdfunding, besar keuntungan investor akan berbeda di setiap proyek, proporsional berdasarkan banyaknya jumlah saham. Tugas penyedia platform melakukan seleksi ketat terhadap proyek-proyek yang akan melakukan penggalangan dana. Termasuk melakukan analisis mengenai potensi bisnis. Di CrowdDanna, deviden dibagikan secara berkala, sesuai kebijakan proyek antara setiap 3 atau 6 bulan.

Investor dapat memperjualbelikan saham di pasar sekunder (marketplace). Umumnya pasar tersebut dibuka satu tahun setelah proyek berhasil didanai. Dan pasar sekunder dibuka maksimal 2x per tahunnya.

Pengguna dapat melakukan pendaftaran dan verifikasi akun untuk memulai berinvestasi di CrowdDana. Sementara bagi penerbit atau pemilik proyek dapat menghubungi tim secara terpisah untuk memulai penggalangan dana di platform. Adapun batas atas di tiap proyek Rp10 miliar per tahun untuk setiap penerbit dalam bentuk perseroan terbatas.

Segera rambah vertikal bisnis baru

Selain Stevanus, ada dua pendiri lainnya yakni James Wiryadi (CEO) dan Handison Jaya (CTO). Stevanus sebelumnya bekerja sebagai product manager di Ematic Solution, pengembang SaaS asal Singapura untuk pemasaran digital. Ia mengeyam pendidikan di University of California jurusan ilmu komputer dengan spesialisasi di bidang kecerdasan buatan.

Sementara James sebelumnya merupakan analis CapitalLand Indonesia, salah satu perusahaan real estate terbesar di Asia. Kuliahnya di New York University juga fokus di bidang real estate & finance. Sementara Handison sebelumnya ada software engineer senior di Ematic Solution, lulusan UI di jurusan ilmu komputer.

CrowdDana
Tim pengembang CrowdDana yang bermarkas di DBS Tower, Kuningan, Jakarta / CrowdDana

“Kami memilih properti sebagai sektor utama karena sudah mempunyai banyak pengalaman di sektor terkait. Kami juga bekerja sama dengan partner property developer dengan track record yang baik, AbdiHome, yang sebelumnya sudah berpengalaman membangun indekos. Dengan keahlian tersebut, kami optimis bisa menjalankan setiap proyek dengan baik dan akurat,” lanjut Stevanus.

Ia turut menyampaikan, sekitar dua bulan lagi mereka akan merambah vertikal baru untuk proyek penggalangan dana di platformnya. Rencananya akan dimulai bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal (masyarakat), berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit (pemilik franchise), mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” ujar Stevanus.

Pada Juli 2019 lalu, CrowdDana mendapatkan suntikan dana dari tiga angel investor yang tidak disebutkan detailnya. Untuk mengakselerasi bisnis dan pengembangan produk teknologi, tahun 2020 ini mereka juga targetkan penggalan dana dalam seed round dari pemodal ventura.

Dinilai mudah diterima masyarakat

Di tengah perkembangan ekonomi nasional, dibarengi dengan pendapatan per kapita masyarakat yang meningkat, kanal-kanal investasi mulai banyak diminati. Kendati termasuk baru, model equity crowdfunding nyatanya disambut cukup baik oleh masyarakat.

“Konsep equity crowdfunding sebenarnya bukan hal baru, karena telah diterapkan dengan cara tradisional oleh masyarakat Indonesia ketika berinvestasi patungan dengan teman-teman atau kerabat di bisnis kondotel, bisnis restoran dan bisnis-bisnis lain. CrowdDana mengunakan skema tersebut dan memanfaatkan teknologi untuk keterbukaan informasi,” ujar Stevanus.

Demi memberi kenyamanan pengguna, tahun ini akan ada sejumlah peningkatan kapabilitas aplikasi. Misalnya fitur Live CCTV Feed untuk memudahkan pemberi dana memantau perkembangan proyek, ada juga Okupansi Tracker, POS Order Tracker dan sebagainya.

“Selain ekspansi ke sektor bisnis lain, tahun ini kami targetkan bisa mendanai 10 properti indekos. Untuk itu perusahaan juga akan memperluas kerja sama dengan bank, pengembang properti dan startup lain untuk membantu pengembangan bisnis,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here