Google, melalui lengan nonprofit Google.org, mengumumkan dana kelolaan baru “Sustainability Seed Fund” yang difokuskan pada pendanaan hibah untuk startup impact di kawasan Asia Pasifik. Fund ini memiliki dana kelolaan sebesar $6 juta (lebih dari 86 miliar Rupiah), akan mengincar startup yang menyeriusi sektor-sektor berdampak, seperti polusi udara, keanekaragaman hayati, energi terbarukan, limbah sampah, dan ekonomi sirkular.
Lembaga nonprofit di Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk ke dalam radar Google untuk menerima pendanaan hibah tersebut, meski tidak disebutkan alokasi dana yang disiapkan Google.
Kepada DailySocial.id, Lead Google.org APAC Marija Ralic menuturkan, kawasan Asia Pasifik sangat rentan terhadap perubahan iklim, oleh karenanya pihaknya terus mencari cara untuk memajukan keberlanjutan dan memberdayakan orang lain untuk melakukan hal yang sama.
“Melalui Sustainability Seed Fund Google.org, kami berharap dapat mendukung lembaga nonprofit yang inovatif melalui pendanaan hibah dan sumber daya, untuk meningkatkan skala teknologi yang menjanjikan dan mengatasi tantangan keberlanjutan yang paling mendesak di kawasan ini.”
Dia melanjutkan, Google.org telah banyak menyaksikan berbagai organisasi dan lembaga nonprofit nan inovatif di seluruh Asia. Salah satunya, Indonesia menggunakan teknologi untuk mengatasi perubahan iklim. Contohnya adalah Gringgo Foundation, yang sebelumnya telah didukung melalui Google.org.
Sebagai catatan, Gringgo mendapat dana hibah dari Google.org sebesar $500 ribu pada 2019 setelah dinobatkan sebagai salah satu dari 20 peserta Google AI Impact Challenge. Gringgo merupakan yayasan yang didirikan pada 2017 oleh Febriadi Pratama. Yayasan ini mengadopsi teknologi untuk membantu mengatasi permasalahan sampah di Indonesiaa, khususnya Bali dengan pemanfaatan AI.
Ralic melanjutkan, sebelumnya pihaknya menyampaikan di konferensi iklim global COP26 pada tahun lalu, bahwa dalam hal keberlanjutan, swasta, pemerintah, dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama, menjalin kemitraan baru, dan bertindak sekarang. “Untuk alasan ini, kami memberikan $6 juta Google.org Sustainability Seed Fund di Asia Pasifik.”
Dana tersebut akan digunakan untuk membantu lembaga nonprofit lokal di seluruh kawasan untuk mengembangkan teknologi yang menjanjikan, mengatasi tantangan seperti kualitas udara, pelestarian air, dan meningkatkan akses ke energi terbarukan di Asia Pasifik dan sekitarnya.
Melalui dana ini, Google.org tidak hanya akan mendukung lembaga nonprofit dan organisasi dengan dukungan pendanaan dan dukungan dalam bentuk barang seperti kredit iklan gratis, tetapi juga teknologi dan pikiran, untuk mengatasi beberapa tantangan keberlanjutan yang paling mendesak di wilayah ini.
“Kami berharap dapat berbagi lebih banyak detail tentang dana tersebut dan bagaimana lembaga nonprofit dapat mengajukan permohonan dalam beberapa minggu mendatang,” pungkasnya.
Investasi berdampak vs filantropi
Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.
Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan. Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.
Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya,” ujar Soukhasing.
Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut , saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.
Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.
Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.
“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini.”
Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.
Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.
Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.
Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.