Tag Archives: Tanijoy

Pasca permasalahan pengelolaan dana publik, perlu ada penguatan regulasi dan manajemen risiko di sektor investasi budidaya / Pexels

Memitigasi Risiko, Menuai Investasi: Platform Urun Dana Budidaya dalam Sorotan

Belum reda pemberitaan negatif tentang maraknya pinjaman online, industri fintech Indonesia kembali lagi tercoreng kasus dugaan “salah pengelolaan” uang investor senilai miliaran Rupiah oleh platform urun dana berbasis digital Tanijoy. Kasus ini menambah deretan startup fintech yang tersandung kasus yang sama di sektor budidaya.

Sebelum Tanijoy, dalam dua tahun terakhir, kasus serupa menerpa Angon dan Vestifarm. Keduanya sama-sama dituntut para investor untuk mengembalikan dana. Angon dan Vestifarm menggunakan model crowdfunding atau urun dana untuk menyalurkan pembiayaan ke para petani atau peternak.

Tentu polemik ini tak dapat dibiarkan saja karena bisa berpotensi terulang kembali di masa depan. Investor dapat kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi di sektor budidaya. Padahal, peternak dan petani di Indonesia masih sangat membutuhkan akses permodalan.

DailySocial mencoba mendalami apa yang sebetulnya terjadi dan upaya mitigasi apa yang dapat dilakukan ke depan. Ada tiga sisi yang ingin kami bahas, yaitu pelaku usaha budidaya, industrinya, dan upaya pemerintah dan sektor terkait menangani kasus ini.

Risiko investasi budidaya

Dari berbagai sumber informasi yang kami himpun, kasus ketiganya sama-sama diakibatkan faktor internal dan eksternal. Misalnya saja Angon. Startup yang berdiri pada 2016 ini dianggap lalai mengelola dana publik. Angon disinyalir banyak menggunakan dana tersebut untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Sementara Tanijoy mengaku proyeknya sudah selesai, tetapi terhambat  penarikan dana. Menurut klarifikasinya, dana hasil proyek masih ada di tangan petani dan belum dikembalikan sepenuhnya kepada Tanijoy. PSBB dianggap menyulitkan komunikasi dengan petani dan membuat perusahaan sulit mendapatkan pemasukan karena tidak ada proyek.

Di kasus Vestifarm, kami sulit menemukan pemberitaan detail soal dugaan keterlambatan pengembalian dana. Dari unggahan sejumlah investor Vestifarm, pelaku usaha yang didanai Vestifarm mengalami gagal bayar. Pihak Vestifarm tidak merinci proyek yang gagal, tetapi mereka mengaku sudah berupaya maksimal untuk menagih pembayaran lewat pihak ketiga.

Terlepas dari situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu, budidaya termasuk dalam sektor usaha yang memiliki risiko cukup tinggi. Risiko gagal panen dapat terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari cuaca, bencana alam, kurangnya perawatan, hingga kemampuan bercocok tanam.

Laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia” menyebutkan, pengembangan usaha di sektor budidaya terhalang sejumlah tantangan, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.

Pemberian modal di agrikultur, kehutanan, dan perikanan / DSResearch dan Crowde

Perbankan yang memiliki akses permodalan yang kuat justru bukan menjadi pilihan utama para petani. Persyaratannya sangat sulit dipenuhi karena petani rata-rata tak punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Belum lagi siklus produksi panen yang terkadang terhambat cuaca dan hama, membuat pemasukan mereka tak stabil. Rumitnya prosedur pengajuan mendorong petani untuk meminjam dari institusi tak resmi dengan persyaratan lebih mudah.

Status Total Petani Indonesia Petani Laki-Laki Petani Perempuan
Tidak Lulus SD 8.247.112 5.679.847 (68,9%) 2.567.265 (31,1%)
Lulus SD 13.994.725 10.638.485 (76%) 3.356.240 (24%)
Lulus SMP 5.400.834 4.255.020 (78,8%) 1.145.814 (21,2%)
Lulus SMA 4.799.070 3.992.383 (83,2%) 806.687 (16,8%)
Lulus S1 754.814 633.414% (83,9%) 121.400 (16,1%)

Tingkat pendidikan petani Indonesia / DSResearch & Crowde

Laporan ini juga menyebutkan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Demikian juga dengan penetrasi internet. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

Kembali ke persoalan di atas, paparan barusan sebetulnya menjelaskan mengapa faktor-faktor ini berkontribusi besar terhadap potensi gagal panen dan gagal bayar di sektor budidaya. Memang belum ada data yang dapat menunjukkan tingkat potensi kegagalan di platform yang memberikan pembiayaan ke sektor budidaya, tetapi potensi tersebut seharusnya dapat ditekan dengan manajemen risiko yang lebih baik.

DSResearch & Crowde

Apa yang dapat dilakukan oleh platform selaku pemberi fasilitas? Jika misinya ingin mendorong industri budidaya, seharusnya bantuan tak hanya berhenti pada akses permodalan. Platform dapat meningkatkan perannya dengan memberikan pendampingan kepada petani agar dapat memaksimalkan modal usaha mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Selain pendampingan, penting untuk menempatkan orang yang ahli atau mampu mengelola keuangan di perusahaan. Bagaimanapun juga ini adalah dana publik yang perlu dipertanggungjawabkan.

Founder sepatutnya menyiapkan skema/model cadangan apabila ada potensi proyek gagal. Jika petani gagal panen, sudah pasti gagal bayar. Apabila ini terjadi, pengembalian dana akan sulit dilakukan.

Ambil contoh TaniFund. CEO TaniHub Pamitra Eka mengungkap upaya penagihan tetap mengacu pada skema yang telah dibuat perusahaan. Skema ini juga dirancang sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh OJK. Pada langkah pertama, TaniFund akan melakukan upaya penyelamatan kredit, seperti restrukturisasi dan negosiasi, apabila terdapat keterlambatan 60 hari pertama.

“Namun, jika sampai 90 hari tidak juga ada penyelesaian sisa keterlambatan pembayaran dari borrower, kami persiapkan proses klaim ke perusahaan asuransi yang telah menjadi partner TaniFund. Upaya ini kami lakukan agar lender mendapat pengembalian pokok hingga 80%,” ujar pria yang karib disapa Eka ini kepada DailySocial.

Adapun, lanjutnya, TaniFund telah menerapkan advanced credit scoring dengan model 100 data points untuk mengukur profil borrower, menelusuri rekam jejak penanaman komoditas, dan akses ke pasar. Dengan demikian, sistem ini dapat menghasilkan profil borrower dan proyek berkualitas serta mengurangi potensi gagal panen/gagal bayar.

“Kami juga monitoring secara berkala oleh field team atau agronomist untuk memastikan setiap proyek berjalan dengan baik dan timeline bisa sesuai dengan pengajuan RAB di awal. Pendampingan juga dijalankan terus-menerus sehingga borrower memperoleh akses informasi dan teknologi terbarukan dalam mengelola usaha dan mencapai target yang sesuai.”

Perlindungan regulator

DailySocial mencoba menghubungi perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait hal ini. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan. Terlepas dari status platform ilegal ini, OJK sebetulnya dapat memperkuat kebijakan untuk melindungi konsumen, dalam hal ini investor. Misalnya, memberikan aturan ketat kepada platform dalam hal manajemen risiko.

Faktanya, tiga startup yang “bermasalah” ini tidak memiliki status terdaftar atau berlisensi dari OJK. Meskipun demikian, mereka tetap bisa beroperasi dan mengelola dana publik tanpa pengawatan atau audit lebih lanjut.

Startup Status OJK
Angon Tidak terdaftar
Tanijoy Tidak terdaftar
Vestifarm Tidak terdaftar

Tentu tidak semua platform investasi budidaya bersifat “nakal”. Berikut ini adalah nama-nama platform investasi budidaya yang terdaftar di OJK dan informasi tentang Tingkat Keberhasilan Bayar di tiap platform (yang cenderung masih sehat).

Startup Status OJK Investor TKB90
Crowde Terdaftar Mandiri Capital Indonesia, STRIVE, Crevisse 97,12%
iGrow Terdaftar Google Launchpad Accelerator, 500 Startups, East Ventures 96,54%
iTernak Terdaftar Unknown 98,57%
TaniFund (Bagian dari TaniHub) Terdaftar MDI Ventures, Openspace Ventures, Intudo Ventures, BRI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, dll. 100%

Dihubungi secara terpisah, Executive Director Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah berkomentar, isunya sangat sederhana, tetapi perkaranya perlu verifikasi secara akurat. Jika Tanijoy tetap beroperasi tanpa memperoleh tanda terdaftar, alasannya tetap tidak dapat dibenarkan.

Ia menegaskan pihaknya terus mengimbau masyarakat agar teliti memilih fintech yang sudah terdaftar dan diawasi OJK.

“Kita akui potensi platform di sektor budidaya memang sangat besar, tetapi tantangannya juga besar. Misalnya, upaya membangun rantai pasok petani, peternak, dan nelayan agar terintegrasi di ekosistem. Harapannya, informasi terkait proses produksi, panen dan pemasaran dapat terpantau. Kami yakin perlahan tapi pasti, ekosistem ini akan semakin matang dengan dukungan teknologi,” ujarnya.

Kegiatan lapangan TaniJoy

Mimpi TaniJoy Selesaikan Permasalahan Industri Pertanian Indonesia

Dikomandoi tiga co-founder, Muhamad Nanda Putra, Kukuh Budi Santoso dan Febrian Imanda Effendy, TaniJoy berangkat dengan tujuan untuk menyejahterakan petani. TaniJoy menemukan fakta bahwa permasalahan petani begitu komplit, mulai dari akses pemodalan hingga keterbatasan pilihan untuk menjual hasil pertanian. Dengan bantuan teknologi, TaniJoy berusaha menjadi platform all-in-one memecahkan permasalahan petani dengan solusi yang lengkap.

TaniJoy cukup aktif turun ke lapangan untuk mendengar permasalahan dan kebutuhan dari petani. Mereka menawarkan layanan mereka ke kelompok atau daerah-daerah.  Sejauh ini layanan mereka sudah mencakup wilayah Medan, Bogor, Bandung Barat, Sukabumi, Garut, Dieng, Bromo, hingga Malang.

“Kami memulai kerja sama dengan menawarkan model bisnis dan sistem kami ke local leader daerah tersebut, seperti ketua kelompok tani, kepala desa, tuan tanah, dan lain-lain. Kami menyasar daerah yang memiliki potensi komoditas tertentu namun masih belum tentu produktif, konsep kami adalah berangkat dari kebutuhan pasar sehingga petani tidak lagi kebingungan untuk menjual hasil taninya, lalu melakukan survei dan uji lapang terkait komoditas apa yang cocok di daerah tersebut,”  terang co-founder TaniJoy Muhamad Nanda Putra.

Di lapangan, TaniJoy menemui beberapa hal yang menghambat kegiatan mereka, di antaranya mengenai sulitnya akses internet atau sinyal di daerah dan menemukan petani yang mampu bertanggung jawab.

“Salah satu pengalaman menarik saya adalah ketika ada petani ingin mengajak kerja sama menanam tomat. Ketika itu saya bertindak sebagai investornya dan kesalahan saya saat itu adalah memberikan fresh money langsung ke petani tersebut. Ketika masa panen tiba selalu ada alasan petani bahwa tomatnya busuk, panennya kurang dan lain sebagainya. Sehingga saya tidak pernah merasakan keuntungan dari kerja sama ini,” kisah Nanda.

“Setelah saya selidiki pernah satu musim panen itu bagus tetapi petani tidak transparan kepada saya. Ternyata 50% dari dana yang saya berikan juga dipakai untuk membeli kebutuhan pribadi. Dari sini saya belajar dua hal, yang pertama adalah petani butuh pendampingan dan edukasi, yang kedua adalah ketika bekerja sama dengan petani jangan memberikan fresh money, tapi berikan dalam bentuk barang seperti suplai pertanian. Model ini yang kami terapkan di TaniJoy melalui field manager kami,” kisah Nanda.

Di TaniJoy, selain platform investasi, fitur yang dikembangkan adalah fitur farming management system. Sistem ini disediakan untuk membantu field manager yang bertugas untuk mengumpulkan data di lapangan, aktivitas petani dan perkembangan proyek yang berjalan. Fitur ini diharapkan bisa membantu para investor memantau proyek secara langsung.

TaniJoy menjadi salah satu platform investasi di sektor pertanian yang cukup yakin bahwa sektor pertanian bisa ditolong dengan pendekatan teknologi. Nanda menyebutkan bahwa salah satu harapan mereka adalah bisa menjadi solusi terhadap sistem pertanian di Indonesia.

“Target kami untuk tahun 2018 adalah bertambah 60 Ha lahan yang ditanam dengan memberdayakan lagi 100 pertani tambahan,” tutup Nanda.

Echelon Asia Summit 2018 kembali diselenggarakan di Singapura

Startup Indonesia di Ajang Echelon Asia Summit 2018

Echelon Asia Summit kembali diselenggarakan. Ajang berkelas regional ini banyak dijadikan oleh startup untuk berunjuk gigi, memamerkan solusi produk yang dikembangkan dan memperluas koneksi pasar. Echelon sendiri selalu menghadirkan sesi bertajuk “Top100”, kesempatan bagi startup di tahap early-stage untuk berkompetisi mempresentasikan karyanya. Di antara 100 startup yang berhasil dikurasi dari seluruh wilayah Asia Pasifik, 9 startup di antaranya hadir dari Indonesia.

Berikut ini adalah daftar startup Indonesia yang hadir mengikuti pameran di Echelon Asia Summit 2018:

Exquisite Informatics (SaaS)

Fikri Akbar, Co-Founder & Head of Product Exquisite Informatics
Fikri Akbar, Co-Founder & Head of Product Exquisite Informatics

Startup yang berdiri sejak Oktober 2016 ini menyediakan layanan analisis data dan pengembangan platform data untuk korporasi. Saat ini telah menangani beberapa bidang bisnis, mulai dari perbankan, medis, ritel hingga perusahaan energi. Di Echelon kami bertemu dan berbincang dengan Fikri Akbar selaku Co-Founder & Head of Product Exquisite Informatics.

Ia menceritakan bahwa klien korporasi di Indonesia memiliki tantangan tersendiri saat hendak memilih platform data. Beberapa kultur yang ada seperti: mereka hanya mau menggunakan produk dari brand besar, setiap transisi kepemimpinan akan menghasilkan kerja sama dengan perusahaan teknologi mereka, bahkan mereka sering tidak mau mengakui bahwa perusahaannya tidak pernah aware dengan strukturisasi data.

Dari hal tersebut Exquisite Informatics sadar betul untuk tidak bermain produk data –karena dirasa sulit jika harus bersaing dengan Oracle, Microsoft, IBM dll. Solusi yang coba ditawarkan ialah menghadirkan dasbor yang menjadi hub di antara platform data yang sudah dimiliki oleh perusahaan dan menyatukan ke dalam sistem yang saling terintegrasi.

Produk Exquisite Informatics memungkinkan data dari berbagai sumber untuk disatukan dan direstrukturisasi, sehingga memudahkan proses visual dan analisis terjadi dalam satu dasbor terpadu. Selain produk berupa SaaS, Exquisite Informatics juga menyediakan layanan pengembangan dan konfigurasi infrastruktur server. Hal ini mengingat banyak perusahaan yang butuh comply dengan memiliki pusat data on-premise untuk server yang menampung data konsumen Indonesia.

Gradana (Fintech)

(kanan) Chief Strategist Gradana Meirisha Berisdha
(kanan) Chief Strategist Gradana Meirisha Berisdha

Gradana menyediakan layanan P2P lending khusus untuk produk-produk properti. Saat ini pihaknya memiliki tiga varian produk. Pertama ialah GraDP, memungkinkan peminjam mengajukan biaya untuk pembayaran uang muka/down-payment dalam pembelian rumah. Kedua ialah GraSewa, produk ini memungkinkan pengguna mengajukan pinjaman untuk biaya sewa yang umumnya (di Indonesia) harus dibayar minimal satu tahun di muka.

“Di Indonesia itu unik, orang yang ingin melakukan sewa properti biasanya harus membayar minimal satu tahun di muka, untuk beberapa orang atau bisnis kecil sering kali memberatkan. Dengan GraSewa, kita bantu membayarkan di muka, sehingga dari sisi konsumen tetap serasa membayar sewa bulanan,” ujar Chief Strategist Gradana Meirisha Berisdha.

Selanjutnya untuk produk ketiga ialah GraKarya, yakni pembiayaan untuk pembelian aset atau layanan properti lainnya, misalnya untuk pembiayaan interior. Dengan tiga varian produk tersebut, Gradana saat ini sudah melayani pinjaman di beberapa kota, di antaranya di Jakarta, Medan, dan Bandung. Memang tidak langsung banyak bisa ekspansi ke luar, karena untuk memberikan layanan properti Gradana juga membutuhkan rekanan lokal untuk verifikasi dan lain-lain.

Didirikan sejak tahun 2016, Gradana baru go-to-market sekitar awal tahun 2017. Bulan Desember tahun lalu pihaknya baru mendapatkan perizinan dari OJK. Saat ini sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A dari angel investor, dan ditargetkan tahun ini dapat membukukan pendanaan seri A untuk perluasan operasional dan bisnis.

JALA Tech (IoT)

Co-Founder JALA saat mempresentasikan produknya di hadapan juri
Co-Founder JALA saat mempresentasikan produknya di hadapan juri

JALA adalah pengembang perangkat IoT yang ditujukan untuk memonitor kualitas air pada tambak udang. Perangkat ini didesain untuk dapat mengatasi masalah budidaya udang dengan mengukur, menganalisis dan memberikan semua rekomendasi berdasarkan kondisi kualitas air tambak. JALA dikembangkan untuk membantu petambak udang dan meningkatkan respons petambak dalam menjaga kualitas air dan mengurasi kesalahan penanganan dalam bertambak udang.

Sistem JALA sendiri terdiri dari tiga bagian, pertama ialah sebuah perangkat yang dilengkapi sensor untuk memahami kadar oksigen terlarut, suhu, pH, salinitas, dan TDS (Total Dissolved Solid). Kemudian hasil pantauan dari sensor tersebut akan diproses dan dikirimkan hasilnya melalui aplikasi web dan SMS. Dibanding mobile app, SMS tampaknya memang lebih efisien untuk petani udang di lapangan. Dalam laporannya, JALA memberikan informasi dan rekomendasi untuk membantu petambak dalam mengambil tindakan yang tepat berdasarkan kondisi kualitas air tambak udang yang telah diukur.

Mallness (Lifestyle)

Tim Mallness dalam booth pameran yang disajikan dalam Echelon
Tim Mallness dalam booth pameran yang disajikan dalam Echelon

Mallness adalah aplikasi berbasis informasi yang menyajikan berbagai promosi, diskon, informasi program loyalitas member, dan berbagai hal lainnya seputar pengalaman belanja di pusat perbelanjaan (mall). Dari bisnis prosesnya, Mallness menyasar dua segmen sekaligus, yakni B2B dan B2C. Untuk B2B, Mallness memberikan layanan bisnis promosi kepada pusat perbelanjaan, brand, dan toko. Sedangkan untuk B2C, Mallness menyajikan pengalaman digital kepada para pengunjung pusat perbelanjaan.

Hal menarik dari aplikasi ini ialah penyajian konten yang dipersonalisasi. Tidak semua informasi ditampilkan ke semua orang, melainkan berdasarkan tren histori dan minat yang disukai saja. Startup ini berdiri sejak Desember 2017, didirikan dua co-founder berkebangsaan Spanyol, yakni Marco Hernáiz dan Mireya de Mazarredo.

Untuk tahun 2018, Mallness memiliki dua target utama, pertama ialah integrasi dengan payment gateway di aplikasi untuk pembayaran. Sedangkan yang kedua pihaknya merencanakan melakukan ekspansi ke Surabaya dan Medan.

MallSini (Lifestyle)

Partnership Executive MallSini Theresia Livinka
Partnership Executive MallSini Theresia Livinka

Mirip dengan Mallness, aplikasi MallSini menyajikan direktori promosi dan informasi seputar pusat perbelanjaan di Jakarta. Perbedaannya, untuk beberapa pusat perbelanjaan yang sudah bekerja sama, di aplikasi didesainkan indoor mapping untuk memudahkan pengguna ketika ingin menemukan gerai tertentu. Kepada pengelola pusat perbelanjaan, MallSini memberikan layanan berupa analisis dan tren kecenderungan konsumen yang didapat dari aplikasi, dimaksudkan untuk peningkatan pelayanan dan pengalaman pengunjung.

Meluncur sejak Maret 2018, MallSini telah membukukan lebih dari 5000 pengguna. Saat ini sekurangnya sudah ada 25 pusat perbelanjaan di Jakarta yang menjadi mitra. MallSini juga mendapatkan dukungan dari Agung Sedayu dan Summarecon Mall.

Medika App (Healthtech)

Co-Founder Medika App yang hadir dalam Echelon Asia Summit
Co-Founder Medika App yang hadir dalam Echelon Asia Summit

Startup yang digawangi oleh Danang Firdaus (CEO) dan Suka Bayuputra (COO) ini menawarkan platform end-to-end untuk menghubungkan masyarakat dengan layanan kesehatan. Implementasinya bekerja sama langsung dengan rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya. Startup yang didirikan sejak Mei 2017 ini terakhir mengumumkan perolehan pre-seed funding dari Fenox Venture Capital senilai USD50.000.

Terkait model bisnisnya, Medika App menyasar langsung segmentasi B2B dan B2C. Melalui model B2B pihaknya menyajikan layanan manajemen pasien di rumah sakit, termasuk aplikasi untuk kebutuhan operasional dan administrasi medis. Sedangkan di sisi B2C, Medika App menyediakan aplikasi pemesanan kepada pengguna untuk layanan dokter dan kesehatan. Di pembaruannya, saat ini Media App juga melayani pemesanan jasa kecantikan dan perawatan kesehatan.

Di Media App, pengguna tidak hanya bisa membuat janji dengan dokter. Saat ini aplikasi sudah terhubung dengan sistem pembayaran berbasis payment gateway. Sehingga pengguna dapat melakukan pembayaran di awal melalui kartu kredit atau transfer bank, saat di klinik atau rumah sakit tidak perlu lalu melakukan pembayaran.

MyClinicalPro (Healthtech)

Co-Founder & COO MyClinicalPro William Suryawan
Co-Founder & COO MyClinicalPro William Suryawan

Startup ini menyediakan aplikasi manajemen yang membantu klinik dan dokter agar punya sistem operasional yang lebih terstruktur. Di dalamnya juga mengakomodasi kebutuhan pencatatan rekam medis pasien. Menariknya MyClinicalPro didesain sebagai platform yang membantu dokter melakukan analisis atas tren pasien. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung dengan pasien secara lebih optimal.

“Selama ini kebanyakan klinik tidak memiliki data valid dari histori penanganan pasien, misalnya mengetahui tren usia, tren penyakit yang ditangani dan sebagainya. Padahal dengan mengetahui hal itu, dokter dan klinik akan banyak diuntungkan, terutama untuk peningkatan bisnis kesehatan itu sendiri,” ujar Co-Founder & COO MyClinicalPro William Suryawan.

Beroperasi sejak tahun 2016, saat ini MyClinicalPro sudah terhubung dengan 300 dokter dan klinik di 10 kota di Indonesia. Tahun ini mereka merencanakan untuk merilis aplikasi di sisi pasien, sehingga dapat menghadirkan layanan yang menghubungkan langsung dengan dokter.

Tanijoy (Agrotech)

Co-Founder & CEO Tanijoy Nanda Putra
Co-Founder & CEO Tanijoy Nanda Putra

Tanijoy adalah sebuah platform pemberdayaan petani yang terdiri dari dua sistem utama, yakni permodalan dan manajemen pengolahan lahan. Startup ini berdiri atas inisiatif salah satu co-founder yang sebelumnya berpengalaman 6 tahun menjadi petani. Banyak hal yang dirasa perlu diselesaikan, salah satunya soal peningkatan perekonomian para petani. Selain menyalurkan pembiayaan –layaknya aplikasi investasi pertanian yang saat ini ada—Tanijoy juga memberikan manajemen pengolahan lahan.

“Dari data kami, 70% petani mitra di Bogor tidak piawai baca-tulis, dari situ kami menyadari perlu adanya pendamping lapangan yang mengarahkan mereka. Sehingga di Tanijoy kami tidak melepaskan petani secara penuh, setiap hari ada yang disebut field manager melakukan pengambilan data terkait kebutuhan petani dan lahan yang digarap. Dari situ sistem kami memantau dan memberikan informasi kepada pihak terkait, termasuk investor,” ujar Co-Founder & CEO Tanijoy Nanda Putra.

Sampai tahun ini, Tanijoy masih akan memfokuskan pada riset produk dan layanan. Harapannya ketika nanti dilakukan perluasan, sistem yang diusung memiliki SOP dan spesifikasi yang pas untuk efisiensi dalam bisnis pertanian di Indonesia.

Tjetak (Marketplace)

Booth Tjetak dalam sesi pameran Echelon
Booth Tjetak dalam sesi pameran Echelon

Tjetak adalah sebuah B2B marketplace yang membantu individu dan bisnis untuk melakukan pencetakan berbagai kebutuhan desain. Produk yang dijual mulai dari kartu nama, stiker, kalender, buku, kaos, hingga pernak-pernik acara seperti gelas plastik. Untuk konsumen individu, Tjetak menawarkan sistem keagenan memungkinkan setiap orang untuk menjual produk cetakan secara instan. Sedangkan untuk bisnis, Tjetak menyediakan API untuk dihubungkan ke situs yang dimiliki sehingga dapat mengintegrasikan sistem pemesanan kebutuhan desain cetak secara mudah.

Startup ini baru melakukan go-to-market per Juli 2018 ini. Untuk operasional, Tjetak bekerja sama langsung dengan pemilik vendor percetakan dari berbagai wilayah operasional. Selain menawarkan desain dan jasa pencetakan, dalam aplikasi juga sudah diakomodasi layanan logistik untuk pengantaran produk yang dipesan.