Tag Archives: Stoqo

Tujuh startup tercatat secara publik tutup di Indonesia sepanjang enam bulan pertama tahun 2020 ini.

Daftar Startup Indonesia yang Kolaps di Paruh Pertama Tahun 2020

Pandemi Covid-19 “sukses” meluluhlantakkan startup yang industrinya bersinggungan langsung dengannya, seperti pariwisata, ritel offline, juga industri pendukung lainnya yang beririsan.

Proses adaptasi harus dilakukan dengan cepat agar untuk bertahan. Mulai dari pengurangan jumlah karyawan, pivot bisnis, dan mengurangi jumlah gerai (bila bisnis ritel) harus ditempuh. Pengurangan karyawan dan pivot bisnis mulai mewarnai sejak awal karantina diumumkan.

Khusus pivot, kebanyakan dari mereka beralih ke segmen yang ramai diminati selama pandemi, seperti menjelma jadi layanan commerce untuk bahan baku sehari-hari, produk kesehatan, atau pesan antar makanan sehari-hari. Sementara untuk pengurangan karyawan, kondisi ini tidak hanya terjadi di startup yang bisnisnya masih skala kecil saja, sekaliber unicorn bahkan tidak luput dari ancaman ini.

Kenyataan terakhir adalah gulung tikar. Ini adalah keputusan paling akhir, sekaligus terberat yang diambil setelah beragam upaya penyelamatan sudah dilakukan, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

Sejauh ini, DailySocial mencatat ada tujuh startup yang harus gulung tikar hingga paruh pertama tahun ini. Berikut daftarnya:

1. Eatsy Indonesia

Startup asal Singapura ini baru hadir di Indonesia pada November tahun lalu, namun mereka resmi tutup pada 1 April 2020.

Eatsy memberikan kemudahan untuk antrean dan pemesanan makanan di restoran. Di negara asalnya, sebelum pandemi, solusi ini diklaim berhasil mendongkrak penjualan mitra restoran hingga 1,5 kali lipat. Kesuksesan tersebut membuat mereka percaya diri untuk ekspansi ke Indonesia, pasca mengantongi pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Di keterangan resminya, penutupan diambil karena masifnya penyebaran Covid-19. Akibatnya semakin banyak pebisnis kuliner yang menutup usahanya untuk mengurangi penyebaran virus.

2. QRIM Express

Di sektor logistik, umur QRIM Express juga baru seumur jagung. Mereka beroperasi di medio tahun lalu dan resmi tutup pada 1 April 2020.

QRIM Express, yang dulu dikenal dengan Red Carpet Logistics (RCL), adalah perusahaan logistik milik Sumitomo dan Lippo Group. Mereka punya semangat untuk merambah segmen C2C, sebelumnya diklaim kuat di B2B dan B2C.

Mereka ingin bersaing dengan layanan logistik last mile lainnya, seperti JNE, TIKI, GrabExpress, GoSend, Ninja Express, SiCepat, Paxel untuk memenuhi kebutuhan pengiriman konsumen ritel atau pengusaha online.

Berbicara soal aset, diklaim mereka memiliki 54 hub yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Ada 515 kendaraan dan 423 kurir yang tergabung. Pendapatan mereka disebutkan tembus di atas Rp1,3 triliun pada awal tahun lalu.

3. Hooq

Hooq resmi tutup pada 30 April 2020, setelah lima tahun beroperasi. Penutupannya tidak hanya untuk operasional di Indonesia, tapi juga di regional Asia Tenggara.

Pandemi menjadi salah satu faktor pemicu secara tidak langsung di balik tutupnya layanan ini. Mereka dianggap kurang suntikan modal sehingga tidak mampu bersaing dengan para pesaingnya, padahal pemegang saham Hooq adalah konglomerasi media tersohor, seperti SingTel, Warner Media, dan Sony Pictures Television.

Bisnis OTT sendiri membutuhkan perjalanan panjang untuk memberikan laporan keuangan yang hijau. Asia Tenggara adalah lahan perang yang unik buat bisnis OTT karena beragam tantangannya.

4. Stoqo

Kali ini datang dari platform b2b yang mensuplai bahan baku untuk pebisnis kuliner. Stoqo resmi tutup menjelang akhir Mei 2020.

Sebelum pandemi, prospek bisnis ini terbilang cukup cemerlang karena pebisnis tidak perlu repot untuk menyuplai bahan baku sebelum toko dibuka. Sasaran penggunanya adalah pebisnis kuliner, mulai restoran, kafe, catering, warung makanan, dan usaha minuman.

Setelah setahun beroperasi, tepatnya pada akhir 2018, mereka berhasil mengantongi pendanaan Seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners. Juga berkesempatan mengikuti rogram akselerasi Alibaba eFounders Fellowship di Hangzhou, Tiongkok.

Ketika karantina diberlakukan, bisnis makanan, terutama restoran, turun drastis. Hal ini berdampak pada bisnis Stoqo yang terus terpukul sehingga keputusan untuk gulung tikar diambil.

5. Airy

Startup ini resmi tutup permanen setelah lima tahun beroperasi pada 31 Mei 2020. Kabar ini cukup disesalkan, namun bisa dianggap keputusan paling rasional yang diambil manajemen.

Sebelum mengambil keputusan tersebut, perusahaan mengklaim telah mengambil berbagai upaya untuk memastikan perusahaan tetap bertahan. Situasi pandemi yang tidak dapat diprediksi akhirnya menggiring pada penutupan Airy.

Startup yang terafiliasi dengan Traveloka ini diklaim memiliki 30 ribu kamar yang tersebar di 100 kota. Layanannya tidak hanya menyewakan kamar budget, tapi juga tiket pesawat, kereta api, dan layanan pemesanan untuk korporat.

6. Wowbid

Wowbid tutup
Wowbid tutup

Wowbid baru beroperasi pada awal tahun lalu, menawarkan konsep marketplace lelang secara live yang dipandu host. Tepat pada 30 Juni 2020, mereka tutup karena penjualan yang anjlok.

Wowbid menjual barang-barang tersier, sementara masyarakat saat ini kebanyakan mengalokasikan dana untuk belanja kebutuhan pokok dan kesehatan. Sebelum pandemi, mereka mengklaim telah memiliki 720 ribu pengguna terdaftar, dengan 180 ribu di antaranya adalah pengguna aktif bulanan. Bahkan mereka sudah mengantongi pendanaan pra-Seri A sebesar $5 juta dari PT Envy.

Sebelum resmi tutup, perusahaan sudah membuat sejumlah pertimbangan, misalnya tutup sementara dan beroperasi lagi setelah pandemi. Ide ini diurungkan, karena untuk masuk ke posisi top five marketplace di Indonesia bisa dibilang susah. Pelanggan Wowbid memiliki irisan dengan pelanggan platform e-commerce lain yang sudah tersohor.

7. Freenternet

Freenternet adalah startup penyedia koneksi internet gratis berbasis mobile wifi. Startup ini baru dirilis pada awal tahun ini, tapi memutuskan untuk tutup per 30 Juni 2020 kemarin.

Konsep yang ditawarkan sebenarnya menarik, karena mereka bertindak sebagai penyedia akses internet (IAP), bukan penyedia layanan internet (ISP). Untuk sumber monetisasi, Freenternet menggunakan iklan.

Dikutip dari Gizmologi, bisa jadi karena pengaruh pandemi, pengeluaran budget iklan perusahaan harus ditekan seefisien mungkin. Hal ini berdampak pada bisnis Freenternet. Dengan basis pengguna yang bisa dikatakan belum banyak, tidak mudah untuk menawarkan iklan ke klien.

We deliver weekly update about tech startup in Indonesia

[Weekly Updates] Bukalapak’s Co-Founders Start Investing into Startups; Funding News From Qoala; and More

Two Bukalapak Co-Founders have initiated Init-6, a new venture capital in town. Its first investment is a seed funding for Eduka, an edtech company. Moreover, Qoala has bagged a $13.5 million Series A funding from a group of investors led by Centauri Fund, a new fund from MDI Ventures and Kookmin Bank Korea.

In other news, Stoqo is the latest startup to close its operation due to current situation. While Moka, recently acquired by Gojek, is committed to remain independent entity and embracing other platforms, including Gojek’s competitors.

Achmad Zaky’s New Investment Firm Init-6, Debuts with Seed Funding for Eduka

Bukalapak’s Co-founder and Founding Partner Init-6, Achmad Zaky announced the new investment firm focused on investment to early-stage startups. Bukalapak’s Co-founder, Nugroho Herucahyono also participated as Partner after resigned as the CTO. Init-6 debuts with its first investment to the edtech platform Eduka.

Init-6 will focus on investing in early-stage startups without specific sector preferences

Qoala Bags 209 Billion Rupiah in Series A Funding

Qoala, an insurtech platform founded by Harshet Lunani and Tommy Martin, has secured Series A funding worth of $13.5 million or around 209 billion Rupiah. The current round is led by Centauri Fund.

Several new investors are also participated, including Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, and Mirae Asset Sekuritas.

The company is to use fresh money to invest further in technology, HR and brands to support the company’s strategy in providing better services to customers, platform partners, and insurance companies. Qoala targets to employ 300 talents by the year 2021.

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

Following the pandemic situation, Stoqo, a B2B commerce platform that provided fresh supplies for restaurant, has announced an operational shutdown. The company received Series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

PHRI’s Deputy Chairman for the Restaurant Emil Arifin estimates that the culinary business in Indonesia has loss around Rp2.5 trillion per month with 200,000 people losing their jobs.

Moka Remains an Open Platform Post Gojek Acquisition

Following recent acquisition by Gojek, Moka will continue to operate as an independent entity with the Gojek merchant ecosystem’s integration. The ecosystem consists of GoBiz (the super app that houses GoFood), GoPay, and other services such as Midtrans and Spots.

Moka will remain an open platform and are very open to continuing collaboration with all partners. The company allows merchants to receive payments from variety of digital wallets, such as GoPay, Ovo, Dana, and others.

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

The corona pandemic has severed some culinary businesses in the country. The declining situation is inevitable due to the susceptive character of coronavirus disease 2019 (Covid-19) that forces people to do most activities at home.

Since the first Covid-19 case emerged in early March, the food business has reportedly continued to shrink. The loss has affected such players as the upper-middle-class restaurants and micro and small culinary enterprises. Digital platforms providing culinary business needs will also be affected. It happens to Stoqo.

Stoqo officially announced an operational shutdown. A few days before, the startup, which was led by Aswin Andrison as a Co-Founder & CEO, only announced that it had temporarily stopped operating. However, the pandemic finally forced them out of business.

“Since 2017, we have built STOQO to serve and empower SMEs in the culinary field in Indonesia. However, the situation triggered by the COVID-19 pandemic has caused a drastic reduction in revenue for us,” Stoqo wrote on their website.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Shutdown operation announcement

Upcoming Hazard

Stoqo is a platform that focuses on providing basic food needs for places to eat, especially restaurants, catering cafes, and home-based culinary businesses. Stoqo supplies a variety of foods ranging from meat, vegetables, flour, coffee, and others.

Aswin stated that Stoqo was focused on playing in the B2B segment ever since. They realize the platform as a hub to meet the needs of culinary businesses. With the prospect of being considered quite brilliant, it’s no wonder Stoqo won series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

However, the reality ended bitterly for Stoqo. The number of restaurants, cafes, and restaurants that stopped operating claimed their income. The Indonesian Hotel and Restaurant Association said that at least thousands of restaurants were closed due to the Covid-19 outbreak.

The unfortunate events of B2B commerce business like Stoqo also happen to Eden Farm and Wahyoo. Although, the scale is yet to worrying. Eden Farm Founder & CEO, David Gunawan said there were two segments they generally served, namely restaurants and grocery stalls. Of the two, David said that the restaurant was hit by the bigger impact.

“It’s true that high-end restaurants and those in the mall are closed or shifting to delivery, half of our clients in the segment are closed,” David told DailySocial.

Meanwhile, Wahyoo Founder & CEO Peter Shearer shared a similar experience. A number of stalls affiliated with Wahyoo have stopped operating, especially those located in office areas. Peter also did not mention the exact number. But he made sure other stalls were not seriously affected by this outbreak, especially those located in residential and settlement areas.

Survival strategy

Although the impact is not as severe as Stoqo’s experience, a prolonged pandemic can be a scourge for the sustainability of the Wahyoo and Eden Farm businesses. Special strategies are needed so that they avoid the same fate of Stoqo.

Peter mentioned the problem is to keep the request ongoing. The trick to Wahyoo’s demand has been to help stalls sell on digital platforms such as Go-Food. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in Wahyoo.

“The positive impact is that the PSBB and Covid-19 have forced the food stall owners to adapt faster,” he added.

On the other hand, Eden Farm, which clients are mostly grocery stores, has another strategy to stay afloat during this pandemic. David said they now rely on the agency system to reach buyers who are reluctant to leave the house.

David rejects this new system as B2C. He said that his party only reactivated the group purchasing model, which actually existed since last year but was only revived three weeks ago.

Changes in segment composition also helped Eden Farm from the majority of their clients, restaurants and middle-up restaurants to the majority of SMEs. David said that currently 80% of their clients are middle-to-lower business people.

“We’re still getting new customers, the customer purchase growth is ongoing. Indeed, it was reducing in the early days [the pandemic], but it was back [normal] again after a few weeks,” said David.

PHRI Deputy Chairman for the Restaurant Sector Emil Arifin said there were already thousands of restaurants that had stopped operating throughout Indonesia. The estimated figure comes from the number of restaurants scattered in 327 malls that have been closed out of a total of 700 malls. In other words, more than 8,000 restaurants have closed.

“That does not include restaurants in office buildings, stand alone, in tourist parks and other facilities outside the mall. If you want to add up all of them, I think twice,” Emil explained to DailySocial.

Under this situation, Emil estimates that the culinary business in the country has lost around Rp2.5 trillion per month with 200 thousand people losing their jobs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Covid-19 memaksa Stoqo berhenti beroperasi. Platform B2B Commerce lain bersiasat agar tak mengalami nasib serupa di masa pandemi ini.

Tutupnya Stoqo dan Siasat Bertahan Pelaku B2B Commerce

Pandemi virus korona memukul bisnis kuliner Tanah Air. Redupnya bisnis ini tak terhindarkan lantaran bahaya penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) yang sangat mudah sehingga memaksa sebagian besar orang hanya bisa beraktivitas dari rumah.

Sejak kasus Covid-19 pertama muncul pada awal Maret lalu, bisnis makanan dilaporkan terus menyusut. Kerugian tak hanya ditanggung para pelaku seperti restoran menengah ke atas dan pengusaha kuliner kelas mikro dan kecil. Platform digital penyedia kebutuhan bisnis kuliner pun kena imbasnya. Hal ini sudah terjadi pada Stoqo.

Stoqo resmi mengumumkan mereka berhenti beroperasi. Beberapa hari sebelumnya, startup yang dinahkodai Co-Founder & CEO Aswin Andrison ini hanya mengumumkan berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Namun pandemi akhirnya memaksa mereka gulung tikar.

“Sejak tahun 2017, kami membangun STOQO untuk melayani dan memberdayakan UKM dalam bidang kuliner di Indonesia. Namun, situasi yang dipicu oleh pandemi COVID-19 telah menyebabkan penurunan pendapatan secara drastis bagi kami,” tulis Stoqo dalam situs mereka.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.

Ancaman yang membayangi

Stoqo adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan bahan pokok bagi tempat makan, khususnya restoran, kafe katering, dan usaha kuliner rumahan. Stoqo menyuplai berbagai bahan makanan mulai dari daging, sayur-mayur, tepung, kopi, dan lain-lain.

Sedari awal Aswin memang menyatakan Stoqo fokus bermain di segmen B2B. Mereka mewujudkan platformnya sebagai hub pemenuh kebutuhan pebisnis kuliner. Dengan prospek yang dianggap cukup cemerlang maka tak heran Stoqo berhasil meraih pendanaan seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners India pada akhir Desember 2018.

Namun kenyataan berakhir pahit untuk Stoqo. Banyaknya restoran, kafe, dan rumah makan yang berhenti beroperasi merenggut pendapatan mereka. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada ribuan restoran yang tutup akibat wabah Covid-19.

Pahitnya bisnis B2B commerce seperti Stoqo ini juga dirasakan oleh Eden Farm dan Wahyoo. Kendati begitu mereka mengklaim skalanya masih belum mengkhawatirkan. Founder & CEO Eden Farm David Gunawan mengatakan ada dua segmen yang umumnya mereka layani yakni restoran dan warung kelontong. Dari keduanya, David menyebut restoran lah yang kena imbas lebih besar.

“Memang benar restoran mewah dan yang di mal itu pada tutup atau setidaknya jadi delivery, setengah klien kita di segmen itu tutup,” ungkap David kepada DailySocial.

Sementara itu Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer bercerita pengalaman serupa. Sejumlah warung yang berafiliasi dengan Wahyoo sudah berhenti beroperasi terutama yang berlokasi di area perkantoran. Peter juga tak menyebut berapa jumlah pastinya. Namun ia memastikan warung-warung lain tak terkena dampak serius dari wabah ini, terutama yang berlokasi di area perumahan dan perkampungan.

Siasat bertahan

Meskipun dampaknya tak separah Stoqo, pandemi berkepanjangan dapat menjadi momok bagi keberlangsungan bisnis Wahyoo dan Eden Farm. Strategi khusus pun diperlukan agar mereka terhindar dari nasib serupa Stoqo.

Peter menjelaskan bahwa masalah yang ada sekarang adalah menjaga permintaan terjaga. Kiat menjaga permintaan dari Wahyoo sejauh ini adalah membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti Go-Food. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah mengeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Di lain tempat, Eden Farm yang kliennya sebagian besar adalah toko kelontong punya siasat lain untuk tetap bertahan selama pandemi ini. David mengatakan mereka kini mengandalkan sistem keagenan untuk menjangkau pembeli yang enggan keluar rumah.

David menolak sistem baru ini sebagai B2C. Ia menyebut pihaknya hanya mereaktivasi model pembelian secara berkelompok yang sejatinya sudah ada sejak tahun lalu namun baru dihidupkan kembali tiga pekan lalu.

Perubahan komposisi segmen juga membantu Eden Farm dari mayoritas klien mereka restoran dan rumah makan menengah ke atas menjadi mayoritas UKM. David menyebut saat ini klien mereka 80% berasal dari pebisnis menengah ke bawah.

“Kita tetap dapat customer baru, pertumbuhan pembelian customer pun masih berjalan. Memang di awal-awal [pandemi] berkurang, tapi lewat seminggu balik [normal] lagi,” ucap David.

Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Restoran Emil Arifin menyebut sudah ada ribuan restoran yang berhenti beroperasi di seluruh Indonesia. Perkiraan angka itu berasal dari jumlah restoran yang tersebar di 327 mal yang sudah tutup dari total 700-an mal. Dengan kata lain sudah 8.000 lebih restoran yang tutup.

“Itu belum termasuk resto di gedung perkantoran, stand alone, di taman wisata dan di fasilitas lainnya di luar mal. Kalau mau ditotal semua, saya kira dua kalinya,” terang Emil kepada DailySocial.

Dengan keadaan itu, Emil memperkirakan bisnis kuliner di Tanah Air sudah merugi sekitar Rp2,5 triliun per bulan dengan 200 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya.

Stoqo to focus on the procurement of culinary business grocery

Stoqo Facilitates Culinary Business for Grocery Shopping

Stoqo is an online supplier providing a variety of grocery for culinary business. They connect distributors of various groceries – such as cooking oil, coffee, flour etc – on one platform. In addition, for some ingredients, such as fresh vegetables and meat, customers are connected to the market sellers. Stoqo’s main targets are the owners of restaurant, cafe, catering, and home-based culinary business.

In order to maximize operation this year, Stoqo is reportedly having raised a series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018. There’s no information of further details and nominal. Previously, Stoqo became one of nine startups with opportunity to join the Alibaba’s acceleration program eFounders Fellowship in Hangzhou.

Aswin Andrison (Stoqo’s Co-founder and CEO) started Stoqo from selling rice in Cipinang. Then, he had to deliver orders directly to each customer. Business model digitization have them acquired more than 2500 types of products which currently on demand in the culinary business. Stoqo’s vision: “to empower the underserved to work for a better life.”

“The segment crowded with players is e-commerce B2C. In B2B, especially for culinary business grocery, Stoqo is one pioneer,” Andrison said in an interview with SWA.

Stoqo provides delivery service for 6 days a week. The fastest delivery is tomorrow, for any order submitted before 2 pm. By ordering more than Rp300,000, they’re making free delivery, it’s for additional value due to culinary players are quite “sensitive” with this kind of cost.

Customers don’t have to pay in advance, COD is available. Currently, Stoqo only serves around Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi.

As a B2B commerce, Stoqo provides partnership opportunities for suppliers of culinary grocery. In providing efficiency for logistics, Stoqo has lanched STOQOHub in Pasar Rebo. It’s a storage house for raw materials from suppliers before being delivered to consumers.

“As it implies, STOQOHub #1 reflects STOQO’s heart or operational center to facilitate Customer Experience and Operational team to serve customers,” he said.

Stoqo's Co-founder, Angky William and Aswin Andrison
Stoqo’s Co-founder, Angky William and Aswin Andrison / Alpha JWC Ventures

Aside from Andrison, Stoqo has another co-founder and also CTO, Angky William. Previously, Andrian worked as a consultant at McKinsey, and Angky was a software engineer at Amazon.

As Andrison said, the grocery procurement for SMEs engaged in culinary industry is quite challenging. Using proper and efficient management, it can grow 40%-60% profits. However, when something goes wrong, it’ll sent the business to bankruptcy, kind of risky. What Stoqo did was using technology to make SME’s players more productive, encouraging business optimization and product innovation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Stoqo E-commerce Bahan Baku Makanan

Layanan Stoqo Mudahkan Pebisnis Kuliner Belanja Bahan Baku

Stoqo merupakan online supplier yang menyediakan berbagai kebutuhan bisnis kuliner. Mereka menjembatani distributor berbagai bahan baku –seperti minyak goreng, kopi, tepung dll—di satu platform. Selain itu, untuk beberapa bahan makanan seperti sayuran dan daging segar, pengguna turut dihubungkan dengan penjual dari pasar. Target utama Stoqo adalah pemilik restoran, kafe, katering dan usaha kuliner rumahan.

Guna memaksimalkan operasional di tahun ini, akhir Desember 2018 lalu Stoqo dikabarkan baru mendapatkan suntikan pendaan seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners India. Belum diinformasikan mengenai detail dan nominal pendanaan. Sebelumnya Stoqo juga menjadi satu dari sembilan startup yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program akselerasi Alibaba eFounders Fellowship di Hangzhou.

Aswin Andrison (Co-founder dan CEO Stoqo) memulai Stoqo dari bisnis jualan beras di Cipinang. Waktu itu ia harus mengantarkan pesanan langsung ke masing-masing pelanggan. Digitalisasi model bisnis, membuat Stoqo kini miliki lebih dari 2500 jenis produk  yang biasa dibutuhkan bisnis kuliner. Stoqo miliki visi: “memberdayakan yang kurang terlayani untuk bekerja demi kehidupan yang lebih baik.”

“Yang sudah banyak pemainnya itu e-commerce untuk segmen B2C. Untuk segmen B2B terutama dalam hal pemenuhan bahan pokok untuk bisnis kuliner, Stoqo adalah perintis,” ujar Aswin dalam sebuah wawancara dengan SWA.

Stoqo memberikan layanan pengiriman pesanan selama 6 hari dalam seminggu. Pengiriman dilakukan paling cepat hari esok, untuk tiap pemesanan yang masuk sebelum jam 2 siang. Dengan memesan lebih dari Rp300.000, Stoqo menggratiskan biaya kirim, hal ini untuk memberikan nilai lebih pasalnya pengusaha kuliner cukup “peka” dengan biaya seperti ini.

Pengguna juga tidak harus melakukan pembayaran di muka, bisa juga dibayar ketika barang diterima. Saat ini Stoqo baru melayani pelanggan di seputar Jakarta,  Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Sebagai sebuah B2B commerce, Stoqo turut membuka peluang kemitraan untuk supplier produk bahan baku kuliner. Guna memberikan efisiensi pada proses logistik, menjelang akhir tahun lalu Stoqo meresmikan STOQOHub pertamanya di wilayah Pasar Rebo. STOQOHub merupakan rumah penyimpanan bahan baku dari supplier sebelum dikirimkan ke konsumen.

“Sesuai dengan namanya, STOQOHub #1 mencerminkan jantung atau pusat kegiatan operasional STOQO yang dapat memudahkan tim Operasional dan Customer Experience untuk melayani kebutuhan para pelanggan,” ujar Aswin.

Founder Stoqo
Co-founder Stoqo, Angky William and Aswin Andrison / Alpha JWC Ventures

Selain Aswin, Stoqo didirikan oleh seorang co-founder lain yang juga menjadi CTO, yakni Angky William. Sebelum di Stoqo, Aswin bekerja sebagai konsultan di McKinsey, sementara Angky software engineer di Amazon.

Menurut Aswin, pengadaan bahan baku untuk UKM yang bergerak di bidang kuliner cukup menantang. Dengan manajemen yang tepat dan efisiensi, bisa menumbuhkan 40-60% keuntungan. Namun jika terjadi kesalahan, bisa saja membuat bisnis tersebut bangkrut, cukup rentan. Apa yang dilakukan Stoqo ialah memanfaatkan teknologi untuk menjadi pelaku UKM lebih produktif, mendorong untuk optimasi bisnis dan inovasi produk.

Application Information Will Show Up Here