Tag Archives: Survei

Survei: Pengertian, Ciri, Tujuan, dan Macamnya

Salah satu jenis penelitian yang menarik adalah penelitian survei. Terutama untuk orang-orang yang menyukai tantangan dan hal-hal baru. Survei tidak hanya memberikan data yang diinginkan tetapi juga memberikan pengalaman tambahan. 

Jika kita berbicara tentang penelitian survei, mungkin ada di antara kamu yang masih bertanya-tanya apa pengertiannya, tujuan apa, dan jenis penelitian survei apa yang dilakukan. Selanjutnya, mari kita lihat. 

Pengertian Survei

Penelitian survei adalah suatu metode penelitian yang melibatkan pengumpulan data melalui wawancara atau kuesioner kepada responden. Tujuan dari penelitian survei ini adalah untuk memperoleh data mengenai topik atau hal tertentu. Data yang diperoleh biasanya merupakan generalisasi dari pengamatan yang tidak terlalu mendalam.

Metode penelitian survei umumnya digunakan dalam penelitian kuantitatif, di mana data dapat dikumpulkan baik untuk masa lampau maupun saat ini. Penelitian survei juga memiliki sifat komparatif asosiatif, komparatif, asosiatif, serta hubungan struktural yang dapat dianalisis dengan menggunakan path analisis dan structural equation model.

Pengertian Survei Menurut Para Ahli

Para ahli memberikan pengertian penelitian survei sebagai berikut:

  1. Fred N. Kerlinger (2004) mendefinisikan penelitian survei sebagai riset yang mengkaji populasi besar atau kecil dengan memilih sampel dari populasi tersebut untuk menemukan insidensi, distribusi, dan interrelasi relatif dari variabel-variabel penelitian.
  1. Asmadi Alsa (2004) menjelaskan bahwa penelitian survei adalah prosedur di mana peneliti melakukan survey atau memberikan angket atau skala kepada sampel untuk mendeskripsikan sikap, opini, perilaku, atau karakteristik responden. Hasil survei ini digunakan oleh peneliti untuk membuat klaim tentang kecenderungan dalam populasi.
  1. Margono (2005) menyebutkan bahwa metode penelitian survei adalah suatu pengamatan kritis yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang jelas dan baik terhadap suatu persoalan tertentu di dalam daerah tertentu.
  1. Nazir (2005) menjelaskan bahwa arti dari penelitian survei adalah penyelidikan guna memperoleh fakta-fakta tentang gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan faktual mengenai institusi sosial, ekonomi, atau politik dari kelompok atau individu tertentu.
  1. Widodo (2008), survei adalah jenis penelitian yang digunakan untuk mengatasi isu-isu besar dan aktual dengan melibatkan populasi yang sangat luas. Dalam survei, penggunaan sampel ukuran besar menjadi penting karena memungkinkan pengambilan data dari sejumlah besar responden. Meskipun demikian, metode pengukuran variabel dalam survei cenderung lebih sederhana dengan menggunakan instrumen yang singkat dan mudah dipahami.

Ciri Penelitian Survei

Ciri-ciri penelitian survei mencakup:

  1. Melibatkan sampel yang mampu mewakili populasi: Penelitian survei menggunakan teknik pengambilan sampel acak (sampling probabilistic) untuk memastikan bahwa sampel yang diambil dapat mewakili karakteristik populasi secara umum.
  1. Informasi dikumpulkan langsung dari responden: Dalam penelitian survei, informasi diperoleh melalui tanggapan atau pandangan yang disampaikan oleh responden. Hal ini bisa dilakukan melalui kuesioner tertulis atau wawancara lisan.
  1. Sampel harus representatif dan sebanding dengan populasi: Agar hasil survei dapat digeneralisir ke seluruh populasi, penting untuk memiliki ukuran sampel yang relatif besar dan proporsional terhadap jumlah anggota dalam populasi.

Tujuan Penelitian Survei

Sebagai sebuah metode penelitian, survei memiliki tujuan yang sangat penting dalam peran dan kontribusinya. Berikut adalah beberapa tujuannya:

  1. Deskripsi

Tujuan utama dari penelitian survei adalah untuk memberikan deskripsi yang detail tentang topik yang diteliti oleh peneliti. Hal ini bertujuan agar apa yang ingin disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh orang lain.

  1. Eksplanasi

Selain sebagai deskripsi, penelitian survei juga bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan hubungan sebab-akibat antara variabel-variabel tertentu melalui pengujian hipotesis.

  1. Eksplorasi

Penelitian survei juga bertujuan untuk melakukan eksplorasi atau penyelidikan awal terhadap suatu topik sebelum dilakukan lebih lanjut dengan menggunakan metode penelitian lainnya.

  1. Evaluasi

Survei juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap program-program yang sedang berjalan atau akan dirumuskan di masa depan. Tujuan evaluasi ini mempermudah penyesuaian bagi program agar tetap sesuai dengan harapan.

  1. Prediksi

Salah satu tujuan lain dari survei adalah membuat prediksi tentang hal-hal tertentu berdasarkan data yang dikumpulkan dalam proses penelitian tersebut.

  1. Penelitian Operasional

Survei sering digunakan dalam jenis-jenis studi operasional di mana fokusnya adalah pada banyak variabel yang masih terkait dengan aspek operasional suatu sistem atau organisasi.

  1. Pengembangan Indikator Sosial

Dalam bidang humaniora, survei sering digunakan untuk mengembangkan berbagai indikator terkait dengan masalah-masalah sosial secara berkala.

Bagi mereka yang ingin melakukan penelitian survei, penting untuk memahami jenis-jenis survei yang ada. Ada beberapa jenis penelitian survei yang dapat dilihat dari segi instrumen dan rentang waktunya. Untuk informasi lebih lanjut tentang hal ini, silakan merujuk pada sumber-sumber yang relevan.

Macam Penelitian Survei

Penelitian survei memiliki berbagai macam bentuk, seperti yang dijelaskan berikut ini:

  1. Berdasarkan Instrumentasi

   – Penelitian survei dapat menggunakan instrumen berupa kuesioner atau wawancara (terstruktur atau tidak terstruktur).

   – Kuesioner dapat terdiri dari pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban yang telah disediakan, atau pertanyaan terbuka untuk mengeksplorasi jawaban responden.

   – Wawancara memungkinkan peneliti untuk mengajukan pertanyaan lanjutan dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang jawaban responden.

  1. Berdasarkan Rentang Waktu yang Dibutuhkan

   – Survei cross-sectional: Mengumpulkan informasi dari responden dalam satu periode waktu, biasanya menggunakan kuesioner pada satu titik waktu.

     Contoh: Survei tentang pandangan remaja terhadap merokok pada Mei 2010.

   – Survei longitudinal: Mengumpulkan informasi selama periode waktu tertentu atau dari satu titik waktu ke titik lainnya, dengan tujuan memeriksa perubahan data yang dikumpulkan.

     Contoh: Studi kohort, studi panel, dan studi tren.

Demikianlah penjelasan tentang survei dari pengertian hingga macam-macam penelitian survei. Semoga artikel ini membantumu!

Perkembangan Industri Vaksin di Tiongkok

Laporan KrASIA: Perkembangan Industri Vaksin di Tiongkok

Dengan berbagai kekacauan yang disebabkan karena Covid-19, harapan baru mulai muncul dengan mulai didistribusikannya vaksin ke berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sejauh ini beberapa negara sudah meneliti dan mengambangkan vaksin yang didistribusikan tersebut, salah satunya Tiongkok dengan produknya seperti Sinovac dan Sinopharm.

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi industri vaksin di Tiongkok, KrASIA merilis sebuah laporan bertajuk “The Vaccine Industry”. Di dalamnya berisi lima bahasan utama, sebagai berikut:

  • Pasokan dan permintaan industri vaksin.
  • Kesenjangan antara pengembangan industri vaksin di Tiongkok dan seluruh dunia.
  • Tantangan di Tiongkok.
  • Startup vaksin yang muncul dan sub-vertikal yang menjanjikan di Tiongkok pasca-pandemi.
  • Prospek makro untuk tren yang membentuk masa depan bisnis vaksin global.

Hasil riset ini menjadi menarik untuk disimak, karena berdasarkan tren yang ditangkap, industri vaksin di Tiongkok akan melalui periode perkembangan pesat dalam waktu dekat. Ada beberapa faktor yang mendukung, di antaranya kebijakan domestik dan investasi.

Untuk ulasan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan berikut ini: The Vaccine Industry in China.

Disclosure: KrASIA bekerja sama dengan DS/innovate untuk mendistribusikan laporan ini.

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mengungkapkan sebanyak 69% anggotanya terkena dampak akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga kini

Survei AFTECH: Pandemi Berdampak Besar pada Perubahan Strategi Bisnis Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mengungkapkan sebanyak 69% anggotanya terkena dampak akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga kini. Dalam survei yang diselenggarakan secara tahunan ini, responden menyatakan setidaknya ada lima dampak yang begitu terasa.

Mulai dari penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis fintech; penurunan penjualan untuk beberapa model bisnis; tantangan operasional, termasuk produktivitas dan efisiensi yang lebih rendah; kesulitan dalam penggalangan dana; dan penundaan ekspansi bisnis.

Kemudian sebanyak 9% responden, termasuk beberapa perusahaan pinjaman online dan pembayaran digital, mengaku mendapatkan pengguna dan peluang bisnis baru selama pandemi. Sisanya, sebanyak 22% responden menyatakan saat ini bisnis tidak beroperasi penuh.

Survei ini diikuti oleh 52 responden yang merupakan anggota AFTECH yang diselenggarakan pada akhir Maret (awal PSBB diberlakukan) dan Juni (di tengah periode pandemi). Adapun, survei ini merupakan bagian dari Annual Member Survey 2019/2020 yang dilakukan secara rutin oleh AFTECH dan diikuti oleh 154 responden.

Lebih jauh hasil survei dipaparkan oleh Ketua Umum AFTECH Niki Luhur dalam konferensi pers secara virtual, dijabarkan bahwa untuk perluasan model bisnis, responden menyatakan sebelum pandemi terjadi telah merencanakan untuk perluas model bisnis (87%). Akan tetapi, pada pandemi memutuskan untuk menundanya (59%) dan ada yang menjawab tetap melanjutkan (41%).

Berikutnya, untuk penurunan bisnis dikatakan ada gap yang tinggi. Sebanyak 33% responden mengaku memiliki total nilai transaksi lebih dari Rp80 miliar, sedangkan 24% sisanya memiliki total transaksi di bawah Rp500 juta. “Selama pandemi, total nilai transaksi telah menurun dikarenakan adanya penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis tekfin dan berkurangnya aktivitas ekonomi,” kata dia, Kamis (10/9).

Rencana penggalangan investasi juga terjadi penundaan. Dalam survei dikatakan sebelum pandemi, 46% responden mencoba meningkatkan investasi, sedangkan 25% telah meningkatkan investasi sebanyak yang dibutuhkan, dan 2% telah menghimpun lebih dari yang dibutuhkan.

Sumber dana investasi yang mereka incar adalah PE (28%), bootstrapping (23%), angel investor (19%), venture capital (13%), dan sisanya menjawab teman & keluarga, pemerintah, dan IPO. Adapun rata-rata total investasi yang dihimpun oleh para startup ini berkisar antara Rp500 juta hingga Rp35 miliar. “Oleh karenanya, mayoritas responden tekfin tergolong series A dan kategori di atasnya.”

Dalam menyikapi perubahan strategi di atas, para responden ini telah melakukan sejumlah langkah mitigasi. Jawaban yang paling banyak dipilih adalah penguatan pengelolaan kas (43%); perubahan model bisnis (9%); pemutusan hubungan kerja (9%); penundaan ekspansi bisnis dan pemberlakuan cuti yang tidak dibayar dan pemotongan gaji (masing-masing 2%).

Meski bisnis mereka menurun, namun dikatakan pandemi ini telah mendorong adopsi layanan fintech di beberapa model bisnis, termasuk pembayaran digital dan pinjaman online. Menurut data BI, jumlah instrumen e-money yang digunakan mengalami peningkatan.

Pada April 2020, jumlahnya mencapai 412 juta transaksi atau tertinggi sepanjang masa. Sementara jumlah pinjaman online yang disalurkan pada Juni 2020 mencapai Rp113,46 triliun, naik 152,23% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Survei AFTECH mencatat ada 55 inisiatif untuk pemulihan ekonomi nasional. Untuk UKM, inisiatif tersebut difokuskan pada pengurangan biaya operasional, melalui penerapan suku bunga lebih rendah, penyediaan fasilitas transfer gratis, tanda tangan digital gratis, diskon tagihan bulanan, dan merchant discount rate 0%. Berikutnya, program konsultasi keuangan gratis, relaksasi pinjaman, dan bebas biaya layanan untuk berbagai proyek (terutama di sektor kesehatan).

Sementara untuk masyarakat umum inisiatif tersebut, di antaranya fleksibilitas pada penyediaan jasa keuangan, pemberian dukungan APD, dan pemberian nasihat keuangan pribadi secara cuma-cuma.

Survei lanjutan

Dalam paparannya, Niki mengatakan sejak AFTECH diresmikan pada 2016 hingga sekarang jumlah anggotanya tumbuh drastis. Menjadi 362 perusahaan pada kuartal dua tahun ini dari awalnya 24 perusahaan di 2016. Anggota ini mayoritas diisi oleh pinjaman online (44%), IKD (24%), pembayaran digital (17%), dan layanan urun dana (1%).

Terdapat lebih dari 23 jenis solusi fintech yang tersedia di pasar, dari awalnya hanya pembayaran digital dan pinjaman online kini mencakup agregator, innovative credit scoring, perencana keuangan, layanan urun dana, dan project financing. AFTECH sendiri kini sekaligus menaungi IKD, data OJK teranyar mengatakan ada 86 IKD yang berstatus terdaftar dan terbagi menjadi 18 klaster regulatory sandbox.

Niki juga menuturkan bahwa pembayaran digital telah mencapai tahap “mature” dibandingkan jenis bisnis lainnya. Sementara pinjaman online baru memasuki tahap “mature” pada 2019. Sisanya, layanan fintech yang masuk ke dalam klaster IKD dan ECF (layanan urun dana) masih dalam tahap “growth”.

Menurut survei, fintech paling banyak melayani segmen masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sebanyak 32% responden menyebutkan penggunanya adalah individu dengan pendapatan bulanan berkisar Rp5 juta-Rp15 juta (32%) dan di bawah Rp5 juta (22%). Kalangan usianya adalah 25-34 tahun (39%), 35-50 tahun (30%), dan 18-24 tahun (20%).

Wilayah operasional Jabodetabek tetap menjadi pangsa pasar utama para pemain tekfin (41%), kemudian diikuti oleh Bandung, Surabaya, dan Medan. Meski masih terkonsentrasi di kota besar, pasar telah menjangkau di wilayah luar Jawa (23%).

Salah satu hasil survei yang cukup menarik untuk disimak adalah terkait infrastruktur dan teknologi. Dikatakan bahwa ada lima infrastruktur terbesar di sektor fintech, yakni e-KYC (20,26%), infrastruktur cloud (17,37%), open banking API (16,05%), payment gateway (14,21%), dan fraud database (11,84%).

Akan tetapi, responden menyatakan dalam pengadaan infrastruktur tersebut masih terdapat tantangan. Tiga tantangan utamanya adalah biaya yang mahal (31%), hambatan regulasi (27%), dan infrastruktur dasar yang belum memadai (15%).

Berikutnya, dari sisi kesenjangan talenta yang sesuai kebutuhan, terutama untuk pekerjaan bidang data and analytics (23%), pemrograman (20%), dan manajemen risiko (15%). Terlepas dari kesenjangan tersebut, 67% responden menyatakan tidak memperkerjakan talenta asing.

Mereka justru menjawab tantangan tersebut dengan melakukan in-house training (27%), merekrut talenta dari lembaga keuangan (19%), dan merekrut dari perusahaan serupa (18%).

Survei DailySocial dan Populix mencari sejumlah aplikasi hiburan populer selama pandemi. Meski konsumsi meningkat, industri hiburan sendiri sedang berjuang

Menengok Sederet Aplikasi Hiburan Terpopuler Selama Pandemi

Sebagai bagian terakhir rangkaian survei DailySocial dan Populix, kami mengangkat kategori aplikasi hiburan yang paling banyak diakses pengguna smartphone selama pandemi. Dijabarkan lebih jauh, aplikasi hiburan yang kami tanyakan kepada para responden adalah aplikasi media sosial, streaming video, game, dan streaming musik.

Masih menggunakan sampel yang sama, sebelumnya kami menanyakan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan selama pandemi. Responden meresponsnya dengan jawaban tertinggi adalah aplikasi produktivitas (68%), aplikasi hiburan (66%), dan belanja online (52%).

Dilihat secara berurutan, pilihan responden tergolong naluriah. Di tengah rutinitas baru harus menggunakan berbagai aplikasi produktivitas saat bekerja, mengakses aplikasi hiburan tentunya menjadi obat untuk mengurangi kepenatan.

Pertanyaan pertama yang kami tanyakan adalah kegiatan apa yang sering digunakan untuk mendapatkan hiburan? Mereka memilih aplikasi media sosial (79%), aplikasi streaming video (67%), aplikasi game (63%), aplikasi streaming musik (44%), lainnya (3%).

Ditelusuri lebih jauh untuk aplikasi media sosial, pilihan tertinggi responden jatuh pada Instagram (88%), lalu disusul Facebook (76%), Twitter (42%), TikTok (25%), dan lainnya (4%). Responden yang memilih Instagram, menyebutkan mereka mengakses aplikasi tersebut setiap harinya paling banyak 1 s/d 3 jam (39%) dan 3 s/d 5 jam (24%).

Untuk Facebook, mayoritas responden mengaksesnya selama 1 s/d 3 jam (39%) dan kurang dari 1 jam (29%). Detil lainnya kami cantumkan ke dalam infografis.

Pertanyaan kedua, kami menanyakan perihal aplikasi streaming video yang digunakan responden. Kebanyakan dari mereka memilih YouTube (94%) untuk menikmati konten video. Pilihan berikutnya adalah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), Hooq (28%), Vidio (25%), GoPlay (14%). Lalu, Genflix (11%), HBO Go (11%), KlikFilm (9%), Amazon Prime Video (8%), Catchplay (8%), lainnya (2%).

Kami juga menanyakan berapa waktu yang dihabiskan saat mengakses aplikasi tersebut. Mayoritas responden mengaku 1 s/d 3 jam (41%) dan kurang dari 1 jam (23%). Dalam mengakses aplikasi, responden mengatakan bahwa mereka mengakses versi gratis (60%), baru disusul bayar mandiri (37%), dan premium benefit dari provider internet (33%).

Alasan mereka memilih aplikasi tersebut yang paling utama adalah kemudahan akses (87%), kelengkapan konten (81%), promo yang diberikan (54%), biaya berlangganan (48%), dan memilih platform lokal (27%). Perangkat yang paling banyak dipakai saat mengaksesnya adalah smartphone (97%), computer/laptop (51%), tablet (18%), dan smart TV (24%).

Pertanyaan ketiga adalah durasi yang dihabiskan saat bermain aplikasi game. Responden paling banyak memilih 1 s/d 3 jam (44%) dan kurang dari 1 jam (31%).

Pertanyaan terakhir adalah aplikasi streaming musik yang paling banyak digunakan responden adalah Spotify (71%), Joox (61%), LangitMusik (27%), SoundCloud (25%), Apple Music (14%), Deezer (13%), Resso (12%), dan lainnya (2%). Durasi terbanyak yang dihabiskan responden adalah 1 s/d 3 jam (35%), dan kurang dari 1 jam (30%).

Temuan lainnya

Turut mendukung hasil survei di atas, rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic” menunjukkan aplikasi game mengalami banyak peningkatan baik dari segi jumlah unduhan dan total konsumsinya.

Mengutip dari berbagai sumber, seperti Agate dan Statista, secara global jumlah unduhan aplikasi game meningkat hingga 39% menjadi 4 miliar unduhan pada Februari 2020. Di Asia saja, kenaikannya mencapai 46% menjadi 1,6 miliar di bulan yang sama. Kenaikan tersebut diprediksi terus meningkat, seiring pandemi yang belum menunjukkan tanda perlambatan.

Pencapaian tersebut mendongkrak permintaan iklan di aplikasi game naik 100% untuk kuartal pertama tahun ini. Jam tertinggi akses aplikasi game terjadi pada jam 5 sore hingga jam 8 malam. Angka ini merepresentasikan selesainya jam kerja kebanyakan orang.

Dari sumber yang berbeda, untuk melihat kenaikan konsumsi di aplikasi media sosial, tercatat TikTok menjadi juara dengan kenaikan engagement sampai 27% sepanjang isolasi berlangsung. Kenaikan impresi juga terjadi untuk Instagram sebesar 22%, sementara angka pengguna aktif di Twitter dan Facebook naik 15%. Penurunan justru terjadi di LinkedIn sebesar 26% untuk pencariannya.

Khusus untuk aplikasi streaming video, laporan dari Brandwatch menyatakan, pilihan platform yang dinikmati adalah Netflix (untuk responden yang tinggal di kawasan urban) dan YouTube untuk jawaban paling populer di kalangan responden.

AppAnnie melihat konsumsi video streaming di Indonesia (dalam per jam) secara year to date hingga Maret 2020 mengalami kenaikan 15%.

Moengage Covid Report mencatat platform OTT yang mengalami berkah kenaikan pengguna dikuasai Netflix, iQiyi, V-Live, dan Viu. Kenaikan Netflix di Asia Tenggara didukung pengguna di Indonesia (+16% dalam 30 hari terakhir) dan Malaysia (+35%).

Sementara laporan lainnya, “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia”, menyebutkan Vidio paling menikmati “berkah” dibandingkan platform OTT lokal lainnya selama pandemi dan anjuran kerja dari rumah diberlakukan.

Laporan ini mencatat Vidio mengalami kenaikan konsumsi 225% setiap minggunya dalam kurun waktu 20 Januari sampai 11 April 2020. Kenaikan ini menempatkan Vidio sebagai platform OTT berkonsep freemium terdepan di Indonesia.

Kontradiktif

Bisnis aplikasi hiburan, yang terdiri dari berbagai kategori, ini bisa dikatakan sebagai salah satu sektor yang tumbuh hijau di tengah pandemi, seperti yang dilaporkan oleh BCG Henderson Institute. Kebalikannya, industri hiburan yang berbasis offline justru jadi sektor yang paling menderita, seperti industri film, musik, dan event.

Karena tidak ada acara yang dibuat, terpaksa banyak tenaga kerja di industri ini ada yang “dirumahkan” sembari putar otak agar tetap bertahan. Sebenarnya ada solusi untuk menyelamatkan mereka, yakni migrasi ke platform online. Akan tetapi, pengalaman yang dirasakan penonton tentu tidak akan sama ketika mereka datang ke acara konser tersebut, misalnya.

Isu lainnya adalah, belum meratanya infrastruktur internet. Lancarnya koneksi adalah privilege buat orang-orang yang tinggal di perkotaan.

Meski tumbuh subur, pemain aplikasi juga ada yang melakukan layoff bahkan gulung tikar, seperti yang dialami iflix dan Hooq. Faktor pemicunya bukan dari pandemi, melainkan keputusan internal yang dipengaruhi persaingan pasar streaming video yang ketat.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix.

Riset e-commerce MarkPlus

Survei MarkPlus: Shopee Jadi Platform E-commerce Paling Populer Saat ini

Kendati tidak sedinamis beberapa tahun sebelumnya, industri e-commerce di Indonesia tetap menarik untuk diikuti. Potensi pangsa pasar yang besar, membuat para pemain berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin pasar. Berbagai strategi dan dukungan modal besar menghiasi persaingan bisnis jual beli online tersebut. Di Indonesia saja, dua “unicorn” hadir dari kategori e-commerce.

Untuk melihat tren terkini, MarkPlus Inc mengadakan sebuah survei terkait brand awareness pemain e-commerce di Indonesia. Daru responden yang mengaku menggunakan e-commerce minimal 4x dalam 3 bulan terakhir, didapatkan data bahwa Shopee (31%) menjadi top of mind brand. Disusul oleh Lazada (20,3%) dan Tokopedia (17,9%). Temuan ini tidak jauh berbeda dengan hasil riset DailySocial yang diterbitkan beberapa waktu lalu.

Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan utama oleh responden saat memilih layanan e-commerce. Pertama ialah promo yang disajikan (61,3%), kedua terkait dengan harga produk yang lebih murah, dan ketiga reputasi dari brand e-commerce tersebut (53,8%). Sementara itu hampir seluruh responden (91,3%) lebih suka mengakses platform melalui ponsel pintarnya.

“Strategi seperti banyak promo, harga murah, reputasi baik, sampai gratis biaya kirim adalah alasan mengapa konsumen memilih berbelanja di platform e-commerce. Ini juga yang membuat brand-brand ternama bertahan,” ungkap Associate of High Tech, Property and Consumer Industry of MarkPlus, Irfan Setiawan.

Dalam survei turut memaparkan bagaimana popularitas e-commerce di tiap daerah. Tokopedia menjadi yang paling sering diakses di Jakarta. Sementara Shopee menjadi yang paling sering diakses di Bandung, Surabaya, Semarang dan Makassar. Lazada mendapatkan tempat pertama di konsumen Medan.

“Pemain-pemain seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Bukalapak adalah nama-nama pemain e-commerce yang paling sering disebut responden. Shopee, yang menjadi e-commerce paling banyak diakses oleh responden dalam tiga bulan terakhir,” sebut Irfan.

Tren investasi dan layanan HealthTech di Asia / Pexels

Layanan Healthtech di Asia Berkembang Pesat, di Indonesia Belum Signifikan

Salah satu vertikal startup yang diprediksi bakal mengalami perkembangan adalah healthtech. Dalam survei Gallen Growth Asia dilaporkan beberapa tren perkembangan layanan healthtech, mulai dari kategori, pendanaan, hingga sebarannya di wilayah Asia Pasifik.

Asia ekosistem terbesar untuk healthtech

Meskipun mengalami pertumbuhan yang cukup baik sepanjang tahun 2017, dalam laporan terungkap, bahwa tahun 2018 diprediksikan menjadi puncak perkembangan healthtech di Asia Pacific. Kaitannya dengan investasi, nilainya sudah mencapai $3.3 miliar pada paruh pertama 2018.

Jumlah tersebut juga menempatkan Asia di peringkat kedua dalam hal ekosistem terbesar dari sudut nilai transaksi. Meski nilai transaksi di tahun 2018 menurun jumlahnya hingga 32% dibandingkan tahun 2017. Hingga saat ini Tiongkok dan India masih mendominasi lanskap healthtech di Asia.

Investasi healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia
Investasi healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia

Sementara itu negara di Asia lain yang tercatat merupakan pasar terbaik adalah Singapura (11%), Jepang (8%), dan Australia (8%). Sebagai negara hub di Asia, Singapura terus menunjukkan potensi sebagai lokasi yang menarik untuk investor. Hal ini dikarenakan jelasnya kerangka hukum yang mengatur proses pendanaan tersebut, stabilitas ekonomi serta insentif yang diberikan oleh pemerintah.

Kategori layanan healthtech

Kategori layanan healthtech di Asia / Galen Growth Asia
Kategori layanan healthtech di Asia / Galen Growth Asia

Dalam riset tersebut disebutkan sedikitnya ada enam kategori healthtech yang paling banyak diminati. Di antaranya adalah layanan penelitian kesehatan (14 investasi), online marketplace (12 investasi), genomics dan aplikasi terkait (12 investasi), data dan analisis medis (10 investasi), IoT (5 investasi) hingga diagnosis kesehatan (3 investasi).

Dari survei tersebut dapat disimpulkan, kategori yang paling dominan mencerminkan perubahan yang mulai banyak terjadi di kalangan masyarakat yang mulai terbiasa melakukan pembelian hingga pemesanan secara online.

Posisi healthtech Indonesia

Dalam hasil survei tersebut juga disebutkan Indonesia termasuk negara di Asia yang mendapatkan deal investasi, namun tidak mendapat sorotan signifikan jika dibandingkan dengan nilai total yang ada. Secara keseluruhan pada paruh pertama tahun 2018 tercatat dana investasi untuk layanan healthtech di Asia senilai $109 juta. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan paruh pertama tahun 2017.

Perkembangan nilai investasi healthtech di Asia / Galen Growth Asia
Perkembangan nilai investasi healthtech di Asia / Galen Growth Asia

Terkait dengan share volume berdasarkan pasar selama paruh pertama 2018, Indonesia berada di posisi terakhir bersama dengan Filipina. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2017, sebelumnya Indonesia memiliki persentase 7%.

 

Persentase pertumbuhan healthtech di Asia / Galen Growtch Asia
Persentase pertumbuhan healthtech di Asia / Galen Growtch Asia

Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang mulai menunjukkan pertumbuhan layanan kesehatan digital. Persebaran layanan kesehatan yang kurang optimal membuka potensi healthtech untuk berbaur dengan vertikal industri yang sudah ada. Besarnya jumlah populasi juga menjadikan Indonesia negara yang potensial untuk layanan healthtech.

 

Ekosistem layanan healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia
Ekosistem layanan healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia

Dalam riset tersebut disebutkan, Indonesia dengan inovasi lokal yang mulai marak bermunculan, memiliki peluang untuk berkembang sebagai inovator untuk layanan kesehatan digital. Saat ini tercatat terdapat sekitar 10 layanan kesehatan digital yang beroperasi di Indonesia, mulai dari Halodoc, Konsula, Alodokter, Dokter.id dan masih banyak lagi.

Menyimak survei soal e-commerce sepanjang tahun 2017 / Pexels

Meningkatnya Popularitas Tokopedia Sepanjang Tahun 2017

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Financial Times (FT) soal dinamika industri e-commerce di Indonesia, terdapat beberapa hal menarik sepanjang tahun 2017 yang kemudian menjadi fokus dari riset dan survei tersebut. Survei yang dilakukan FT melibatkan sekurangnya 1000 responden di berbagai pihak yang bersinggungan dalam lanskap e-commerce.

Adapun salah satu hasil temuan yang dikemukakan adalah mengenai fakta bahwa Tokopedia secara perlahan mulai mengalahkan popularitas Lazada dan Shopee, layanan e-commerce asal Singapura yang kerap dikabarkan menempati puncak popularitas dengan strategi khas yakni ongkir gratis. Termasuk mengalahkan popularitas rivalnya untuk marketplace lokal Bukalapak.

Tokopedia dan posisinya menjadi yang terfavorit

Usai mendapatkan pendanaan dari Alibaba Group sebesar 1,1 miliar dolar (atau lebih dari 14 triliun Rupiah), Tokopedia layanan e-commerce yang didirikan oleh William Tanuwijaya ini terus mengalami peningkatan dari jumlah pengguna, hingga akhirnya mengalahkan layanan e-commerce Lazada –yang sebelumnya juga telah diakuisisi oleh Alibaba Group dengan nilai total sebesar $1 miliar. Proses akuisisi ini juga memberikan kendali kepada Alibaba atas Lazada Group hingga 83%.

Tokopedia sendiri berdasarkan hasil riset FT tersebut disebutkan, telah berhasil memperkuat posisi mereka di pulau Jawa, yang merupakan konsumen terbesar untuk layanan e-commerce di Indonesia.

Hal menarik lainnya yang kemudian diungkapkan oleh FT adalah, JD.id dan Shopee saat ini mulai mengganggu posisi layanan e-commerce lokal lainnya seperti Bukalapak, dan mulai banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia dalam hal belanja online.

Bukan hanya Bukalapak yang mengalami penurunan, dalam hasil survei tersebut juga diungkapkan OLX, Zalora Indonesia, Berrybenka, dan MatahariMall juga mengalami penurunan popularitas.

Shopee dan JD.id memiliki kampanye yang cukup kuat sepanjang tahun 2017, yaitu Shopee dengan ongkos kirim gratis, sementara JD.id dengan kampanye barang asli yang dijamin kualitasnya, yang selama ini ternyata menjadi perhatian dari pembeli saat melakukan transaksi secara online.

Produk fesyen paling banyak dibeli secara online

Dalam survei tersebut juga diungkapkan, kebanyakan pembeli di Indonesia masih mencari produk fesyen, disusul dengan smartphone dan aksesorinya, produk kecantikan hingga alat-alat rumah tangga. Terkait dengan besarnya uang yang dihabiskan saat melakukan transaksi secara online, FT menyebutkan paling banyak orang Indonesia menghabiskan Rp1 juta untuk setiap transaksi secara online yang dilakukan sepanjang tahun 2017.

Persoalan produk yang asli dan berkualitas juga masih menjadi prioritas utama para pembeli, disusul dengan waktu pengiriman hingga biaya tambahan yang dikenakan oleh layanan e-commerce saat transaksi dilakukan.

Meskipun saat ini sudah banyak layanan e-commerce yang hadir dan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, faktanya tidak banyak transaksi yang dilakukan. Dari hasil survei tersebut terungkap, kebanyakan pembeli hanya melakukan transaksi secara online satu bulan sekali saja.

Persoalan pajak untuk transaksi online

Masih belum finalnya persoalan pajak turut menjadi kendala yang terjadi di layanan e-commerce di Indonesia. Wacana yang tengah berkembang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia berencana menarik pajak 0,5% untuk semua transaksi online, lebih rendah 1% dari ritel tradisional. Persoalan lain soal pajak yang masih terus dibicarakan adalah tidak dikenakannya pajak kepada penjual yang menggunakan media sosial seperti Facebook dan Instagram.

Hal tersebut menurut para pelaku e-commerce cukup memberatkan dan menjadi kekhawatiran sendiri, jika pada akhirnya penjual online lebih memilih media sosial untuk menjalankan bisnis, dibandingkan bergabung dengan layanan e-commerce.

Namun demikian di sisi lain dari hasil survei tersebut juga diungkapkan, meskipun penjualan memanfaatkan media sosial terlihat seksi dan menguntungkan, namun masih banyaknya penipuan hingga kualitas yang belum terjamin dari online shop memanfaatkan media sosial, membuat banyak pembeli lebih banyak memilih layanan e-commerce untuk membeli barang yang diinginkan. Jumlah tersebut menurut FT menurun hingga 7,7% dari tahun lalu yaitu 12%.

Toko online yang resmi diklaim memiliki produk yang lebih berkualitas, dengan proses quality control yang ketat, ongkir gratis hingga tampilan situs dan aplikasi yang lebih menarik dibandingkan media sosial.

Penerimaan Masyarakat Terhadap Layanan Virtual Berbayar dan Pembayaran Digital

Seiring dengan peningkatan pengguna internet untuk mengakses berbagai layanan virtual membuat banyak bisnis digital mulai mengadopsi cara virtual dalam proses pembayaran. Pertanyaan besarnya tentu apakah masyarakat Indonesia sebagai konsumen sudah terbiasa atau setidaknya mau untuk menggunakan model pembayaran virtual. Isu klasik masih seputar kepercayaan pengguna pada mata uang digital. Namun untuk membuktikan anggapan tersebut, DailySocial mencoba melakukan survei bekerja sama dengan JakPat untuk mengetahui pemahaman pengguna smartphone di Indonesia terhadap barang dan cara pembayaran virtual.

Survei ini melibatkan 1051 responden dari seluruh wilayah Indonesia yang menggunakan smartphone untuk aktivitas sehari-hari. Dari jawaban responden didapatkan beberapa temuan, pertama seputar layanan virtual yang paling umum digunakan. Sebanyak 45,39% dari responden mengaku pernah melakukan pembelian atau pembayaran untuk Google Play Store, kendati persentasenya juga nyaris berimbang dengan yang tidak pernah melakukan pembelian sama sekali, yakni 42,15%. Menarik, pasalnya untuk pembayaran sendiri sebenarnya sudah banyak opsi yang bisa dipilih, mulai dari potong pulsa, voucher, ataupun transfer bank manual.

Gambar 1

Lalu survei juga mencoba mendalami tentang pemahaman masyarakat tentang barang virtual. Dalam survei tersebut diberikan beberapa opsi pilihan, rata-rata mendefinisikan sebagai sebuah layanan yang diakses melalui internet atau berbentuk digital. Persentase lain juga menunjukkan, bahwa apa yang disebut dengan barang virtual rata-rata diketahui mulai dari layanan games dan apps yang biasa digunakan.

Gambar 2

Penetrasi internet dan penggunaan smartphone sendiri selalu digadang-gadang menjadi landasan mendasar untuk improvisasi layanan digital. Salah satunya peluncuran model transaksi virtual yang diusung oleh berbagai jenis layanan online, yang paling banyak oleh layanan on-demand dan e-commerce. Fungsionalitasnya secara sederhana ialah menampung jumlah kredit uang tertentu ke layanan dompet digital yang dimiliki pengusung layanan. Banyak keuntungannya bagi bisnis, salah satunya loyalitas pengguna.

Saat ini sudah ada beberapa layanan dengan tipikalnya masing-masing. Dari yang ada, GO-PAY menjadi yang paling banyak digunakan, disusul oleh voucher Google Play dan TokoCash. Sayangnya karena ada isu seputar lisensi e-money, beberapa layanan dihentikan sementara, termasuk TokoCash, GrabPay, dan BukaDompet. Karena jika layanan tersebut sudah memutar transaksi di atas 1 miliar rupiah, maka harus memiliki perizinan dari BI.

GAMBAR 3

Lalu bagaimana dengan kecenderungan masyarakat saat ini berkaitan dengan layanan pembayaran. Masih dari responden yang sama, sebagian besar masih menempatkan metode tunai atau cash pada peringkat pertama, disusul menggunakan ATM atau kartu debit. E-money, kartu kredit dan virtual currency masih ada di prioritas yang terakhir.

Gambar 4

Angka ini tentu masih akan fluktuatif, mengingat ada banyak inovasi yang terus digencarkan oleh pengusung layanan –termasuk menawarkan kelebihan lebih dan keuntungan lainnya, seperti program reward.

Selain empat temuan di atas, masih ada banyak lagi hasil survei mengenai penerimaan masyarakat terhadap barang dan pembayaran virtual. Laporan selengkapnya dapat diunduh secara gratis di Virtual Goods and Digital Goods Survei 2017.

E-Money Survey 2017

Laporan DailySocial: Survei E-Money di Indonesia 2017

Baru-baru ini pemerintah RI mencanangkan bahwa seluruh transaksi jalan tol harus dilakukan menggunakan kartu uang elektronik per akhir bulan Oktober. Ini adalah titik terbaru perjalanan sosialisasi penggunaan uang elektronik dalam bentuk kartu di Indonesia.

Seementara itu, untuk uang elektronik berbasis server, perkembangan Go-Pay dari Go-Jek hingga bisa dibilang sangat pesat. Bisa dibilang Go-Pay menjadi “dompet kedua” konsumen karena bisa bisa digunakan untuk berbagai layanan.

Survei E-Money bertujuan melihat bagaimana keadaan penggunaan e-money oleh konsumen Indonesia. Survei dilaksanakan DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform, menjaring jawaban dari 1059 responden yang disampel secara proporsional dari populasi pengguna smartphone se-Indonesia. Beberapa temuan survei antara lain:

  • Dua merek kartu uang elektronik terpopuler adalah Mandiri e-Money (33.14%) dan BCA Flazz (26.25%)
  • 56.80% responden baru memiliki kartu uang elektronik selama satu tahun atau kurang
  • 73.79% dari responden menyisihkan Rp250.000 atau kurang per bulannya, untuk transaksi uang elektronik
  • 42.43% responden merasa uang elektronik telah membantu mereka lebih mengendalikan pengeluaran mereka

Laporan selengkapnya bisa diunduh di halaman riset “E-Money Survey 2017”.

Survey Layanan Pelanggan Digital 2017

Laporan DailySocial: Survei Layanan Pelanggan Digital 2017

Layanan Pelanggan (“Customer Service”) di Indonesa adalah sebuah hal yang menarik untuk ditelaah, salah-satunya karena adanya anggapan bahwa kualitas layanan pelanggan tidak terlalu dipedulikan oleh konsumen Indonesia. Ada juga pertanyaan menarik tentang penggunaan “chatbot” yang dikendalikan “Artificial Intelligence” (AI) untuk membantu menangani jaringan layanan pelanggan. Survei ini dilaksanakan DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey terhadap 1018 responden yang disampel dari pengguna smartphone dari seluruh Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • 79.15% responden menyatakan pernah mengajukan keberatan (komplain) kepada penyedia jasa.
  • 37.36% responden paling suka mengajukan komplain via email; email adalah saluran komunikasi favorit di survei ini.
  • 76.30% responden merasa keberatan bila mengetahui komplain mereka ditangani oleh sebuah chatbot

Untuk laporan selengkapnya, unduh laporan “Digital Customer Service Survey 2017” dari DailySocial.id.