Tag Archives: super app

Traveloka Adtech

Super-App Gencar Eksplorasi Bisnis “Adtech”

Pemilik platform super-app di Indonesia semakin gencar mendalami bisnis advertising technology atau adtech. Setelah Gojek, Tokopedia, dan Grab, kini Traveloka juga menghadirkan layanan serupa dengan nama Traveloka Ads.

Dipantau dari situs resminya, Traveloka Ads menawarkan layanan iklan bagi targeted audience dengan pilihan slot beragam dan biaya yang fleksibel. Brand dapat membidik audiens berdasarkan sejumlah kriteria, seperti kawasan/kota, aktivitas terkini, level pengguna, produk yang dibeli, dan metode pembayaran.

Traveloka Ads juga menghadirkan berbagai pilihan slot placement mulai dari halaman utama aplikasi, m-web, dan desktop; halaman pembayaran, points, dan promo; serta live stream.

Layanan Traveloka Ads juga diklaim telah membuahkan hasil optimal bagi pengiklan/pemilik brand. Klien perbankan tercatat mendapatkan 13 juta impresi dari lima slot iklan kartu kredit selama tiga bulan. Kemudian, klien video on-demand juga mengantongi 1,2 juta impresi dan 1.000 daily visit dari tiga slot iklan aplikasi selama 15 hari di platform Traveloka.

Langkah Traveloka menyeriusi bisnis adtech tak lepas dari potensi periklanan digital yang diproyeksi terus bertumbuh di tanah air. Selain itu, super-app telah memiliki basis pengguna besar dengan dukungan layanan beragam dan rekam jejak transaksi. Adapun, Traveloka memiliki lebih dari 50 juta pengguna aktif bulanan (iOS, Android, desktop) serta lebih dari 15 produk travel dan lifestyle.

Riset Statista menunjukkan bujet digital advertising di Indonesia diproyeksi mencapai $2,55 miliar di 2023, di mana 62% dari total bujet tersebut bakal dialokasikan untuk mobile, sedangkan sisanya 38% untuk desktop. Adapun, riset lain oleh Industry Research memperkirakan pasar adtech global di 2021 sekitar $20,3 miliar, dan naik 13% menjadi $42,08 miliar di 2027.

Layanan sejenis

Grab telah lebih dulu masuk ke bisnis periklanan melalui GrabAds (2018) kendati model bisnis yang diperkenalkan saat itu bermain di ranah online-to-offline (O2O). Ada tiga kategori iklan yang ditawarkan, yaitu mobile billboards, in-car engagement, dan in-app engagement.

Tahun lalu, GoTo Group melalui Gojek dan Tokopedia juga mengumumkan komitmennya masuk ke bisnis periklanan. Dalam menjalankan bisnis ini, keduanya berjalan dengan brand dan unit bisnis terpisah. Gojek menggandeng perusahaan adtech asal Taiwan, TenMax, untuk menghadirkan Gojek Ads Network (GoGAN), sedangkan Tokopedia meluncur dengan layanan “Tokopedia Marketing Solutions“.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Tokopedia menyebutkan bahwa layanan ini mengincar pelaku bisnis dari berbagai skala untuk memaksimalkan platform e-commerce dalam strategi pemasarannya. Sementara, GoGAN memungkinkan pelaku bisnis menjalankan kampanye promosi maupun iklan dengan menghilangkan beberapa friksi dan memudahkan pemasangan iklan di berbagai media yang berbeda.

Merangkum sejumlah sumber, istilah adtech kerap dikaitkan pada pemanfaatan software dan tools yang memungkinkan agensi, brand, dan platform untuk membidik targeted audience dan mengukur kampanye iklan digital mereka. Sejumlah solusi adtech yang banyak digunakan terdiri dari Demand Side Platform (DSP), Supply Side Platform (SSP), dan data management platform.

Di skala global, ada raksasa e-commerce Amazon yang menggarap bisnis advertising melalui Amazon Ads. Bagi Amazon, aktivitas jual-beli iklan digital menjadi lebih kompleks sehingga solusi adtech mengambil peran untuk merampingkan prosesnya. Pada intinya, adtech dapat memberikan nilai tambah bagi pemilik brand dan agensi untuk mengelola kampanye terintegrasi secara efektif, menggunakan bujet lebih efisien, dan memaksimalkan ROI mereka.

Application Information Will Show Up Here
AirAsia ride Indonesia

AirAsia Segera Luncurkan Layanan Ride-Hailing di Indonesia November 2022

Grup AirAsia secara aktif menghadirkan layanan-layanan baru sebagai upaya menumbuhkan pendapatan non-maskapainya. Salah satunya adalah layanan ride-hailing yang sudah resmi meluncur di Malaysia dan beberapa kawasan Asia Tenggara.

Kemarin (13/9) Capital A, nama perusahaan induk AirAsia, mengumumkan pencapaian satu tahunnya layanan airasia ride dengan menawarkan pekerjaan penuh waktu kepada semua pengemudi. Opsi pekerjaan penuh waktu ini merupakan wujud apresiasi dan penguatan komitmen dari program Pengemudi Mandiri yang saat ini sudah ada di airasia ride.

Dalam satu tahun beroperasi, layanan airasia ride berhasil menyelesaikan 2 juta perjalanan, hanya empat bulan setelah mencapai 1 juta perjalanan pada bulan April tahun ini. Pengemudi yang sudah mendaftar  di aplikasi sudah mencapai 53 ribu orang.

CEO Capital A Tony Fernandes mengungkapkan, “Ini adalah sesuatu yang wajar untuk dilakukan. Mendahulukan para armada. Bulan lalu, kami engawal inisiatif baru yang menawarkan pekerjaan penuh waktu kepada pengendara pengiriman, dan hari ini kami memperingati tahun pertama airasia ride dengan mengumumkan langkah baru lainnya — menawarkan pekerjaan penuh waktu kepada semua pengemudi airasia ride yang memenuhi syarat.”

Dalam acara konferensi pers yang juga ditayangkan secara online ini, Lim Chiew Shan selaku Regional CEO airasia ride, turut mengungkapkan rencana ekspansi layanan ini ke Indonesia. “Kita akan segera meluncurkan layanan (airasia ride) dalam dua bulan ke depan di Indonesia, paling lambat pada November 2022 mendatang,” ujarnya.

Disinggung mengenai model bisnis yang akan diterapkan, Shan mengungkapkan bahwa perusahaan akan tetap menjalankan model bisnis yang sudah ada, tentunya menyesuaikan dengan regulasi di setiap negara. Terkait benefit yang diterima pengemudi, Toni menegaskan bahwa perusahaan akan menerapkan strategi yang sama selama diizinkan oleh pemerintah di masing-masing negara.

Langkah ini sejalan dengan rencana AirAsia untuk meluncurkan inisiatif teranyar yang diberi nama “AirAsia Super App”. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk melakukan pemesanan hotel dan aktivitas di samping penawaran penerbangan, dengan kata lain menyediakan semua layanan dalam satu aplikasi.

Sebelumnya, AirAsia sudah lebih dulu meresmikan layanan airasia money, marketplace produk finansial yang menawarkan solusi keuangan yang terjangkau, dari asuransi, investasi, pengiriman uang, dan penggalangan dana sosial, bersama para mitra airasia food.

Layanan pesan-antar makanan airasia food sendiri diluncurkan pada bulan yang sama dan mulai beroperasi di beberapa area seperti, Tangerang, Jawa Barat, diikuti oleh Jakarta pada bulan Juni. Sejak itu, ribuan pedagang telah mendaftar ke platform.

Layanan ride-hailing di Indonesia

Berdasarkan data dari Measurable AI, Gojek dan Grab masih menjadi dua pemain mobilitas ride-hailing terbesar di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, pangsa pasar ride-haling secara keseluruhan telah stabil dengan Grab memimpin dengan sedikit keuntungan.

Measurable AI melacak total pengeluaran untuk Mobilitas (termasuk Sepeda, Mobil) untuk kedua perusahaan menggunakan metrik “harga total” sebagai proksi pendapatan perusahaan. Terminologi “harga total” di sini adalah angka sebelum promosi atau diskon diterapkan ke pesanan, yang paling dekat dengan metrik GMV untuk kedua perusahaan.

Marketshare Ride-hailing 2021 -2022: Aplikasi Gojek versus Aplikasi Grab (Diperbarui pada Agustus 2022) / Measurable AI
Marketshare Ride-hailing 2021 -2022: Aplikasi Gojek versus Aplikasi Grab (Diperbarui pada Agustus 2022) / Measurable AI

Namun, belakangan, ada layanan baru seperti Maxim dan inDrive yang mencoba mengusik dominasi dari kedua layanan ini. Maxim mulai beroperasi di Indonesia sejak 2018, menyediakan layanan taksi online, ojek online, pesan-antar makanan, dan pengiriman barang.

Saat ini, perusahaan asal Rusia itu telah tersedia di 63 kota. Tidak hanya layanan transportasi online, perusahaan transportasi ini juga memiliki berbagai macam layanan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk layanan pijat dan spa serta layanan bersih-bersih.

Sementara inDrive memiliki model bisnis yang relatif berbeda. Layanan ini tidak menentukan tarif di aplikasi, melainkan memungkinkan penumpang untuk mematok tarif di awal. Melalui aplikasi inDriver, tarif perjalanan yang adil ditentukan oleh pengemudi dan penumpang dengan bernegosiasi dan menyepakati tarif yang sesuai untuk kedua belah pihak.

Ride-hailing adalah salah satu sektor yang paling terpukul di awal wabah Covid-19. Meskipun demikian, sektor ini perlahan meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat vaksinasi dan pembukaan kembali ekonomi secara bertahap di seluruh dunia. Kami akan terus memantau persaingan raksasa ride-hailing di pasar yang berbeda.

Application Information Will Show Up Here
Bank Mandiri akan fokus mengembangkan inovasi digital, dimulai di segmen lifestyle dan wholesale / Bank Mandiri

Bank Mandiri Siapkan Ekosistem “Super App” Livin’ by Mandiri di Q4 2021

PT Bank Mandiri Tbk (IDX:BMRI) menyiapkan sejumlah strategi dan rencana besar untuk memperkuat posisinya di segmen perbankan ritel dan wholesale. Ini menjadi strategi perusahaan untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank sebagaimana dilakukan pemain lainnya.

Salah satunya, perusahaan melakukan rebranding pada platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Wajah baru ini sebetulnya sudah dirilis beberapa waktu lalu. Namun, Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app” yang diusungnya.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan pengelolaan finansial yang lebih luas dengan identitas baru mobile banking ini. Salah satu contoh layanan keuangan yang akan hadir adalah investasi.

“Ada tiga keunggulan yang kami tawarkan, yakni pengalaman perbankan yang komprehensif seolah memiliki cabang dalam genggaman, layanan keuangan yang lengkap lewat integrasi layanan keuangan dalam satu aplikasi, dan solusi ekosistem terbuka untuk mengintegrasikannya dengan ekosistem digital favorit nasabah,” papar Darmawan.

Darmawan menilai Bank Mandiri telah diperkuat dengan permodalan yang besar dan ekosistem perbankan yang mapan. Maka itu, pihaknya merasa tidak perlu bertransformasi menjadi bank digital, dan lebih memilih untuk fokus mengembangkan inovasi digital.

Livin’ by Mandiri diperkenalkan kembali dengan identitas baru pada kuartal pertama 2021. Awalnya, platform ini bernama Mandiri Online yang meluncur ke publik sejak 2017. “Rencananya, aplikasi ini akan semakin dilengkapi berbagai fitur terkini di kuartal keempat 2021,” kata Darmawan.

Berdasarkan data kinerja semester I 2021, pertumbuhan transaksi digital Bank Mandiri berkontribusi besar terhadap perolehan margin bisnis perusahaan. Pengguna Livin’ by Mandiri tercatat tumbuh pesat menjadi 7,8 juta nasabah dengan nilai transaksi mencapai Rp728,9 triliun.

Selain ritel, Bank Mandiri juga akan meluncurkan Wholesale Digital Super Platform yang akan menjadi pusat ekosistem layanan keuangan bagi nasabah korporasi. Perusahaan enggan mengelaborasi rencana pengembangan dan target peluncurannya.

Wholesale Digital Super Platform akan hadir dalam platform berbasis website, API, maupun kemitraan dengan berbagai kategori nasabah yang mencakup ekosistem bisnis untuk berbagai layanan, seperti cash management, value chain, hingga trade.

“Sektor pasar yang dibidik oleh Mandiri API adalah mitra pebisnis berbentuk badan usaha yang membutuhkan integrasi yang mudah dan cepat dengan layanan perbankan yang lengkap dan terbaik untuk efisiensi operasional,” tambahnya.

Beberapa digitalisasi layanan yang telah dikembangkan Bank Mandiri antara lain Mandiri e-Money, Mandiri Intelligent Assistant (MITA), pembukaan rekening online, Mandiri Cash Management (MCM), Mandiri Internet Bisnis (MIB), Mandiri Global Trade, Mandiri Financial Supply Chain Management (FSCM), dan Mandiri Application Programming Interface (API).

Geliat digitalisasi perbankan

Di tengah maraknya kemunculan bank digital baru, sejumlah bank inkumben menyiapkan strategi untuk semakin memperkuat posisinya. Bagi bank konvensional, tidak lah mudah untuk bertransformasi menjadi bank digital, terlebih perusahaan yang punya legacy besar. Bukanlah hal mudah untuk menutup ratusan kantor cabang sekaligus.

Pada kasus Bank Mandiri, anak usaha BUMN ini memilih memperkuat posisinya di segmen ritel dan wholesale dengan rebranding produk digital yang sudah ada dan mengembangkan platform baru. Kendati begitu, strategi ini tentu berbeda dengan yang dilakukan BCA. Bank terbesar di Asia Tenggara ini memilih opsi akuisisi bank dan menggantinya dengan identitas baru.

Bagi bank-bank kecil, ini menjadi peluang besar kendati mereka tidak punya legacy besar sejak awal. Ambil contoh, Bank Jago dan Bank Neo Commerce sama-sama berawal dari bank kecil yang kemudian berganti identitas dengan nama baru.

Terlepas dari itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah menegaskan bahwa tidak ada dikotomi antara bank umum dan bank digital melalui aturan baru yang tertuang dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2021.

Planning Stage Subsidiaries BRI Agro
Alobank
Bank-as-a-Service Standard Chartered <> Bukalapak
Unannounced Bank Capital
Aladin Bank
Established Fully Digital Bank Jago
Bank Neo Commerce
Seabank
Subsidiary BCA Digital
Permatabank <> Moxa
Digital Unit/Online Product Digibank
Jenius
Linebank
Livin’ by Mandiri
MNC Bank
Nyala by OCBC NISP
PermataME
TMRW by UOB

Bank digital dan produknya di Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Mengutip Bisnis.com, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, regulasi baru ini diharapkan dapat memberi kepastian kepada investor yang ingin mendirikan bank digital di Indonesia.

Regulasi ini memberikan dua opsi, yakni mendirikan bank baru dan mengakuisisi bank kecil yang kemudian dikonversi menjadi bank digital. Adapun, OJK mewajibkan investor pengendali untuk menyediakan modal inti minimum sebesar Rp10 triliun untuk mendirikan bank baru.

Gojek to Focus on Vietnam and Singapore Expansion, Selling Its Thailand Branch to AirAsia

Low-cost carrier AirAsia officially acquired Gojek’s Thai business as a solid step into the digital business. As part of this agreement, Gojek will receive 4.76% of AirAsia’s super app service stake.

As reported by Nikkei Asia, the deal was taken as AirAsia exploring delivery growth in Thailand. Gojek alone wants to shift its regional business focus to Vietnam and Singapore.

According to AirAsia’s disclosure quoted by Nikkei, AirAsia’s super app business is worth $1 billion (around 14 trillion Rupiah), while Thailand’s Gojek is worth $50 million (around 700 billion Rupiah).

AirAsia’s CEO, Tony Fernandes assessed that Gojek’s business in Thailand is well established and can accelerate the company’s efforts to become a super app challenger in the Southeast Asian region.

“Gojek’s services in Thailand will operate until the end of July, while our platform will start operating in August. We ensure that there will be no redundancy from the transition of these two businesses,” Tony said.

Meanwhile, Gojek’s CEO, Kevin Aluwi said that his action to discharge the ride-hailing business in Thailand was a strategic step to reshape its regional business after the merger with Tokopedia to GoTo. He said, Gojek is unable to fully commit to the resources there.

Kevin thought that the business divestment in Thailand would allow Gojek to lead the market in Vietnam and Singapore by increasing its investment portion. He said that his team had been exploring this agreement since two months ago.

“After considering the product development and our team, we decided to prioritize investment in Vietnam and Singapore considering the scale of Gojek’s business in these two countries. We believe we can find the right partner with the resources we have. We remain fully committed to growing Gojek’s market outside Indonesia,” he said.

In this virtually announced deal, both Tony and Kevin mentioned the possibility of a potential joint partnership outside of Thailand, but provide no further details.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Gojek Thailand (@gojekthailand)

A new chapter for super app competition in Southeast Asia

Previously, Tony had stated his intention to compete with Gojek and Grab in the Southeast Asia region through AirAsia Digital or this super app.

AirAsia’s digital services are currently available in Malaysia, consisting of food delivery, grocery, farm goods, and beauty. As a form of expansion, rather than building from scratch, AirAsia acquired Gojek’s existing business which was considered to be well established in Thailand.

In the context of international business, GoTo is quite behind compared to its competitors. Tokopedia is only available in Indonesia, while Gojek’s operation stays in three regional countries, Vietnam, Thailand and Singapore.

In comparison, Grab is available in eight countries and Sea Group (Shopee’s parent) has operations in six Southeast Asian countries. Sea Group even operates in Taiwan and four other countries in South America.

Quoting Momentum Works‘ research, Gojek’s market share in Thailand is far behind Grab in 2020. GrabFood controls 50% of food delivery share in Thailand or worth $2.8 billion, followed by FoodPanda (23%), and LINE MAN (20%). GoFood only earned a 7% share of food delivery there.

The super app market in Thailand is also entering a very competitive phase with the involvement of local conglomerates in this business. Retail giant Central Group injected a $200 million investment into its Thai subsidiary Grab in 2019. While Thailand’s largest conglomerate Charoen Pokphand Group entered the business through its telecommunications subsidiary, TrueID.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Bisnis Gojek Thailand yang dijual ke AirAsia bernilai $50 juta (sekitar 700 miliar Rupiah) dengan mekanisme tukar saham / AirAsia

Ingin Fokus Ekspansi Regional di Vietnam dan Singapura, Gojek Jual Bisnis di Thailand ke AirAsia

Perusahaan maskapai low-cost carrier AirAsia resmi mencaplok bisnis Gojek di Thailand sebagai langkah solid masuk ke bisnis digital. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Gojek akan memperoleh 4,76% saham layanan super app AirAsia.

Sebagaimana dilaporkan Nikkei Asia, kesepakatan tersebut diambil karena AirAsia mengincar pertumbuhan delivery di Thailand. Gojek sendiri ingin mengalihkan fokus bisnis regionalnya ke Vietnam dan Singapura.

Menurut keterbukaan AirAsia yang dikutip Nikkei, bisnis super app AirAsia bernilai $1 miliar (sekitar 14 triliun Rupiah), sementara Gojek Thailand bernilai $50 juta (sekitar 700 miliar Rupiah).

CEO AirAsia Tony Fernandes menilai bisnis Gojek di Thailand sudah mapan dan dapat mempercepat upaya perusahaan untuk menjadi super app penantang di kawasan Asia Tenggara.

“Layanan Gojek di Thailand akan beroperasi hingga akhir Juli, sedangkan platform kami mulai beroperasi di Agustus. Kami pastikan tidak akan ada redundancy dari transisi kedua bisnis ini,” ujar Tony.

Sementara CEO Gojek Kevin Aluwi mengatakan, aksinya melepas bisnis ride-hailing di Thailand merupakan langkah strategis untuk membentuk kembali bisnis regionalnya pasca merger dengan Tokopedia menjadi GoTo. Menurutnya, Gojek tidak mampu berkomitmen penuh dengan resource yang dimiliki di sana.

Kevin menilai divestasi bisnis di Thailand akan memungkinkan Gojek untuk memimpin pasar di Vietnam dan Singapura dengan meningkatkan porsi investasinya. Ia mengungkap pihaknya telah melakukan penjajakan kesepakatan ini sejak dua bulan lalu.

“Setelah menimbang dari pengembangan produk dan team yang kami miliki, kami memutuskan untuk memprioritaskan investasi di Vietnam dan Singapura jika melihat skala bisnis Gojek di kedua negara ini. Kami yakin bisa menemukan mitra yang tepat dengan resource yang kami miliki. Kami tetap berkomitmen penuh untuk menumbuhkan pasar Gojek di luar Indonesia,” jelasnya.

Pada kesepakatan yang diumumkan secara virtual ini, baik Tony dan Kevin menyinggung kemungkinan potensi kemitraan bersama selanjutnya di luar Thailand, tapi tidak merincikan detail.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Gojek Thailand (@gojekthailand)

Babak baru pertarungan “super app” di Asia Tenggara

Sebelumnya Tony sempat menyatakan niatnya bersaing dengan Gojek dan Grab di kawasan Asia Tenggara melalui AirAsia Digital atau super app ini.

Layanan digital AirAsia ini secar umum tersedia di Malaysia, terdiri dari pengantaran makanan, grocery, barang-barang dari petani (farm), dan beauty. Sebagai bentuk ekspansi, ketimbang membangun dari nol, AirAsia mencaplok bisnis existing Gojek yang dinilai sudah mapan di Thailand.

Di konteks bisnis internasional, GoTo terbilang cukup tertinggal ketimbang para pesaingnya. Tokopedia hanya beroperasi di Indonesia, sedangkan Gojek baru beroperasi di tiga negara regional, yakni Vietnam, Thailand, dan Singapura.

Sebagai perbandingan, Grab sudah hadir di delapan negara dan Sea Group (induk Shopee) sudah beroperasi di enam negara Asia Tenggara. Sea Group bahkan beroperasi di Taiwan dan empat negara lain di Amerika Selatan.

Mengutip hasil riset Momentum Works, pangsa pasar Gojek di Thailand jauh tertinggal dari Grab di tahun 2020. GrabFood menguasai 50% pangsa food delivery di Thailand atau senilai $2,8 miliar, diikuti FoodPanda (23%), dan LINE MAN (20%). GoFood hanya meraup 7% pangsa pengiriman makanan di sana.

Pasar super app di Thailand juga tengah memasuki babak persaingan yang kuat dengan keterlibatan konglomerat lokal di bisnis ini. Raksasa retail Central Group menyuntik investasi $200 juta ke anak usaha Grab di Thailand pada 2019. Sementara konglomerat terbesar Thailand Charoen Pokphand Group masuk ke bisnis ini melalui anak usahanya di bidang telekomunikasi, TrueID.

Application Information Will Show Up Here
Koinworks sedang mempersiapkan super app khusus menaungi para pedagang online untuk perluas produk finansial yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing bisnis

Perkuat Ekosistem Produk Finansial, Koinworks Segera Rilis “Super App” Untuk Pedagang Online

Koinworks sedang mempersiapkan super app khusus menaungi para pedagang online untuk perluas produk finansial yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing bisnis. Rencananya aplikasi tersebut akan dirilis pada kuartal kedua tahun ini.

Sebelumnya, perusahaan merilis aplikasi super app untuk para pemberi pinjaman berisi beragam fitur untuk menunjang mereka dalam mengembangkan aset dengan berinvestasi, tak hanya p2p lending (KoinP2P), ada KoinGold, juga KoinGaji, dan KoinBisnis untuk mengajukan pinjaman.

“Tahun 2020 kemarin kita banyak fokus ke super financial app untuk cari user personal, tapi secara operation kita banyak bantu UKM supaya tetap dapat akses pendanaan. Tahun ini mau menambahkan fokus ke UKM supaya mereka enggak hanya dapat lending saja, bisa menikmati fitur lainnya lewat ekosistem yang mereka butuhkan,” ucap CMO KoinWorks Jonathan Bryan dalam acara diskusi online, Rabu (20/1).

Ia mengaku optimis dengan kehadiran super app khusus UKM dapat memperkuat posisi perusahaan sebagai fintech lending pionir yang menyasar sektor pedagang online. Berbekal kekayaan historis yang dikumpulkan perusahaan, menjadi bekal penting dalam pengembangan aplikasi tersebut.

Semenjak pandemi, pergeseran transaksi dari offline ke online, membuat sektor ini menjadi primadona yang akhirnya mengubah lanskap bisnis pemain startup lending. Sebagian dari mereka awalnya hanya bermain di sektor produktif saja, atau usaha offline, kini mulai melirik para pedagang online.

Digital SME itu menjadi market yang seksi tahun ini karena bisnis online ini mengubah semuanya. Kita menjadi fintech pionir yang khusus bermain di sektor ini, banyak data yang telah kita kumpulkan menjadi bekal bagus untuk memperkuat kehadiran.”

Sepanjang tahun lalu, KoinWorks mencatatkan peningkatan peminjam dan pemberi pinjaman hingga 61% secara tahunan atau sebesar 549 ribu. Sedangkan pinjaman yang disalurkan mencapai lebih dari Rp2,5 triliun. Rata-rata kredit yang diajukan peminjam berkisar Rp200 miliar sampai Rp300 miliar per bulannya.

Rilis indeks keyakinan UKM digital

Pada saat yang bersamaan, perusahaan melakukan penelitian bertajuk “Digital SMEs Confidence Index Q4 2020” untuk memperoleh pandangan pemilik UKM tentang bagaimana mereka menghadapi lingkungan bisnis selama 2020, faktor-faktor yang memengaruhi tindakan mereka, dan pandangan terhadap bisnis setelah pandemi.

Penelitian ini dilakukan kepada 1.188 pelaku UKM digital sebagai responden dengan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, berlangsung selama Oktober-November 2020. Kebanyakan mereka bergerak di bisnis F&B (42,7%), fesyen dan aksesoris (28,9%), jasa profesional (11,5%), dan perlengkapan rumah tangga (5,6%).

Hasil yang ditemukan, pandemi mengubah perilaku dari pelanggan dan bisnis UKM ikut menerima pengaruhnya. Sebanyak 89,2% responden sepakat bahwa pandemi sangat memberikan dampak kepada bisnis mereka, baik secara positif maupun negatif. Selain itu, 33,2% responden sempat mengalami penurunan penjualan mulai dari 31%-75%.

Lebih lanjut, pandemi memaksa pelaku bisnis UKM digital untuk dapat bertahan, salah satunya melalui digitalisasi. Responden yang memanfaatkan channel penjualan di berbagai sales channel (lima channel penjualan) memilki indeks keyakinan bisnis yang jauh lebih tinggi, sekitar 2,7 dari skala 5 menerima penurunan penjualan yang lebih rendah 34,95%. Sementara, yang hanya memanfaatkan satu channel menerima penjualan yang lebih tinggi 38,96%.

“Indeks Keyakinan Bisnis sendiri mengukur ekspektasi pengusaha mengenai pendapatan bisnis saat ini, kapasitas produksi, jam kerja rata-rata, dll. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa digitalisasi dapat membuka banyak gerbang untuk pelaku UKM agar dapat mempertahankan bisnisnya. Selain itu, salah satu temuan menarik adalah terkait pembiayaan yang dinilai sebagai faktor yang paling dibutuhkan untuk mengembangkan usaha saat pandemi atau setelah pandemi berakhir.”

Supper App News: Still on Gojek vs Grab

Super app has become a hype terminology. Both leading players, Gojek and Grab, are still on the campaign to be the most complete super app. It is a quite tight (direct) competition in all lines. Not only in Indonesia but also in regional area. With a same-level valuation as “decacorn”, the target market set is full of ambition.

This is the latest business scope of both services:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab tends to be superior in terms of coverage area. They started to expand since 2014 – including to Indonesia. Meanwhile, Gojek only started its regional expansion in mid-2018. In terms of the type of service, Indonesian market has the most comprehensive one. The complete service has delivered the term super app as a title.

According to App Annie’s data, the Grab application has been downloaded by 187 million users as of June 2020, while Gojek with 170 million users. The largest user base lies in Indonesia. In terms of Grab, it is around 66%, while Gojek is 90%.

Previously, Gojek has launched a separate application for expansion outside Indonesia. From this month on, they started to unify apps and brands into Gojek – from Vietnam service Go-Viet into Gojek. GET in Thailand will also get changed soon.

The latest report released by China Renaissance investment bank summarizes a number of Gojek and Grab business achievements and strategies. One of them is related to the monthly active user’s data. Gojek’s MAU data currently has reached 36 million users in four countries, while Grab is yet to disclose any data. The research calculates the total addressable market for ride-hailing services this year is to reach $25 billion.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategy towards profitability

The Covid-19 pandemic has clearly had a significant impact on the rid hailing business. In an exclusive interview with DailySocial, the international team confirmed the news. Grab is no different. Regarding business operations efficiency, the two companies had a layoff last June. Grab lay off 5% of its employees, equivalent to 360 people. Meanwhile, Gojek laid off 9% of its total employees, equivalent to 430 people.

Therefore, the super app platform survives, for other business areas still got potential growth despite pandemic. Referring to existing business data, China Renaissance is optimistic that food delivery and e-wallet services are likely to support the super app’s sustainability strategy. A large amount of monetization is possible for these two features.

The first is about food delivery. According to market measurements, this business has the potential to bring in up to $20 billion annually. Assuming each super app is capable to gain 5% of the market, at least they can book $1 billion in revenue each year. Grab once disclosed revenue for the food delivery service. In 2017 they already raised $2 billion and grew to $5 billion in 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Earlier this year, Gojek announced the strategy to make GoFood profitable. Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo revealed that all investors’ encouragement resulted in GoFood’s business model in a direction towards profitability. As time pass by, the GoFood’s achievement benchmarks have grown, from basic transaction numbers to gross transaction values, and now revenue.

As the food business has the potential to generate big cash, various initiatives were launched. One of those is by developing a cloud kitchen to help partners efficiently produce and serve products. Both Grab and Gojek continue to expand cloud kitchens as “shared kitchens” that is accessible by SME partners. There are shops that only serve purchases via GrabFood or GoFood orders.

Digital wallet to be the next source of profit

The super app journey goes through several phases: user acquisition, partner acquisition, and product expansion. The first phase has successfully passed. Millions of driver-partners spread across various cities turned into assets to convince users regarding the reliability and availability of services. The second phase indicates the same results. The pandemic has contributed significantly to the adoption of food and grocery delivery services.

Next, the third phase is being optimized by each player. In Indonesia, GoPay is the payment platform most used by the public, competing with Ovo, which is now being applied by Grab (as well as Tokopedia and several other services). Obviously, its existence has a big impact on the business of each company. The payment system acts as a link between actors in the application ecosystem: consumers, driver-partners, and merchants.

Superapp development phase

This situation creates opportunities for partners and merchants to gain more feasible financial access. Fintech platforms such as digital wallets are considered to be able to bridge the existing gap, including connecting them with various financial products (transfers, loans, investments).

Some intentions are going toward this, including the seriousness of Grab through the GrabFinancial unit. GoPay itself is said to have reached a unicorn valuation.

Next phase: integration

Super app principles such as “must be the most complete” turn Gojek and Grab compete harder to provide various relevant services. Adding a service doesn’t mean you have to develop everything independently. In terms of telemedicine services, Gojek collaborates with Halodoc, while Grab is with Ping An Good Doctor. Also for other services, such as insurtech, lending, and OTA which are integrated with third-party platforms.

It takes some business units to allow the company to connect with related players. The strategy is similar, starting from developing venture units, acceleration programs, to acquisitions.

Such intense competition has so far been considered good for the market formation and often benefits consumers. It was previously rumored that the two super apps would merge, however, it seems just ended up as a rumor.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Strategi profitabilitas super app mungkin direalisasikan lewat layanan pesan antar makanan dan dompet digital

Super App Terkini: Masih Soal Gojek vs Grab

Super app kini jadi terminologi yang makin akrab didengar. Dua pesohornya, Gojek dan Grab, terus kampanyekan jadi aplikasi yang paling super. Keduanya memang bersaing keras (secara langsung) di hampir semua lini. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di cakupan regional. Dengan status valuasi yang sama-sama “decacorn”, tak ayal pangsa pasar yang ditargetkan cukup ambisius.

Berikut ini cakupan bisnis terkini dari kedua layanan:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab memang cenderung lebih unggul terkait luasan cakupan. Mereka mulai ekspansi sudah sejak tahun 2014 – termasuk ke Indonesia. Sementara Gojek sendiri baru memulai ekspansi regional mereka di pertengahan tahun 2018. Ditinjau dari jenis layanan, yang terlengkap memang di pasar Indonesia. Kelengkapan layanan tersebut yang mendorong julukan super app tadi dibubuhkan.

Menurut data App Annie, per Juni 2020 aplikasi Grab sudah diunduh 187 juta pengguna, sementara Gojek 170 juta pengguna. Basis pengguna terbesarnya masih di Indonesia. Untuk Grab di kisaran 66%, sementara Gojek 90%.

Sebelumnya Gojek juga meluncurkan aplikasi terpisah untuk ekspansinya di luar Indonesia. Mulai bulan ini mereka mulai menyatukan aplikasi dan brand menjadi Gojek – sudah dimulai untuk layanan di Vietnam dengan mengubah Go-Viet menjadi Gojek. GET di Thailand juga akan menyusul dalam waktu dekat.

Laporan terbaru yang dirilis investment bank China Renaissance merangkum sejumlah capaian dan strategi bisnis Gojek dan Grab. Salah satunya terkait dengan data monthly active users. Data MAU Gojek saat ini sudah mencapai 36 juta pengguna di empat negara, sementara Grab tidak membeberkan datanya. Riset tersebut juga mengalkulasi total addressable market untuk layanan ride-hailing tahun ini akan mencapai $25 miliar.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategi menuju profitabilitas

Pandemi Covid-19 jelas memberikan dampak signifikan terhadap bisnis rid hailing. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan DailySocial, tim internasional mereka mengonfirmasi hal tersebut. Pun demikian untuk Grab. Untuk efisiensi operasional bisnis, kedua perusahaan sempat melakukan layoff pada bulan Juni lalu. Grab merumahkan 5% pegawainya, setara 360 orang. Sementara Gojek merumahkan 9% dari total pegawainya setara 430 orang.

Meskipun demikian platform super app ini masih terus bertahan, karena area bisnis lainnya cenderung berpotensi terus meningkat, termasuk saat pandemi. Merujuk pada data-data bisnis yang ada, China Renaissance optimis mengatakan bahwa layanan food delivery dan e-wallet berkemungkinan besar menopang strategi keberlanjutan super app. Monetisasi dengan jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada dua fitur tersebut.

Pertama soal food delivery. Menurut pengukuran pasar, bisnis ini berpotensi menghadirkan hingga $20 miliar tiap tahunnya. Dengan asumsi masing-masing super app mampu menguasai 5% dari pasar, minimal mereka bisa membukukan pendapatan $1 miliar tiap tahunnya dari bisnis ini. Grab pernah membeberkan revenue untuk di lini pesan antar makanan. Tahun 2017 mereka sudah membukukan $2 miliar dan bertumbuh menjadi $5 miliar di tahun 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Di awal tahun ini, Gojek pun sudah sesumbar mengenai strategi membawa GoFood ke arah profit. Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value, dan sekarang revenue.

Melihat bisnis makanan yang berpotensi hasilkan banyak cuan, berbagai inisiatif pun digencarkan. Salah satunya dengan pengembangan cloud kitchen untuk membantu para mitra dapat secara efisien memproduksi dan menyuguhkan produk. Baik Grab dan Gojek terus memperluas cloud kitchen sebagai “dapur bersama” yang dapat diakses mitra UKM penjual makanan. Di dalamnya terdapat kedai-kedai yang hanya melayani pembelian via pemesanan di GrabFood atau GoFood.

Dompet digital jadi sumber profit berikutnya

Perjalanan super app dilalui dengan beberapa fase: akuisisi pengguna, akuisisi mitra, dan perluasan produk. Fase pertama telah dilalui dengan sukses. Jutaan mitra pengemudi yang tersebar di berbagai kota menjadi modal meyakinkan pengguna terkait keandalan dan ketersediaan layanan. Fase kedua mencatatkan capaian yang sama. Pandemi turut mendorong secara signifikan adopsi layanan pesan antar makanan dan grocery.

Lantas fase ketiga tengah dimaksimalkan masing-masing pemain. Di Indonesia, GoPay menjadi platform pembayaran yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, bersaing ketat dengan Ovo yang kini diaplikasikan Grab (juga Tokopedia dan beberapa layanan lainnya). Jelas keberadaannya memberikan dampak besar bagi bisnis masing-masing perusahaan. Sistem pembayaran menjadi penghubung antar pelaku di dalam ekosistem aplikasi: konsumen, mitra pengemudi, dan merchant.

Superapp development phase

Kondisi ini sekaligus membuka peluang para mitra dan merchant untuk mendapatkan akses finansial yang lebih layak. Platform fintech seperti dompet digital diyakini dapat menjembatani celah yang ada, termasuk menghubungkan mereka dengan berbagai produk finansial (transfer, pinjaman, investasi).

Beberapa indikasi mengarah ke sana, termasuk keseriusan Grab melalui unit GrabFinancial. GoPay sendiri disebut sudah mencapai valuasi unicorn.

Fase berikutnya: integrasi

Prinsip super app seperti “harus menjadi yang paling lengkap” membuat Gojek dan Grab berlomba-lomba menyuguhkan berbagai layanan yang relevan. Menambahkan layanan tidak berarti harus mengembangkan semuanya sendiri. Untuk layanan telemedicine, Gojek menggandeng Halodoc, sementara Grab bersama Ping An Good Doctor. Pun untuk layanan lain, seperti insurtech, lending, hingga OTA yang terintegrasi dengan platform pihak ketiga.

Dibutuhkan unit-unit bisnis yang memungkinkan perusahaan terhubung dengan pemain terkait. Strateginya pun serupa, mulai dari mengembangkan unit ventura, program akselerasi, hingga akuisisi.

Persaingan ketat seperti ini sejauh ini dianggap bagus untuk pembentukan pasar dan seringkali menguntungkan konsumen. Sempat tersiar bahwa kedua super app ini akan melakukan merger, namun tampaknya masih menjadi wacana.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Super App Gojek Grab

Adu Kelengkapan “Super App” Gojek dan Grab Terus Berlanjut

Di tengah pandemi Covid-19, Gojek dan Grab terus berinovasi agar menjadi super app terdepan. Dimulai dari Gojek, perusahaan menambah kemitraan dengan pihak ketiga untuk fitur edutech (bersama Zenius) dan investasi emas online GoInvestasi (bersama Pluang).

Kedua layanan ini sudah resmi hadir dalam aplikasi Gojek dalam bentuk shuffle card.

Perlu dicatat, kedua perusahaan ini punya keterikatan dengan Gojek. Zenius kini dipimpin oleh Rohan Monga, sebelumnya menjabat sebagai COO Gojek. Dia berpartisipasi saat merintis Gojek pada fase awal hingga mendapat status decacorn.

Adapun, Pluang adalah salah satu portofolio dari Go-Ventures, unit modal ventura milik Gojek. Startup yang dulu bernama EmasDigi ini memperoleh investasi Seri A senilai $3 juta pada September 2019.

Dalam keterangan resmi, Head of Third Party Platform Gojek Sony Radhityo mengatakan, “Solusi tepat sasaran yang Gojek berikan selalu berangkat dari permasalahan yang ada di kehidupan sehari-hari pengguna. […] Hadirnya layanan teledukasi merupakan salah satu upaya kami untuk memastikan agar anak bangsa tetap produktif dan dapat belajar mandiri dengan nyaman di rumah.”

Zenius membuka aksesnya untuk 80 ribu video pembelajaran dan latihan soal untuk materi kelas 1-12, live teaching dan live chat dipandu para tutor, dan rencana belajar harian.

Berikutnya, GoInvestasi menyediakan transaksi jual beli investasi emas online. Harga pembelian dimulai dari 0,01 gram atau setara Rp8 ribu-an. Metode pembayaran yang tersedia untuk sementara ini GoPay.

Pluang menjamin, seluruh transaksi dijamin sesuai regulasi yang berlaku. Perusahaan sudah mendapat lisensi dari Bappebti, emas disalurkan oleh PT PG Berjangka dan disimpan di PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI). Serta, sudah disertifikasi oleh MUI untuk menjamin transaksi sesuai akad syariah.

GoInvestasi juga menyediakan grafik harga jual dan beli emas secara real time untuk memberikan gambaran yang lebih jual kepada para pengguna.

Sebelum merilis kedua fitur, Gojek telah memperkenalkan GoSure (PasarPolis), GoGive (Kitabisa), GoGames (divisi eksperimental milik Google ‘Area 120’), GoNews (Google News dan Kumparan), GoMall (Blibli dan JD.id), GoMed (Halodoc), dan GoFitness (Doogether).

Secara terpisah, dalam wawancara sebelumnya, Sony memberi contoh GoSure tak lain hadir karena indeks literasi produk asuransi di Indonesia hanya 12,1% menurut hasil survei dari OJK. Artinya, hampir 90% masyarakat Indonesia belum terjangkau oleh asuransi.

Padahal, proteksi terhadap suatu potensi kerugian perlu ditanamkan untuk melindungi masyarakat dari risiko terhadap dirinya, harta benda, maupun kegiatan usaha.

Grab justru pilih fokus pada vertikal yang sudah ada

Di tengah landainya jasa transportasi akibat diberlakukannya physical distancing, Grab justru melihat itu adalah kesempatan untuk meningkatkan permintaan pengiriman makanan, barang, dan kebutuhan harian. Mereka merilis GrabMart dan GrabAssistant dan akan diperluas ke lebih banyak negara dalam beberapa minggu mendatang.

“Covid-19 telah memberikan dampak ketidakpastian finansial yang besar bagi mitra pengemudi, mitra pengiriman, dan merchant. Prioritas utama kami adalah memastikan keselamatan dan keberlangsungan hidup setiap individu yang tergabung dalam platform Grab,” ujar Co-Founder dan Group CEO Grab Anthony Tan dalam keterangan resmi, Senin (30/3).

GrabMart melayani pembelian kebutuhan barang kebutuhan baik itu makanan kemasan, minuman, barang perawatan pribadi dan rumah yang dijual oleh mitra merchant. Layanan ini sedikit berbeda dengan GrabFresh yang menyediakan pembelian produk segar seperti sayuran, buah, dan lainnya di supermarket.

GrabMart adalah layanan pengiriman kebutuhan harian. Pelanggan dapat membeli makanan kemasan, minuman, barang perawatan pribadi, dan banyak lagi dari swalayan, toko serba ada, dan apotek melalui aplikasi Grab dan mengirimkannya kepada pelanggan.

Sementara itu, GrabAssistant adalah layanan concierge-on-demand, pelanggan dapat meminta bantuan mitra pengantaran untuk menangani kebutuhan mendesak atau membeli produk di toko-toko yang tidak terdaftar di GrabMart.

GrabMart sendiri sudah tersedia di Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand. Akan dikembangkan ke lebih banyak kota dan negara termasuk Filipina, Myanmar, dan Kamboja. Begitupun untuk GrabAssistant, akan segera hadir di Filipina, Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

Dalam perjalanannya menjadi super app, Grab memperkaya vertikalnya dengan menggaet berbagai mitra. Ada HappyFresh (GrabFresh), GoodDoctor (GrabHealth), Sejasa (Clean & Fix), Agoda, Booking.com, dan Oyo (Hotels), Hooq (Video), dan BookMyShow (Tickets).

Mitra-mitra tersebut ada yang datang karena diinvestasi oleh dan/atau investor dari Grab, serta masuk ke dalam program akselerator Grab yakni Grab Velocity Ventures.

Mempertahankan konsumen loyal

Seperti yang sering dijelaskan, sejatinya ambisi yang ingin dicapai dari strategi super app adalah bagaimana membuat pelanggan tetap kembali memakai layanan dari suatu aplikasi karena sesuai dengan kebutuhan mereka.

Peta persaingan bisnis digital, apalagi dengan produk berbasis aplikasi, kini semakin ketat dan rentan dengan risiko churn. Dalam laporan MoEngage termutakhir, mengungkapkan sebanyak 56% pengguna meng-uninstall dalam kurun waktu tujuh hari setelah mengunduhnya. Sisanya, sebanyak 23% aplikasi di-uninstall dalam kurun waktu 24 jam.

Analisis lebih dalam oleh Day Zero memperlihatkan sebanyak 23% pengguna tidak membuka aplikasi sejak hari pertama mereka mengunduhnya. Serta, 15% pengguna lainnya meng-uninstall aplikasi dalam hari yang sama tanpa membuka sama sekali aplikasi tersebut.

Analisis tersebut dilakukan di India terhadap lebih dari tiga juta pengguna aplikasi e-commerce yang telah mengunduh aplikasi lebih dari 90 hari. Diterangkan juga persaingan aplikasi e-commerce dengan media sosial seperti WhatsApp dan Facebook cukup sengit.

Meski aplikasi media sosial cukup menyita kapasitas smartphone, tapi umumnya punya tingkat churn yang rendah karena punya fungsionalnya yang tinggi ketimbang aplikasi e-commerce.

“Cukup sering orang menemukan bahwa aplikasi tidak memenuhi ekspektasi pelanggan. Bagi beberapa orang kemudahan itu penting, tapi ada juga yang lebih suka aplikasi stabil, tidak crash atau macet,” terang Founder dan CEO MoEngage Raviteja Dodda.

“Konsumen sangat selektif tentang data yang mereka bagikan dengan aplikasi. Jika aplikasi terus menerus minta akses ke akun sosial mereka atau mengirimkan undangan atas nama pengguna tanpa persetujuan, unistall akan jauh lebih tinggi,” sambungnya.

Menurut laporan App Annie State of 2020, menunjukkan pengguna rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 40 menit setiap harinya pada tahun lalu. Rata-rata tersebut naik 35% dibandingkan 2017.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Gojek Reportedly Nearing a Deal to Acquire 5% of Blue Bird Worth of 420 Billion Rupiah

Gojek is to acquire 5% shares of PT Blue Bird Tbk (Blue Bird). They’re to spend about $30 million or 420 billion Rupiah, it goes higher considering the company’s market capitalization in the closing stock exchange per Monday (12/16) at 6.8 trillion Rupiah.

The news was first published by Bloomberg. According to a source, the deal was built on the previous partnership, since 2016. As publicly known, the taxi operator Blue Bird is also available to order via Gojek application, through the Go-Blue Bird feature.

The company’s move is believed to be in line with the business strategy to continue leading the market amid intense competition with its rival, Grab. Gojek has also applied the strategic partnerships with local transportation companies in Singapore. In November 2019 they announced a strategic partnership with Trans-Cab Services, to accommodate orders for more than 3000 taxi fleets through the application. This service is said to be effective per December 2019.

On the other hand, Gojek is keeping the door for new participants open to the Series F funding round. Targeting $3 billion, it is reported to have reached $2 billion and to be closed in January 2020. Gojek’s Commissioner, Boy Thohir also mentioned the company’s plan to run IPO.

Having the ambition to be a super app, Gojek keeps expanding its services. It is through the acquisition of some digital startups. The latest one is Moka’s point of sales service, in the finalizing stage acquisition worth of 1.6 trillion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here