Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Donald Wihardja memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun dalam menerapkan teknologi untuk berbagai industri, dari telco hingga perbankan hingga web startup, sebagai manajer, penasihat, konsultan, manajer investasi, dan wirausahawan di Indonesia. Dirinya percaya untuk bisa membangun ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis teknologi.
Beliau sempat memulai perjalanan dengan salah langkah. Ia meninggalkan Silicon Valley pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang akhirnya ia tersadar bahwa perjalanan masih panjang untuk mencapai tahap seperti sekarang ini. Namun, ia telah mengambil keputusan dan masuk ke industri teknologi di Indonesia.
Donald memiliki keahlian di bidang data warehouse atau yang sekarang kita kenal dengan big data. Ia mampu menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Ia juga belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk mengubah bisnis. Itulah awal perjalanan karirnya yang melenceng dari latar belakang ilmu komputer teknik elektro menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.
Ia memasuki industri investasi melalui perusahaan Private Equity (PE) dan mendapatkan cukup ilmu untuk akhirnya berhenti dan memulai Venture Capital (VC), Convergence, bersama Adrian Li. Selama lima tahun menjadi partner VC, ia menemukan peluang untuk menyalurkan gaya investasinya. Melalui MDI Venture, usahanya tidak hanya bertumpu pada penggandaan uang perusahaan tetapi juga menciptakan peluang sinergi bisnis di bawah Telkom Group.
DailySocial berkesempatan mewawancarai Donald yang saat itu sedang cuti dan sedang berada di Amerika Serikat untuk membahas ekosistem investasi teknologi di Indonesia. Ia berbagai banyak insight tentang cara menciptakan lingkungan yang lebih baik di industri teknologi negara kita dalam cuplikan paragraf di bawah.
Anda memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman dalam penerapan teknologi di berbagai industri. Seperti apa awal mulanya?
Saya memulai perjalanan dengan salah langkah. Saya meninggalkan tanah Amerika pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang terjadi di AS sekitar waktu itu. Saya tidak pernah berpikir harus menunggu selama 20 tahun dan ikut ambil bagian dalam pembangunannya. Namun, saya selalu percaya Indonesia akan menjadi hub teknologi berikutnya dan berada di jalurnya meskipun dengan realisasi yang tidak cepat.
Faktanya, dibutuhkan seratus tahun bagi Silicon Valley untuk mencapai posisinya sekarang. Pengusaha asli Silicon Valley atau Modal Ventura berinvestasi dalam Model-T. Mobil tanpa custom build atau produksi massal dapat membuat usaha yang sukses seratus tahun kemudian. Bankir mulai berinvestasi dalam usaha teknologi dan menciptakan kisah sukses. Semakin banyak penggiat teknologo menjadi kaya dan akhirnya mengambil bagian dalam industri investasi.
Masalah terbesar dalam dunia teknologi adalah risiko teknologi. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi? Apakah Anda siap atau tidak? Berinvestasi adalah tentang mengenal perbedaan antara mengetahui informasi pribadi dan informasi publik. Semakin banyak Anda tahu, semakin kecil risiko investasinya. Hal ini sebenarnya cukup sederhana. Jika Anda mengetahui resep untuk membangun startup yang sukses, Anda akan tahu bagaimana meramu kesuksesan dalam berinvestasi.
Ada konsep bahwa Indonesia akan menjadi ekosistem teknologi yang signifikan, setidaknya di Asia Tenggara. Saya sudah melewatkan ledakan teknologi di AS, saat ini tugas saya adalah membangun kapal ini sehingga tidak tertinggal untuk kedua kali.
Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam percobaan membangun industri startup/teknologi di Indonesia?
Saya melihat perjalanan saya terjadi di sini. Melihat kembali pekerjaan saya di Amerika, saat itu kami baru saja keluar dari resesi. Kenaikan gaji lambat dan saya bukan orang yang sabar. Saya tahu dan diberitahu akan potensi untuk bisa meraih level manager dalam waktu singkat jika kembali ke Indonesia. Hal itu benar adanya.
Pekerjaan pertama saya di Indonesia adalah sebagai programmer untuk sistem dukungan pelanggan Hewlett Packard (HP). Ketika itu, saya menambah pengetahuan ke konsultasi bisnis dan bergabung kembali dengan perusahaan sebagai project manager. Pekerjaan ini pada dasarnya adalah memecahkan masalah bisnis dengan keahlian business intelligence dan data warehouse atau big data. Hal ini memberi saya eksposur ke bisnis dan masalah teknologi.
Saya belajar cara menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Itu adalah roduk yang saya jual. Dari pengalaman itu, saya mendapatkan sisi teknis bagaimana memanfaatkan teknologi untuk mentransformasi bisnis.
Begitulah cara Donald, lulusan komputer teknik elektro, akhirnya menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.
Pada tahun 1998, terjadi resesi. Semua rekan konsultan saya dikirim ke negara-negara lain. Saya menolak untuk pergi dan lebih memilih untuk membangun perusahaan pengembangan perangkat lunak teknologi sendiri bersama rekan saya saat itu. Selain itu, kami juga mencoba membangun sesuatu yang mirip dengan Tokopedia di tahun ’98. Kita semua tahu itu tidak berhasil karena pasar yang tidak mendukung serta pengguna yang belum siap.
Dari krisis itu, saya belajar bahwa ketika belahan dunia lain telah berevolusi, kita tertinggal satu generasi dalam hal data dan konektivitas. Konsumen pada masa itu terlalu jauh tertinggal, mereka hampir tidak bisa menelusuri web. Perbandingan jumlah penduduk dengan orang yang memiliki akses terlalu jauh. Semua bergerak lambat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik elektro dan ilmu komputer, kemudian beralih menjadi konsultan bisnis. Apa yang mendorong Anda untuk memasuki industri investasi?
Pada tahun 2005, saya diundang untuk bergabung dengan sebuah Private Equity atau PE (ketika itu saya sedang membangun perusahaan pemrograman dan lainnya), bernama Quvat. Saya belajar cara menggalang dana untuk perusahaan beserta semua dokumen terkait perjanjian investasi. Saya bersyukur bekerja di perusahaan dengan budaya yang sangat mendidik. Saya diharuskan mempelajari mata pelajaran di luar bidang pekerjaan untuk meningkatkan kualitas. Inilah momen di mana saya tahu apa yang ingin saya lakukan.
Proyek pertama saya adalah membangun fiber optic cable, memungkinkan Indonesia untuk mengejar dua generasi teknologi. Pada masa itu, Indonesia akhirnya mengalami lonjakan pertama dengan bandwidth penuh. Bandwidth di Indonesia bisa lebih murah hingga 90%. Kemudian, orang-orang mulai tertarik dan bersedia membayar lebih. Setelah sekian lama, akhirnya Indonesia siap.
Tibalah waktunya, saya menyadari bahwa Quvat tidak akan pernah berinvestasi dalam startup. Itulah perbedaan antara PE dan VC. Jika masa depan saya akan terikat dengan revolusi teknologi, PE bukanlah tempatnya. Saya harus berada di startup atau VC. Setelah sekian lama bersama Quvat, muncul pertanyaan “Ke mana Anda ingin pergi setelah ini? Apa yang dapat kami lakukan untuk karir Anda?” lalu saya menjawab bahwa ingin berhenti dan bergabung dengan startup. Saya keluar dari Quvat untuk bergabung dengan Indomog.
Saat itu saya menempati posisi sebagai CTO Indomog. Bagian dari tugas saya adalah membantu perusahaan membangun model bisnisnya. Salah satu masalah terbesar saat itu adalah segala sesuatu di bidang teknologi di-cap gratis. Startup tidak dapat menghasilkan uang di Indonesia karena tidak ada cara untuk mendapatkan bayaran. Sementara di AS sangat mudah, mereka memiliki kartu kredit, tetapi lain hal nya di sini. Oleh karena itu, kami membangun infrastruktur pembayaran tunai, yang spesifik pada industri game.
Itu adalah wujud tesis Indomog. Namun, sejak hari pertama, kami tahu bahwa tesisnya adalah untuk membangun lebih dari sekadar solusi pembayaran untuk game, tetapi untuk perdagangan. Satu hal yang saya sadari, jika ledakan teknologi akan terjadi di Indonesia, saya perlu membantu menyelesaikan masalah tersebut. Dengan startup ini, saya memilih untuk menyelesaikan masalah pembayaran.
Lalu muncul masalah lain, startup Indonesia tidak memiliki pendanaan VC karena kami tidak tahu bagaimana mengumpulkan uang dari investor. Selain itu, kesadaran investor di Indonesia juga masih kurang. Saat melakukan pekerjaan di Indomog, saya turut membantu beberapa startup lain dengan pengetahuan terkait convertible notes dan sebagainya. Saat itulah saya meliha VC sebagai masalah berikutnya yang harus dipecahkan. Lalu, ketika Adrian Li datang dengan ide Convergence, saya memutuskan untuk bergabung.
Saya bergabung dengan Convergence untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk modal ventura di Indonesia. Ketika itu, jumlah VC jauh lebih sedikit daripada orang yang membuat startup. Saya terlalu tua untuk menjadi seorang programmer. Lagipula, Quvat telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk saya menjadi partner. Pada saat itu, pengalaman saya di Quvat dan membangun startup selama bertahun-tahun memberi saya pengetahuan yang cukup untuk menjadi partner di VC.
Selama di VC, saya juga menyadari betapa prematurnya ekosistem VC Indonesia. Oleh karena itu, bersama rekan-rekan VC di lapangan, kami membuat Amvesindo. Ini lebih kepada grup lobi PMV dan VC dan jembatan ke pemerintah.
Bagaimana Anda menggambarkan transisi karir dari Convergence sebagai Modal Ventura ke MDI Ventures sebagai Modal Ventura Korporat?
Di Convergence, kami belajar bagaimana berinvestasi sebagai pemegang saham minoritas. Kami melihat dan yakin bahwa pendiri jauh lebih tahu daripada VC dalam hal menjalankan perusahaan. Selain itu, kami tidak mengambil alih perusahaan. Kami memberi mereka modal untuk berkembang. Ini adalah bisnis yang berisiko tinggi, oleh karena itu, kita perlu menemukan aset yang tepat dan hanya berinvestasi di perusahaan yang benar-benar dapat kita kembangkan.
Ketika memulai sebagai konsultan bisnis, saya selalu bertindak lebih sebagai seorang mentor. Itulah sebabnya, ketika MDI membuka kesempatan, saya merasa lebih cocok di sana. Sebagai CVC, MDI tidak hanya memiliki mandat untuk menggandakan uang, namun juga mendorong bagaimana startup dapat menciptakan pendapatan bagi Telkom. Hal ini memaksa tim untuk memiliki divisi sinergi yang tugasnya sebenarnya menjamin startup-startup tersebut bekerja sama dengan Telkom. Hal ini juga memungkinkan saya untuk memiliki peran aktif dalam mengembangkan startup.
Telkom, di sisi lain, telah menghasilkan lebih banyak pendapatan dari bisnis korporatnya daripada jumlah yang digelontorkan untuk investasi. Oleh karena itu, sebanyak apapun keuntungan modal yang saya hasilkan dalam investasi tidak akan membuat banyak perbedaan bagi grup. Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah inovasi dan digitalisasi seperti apa yang bisa kita bawa. Di sinilah saya menyadari bahwa saya ada di sebuah perusahaan di mana saya dituntut untuk berhenti mengkhawatirkan uang berlipat ganda dan mulai dengan menciptakan peluang bisnis untuk startup. Memang, tidak persis bagaimana perusahaan menerjemahkannya, tetapi saya memilih untuk menafsirkannya seperti itu.
Saya ingin mengambil kebutuhan digitalisasi di Telkom lalu menyampaikannya dengan solusi yang telah dibuktikan oleh para startup. Itulah pekerjaan yang ingin saya lakukan. Oleh karena itu, kami fokus pada startup di tahap lanjut. Seiring berjalannya waktu, startup menjadi lebih stabil dan mampu memberikan pendapatan dan sinergi dengan Telkom. MDI sendiri memiliki beberapa dana kelolaan, kami juga memiliki dana untuk tahap awal. Namun, di setiap perusahaan yang kami investasikan, kami berusaha membangun hubungan dan sinergi dengan Telkom. Bagaimana kita dapat dengan nyaman melakukan investasi berkelanjutan, sembari membangun pertumbuhan perusahaan?
Belum lama ini, portofolio MDI, RunSystem, telah mengumumkan IPO-nya. Saya tertarik untuk mengetahui perspektif Anda tentang IPO, apakah ini merupakan jalur exit yang paling ideal?
Di MDI, kami memiliki dua KPI, money multiple dan sinergi. Untuk CVC, kami lebih fokus pada sinergi karena dampaknya lebih besar. Namun, suatu hari kami juga akan menghadapi pertanyaan ini, “Berapa banyak uang yang Anda bawa kembali ke perusahaan?”. Untuk menjawabnya, kami membutuhkan cara untuk bisa membuktikan telah berhasil memberikan dua kali lebih banyak dari uang yang diberikan. Lebih penting lagi, kami bisa membangun exit dalam investasi. Kesuksesan apapun yang bisa dihasilkan oleh sinergi tidak akan berarti jika perusahaan tempat Anda berinvestasi mati. Saya tidak akan lagi dipercaya dengan uang.
Untuk menyeimbangkan keduanya, kami membuat sistem untuk membuktikan estimasi nilai kami di setiap portofolio. Selanjutnya, kami telah berhasil menghasilkan exit, membawa keuntungan nyata ke perusahaan. Menjadi salah satu anak perusahaan Telkom Group dengan kinerja laba bersih tertinggi. Itu tentang exit.
Exit yang ideal adalah yang melipatgandakan lebih banyak uang, tetapi IPO adalah jalan keluar yang berdampak nyata. Ini adalah cara untuk membuktikan kematangan ekosistem teknologi Indonesia karena informasinya akan go public. Semakin matang ekosistem investasi Indonesia dilihat seluruh dunia, semakin banyak investor yang datang, dan semakin cepat kita akan tumbuh. IPO merupakan barometer ekosistem investasi Indonesia yang sehat. Meskipun IPO mungkin hanya dilakukan oleh 10%-20% dari startup dengan track record yang baik.
Di atas kertas, Indonesia memiliki banyak startup dengan valuasi yang terlalu tinggi dan masih terus meningkat. Namun, apa artinya valuasi jika tidak ada cara untuk exit. Itulah sebabnya Indonesia perlu membangun cerita IPO yang lebih sukses, untuk membuktikan bahwa kita memiliki ekosistem teknologi yang dapat diinvestasikan. MDI telah exit melalui IPO dua kali, di Australia dan Jepang. Dengan RunSystem, MDI sudah berada di jalur yang benar. Selain itu, kami juga akan ada beberapa berita baru terkait masalah ini dalam waktu dekat.
Selama bertahun-tahun berkarya, seperti apa tantangan yang Anda hadapi dalam perjalanan hingga titik ini?
Tantangan terbesar selama 20 tahun pengalaman adalah kepercayaan publik. Sulit untuk membuat orang percaya pada ekosistem teknologi Indonesia ketika kita hampir tidak bisa menjelajah internet. Bayangkan negara ini akan menjadi tujuan investasi atau bahkan tujuan teknologi, dan teknologi kita akan memberikan dampak yang signifikan. Ketika kita bisa membangun kepercayaan diri, itu akan memiliki multiplier effect yang baik.
Oleh karena itu, memastikan transformasi digital berdampak besar menjadi sangat penting agar mendapat dukungan yang cukup dari seluruh pemangku kepentingan di tanah air. Agar ekosistem startup digital di Indonesia terus tumbuh, kita perlu memahami dan memperjuankannya bersama. Ini bukan pekerjaan satu orang. Berkolaborasi untuk membangun visi masa depan Indonesia, hal ini harus dikembangkan dan dipasarkan untuk memperkaya ekosistem Indonesia dengan kompetisi dan keragaman.
Adakah yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi yang tengah berusaha ikut ambil bagian dalam pembangunan ekosistem teknologi Indonesia?
Ini adalah waktu yang tepat, terutama dengan pandemi dan semacamnya. Ada pepatah “Don’t let a good crisis go to waste”. Krisis memang saatnya untuk menunjukkan kemampuan Anda. Ini adalah saat yang tepat untuk bergabung dengan revolusi teknologi dengan cara Anda sendiri baik sebagai VC, perusahaan, pendiri, atau lainnya. Karena belum pernah sebelumnya Indonesia lebih siap untuk transformasi digital. Kami tidak mendekati akhir. Jadikan kami lebih banyak startup dan VC yang lebih matang dengan investor yang lebih matang. Dalam bidang apa pun yang Anda minati, bergabunglah dalam industri. Ini merupakan sebuah panggilan untuk bergerak.
Anda sempat mengungkapkan bahwa kembali ke Indonesia di waktu yang salah. Apakah ada rasa penyesalan? Saat ini adakah hal yang sangat ingin Anda lakukan namun belum ada kesempatan untuk mewujudkannya?
Sebenarnya, saat ini fokus saya adalah menciptakan transformasi digital dalam ekosistem yang didukung oleh banyak BUMN. Bagaimana kita bisa menggunakan pelanggan yang ada untuk didigitalkan oleh pemain startup? Kami dapat mengidentifikasi ekosistem digital mana yang siap untuk dikembangkan berdasarkan peluang bisnis captive market di perusahaan milik negara tetapi juga didukung oleh solusi yang telah terbukti dari startup. Dengan demikian, saya bisa naik level sebagai CVC yang tidak hanya memperkenalkan startup ke grup Telkom tetapi juga menciptakan peluang di luar apa yang dipikirkan startup atau Telkom untuk menciptakan inovasi yang lebih berdampak.
–
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian