“I believe the world is changing, we’re here in Indonesia maybe a little late to adopt it but soon will catch up.
Today is the world of collaboration, we must change our way of doing design, develop and distribute products and services to the new ways.”
Kutipan di atas ditulis oleh Heriyadi Janwar dalam biodata LinkedIn-nya. Pada 20 Juni 2023 kemarin, kami mendapat kabar bahwa beliau telah menghembuskan nafas terakhir di umur 46 tahun.
Keyakinan Heri, begitu ia kerap disapa, tidak hanya dituangkan dalam tulisan, namun turut diaplikasikan dalam perjalanan kariernya. Kiprahnya dalam industri teknologi tanah air sudah dimulai sejak ia masih bekerja sebagai Business Development Manager di perusahaan teknologi.
Sejak itu, ia aktif berjejaring dan terlibat dalam komunitas startup teknologi di Indonesia. Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa tujuan akhirnya adalah untuk bisa terlibat dan memimpin generasi masa depan dalam berbisnis. Kolaborasi adalah kuncinya, dan dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti situs web, jaringan seluler, dan televisi.
Heri juga sempat bekerja di Microsoft Indonesia sebagai Senior Product Marketing Manager selama hampir 4 tahun. Namanya semakin dikenal ketika ia bergabung di ekosistem Telkom dan ikut membangun salah satu pionir layanan e-commerce di Indonesia, Plasa.com.
“Dedikasi dan komitmennya tak tergoyahkan dan tak tertandingi. Saya tidak akan pernah lupa bagaimana dia dengan cepat mengepak tasnya dan terbang ke Singapura & Malaysia ketika mitra teknologi kami menghadapi tantangan, tetap di sana sampai masalah teratasi dan situs web kami dapat diluncurkan,” ungkap CEO Ideosource, Andi Boediman yang merekrutnya saat itu.
Tidak hanya itu, ia juga menunjukkan keyakinan pada industri teknologi tanah air dengan ikut berinvestasi pada startup-startup dan inovasi yang ia percaya akan berhasil. Andi turut membagikan momen ketika ia mengandalkan dukungan Heri dalam mengembangkan bisnis B2G di Bhinneka, saat itu Ideosource sudah berinvestasi di sana.
Di tahun 2021, Heri membangun Global Fortuna Nusantara, sebuah solusi yang berfokus pada pengadaan barang maupun jasa untuk berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia. Perusahaan memiliki visi untuk menjadi penyedia peralatan elektronik dan informasi teknologi yang kompeten, jujur, dan berintegritas untuk seluruh instansi nusantara.
Founder & CEO DailySocial.id sekaligus Managing Partner DS/X Ventures Rama Mamuaya dalam unggahannya mengungkapkan bahwa Heri menjadi salah seorang yang percaya dan mendukung setiap langkah inovatifnya sejak awal. “Kepercayaannya akan kemampuan dan kebaikan orang lain telah menghantarkannya sebagai seorang pendukung dan pemimpin di industri,” tulisnya.
Sebuah ekosistem yang menghubungkan para pemimpin inovasi di Indonesia, Foundry, resmi diluncurkan pada Selasa (6/6). Inisiatif ini mempertemukan korporasi, investor, regulator, penggiat teknologi, serta mitra global. Foundry merupakan gagasan yang diinisiasi oleh Managing Partner Kejora Capital Andy Zain dan Founder Young On Top Billy Boen.
Richie Wirjan selaku Direktur Foundry mengungkapkan bahwa timnya melihat peluang besar yang dapat dieksplorasi dalam era ekonomi digital saat ini dan nanti. Hal ini tidak terlepas dari peran penting para pemain industri.
Foundry hadir untuk menjadi wadah yang menghubungkan para pemimpin inovasi di berbagai sektor, mendorong kolaborasi dan pertumbuhan industri untuk membawa dampak transformatif pada bangsa Indonesia.
“Kami sangat senang melihat antusiasme tinggi dari berbagai stakeholder terhadap Foundry. Kami percaya inisiatif ini akan terus berkembang lewat berbagai kerja sama. Kami sebagai ekosistem Foundry sangat terbuka terhadap berbagai bentuk kolaborasi untuk bersama-sama menumbuhkan industri, terutama di sektor teknologi dan digital Indonesia,” ungkapnya.
Melalui program-program utamanya, Foundry bertujuan untuk mendorong kolaborasi positif dalam menumbuhkan industri, terutama di sektor teknologi dan digital Indonesia. Saat ini, program yang sudah ada dalam perencanaan termasuk ekonetworking, edukasi, content & insights, investasi, serta advokasi industri.
Beberapa startup juga melakukan presentasi singkat dalam acara ini, seperti KedaiPangan yang saat ini telah bertransformasi menjadi ekosistem agritech menyeluruh, pengembang baterai motor listrik SWAP Energi Indonesia, startup penyedia bahan bangunan GoCement, startup biotech Asa Ren, dan pemain POS Olsera yang kini telah berkembang menjadi sebuah SaaS untuk UMKM.
Katalis Inovasi
Edisi pertama Foundry Mixer diselenggarakan dengan tema “Indonesia Tech Investment: Unlocking the World’s Best Kept Secret”. Perhelatan ini menampilkan Pameran StartupVault, Networking Nights, dan Diskusi Panel yang membahas investasi teknologi di Indonesia serta proyeksi masa depan seiring perkembangan ekonomi digital dan tren investasi startup.
Turut hadir dalam diskusi panel tersebut Andi Kristianto selaku CEO INDICO, anak perusahaan Telkomsel yang fokus menaungi inovasi teknologi digital. Andi mengungkap bahwa saat ini korporasi tengah berusaha untuk tetap relevan di tengah perkembangan jaman dan teknologi. Sinergi dengan perusahaan rintisan menjadi salah satu cara yang sedang diupayakan.
Selain itu, diskusi ini juga turut membahas terkait investasi di sektor ESG. Kepala Petinggi Investasi Otoritas Investasi Indonesia (INA) Stefanus Ade Hadiwidjaja mengungkap bahwa pihaknya juga tengah mengupayakan kerja sama dan investasi global untuk mengembangkan sektor terkait salah satunya dengan membentuk dana kelolaan yang fokus pada electric vehicle (EV) di Indonesia.
Inisiatif serupa juga telah dibentuk oleh Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar Rp7,7 triliun untuk investasi startup di sektor energi. Dana kelolaan yang diberi nama Energy Fund ini dikelola bersama MDI Ventures.
Pihak Foundry mengaku sangat terbuka dan mengharapkan terjadinya kolaborasi dalam ekosistem ke depannya. Inisiatif ini diharapkan bisa tercipta di antara pihak korporasi, investor, regulator, mitra global, maupun pendiri startup. “Bagi para industry leaders, changemakers, innovators yang mau bawa dampak untuk Indonesia. We can’t do this alone, let’s get together.” Tutup Richie.
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Donald Wihardja memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun dalam menerapkan teknologi untuk berbagai industri, dari telco hingga perbankan hingga web startup, sebagai manajer, penasihat, konsultan, manajer investasi, dan wirausahawan di Indonesia. Dirinya percaya untuk bisa membangun ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis teknologi.
Beliau sempat memulai perjalanan dengan salah langkah. Ia meninggalkan Silicon Valley pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang akhirnya ia tersadar bahwa perjalanan masih panjang untuk mencapai tahap seperti sekarang ini. Namun, ia telah mengambil keputusan dan masuk ke industri teknologi di Indonesia.
Donald memiliki keahlian di bidang data warehouse atau yang sekarang kita kenal dengan big data. Ia mampu menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Ia juga belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk mengubah bisnis. Itulah awal perjalanan karirnya yang melenceng dari latar belakang ilmu komputer teknik elektro menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.
Ia memasuki industri investasi melalui perusahaan Private Equity (PE) dan mendapatkan cukup ilmu untuk akhirnya berhenti dan memulai Venture Capital (VC), Convergence, bersama Adrian Li. Selama lima tahun menjadi partner VC, ia menemukan peluang untuk menyalurkan gaya investasinya. Melalui MDI Venture, usahanya tidak hanya bertumpu pada penggandaan uang perusahaan tetapi juga menciptakan peluang sinergi bisnis di bawah Telkom Group.
DailySocial berkesempatan mewawancarai Donald yang saat itu sedang cuti dan sedang berada di Amerika Serikat untuk membahas ekosistem investasi teknologi di Indonesia. Ia berbagai banyak insight tentang cara menciptakan lingkungan yang lebih baik di industri teknologi negara kita dalam cuplikan paragraf di bawah.
Anda memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman dalam penerapan teknologi di berbagai industri. Seperti apa awal mulanya?
Saya memulai perjalanan dengan salah langkah. Saya meninggalkan tanah Amerika pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang terjadi di AS sekitar waktu itu. Saya tidak pernah berpikir harus menunggu selama 20 tahun dan ikut ambil bagian dalam pembangunannya. Namun, saya selalu percaya Indonesia akan menjadi hub teknologi berikutnya dan berada di jalurnya meskipun dengan realisasi yang tidak cepat.
Faktanya, dibutuhkan seratus tahun bagi Silicon Valley untuk mencapai posisinya sekarang. Pengusaha asli Silicon Valley atau Modal Ventura berinvestasi dalam Model-T. Mobil tanpa custom build atau produksi massal dapat membuat usaha yang sukses seratus tahun kemudian. Bankir mulai berinvestasi dalam usaha teknologi dan menciptakan kisah sukses. Semakin banyak penggiat teknologo menjadi kaya dan akhirnya mengambil bagian dalam industri investasi.
Masalah terbesar dalam dunia teknologi adalah risiko teknologi. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi? Apakah Anda siap atau tidak? Berinvestasi adalah tentang mengenal perbedaan antara mengetahui informasi pribadi dan informasi publik. Semakin banyak Anda tahu, semakin kecil risiko investasinya. Hal ini sebenarnya cukup sederhana. Jika Anda mengetahui resep untuk membangun startup yang sukses, Anda akan tahu bagaimana meramu kesuksesan dalam berinvestasi.
Ada konsep bahwa Indonesia akan menjadi ekosistem teknologi yang signifikan, setidaknya di Asia Tenggara. Saya sudah melewatkan ledakan teknologi di AS, saat ini tugas saya adalah membangun kapal ini sehingga tidak tertinggal untuk kedua kali.
Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam percobaan membangun industri startup/teknologi di Indonesia?
Saya melihat perjalanan saya terjadi di sini. Melihat kembali pekerjaan saya di Amerika, saat itu kami baru saja keluar dari resesi. Kenaikan gaji lambat dan saya bukan orang yang sabar. Saya tahu dan diberitahu akan potensi untuk bisa meraih level manager dalam waktu singkat jika kembali ke Indonesia. Hal itu benar adanya.
Pekerjaan pertama saya di Indonesia adalah sebagai programmer untuk sistem dukungan pelanggan Hewlett Packard (HP). Ketika itu, saya menambah pengetahuan ke konsultasi bisnis dan bergabung kembali dengan perusahaan sebagai project manager. Pekerjaan ini pada dasarnya adalah memecahkan masalah bisnis dengan keahlian business intelligence dan data warehouse atau big data. Hal ini memberi saya eksposur ke bisnis dan masalah teknologi.
Saya belajar cara menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Itu adalah roduk yang saya jual. Dari pengalaman itu, saya mendapatkan sisi teknis bagaimana memanfaatkan teknologi untuk mentransformasi bisnis.
Begitulah cara Donald, lulusan komputer teknik elektro, akhirnya menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.
Pada tahun 1998, terjadi resesi. Semua rekan konsultan saya dikirim ke negara-negara lain. Saya menolak untuk pergi dan lebih memilih untuk membangun perusahaan pengembangan perangkat lunak teknologi sendiri bersama rekan saya saat itu. Selain itu, kami juga mencoba membangun sesuatu yang mirip dengan Tokopedia di tahun ’98. Kita semua tahu itu tidak berhasil karena pasar yang tidak mendukung serta pengguna yang belum siap.
Dari krisis itu, saya belajar bahwa ketika belahan dunia lain telah berevolusi, kita tertinggal satu generasi dalam hal data dan konektivitas. Konsumen pada masa itu terlalu jauh tertinggal, mereka hampir tidak bisa menelusuri web. Perbandingan jumlah penduduk dengan orang yang memiliki akses terlalu jauh. Semua bergerak lambat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik elektro dan ilmu komputer, kemudian beralih menjadi konsultan bisnis. Apa yang mendorong Anda untuk memasuki industri investasi?
Pada tahun 2005, saya diundang untuk bergabung dengan sebuah Private Equity atau PE (ketika itu saya sedang membangun perusahaan pemrograman dan lainnya), bernama Quvat. Saya belajar cara menggalang dana untuk perusahaan beserta semua dokumen terkait perjanjian investasi. Saya bersyukur bekerja di perusahaan dengan budaya yang sangat mendidik. Saya diharuskan mempelajari mata pelajaran di luar bidang pekerjaan untuk meningkatkan kualitas. Inilah momen di mana saya tahu apa yang ingin saya lakukan.
Proyek pertama saya adalah membangun fiber optic cable, memungkinkan Indonesia untuk mengejar dua generasi teknologi. Pada masa itu, Indonesia akhirnya mengalami lonjakan pertama dengan bandwidth penuh. Bandwidth di Indonesia bisa lebih murah hingga 90%. Kemudian, orang-orang mulai tertarik dan bersedia membayar lebih. Setelah sekian lama, akhirnya Indonesia siap.
Tibalah waktunya, saya menyadari bahwa Quvat tidak akan pernah berinvestasi dalam startup. Itulah perbedaan antara PE dan VC. Jika masa depan saya akan terikat dengan revolusi teknologi, PE bukanlah tempatnya. Saya harus berada di startup atau VC. Setelah sekian lama bersama Quvat, muncul pertanyaan “Ke mana Anda ingin pergi setelah ini? Apa yang dapat kami lakukan untuk karir Anda?” lalu saya menjawab bahwa ingin berhenti dan bergabung dengan startup. Saya keluar dari Quvat untuk bergabung dengan Indomog.
Saat itu saya menempati posisi sebagai CTO Indomog. Bagian dari tugas saya adalah membantu perusahaan membangun model bisnisnya. Salah satu masalah terbesar saat itu adalah segala sesuatu di bidang teknologi di-cap gratis. Startup tidak dapat menghasilkan uang di Indonesia karena tidak ada cara untuk mendapatkan bayaran. Sementara di AS sangat mudah, mereka memiliki kartu kredit, tetapi lain hal nya di sini. Oleh karena itu, kami membangun infrastruktur pembayaran tunai, yang spesifik pada industri game.
Itu adalah wujud tesis Indomog. Namun, sejak hari pertama, kami tahu bahwa tesisnya adalah untuk membangun lebih dari sekadar solusi pembayaran untuk game, tetapi untuk perdagangan. Satu hal yang saya sadari, jika ledakan teknologi akan terjadi di Indonesia, saya perlu membantu menyelesaikan masalah tersebut. Dengan startup ini, saya memilih untuk menyelesaikan masalah pembayaran.
Lalu muncul masalah lain, startup Indonesia tidak memiliki pendanaan VC karena kami tidak tahu bagaimana mengumpulkan uang dari investor. Selain itu, kesadaran investor di Indonesia juga masih kurang. Saat melakukan pekerjaan di Indomog, saya turut membantu beberapa startup lain dengan pengetahuan terkait convertible notes dan sebagainya. Saat itulah saya meliha VC sebagai masalah berikutnya yang harus dipecahkan. Lalu, ketika Adrian Li datang dengan ide Convergence, saya memutuskan untuk bergabung.
Saya bergabung dengan Convergence untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk modal ventura di Indonesia. Ketika itu, jumlah VC jauh lebih sedikit daripada orang yang membuat startup. Saya terlalu tua untuk menjadi seorang programmer. Lagipula, Quvat telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk saya menjadi partner. Pada saat itu, pengalaman saya di Quvat dan membangun startup selama bertahun-tahun memberi saya pengetahuan yang cukup untuk menjadi partner di VC.
Selama di VC, saya juga menyadari betapa prematurnya ekosistem VC Indonesia. Oleh karena itu, bersama rekan-rekan VC di lapangan, kami membuat Amvesindo. Ini lebih kepada grup lobi PMV dan VC dan jembatan ke pemerintah.
Bagaimana Anda menggambarkan transisi karir dari Convergence sebagai Modal Ventura ke MDI Ventures sebagai Modal Ventura Korporat?
Di Convergence, kami belajar bagaimana berinvestasi sebagai pemegang saham minoritas. Kami melihat dan yakin bahwa pendiri jauh lebih tahu daripada VC dalam hal menjalankan perusahaan. Selain itu, kami tidak mengambil alih perusahaan. Kami memberi mereka modal untuk berkembang. Ini adalah bisnis yang berisiko tinggi, oleh karena itu, kita perlu menemukan aset yang tepat dan hanya berinvestasi di perusahaan yang benar-benar dapat kita kembangkan.
Ketika memulai sebagai konsultan bisnis, saya selalu bertindak lebih sebagai seorang mentor. Itulah sebabnya, ketika MDI membuka kesempatan, saya merasa lebih cocok di sana. Sebagai CVC, MDI tidak hanya memiliki mandat untuk menggandakan uang, namun juga mendorong bagaimana startup dapat menciptakan pendapatan bagi Telkom. Hal ini memaksa tim untuk memiliki divisi sinergi yang tugasnya sebenarnya menjamin startup-startup tersebut bekerja sama dengan Telkom. Hal ini juga memungkinkan saya untuk memiliki peran aktif dalam mengembangkan startup.
Telkom, di sisi lain, telah menghasilkan lebih banyak pendapatan dari bisnis korporatnya daripada jumlah yang digelontorkan untuk investasi. Oleh karena itu, sebanyak apapun keuntungan modal yang saya hasilkan dalam investasi tidak akan membuat banyak perbedaan bagi grup. Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah inovasi dan digitalisasi seperti apa yang bisa kita bawa. Di sinilah saya menyadari bahwa saya ada di sebuah perusahaan di mana saya dituntut untuk berhenti mengkhawatirkan uang berlipat ganda dan mulai dengan menciptakan peluang bisnis untuk startup. Memang, tidak persis bagaimana perusahaan menerjemahkannya, tetapi saya memilih untuk menafsirkannya seperti itu.
Saya ingin mengambil kebutuhan digitalisasi di Telkom lalu menyampaikannya dengan solusi yang telah dibuktikan oleh para startup. Itulah pekerjaan yang ingin saya lakukan. Oleh karena itu, kami fokus pada startup di tahap lanjut. Seiring berjalannya waktu, startup menjadi lebih stabil dan mampu memberikan pendapatan dan sinergi dengan Telkom. MDI sendiri memiliki beberapa dana kelolaan, kami juga memiliki dana untuk tahap awal. Namun, di setiap perusahaan yang kami investasikan, kami berusaha membangun hubungan dan sinergi dengan Telkom. Bagaimana kita dapat dengan nyaman melakukan investasi berkelanjutan, sembari membangun pertumbuhan perusahaan?
Belum lama ini, portofolio MDI, RunSystem, telah mengumumkan IPO-nya. Saya tertarik untuk mengetahui perspektif Anda tentang IPO, apakah ini merupakan jalur exit yang paling ideal?
Di MDI, kami memiliki dua KPI, money multiple dan sinergi. Untuk CVC, kami lebih fokus pada sinergi karena dampaknya lebih besar. Namun, suatu hari kami juga akan menghadapi pertanyaan ini, “Berapa banyak uang yang Anda bawa kembali ke perusahaan?”. Untuk menjawabnya, kami membutuhkan cara untuk bisa membuktikan telah berhasil memberikan dua kali lebih banyak dari uang yang diberikan. Lebih penting lagi, kami bisa membangun exit dalam investasi. Kesuksesan apapun yang bisa dihasilkan oleh sinergi tidak akan berarti jika perusahaan tempat Anda berinvestasi mati. Saya tidak akan lagi dipercaya dengan uang.
Untuk menyeimbangkan keduanya, kami membuat sistem untuk membuktikan estimasi nilai kami di setiap portofolio. Selanjutnya, kami telah berhasil menghasilkan exit, membawa keuntungan nyata ke perusahaan. Menjadi salah satu anak perusahaan Telkom Group dengan kinerja laba bersih tertinggi. Itu tentang exit.
Exit yang ideal adalah yang melipatgandakan lebih banyak uang, tetapi IPO adalah jalan keluar yang berdampak nyata. Ini adalah cara untuk membuktikan kematangan ekosistem teknologi Indonesia karena informasinya akan go public. Semakin matang ekosistem investasi Indonesia dilihat seluruh dunia, semakin banyak investor yang datang, dan semakin cepat kita akan tumbuh. IPO merupakan barometer ekosistem investasi Indonesia yang sehat. Meskipun IPO mungkin hanya dilakukan oleh 10%-20% dari startup dengan track record yang baik.
Di atas kertas, Indonesia memiliki banyak startup dengan valuasi yang terlalu tinggi dan masih terus meningkat. Namun, apa artinya valuasi jika tidak ada cara untuk exit. Itulah sebabnya Indonesia perlu membangun cerita IPO yang lebih sukses, untuk membuktikan bahwa kita memiliki ekosistem teknologi yang dapat diinvestasikan. MDI telah exit melalui IPO dua kali, di Australia dan Jepang. Dengan RunSystem, MDI sudah berada di jalur yang benar. Selain itu, kami juga akan ada beberapa berita baru terkait masalah ini dalam waktu dekat.
Selama bertahun-tahun berkarya, seperti apa tantangan yang Anda hadapi dalam perjalanan hingga titik ini?
Tantangan terbesar selama 20 tahun pengalaman adalah kepercayaan publik. Sulit untuk membuat orang percaya pada ekosistem teknologi Indonesia ketika kita hampir tidak bisa menjelajah internet. Bayangkan negara ini akan menjadi tujuan investasi atau bahkan tujuan teknologi, dan teknologi kita akan memberikan dampak yang signifikan. Ketika kita bisa membangun kepercayaan diri, itu akan memiliki multiplier effect yang baik.
Oleh karena itu, memastikan transformasi digital berdampak besar menjadi sangat penting agar mendapat dukungan yang cukup dari seluruh pemangku kepentingan di tanah air. Agar ekosistem startup digital di Indonesia terus tumbuh, kita perlu memahami dan memperjuankannya bersama. Ini bukan pekerjaan satu orang. Berkolaborasi untuk membangun visi masa depan Indonesia, hal ini harus dikembangkan dan dipasarkan untuk memperkaya ekosistem Indonesia dengan kompetisi dan keragaman.
Adakah yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi yang tengah berusaha ikut ambil bagian dalam pembangunan ekosistem teknologi Indonesia?
Ini adalah waktu yang tepat, terutama dengan pandemi dan semacamnya. Ada pepatah “Don’t let a good crisis go to waste”. Krisis memang saatnya untuk menunjukkan kemampuan Anda. Ini adalah saat yang tepat untuk bergabung dengan revolusi teknologi dengan cara Anda sendiri baik sebagai VC, perusahaan, pendiri, atau lainnya. Karena belum pernah sebelumnya Indonesia lebih siap untuk transformasi digital. Kami tidak mendekati akhir. Jadikan kami lebih banyak startup dan VC yang lebih matang dengan investor yang lebih matang. Dalam bidang apa pun yang Anda minati, bergabunglah dalam industri. Ini merupakan sebuah panggilan untuk bergerak.
Anda sempat mengungkapkan bahwa kembali ke Indonesia di waktu yang salah. Apakah ada rasa penyesalan? Saat ini adakah hal yang sangat ingin Anda lakukan namun belum ada kesempatan untuk mewujudkannya?
Sebenarnya, saat ini fokus saya adalah menciptakan transformasi digital dalam ekosistem yang didukung oleh banyak BUMN. Bagaimana kita bisa menggunakan pelanggan yang ada untuk didigitalkan oleh pemain startup? Kami dapat mengidentifikasi ekosistem digital mana yang siap untuk dikembangkan berdasarkan peluang bisnis captive market di perusahaan milik negara tetapi juga didukung oleh solusi yang telah terbukti dari startup. Dengan demikian, saya bisa naik level sebagai CVC yang tidak hanya memperkenalkan startup ke grup Telkom tetapi juga menciptakan peluang di luar apa yang dipikirkan startup atau Telkom untuk menciptakan inovasi yang lebih berdampak.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.
Donald Wihardja has more than 20 years of experience in applying technology for various industries, from telco to banking to web startup, as a manager, advisor, consultant, investment manager, and entrepreneur in Indonesia. He believes in order to engineer the tech investment ecosystem, one must have enough knowledge and experience in doing tech business.
He started the journey with a misstep. He left Silicon Valley in 1995 believing Indonesia was ready to experience a tech boom, which eventually he realized that it was still a long way to go from that moment to this stage we are now. However, he managed to pull the trigger and made his way into the tech industry in Indonesia.
Donald has expertise in data warehouses or what we now call big data. He is capable of using data to keep track of business performance and make intelligent strategic decisions. He learned how to use technology to transform business. That’s the beginning of his shifting career path from electrical engineering computer scientist to a business consultant more than a tech consultant in terms of programming.
He entered the investment industry through a Private Equity (PE) company and learned enough to finally quit and started his own Venture Capital (VC), Convergence, with Adrian Li. Over five years of being a VC’s partner, he discovered an opportunity to channel his investment style. It is through MDI Venture, where his concern will not only lie in multiplying the company’s money but also creating opportunities for business synergy under the Telkom Group.
DailySocial had an opportunity to interview Donald who was at that time actually on sabbatical and currently staying in the States to discuss Indonesia’s tech investment ecosystem. He shared a lot of his thoughts on how to create a better environment in our country’s tech industry through the paragraphs below.
You have more than 20 years of experience in applying technology for various industries. How was it started?
I started the journey with a misstep. I left the State in 1995 believing Indonesia was ready to experience a tech boom, which happened in the US around that time. I never thought I had to wait for 20 years and had to be a part of its development. However, I always believe Indonesia will be the next technology hub and already on its way although with merely slow realization.
In fact, it takes literally a hundred years for Silicon Valley to get where it is now. The original Silicon Valley entrepreneur or Venture Capital investing in short Model-T. Cars without custom build or mass produce can make a successful venture a hundred years later. Banker started investing in tech ventures and created a success story. More and more technologists are getting rich and eventually took part in the investment industry.
The biggest issue with technology is the tech risk. Is this a real one? Is this just an illusion? Are you ready or not? Investing is all about the disparity between knowing personal private information and public information. The more you know, the less risky the investment. It is actually quite simple. If you know the ingredients to build a successful startup, you will know where to pour your money on.
There is this concept that Indonesia will be a significant tech ecosystem, at least in Southeast Asia. I already miss the tech boom in the US, my job is to build the current boat so I didn’t miss this one.
How was your first attempt to engineer the startup/tech industry in Indonesia?
I saw my journey going on here. I look back at my job in the States, at that time we just freshly came out of recession. Raises are slow and I was impatient. I know and I was told if I come back I will make a good manager in no time. That is true somehow.
My first job in Indonesia was as a programmer for Hewlett Packard (HP) customer support system. At that time, I’m extending my knowledge to business consulting and rejoining the company as a project manager. My job is basically to solve business problems and my product expertise is business intelligence and data warehouse or big data. This gives me exposure to tech business and problems.
I learn how to use data to keep track of business performance and make intelligent strategic decisions. That is the product I’m selling back then. From that experience, I get the technical side of how to use technology to transform business.
That is how Donald the electrical engineering computer scientist ended up being a business consultant more than a tech consultant in terms of programming.
In 1998, a recession happened. All of my fellow consultants got shipped up around the world. I refuse to leave, I rather build my own tech software development company with my current partner. Another thing, we also tried to build something that looked like Tokopedia back in ’98. We all know it didn’t work out because there is not enough market and users are not ready.
From that crisis, I learned that when the other side of the world has upgraded and we are one generation behind in terms of data and connectivity. Consumers at that time were too far behind, they could barely browse the web. People who can use it are very small compared to the population. Everything is too slow. This is a problem we cannot just let slide.
You have an educational background in electrical engineering and computer science, then ended up being a business consultant. What drives you to enter the investment industry?
In 2005, I got invited to join a PE (by the time I have my own programming company and stuff), named Quvat. I learned how to fundraise for a company with all the paperwork regarding investment agreements. I am grateful to work at a company with a very educational culture. I had to learn subjects outside of my work field in order to improve my quality. This is how I know what I want to do.
I have my first project to build fiber optic cable, allowing Indonesia to catch up with two generations of tech. During that time, Indonesia finally experienced the first rush of the real full bandwidth. We actually make bandwidth in Indonesia cheaper by 90%. Then, people are getting interested and willing to pay more. After all this time, Indonesia is finally ready.
In time, I realize that Quvat will never invest in a startup. That is the difference between PE and VC. If my future is to be tied with the tech revolution, I should not be in a PE. I should either be in a startup or a VC. After a long time with Quvat, I was asked “Where do you want to go from here? What do you want us to do for your career?” and I said I want to quit and join the startup. I quit Quvat to join Indomog.
I was a CTO back then with Indomog. What I do is help the company build its business model. One of the biggest issues at that time is that everything in tech is free. Startups cannot make money in Indonesia because there is no way to get paid. It’s easy in the US, they have credit cards, but here it didn’t go that way. Therefore, we build a cash payment infrastructure, specifically around games.
That is what the Indomog thesis is. However, from day one, we know the thesis is to build more than a payment solution for games, but for commerce. One thing I realize, if there is going to be a tech boom in Indonesia, I need to help solve the thesis of the problem. And with the startup, I choose to solve the payment issue.
Another problem arises, Indonesian startups did not have VC funding because we don’t know how to raise money from investors. Also, there’s not enough investor awareness in Indonesia either. While doing my job in Indomog, I also helped few other startups as I have extensive knowledge on writing convertible notes and so on. This is when I know the next problem to solve is in the VC. And when Adrian Li came to me with the idea of Convergence, I decided to join.
I joined Convergence to capitalize on the opportunity that we need for venture capital in Indonesia. There are a lot fewer VCs than people making startups back then. I’m getting too old to be a programmer. Also, Quvat has prepared me to be a partner. By that time, my experience in Quvat and my years’ building startups got me enough knowledge to be a partner in a VC.
During my time in a VC, I also realized how immature the Indonesian VC ecosystem is. That is why, with fellow VCs in the field, we created Amvesindo. It is actually a lobbying group of PMVs and VCs and a bridge to the government.
How can you describe the transition from Convergence as a Venture Capital to MDI Ventures as a Corporate Venture Capital?
In Convergence, we learn how to invest as a minority shareholder. We see and we believe the founder knows better than the VC in terms of running the company. Furthermore, we don’t take over the company. We provide them with growth capital. This is a high-risk business, therefore, we need to find the right asset and only invest in a company we can really grow.
As I started as a business consultant, my style has always been more like a mentor. That is why, when the opportunity arises from MDI, I think that fits me better. As a CVC, MDI does not only have a money-multiple mandate. Does it also push on how the startup can create revenue for Telkom? That forces the team to have a synergy division whose job is actually to vouch for these startups to work together with Telkom. It also allows me to have an active role in growing the startup.
Telkom, on the other hand, has generated more revenue from its corporate business than the amount poured for investment. Therefore, how much capital gain I generate in investment wouldn’t make that much difference to the group. What they actually need is what kind of innovation and digitalization can we bring to the table. This is where I realize I have come to a company where they are actually telling me to stop just worrying about money-multiple and start by creating business opportunities for startups. Indeed, not exactly how the company translates it, but I choose to interpret it that way.
I want to take the digitalization requirement in Telkom and deliver that using the solution proven by startups. That is the work I want to do. Therefore, we focused on the startup in the later stage. As the stage gets later, the startup becomes more stable and able to deliver revenue and synergy with Telkom. MDI alone has multiple funds, we also have a fund for earlier stages. However, in each company we invest, we tried to build the relationship and synergy with Telkom. How can we comfortably make the continuous investment, in a way to engineer the growth of the company?
Recently, your portfolio in MDI, RunSystem, has announced its IPO. I’m interested to know your perspective about IPO, is it really an ideal exit?
In MDI, we have two KPIs, money multiple and synergy value. In terms of CVC, we are focused more on synergy as the impact is greater. However, one day we’ll be facing this question, “How much money you’ve brought back to the company?”. In order to answer, we need a way to prove that we have delivered two times more than the money we’re given. More importantly, we can engineer exit in investment profitably. For what success a synergy can bring if the company you invest in is dead. I will no longer be trusted with money.
In order to balance these two, we create a system to prove our estimated value in each portfolio. Furthermore, we have successfully generated exit, bringing real cash to the company. One of Telkom Group’s subsidiaries with the highest performing net income. That is about the exit.
The ideal exit is what multiples more money, but IPO is an important exit. It will be a way to prove the maturity of the Indonesian tech ecosystem as the information will go public. The more mature the Indonesian investing ecosystem worldwide, the more investors will come, and the faster we will grow. IPO is the barometer for the Indonesian healthy investment ecosystem. Although IPO might only have been done by 10%-20% of startups with a good track record.
In terms of paper, Indonesia has many startups with overly high valuations and still rising. However, what is value means if there’s no way to exit. It is why Indonesia needs to create a more successful IPO story, in order to prove that we have an investable tech ecosystem. MDI has exited through IPO two times, in Australia and Japan. With RunSystem finally announcing, MDI is already on the right track. Also, we’ll have several announcements related to this matter in the near future.
During those years of experience, what kind of challenges have you had along the way?
The biggest challenge during 20 years of experience is in public confidence. It’s hard to make people believe in the Indonesian tech ecosystem when we barely can browse the internet. Imagine this country will be an investment destination or even a tech destination, and our tech will make a significant impact. When we can build confidence, it will have a good multiplier effect.
Thus, ensuring the digital transformation to have a big impact is very important in order to get enough support from all the stakeholders in the country. For the digital startup ecosystem in Indonesia to grow steadily, we need to understand and fight this together. This is not the work for a single person. Collaborate to fabricate the vision of the Indonesian future, it has to be developed and marketed to enrich the Indonesian ecosystem with competition and variety.
Anything you want to say to those tech enthusiasts trying to make their way to be a part of the Indonesian tech ecosystem?
This is the right time, especially with the pandemic and stuff. There’s a saying “Don’t let a good crisis go to waste”. The crisis is indeed the time to showcase your ability. This is the right moment to join the tech revolution in your own way as a VC, corporate, founder, or else. Because never before has Indonesia been more ready for digital transformation. We’re nowhere near the end. Make us more startups and more mature VC with more mature investors. In whatever field you are interested, join the game. It’s a call to action.
You said you’ve come back to Indonesia at the wrong time. Did you ever regret it? Do you still have something you want to do but have no chance to do so?
Actually, my current project is how we can create digital transformation in the ecosystem backed by many state-owned enterprises. How can we use the existing customers to be digitized by startup players? We can identify which digital ecosystem is ready to develop based on the business opportunity captive market in the state-owned enterprise but also powered by the startup’s proven solutions. Thus, I can level up as a CVC which not only introduces startups to the Telkom group but also creates opportunities outside what the startup or Telkom’s thought to create more impactful innovation.