Tag Archives: tee teddy setiawan

Strategi Keberlangsungan Startup

Mendiskusi Strategi Keberlangsungan Bisnis Bersama Pelaku Startup dan Pemodal Ventura

Banyak tantangan yang dihadapi startup saat pandemi, mulai dari menurunnya jumlah klien hingga pemasukan bisnis yang tersendat. Meskipun tantangan terberat dirasakan benar oleh startup di masa awal pandemi, namun dalam beberapa bulan terakhir, situasi diklaim sudah jauh lebih baik dan berangsur-angsur pulih kembali.

Dalam webinar yang diinisiasi oleh Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (AMVESINDO), tiga penggiat startup yang diwakilkan oleh Co-Founder & CEO Cashlez Tee Teddy Setiawan, Founder ProSehat & Chairman Healthtech.id Gregorius Bimantoro, dan CMO SiCepat Wiwin Dewi Herawati, berbagi pengalaman mereka tentang bagaimana cara tepat menyiasati tantangan bisnis saat pandemi.

Menyiasati langkah yang tepat

Ada beberapa catatan menarik yang kemudian disampaikan oleh perwakilan komunitas startup saat sesi webinar. Meskipun tidak dapat dimungkiri penurunan pendapatan sempat terjadi, namun melihat perubahan pola konsumen saat pandemi yang memanfaatkan sepenuhnya layanan digital, kemudian menjadi fokus utama dari startup seperti SiCepat dan Cashlez.

Sebagai layanan finansial berbasis teknologi, Cashlez memiliki jumlah merchant yang cukup beragam, dari layanan entertainment hingga p2p lending. Meskipun mengakui untuk beberapa layanan sempat mengalami penurunan secara drastis, namun di sisi lain layanan yang kemudian dimanfaatkan oleh platform e-commerce justru mengalami peningkatan.

“Di kuartal ketiga dan memasuki keempat kami melihat adanya peningkatan dari bisnis Cashlez. Momentum ini kemudian menjadi baik bagi kami untuk bisa fokus meng-capture target pasar yang ada,” kata Teddy.

Sementara itu, bagi layanan logistik yang dihadrikan oleh SiCepat, pandemi justru memberikan kesempatan yang lebih baik bagi perusahaan untuk merangkul lebih banyak pelanggan. Tidak hanya fokus kepada pemgiriman barang dalam volume dan kapasitas yang besar, namun SiCepat juga menawarkan pilihan pengiriman barang berharga dengan volume dan ukuran yang lebih kecil.

“Saat ini kami tengah berada pada masa-masa survive” saat awal pandemi kami sempat mengalami penurunan hingga 30% lebih untuk logistik darat dan udara hampir 80%,” kata Wiwin.

Dengan menerapkan diversifikasi, SiCepat mengklaim mampu untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa tetap bertahan saat pandemi hingga memasuki kondisi new normal.

Salah satu layanan yang kemudian menjadi primadona saat pandemi adalah layanan healthtech. Bukan hanya mampu mengakselerasi layanan konsultasi dokter secara online, dengan berbagai produk yang makin bervarias seperti menyematkan teknologi artificial intelligence hingga genetics, kini platform healthtech semakin banyak jumlah pemainnya.

“Selama pandemi layanan yang menyasar kepada segmen B2B memang mengalami penurunan. Namun di sisi lain untuk layanan yang menyasar B2C justru mengalami peningkatan. Meskipun belum maksimal namun dari pemain healthtech sendiri memang masih memiliki keterbatasan untuk menghadirkan layanan yang lebih menyeluruh karena adanya peraturan dan regulasi yang ditetapkan,” kata Gregorius.

Kinerja PMV selama pandemi

Meskipun ada beberapa perusahaan modal ventura (PMV) yang melakukan penundaan investasi ke startup selama pandemi, namun tidak menjadikan beberapa kegiatan penggalangan dana menurun jumlahnya. Amvesiondo mencatat ada 52 transaksi pendanaan yang dilakukan oleh PMV untuk startup, dengan jumlah pendanaan mencapai $1,9 miliar.

Hal tersebut bukan hanya memperlihatkan kepercayaan dari pihak investor kepada startup, namun juga kolaborasi yang senantiasa berjalan antara PMV dan startup di masa-masa krisis ini menandakan optimisme dan kepercayaan PMV terhadap potensi pertumbuhan pelaku startup nasional.

AMVESINDO memandang, para perusahaan tersebut mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengubah lanskap industri (new normal), memberikan nilai tambah, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pelanggan dan konsumen.

“Pandemi bukan berarti startup harus berdiam diri, kondisi seperti ini justru menjadi momentum bagi startup untuk memaksimalkan upaya mereka untuk menjalankan bisnis agar bisa bertahan,” kata Anggota Dewan Kehormatan AMVESINDO Nicko Widjaja.

Nicko juga menambahkan, mewakili BRI Ventures hingga saat ini telah berinvestasi kepada 8 startup. BRI Ventures juga telah meluncurkan kelolaan baru bernama “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. Fund tersebut menjadi kendaraan baru bagi BRI Ventures untuk mendanai startup early stage yang bermain di segmen non-fintech, seperti pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan.

Sementara itu menurut Sekjen AMVESINDO Eddi Danusaputro, tidak hanya fokus berinvestasi kepada startup baru, PMV juga harus tetap memperhatikan existing portofolio mereka. Meskipun tidak semuanya berniat untuk melakukan penggalangan dana saat ini, namun perlu juga diberikan dukungan yang relevan, memanfaatkan ekosistem yang ada.

“Saya juga melihat saat pandemi ada beberapa sektor yang menarik untuk dijajaki dan tentunya bermanfaat bukan hanya untuk PMV tapi juga masyarakat umum. Yaitu sektor agritech, mereka yang menyasar pertanian dan hal terkait lainnya menjadi perhatian bagi kami di MCI.” kata Eddi.

Startup turut berperan dalam pemulihan ekonomi nasional lewat kolaborasi dengan program pemerintah, seperti layanan startup agritech yang membantu menyalurkan pembiayaan dari pemerintah untuk petani, dan kolaborasi antar startup penyedia digital signature dan digital identity dengan lembaga perbankan untuk kemudahan proses restrukturisasi kredit.

“Untuk itu ke depannya perlu adanya peraturan dan regulasi yang mendukung bisnis startup terutama dari regulator,” kata Bendahara AMVESINDO Edward Ismawan Chamdani.

Cashlez Vospay

Tren Belanja Berubah, Cashlez Fokus Perbanyak Integrasi Penerimaan Transaksi Nontunai

Startup payment gateway dan penyedia point of sales Cashlez fokus mengejar integrasi dengan beragam perusahaan untuk memperluas akses penerimaan transaksi nontunai di Indonesia, seiring tren belanja saat ini bergeser ke online karena pandemi.

CEO Cashlez Teddy Tee menerangkan, transaksi nontunai kini semakin masif penggunaannya selama pandemi. Perusahaan melihat tren tersebut dengan mengejar kemitraan dengan berbagai perusahaan agar semakin banyak konsumen yang mendapat pengalaman kemudahan transaksi nontunai dengan nyaman dan aman.

Kali ini kemitraan teranyar yang diumumkan adalah bersama startup fintech lending Vospay. Ada lebih dari 7 ribu merchant Cashlez kini dapat memberikan pilihan pembayaran kartu kredit digital Vospay kepada konsumernya lewat aplikasi Cashlez.

“Caranya cukup mudah, merchant Cashlez cukup mengaktifkan Vospay di Cashlez App supaya customer dapat melakukan cicilan hingga 12 bulan hanya dengan memasukkan nomor HP,” terangnya dalam keterangan resmi, Rabu (23/9).

Secara terpisah, kepada DailySocial, Teddy menjelaskan alasan perusahaan menggandeng Vospay karena punya model bisnis yang menarik. Mereka menyediakan fasilitas limit kredit bagi konsumen-konsumen terpilih dari perusahaan pembiayaan (multifinance) yang bermitra dengan Vospay.

“Salah satu komitmen Cashlez adalah menjadi solusi bisnis terintegrasi terbaik bagi para pelaku usaha, serta mitra terbaik bagi bank dan nonbank partner. Dalam mewujudkan komitmen ini, Cashlez selalu melakukan inovasi untuk memberikan yang terbaik bagi merchant, salah satunya dengan memperluas pilihan pembayaran.”

Sebagai catatan, Vospay memiliki model bisnis yang berbeda dengan pemain fintech lending kebanyakan. Dalam menyalurkan pinjaman, mereka melakukan mitigasi risiko dengan menggandeng perusahaan pembiayaan untuk menyortir siapa saja nasabah dengan punya histori kredit yang baik dan layak mendapat limit kredit.

Perusahaan pembiayaan akan mengirim SMS berisi tautan link aktivasi untuk nasabah terpilih yang menerima limit kredit dari Vospay. Setelah registrasi, limit tersebut dapat digunakan untuk berbelanja di merchant rekanan Vospay dan memilih opsi pembayaran cicilan mulai dari 3 bulan hingga 12 bulan.

Merchant ini datang dari berbagai industri. Ada situs e-commerce kecantikan dan fesyen, elektronik, furnitur, investasi emas, travel, dan sebagainya. Adapun mitra multifinance di Vospay ada Maybank Finance, Mega Finance, MPM Finance, JTO Finance, Adira Finance, Indosurya Finance, Mandala Finance, dan BFI Finance.

CEO Vospay Tito Tambayong mengungkapkan, untuk memperluas basis pengguna Vospay, rencananya perusahaan akan membuka kesempatan bagi debitur untuk mendapatkan fasilitas cicilan dengan mengajukan secara online melalui merchant Cashlez.

Rencana Cashlez berikutnya

Teddy mengungkapkan, pandemi ini turut memengaruhi kinerja perusahaan, kendati ia tidak merinci lebih jauh seperti apa dampaknya. Kondisi tersebut membuat perusahaan beradaptasi untuk melihat layanan apa saja yang dapat dimaksimalkan.

“Kami pun terus mencari merchant baru, saat ini merchant kami sudah berjumlah lebih dari 7 ribu dan target kami di akhir tahun ini dapat mencapai 10 ribu merchant.”

Beberapa pencapaian tersebut terlihat sejak semester pertama tahun ini, di antaranya inovasi layanan Cashlez-on-Delivery untuk Fabelio; ShopeePay; Artajasa menerima pembayaran virtual account di ATM Bersama; VISA untuk layanan Visa Business Payment Solution Providers (BPSP) untuk memfasilitasi pembayaran B2B.

Berikutnya, POST untuk integrasi pembayaran; dan Bank Commonwealth, menyediakan CommBank BizLoan di aplikasi Cashlez. “Akan ada kerja sama lainnya dengan beberapa bank dan non bank lain dalam menghadirkan layanan baru pada semester ini. Dalam waktu dekat Cashlez akan menghadirkan layanan syariah.”

Lewat anak usahanya PT Softorb Technology Indonesia (STI), yang diakuisisi lewat dana hasil IPO, akan menjadi jalur Cashlez untuk masuk ke industri transportasi, parkiran, dan sebagainya. Teddy bilang, STI berpengalaman di kereta, readers untuk beberapa ruas tol, dan solusi parkir.

“Dalam waktu dekat kami juga akan masuk ke Taman Impian Jaya Ancol dalam pembayaran nontunai. Jadi, ke depan kesinambungan STI dan Cashlez akan baik sekali.”

Bersama dengan STI pula, keduanya akan bekerja sama untuk menerima kartu uang elektronik di aplikasi POS CashlezOne. Dengan demikian, semua bank yang telah mendapatkan lisensi dari regulator sebagai bank penerbit prepaid card dapat menerima pembayaran yang dilakukan konsumen melalui merchant Cashlez.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Cashlez Officially IPO, Creating Opportunities for Other Acquisitions

The payment gateway and mPOS startup, Cashlez, officially going IPO at the Indonesia Stock Exchange yesterday (4/5) using “CASH” as the stock code. Cashlez is listed on the acceleration board, as well as being the 27th company to be trading on the stock exchange this year.

The company releases 250 million new shares at Rp 350 per share. This capital amount covers around 17.5 percent of the agreed capital and is placed in Cashlez. Simultaneously, the company issued Series I Warrants at a ratio of 1: 1.

Cashlez’ President Director, Tee Teddy Setiawan said the company successfully obtained funding worth of Rp87.5 billion on this occasion. As planned, 61.31% of the funds were used for the acquisition of PT Softorb Technology Indonesia (STI), with the remaining 38.69% for working capital.

“Through this IPO, we can continue to innovate in developing business and one of them is the acquisition of STI which we consider is very strategic for our business growth,” he said in an official statement.

As quoted from his interview with IDX Channel, Teddy mentioned, besides the acquisition of STI, he also offers opportunities to take other corporate actions. “We are still looking for opportunities for the acquisition of similar companies to support inorganic growth.”

He continued, the due diligence process for the STI acquisition had begun since last year. The two sides started open discussions for future business synergies, given the huge potential of the payment system industry in Indonesia.

Entering the second half of last year, the company starts taking an option to IPO on the stock exchange, moreover, the company also participated in IDX Incubator. “We are encouraged to take the IPO initiative, especially with the current new board [acceleration board], we finally decided to take on the exchange.”

Fundamentally, STI has a strong and stable business base, compared to Cashlez as a startup. STI focuses on the front end, while Cashlez focuses on the back end. They need a front-end that can create innovation, for example by combining sensors with non-cash payment instruments such as cards.

“We are starting to enter the [payment] segment of transportation, prepaid cards, parking, and theme parks,” he continued.

To date, Cashlez is said to cover more than 7,300 merchants consisting of small, medium, to enterprises. However, 88% of them are dominated by SMEs.

Adjustment to the target

Even though the funds will be used in accordance with the original plan, the nominal funds targeted by Cashlez has adjusted. Previously, the company was targeting Rp90 billion to Rp100 billion by releasing 300 million shares of regular stock. The offer price is at Rp298-Rp358 per share. The date of the listing on the IDX was planned for April 20, 2020.

Teddy revealed that the adjustment occurred because of structural changes. Earlier this year, they began with unfavorable issue from Jiwasraya, then the Covid-19 pandemic emerged in March. Finally, it must’ve had an impact on several prospective investors and their commitment to enter, eventually changing their minds.

“However, since everything is back to normal, this is good timing to start fresh.”

In addition, regarding the company’s target this year, Teddy said he has yet made a revision. However, he currently opens for the possibility that a correction would occur in the second quarter of this year. the Cashlez business as a whole is targeted to increase by 2.5 to 3 times from last year.

“In March 2020 we still have our positive performance. The Covid-19 has affected on our business, related to PSBB, it is practically all business down almost 80%. We have to be more creative in catering to online transactions. ”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Cashlez IPO

Cashlez Resmi IPO, Buka Peluang Akuisisi Perusahaan Lain

Startup payment gateway dan mPOS Cashlez resmi melantai di Bursa Efek Indonesia, kemarin (4/5) dengan kode saham “CASH”. Cashlez tercatat di papan akselerasi, sekaligus menjadi perusahaan ke-27 yang melantai di bursa pada tahun ini.

Perusahaan melepas 250 juta saham baru dengan harga Rp350 per lembar. Jumlah modal ini meliputi sekitar 17,5 persen dari modal disetor dan ditempatkan pada Cashlez. Secara bersamaan, perusahaan menerbitkan Waran Seri I dengan rasio 1:1.

Presiden Direktur Cashlez Tee Teddy Setiawan mengatakan, dana yang berhasil diraup perusahaan dari hajatan ini adalah Rp87,5 miliar. Sesuai rencana, sebanyak 61,31% dari dana tersebut digunakan untuk akuisisi PT Softorb Technology Indonesia (STI), sisanya 38,69% untuk modal kerja.

“Melalui IPO ini, kami dapat terus berinovasi dalam mengembangkan bisnis dan salah satunya adalah akuisisi STI yang menurut kami sangat strategis untuk pertumbuhan bisnis kami,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Mengutip dari wawancaranya bersama IDX Channel, Teddy mengungkapkan selain akuisisi STI, ia juga membuka kemungkinan untuk melakukan aksi korporasi lainnya. “Kita masih cari opportunity untuk akuisisi perusahaan sejenis untuk menunjang growth anorganik.”

Dia melanjutkan, proses due diligence untuk akuisisi STI sudah dimulai sejak tahun lalu. Kedua belah pihak mulai membuka perbincangan untuk sinergi bisnis ke depannya, mengingat potensi industri sistem pembayaran yang masih sangat besar di Indonesia.

Memasuki paruh kedua tahun lalu, perusahaan mulai buka opsi untuk melantai di bursa, terlebih perusahaan sendiri masuk sebagai peserta di IDX Incubator. “Kami di-encourage untuk berani melantai di bursa, apalagi sekarang ada papan baru [papan akselerasi], akhirnya kita putuskan untuk masuk ke bursa.”

Secara fundamental, STI punya basis bisnis yang sudah kuat dan stabil, ketimbang Cashlez yang masuk dalam kategori startup. STI fokus pada front-end, sementara Cashlez fokus di back-end. Mereka butuh front-end yang bisa menciptakan inovasi, misalnya menggabungkan sensor-sensor alat pembayaran non-tunai seperti kartu.

“Sekarang kami mulai masuk [pembayaran] segmen transportasi, prepaid card, parking, dan theme park,” sambungnya.

Diklaim saat ini Cashlez telah menjaring lebih dari 7.300 merchant yang terdiri atas usaha kecil, menengah, hingga enterprise. Namun, 88% di antaranya didominasi oleh UKM.

Target meleset dari rencana

Meski penggunaan dana sesuai dengan rencana awal, sebenarnya target nominal dana yang diincar Cashlez meleset. Awalnya perusahaan mengincar dana antara Rp90 miliar sampai Rp100 miliar dengan melepas 300 juta lembar saham biasa. Harga penawaran ada di rentang Rp298-Rp358 per lembar. Pun tanggal pencatatan saham di BEI tadinya direncanakan tanggal 20 April 2020.

Teddy mengungkapkan bergesernya tanggal pencatatan ini terjadi karena dipengaruhi perubahan struktur. Awal tahun ini diawali isu yang kurang baik dari Jiwasraya, kemudian pada Maret muncul pandemi Covid-19. Akhirnya berdampak pada beberapa calon investor yang awalnya sudah menyatakan komitmennya untuk masuk, akhirnya berubah pikiran.

“Tapi sekarang semua sudah back to normal, ini timing yang baik untuk mulai lagi.”

Di samping itu, mengenai target perusahaan sepanjang tahun ini, Teddy mengaku belum melakukan revisi. Akan tetapi, ia membuka kemungkinan bahwa pada kuartal kedua tahun ini akan terjadi koreksi. Ditargetkan bisnis Cashlez secara keseluruhan dapat naik antara 2,5 hingga 3 kali lipat dari tahun lalu.

“Di Maret 2020 kinerja kita masih positif. Efek Covid-19 terhadap bisnis kita, berkaitan dengan PSBB, praktis bisnis hampir semua turun 80%. Kita harus lebih kreatif meng-cater transaksi ke online.”

Application Information Will Show Up Here

Behind Cashlez Optimism to IPO Soon

Cashlez, a fintech startup for payment gateway and mPOS, has performed corporate action to be listed in the stock exchange. According to the plan, the company aims for Rp90 billion to Rp100 billion by releasing 300 million shares or 20.29% from modal to be placed and fully channeled after IPO. The price ranging for Rp298-Rp358 per share.

Cashlez’s President Director, Tee Teddy Setiawan said, the fund raised will be channeled to acquire similar organizations engaged in payment gateway named Softorb Technology Indonesia. The rest will be for operational matters.

“Around 48.57% will be used to acquire 51% STI shares. The 51.43% will be used for company operational,” he said.

Teddy said, the company attracted to STI because of its focus on front-end. While Cashlez is focus on back-end. “We need the front-end to feed transactions, that is what STI do with their providing front-end.”

“Therefore, the business is quite sustainable. Also, we need to be major with 51%, for more synergy in terms of finance can be consolidated in order to be more healthy,” Teddy continued as quoted from Kontan.

The company appointed Sinarmas Sekuritas as the guarantor of the issuance of securities. Cashlez is targeted to pocket an effective statement from OJK on April 7, 2020 and the public offering period will take place the day after. The listing of shares on the IDX is planned for April 20, 2020.

Sumitomo Corporation as shareholders said, it believes that payment systems are increasingly needed in the coming new era such as MaaS (Mobility-as-a-Service). In this case, the Mobile Payment of Sale (mPOS) system from Cashlez will provide benefits for consumers and service providers.

In terms of performance, in the period of October 2019, Cashlez posted a net income of Rp11.73 billion, up 96.07% yoy. This increase was supported by an increase in the volume of transactions processed. Until February 2020, the transaction volume in Cashlez reached Rp1.3 trillion.

Teddy is targeting revenue growth of 120%. STI will also support its contribution as a subsidiary.

Cashlez position in the industry

One of Cashlez's automotive merchant / Cashlez
One of Cashlez’s automotive merchant / Cashlez

As an mPOS player, Cashlez expands its services by accepting payment by card, either an application-based credit card or debit card on a smartphone that can be connected to a card reader via Bluetooth.

In addition, merchants can also accept digital payment methods with QR codes (LinkAja, Ovo, GoPay, ShopeePay, and Kredivo), Cashlez-Link for payments on e-commerce sites, and virtual account payments.

The number of Cashlez merchants is claimed to have doubled from its position per August 2019 of 6 thousand merchants across first-tier cities. Most merchants come from the fashion & accessories, retail, electronics, professional services, automotive and watches & jewelry business segments.

There are many and diverse types of Cashlez players offering each of its advantages. Among them are Qasir, Pawoon, Nuta, Youtao, and the closest one is Moka. From the Moka product range, it is not only a matter of innovation in MPOS, but has touched on other verticals related to the merchant business.

In an earlier interview, Moka Co-Founder and CEO Haryanto Tanjo explained his ambition to become a “super app merchant.” The company targets 100 thousand merchants to join Moka this year, while currently there are more than 30 thousands. Two-thirds who join are culinary businesses, and the rest are retail and services.

Whether you want an IPO or not,  the online cash register adopted SaaS business model with b2b as target customers. Naturally, businesses have clearer economic units, like the roadmap to lead to profitability and a certain monetization scheme by subscribing.

Online cashier application business is actually still in the early stages, aka immature. It’s due to many merchants, especially micro, which have not been well educated about the benefits of digital applications for business development. The percentage of business people who have been reached by the digital world are still far behind those who are offline.

Quoting from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises (Kemenkop UKM), in 2017 as many as 3.79 million micro, small and medium enterprises (MSMEs) have utilized the online platform in marketing their products. This number is around 8 percent of the total SMEs in Indonesia, which is 59.2 million.

Worry not with the current market condition

Amidst the global economic slowdown due to the Covid-19 virus pandemic, Teddy said he was optimistic that Cashlez shares could be well absorbed by the public. According to him, the IPO is a long-term plan that has been prepared long before the outbreak of the virus.

“The impact is only from retail investors. However, from institutional investors, it continues to run,” Teddy said as quoted by Investor.id.

The company has also gathered three large investors to absorb shares. These investors were met when Cashlez held a roadshow, they were individual investors with wide networks and institutions who shared the same vision with the company.

It is well known that the stock exchange regulator together with the FSA have prepared all the steps to suppress the sluggish capital markets. One of them is encouraging institutional investors with large-amount funds to invest, namely BPJS Employment (now BPJAMSOSTEK), the Indonesian Pension Fund Association (ADPI), and the Financial Institution Pension Fund Association (ADPLK).

This momentum was used by the three institutions to buy shares of companies with good fundamentals at a discounted price. BPJAMSOSTEK has prepared an allocation of IDR 8 trillion to buy shares this year. The fund allocation is assuming that they only buy, not sell.

The majority of shares purchased are in the blue chip category which is included in the LQ45 Index and BUMN shares. As of December 2019, BPJAMSOSTEK managed funds of Rp.431.6 trillion. This money was allocated to a fixed income instrument of 71.4%, 19.09% of shares, mutual funds of 9.34%, and the remainder of direct investment (property and investments).

This type of investor has the characteristics of buying shares for long-term needs in order to get optimal profit, so that they are not sold at any time in a short period of time.

The Indonesian Central Securities Depository (KSEI) noted that Indonesia had 2.47 million capital market investors last year, up from the previous year’s 1.61 million investors. Local investors have a composition of 98.97% and the rest are foreign investors. Not much different, retail investors reached 98.89% of the total, while institutional investors amounted to 1.2%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Cashlez IPO

Di Balik Optimisme Cashlez Segerakan Melantai di Pasar Bursa

Cashlez, startup fintech yang bergerak di payment gateway dan mPOS, melangsungkan aksi korporasi untuk tercatat di bursa saham. Sesuai rencana, perusahaan mengincar dana antara Rp90 miliar sampai Rp100 miliar dengan melepas 300 juta lembar saham biasa atau 20,29% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO. Harga penawaran di rentang Rp298-Rp358 per lembar.

Presiden Direktur Cashlez Tee Teddy Setiawan mengatakan, dana yang diperoleh dari IPO akan digunakan untuk akuisisi perusahaan serupa yang bergerak di payment gateway bernama Softorb Technology Indonesia (STI). Lalu sisanya diguanakan untuk modal kerja.

“Sekitar 48,57% akan digunakan untuk mengambil alih 51% saham STI. Sisanya sekitar 51,43% akan digunakan sebagai modal kerja perseroan,” ujarnya.

Teddy menjelaskan, perusahaan tertarik dengan STI karena mereka fokus pada front-end. Sementara, Cashlez fokus di back-end. “Kami perlu front-end yang bisa mem-feed transaksi, salah satunya yang dilakukan oleh STI untuk providing front end yang mereka punya.”

“Jadi secara integral binsis ini berkesinambungan. Dan harus 51% mayoritas, supaya kami bisa lebih sinergi lagi dari segi keuangan bisa dikonsolidasi agar lebih sehat,” lanjut Teddy dikutip dari Kontan.

Perusahaan menunjuk Sinarmas Sekuritas sebagai penjamin pelaksana emisi efek. Ditargetkan Cashlez mengantongi pernyataan efektif dari OJK pada 7 April 2020 dan masa penawaran umum akan dilangsungkan pada sehari kemudian. Pencatatan saham di BEI direncanakan pada tanggal 20 April 2020.

Sumitomo Corporation selaku pemegang saham mengatakan, pihaknya meyakini bahwa sistem pembayaran semakin dibutuhkan di era baru yang akan datang seperti MaaS (Mobility-as-a-Service). Dalam hal ini, sistem mPOS (Mobile Payment of Sale/mesin kasir online) dari Cashlez akan memberikan manfaat bagi para konsumen dan penyedia layanan.

Secara kinerja, pada periode Oktober 2019, Cashlez membukukan pendapatan bersih sebesaar Rp11,73 miliar atau naik 96,07% yoy. Peningkatan ini disokong oleh peningkatan volume transaksi yang diproses. Hingga Februari 2020, volume transak di Cashlez mencapai Rp1,3 triliun.

Teddy menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 120%. STI akan ikut menopang memberikan kontribusinya sebagai anak usaha.

Posisi Cashlez di industri

Salah satu merchant otomotif dari Cashlez / Cashlez
Salah satu merchant otomotif dari Cashlez / Cashlez

Sebagai pemain mPOS, Cashlez memperluas layanannya dengan penerimaan pembayaran dengan kartu, baik kartu kredit atau debit berbasis aplikasi pada smartphone yang dapat dihubungkan dengan card reader melalui bluetooth.

Selain itu, merchant juga dapat menerima metode pembayaran digital dengan kode QR (LinkAja, Ovo, GoPay, ShopeePay, dan Kredivo), Cashlez-Link untuk pembayaran di situs e-commerce, dan pembayaran virtual account.

Jumlah merchant Cashlez diklaim naik dua kali dari posisi per Agustus 2019 sebanyak 6 ribu merchant yang tersebar di berbagai kota besar. Merchant terbanyak berasal dari segmen usaha fesyen & aksesoris, ritel, elektronik, jasa profesional, otomotif, dan jam & perhiasan.

Pemain sejenis Cashlez terhitung ada banyak dan beragam menawarkan masing-masing keunggulannya. Di antaranya Qasir, Pawoon, Nuta, Youtao, dan salah satu yang terdekat adalah Moka. Dari rangkaian produk Moka, tidak hanya sebatas soal inovasi di mPOS, tapi sudah menyentuh ke vertikal lain yang berkaitan dengan bisnis merchant.

Dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo menjelaskan ambisinya untuk menjadi “merchant super app.” Perusahaan menargetkan 100 ribu merchant bergabung ke Moka pada tahun ini, adapun sekarang ada lebih dari 30 ribu i. Dua pertiga yang bergabung adalah bisnis kuliner, dan sisanya ritel dan jasa.

Entah mau IPO ataupun tidak, secara model bisnis yang dianut pemain aplikasi kasir online ini adalah SaaS dengan target konsumen b2b. Secara alamiah, bisnis punya unit economic yang lebih jelas, seperti apa roadmap-nya untuk mengarah pada profitabilitas dan skema monetisasinya pasti dengan berlangganan.

Bisnis aplikasi kasir online sebenarnya masih dalam tahap awal alias belum dewasa. Lantaran, masih banyak merchant, terutama mikro yang belum teredukasi dengan baik manfaat dari aplikasi digital untuk pengembangan bisnisnya. Persentase pebisnis yang sudah tersentuh dengan dunia digital masih kalah jauh dengan mereka yang masih offline.

Mengutip dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), pada 2017 sebanyak 3,79 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah ini berkisar 8 persen dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta.

Tidak khawatir kondisi pasar

Di tengah merebaknya perlambatan ekonomi global karena pandemik virus Covid-19, Teddy mengaku tetap optimis saham Cashlez dapat diserap dengan baik oleh publik. Menurutnya, IPO merupakan rencana jangka panjang yang sudah disiapkan sejak lama sebelum merebaknya virus.

“Dampaknya paling hanya dari investor ritel. Tapi dari investor institusi tetap berjalan,” kata Teddy seperti dikutip dari Investor.id.

Perusahaan juga sudah mengumpulkan tiga investor besar untuk menyerap saham. Investor ini ditemui saat Cashlez melangsungkan roadshow, mereka adalah investor individu dengan jaringan luas dan institusi yang punya kesamaan visi dengan perusahaan.

Sebagaimana diketahui, regulator bursa bersama OJK menyiapkan segala jurus untuk menekan lesunya pasar modal. Salah satunya adalah mendorong investor institusi dengan dana jumbo untuk berinvestasi, yakni BPJS Ketenagakerjaan (kini BPJAMSOSTEK), Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK).

Momentum ini dimanfaatkan ketiga institusi tersebut untuk membeli saham-saham perusahaan yang punya fundamental baik dengan harga ‘diskon.’ Pihak BPJAMSOSTEK menyiapkan alokasi dana Rp8 triliun untuk beli saham sepanjang tahun ini. Alokasi dana ini dengan asumsi hanya melakukan beli, tidak melakukan jual.

Mayoritas saham yang dibeli adalah kategori blue chip yang masuk Index LQ45 dan saham BUMN. Per Desember 2019, BPJAMSOSTEK mengelola dana sebesar Rp431,6 triliun. Uang ini dialokasikan ke instrumen fixed income 71,4%, saham 19,09%, reksa dana 9,34%, dan sisanya investasi langsung (properti dan penyertaan).

Investor jenis ini punya karakteristik membeli saham untuk kebutuhan jangka panjang agar mendapat profit yang optimal, sehingga tidak sewaktu-waktu dijual dalam kurun waktu singkat.

Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat Indonesia memiliki 2,47 juta investor pasar modal sepanjang tahun lalu, naik dari tahun sebelumnya 1,61 juta investor. Investor lokal punya komposisi 98,97% dan sisanya investor asing. Tidak jauh berbeda, investor ritel mencapai 98,89% dari total, sementara investor institusi sebesar 1,2%.

Application Information Will Show Up Here