Tag Archives: Teguh Prasetya

Fiber Optik Facebook Indonesia

Bersama Mitra Lokal, Facebook Bangun Jaringan Fiber Optik di Indonesia

Facebook memperluas program Facebook Connectivity ke Indonesia dengan mengget Alita Praya Mitra, perusahaan penyedia jaringan infrastruktur lokal. Facebook ingin membangun jaringan infrastruktur fiber optik sepanjang 20 ribu kilometer untuk meningkatkan konektivitas buat lebih dari 10 juta masyarakat Indonesia.

Direktur Utama Alita Teguh Prasetya menjelaskan, target pembangunan ini akan diarahkan ke Bali, Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Masuk ke kota tier dua dan tiga karena di sana masih ada pasar yang belum bisa dijangkau oleh perusahaan operator dalam menyediakan layanan broadband.

Alita dan Facebook akan menanamkan investasi untuk ketersediaan dan efisiensi distribusi serat backhaul yang lebih baik. Alita akan sepenuhnya memiliki, membangun, memelihara dan mengoperasikan jaringan fiber green field dan menyediakan kapasitas besar untuk operator jaringan seluler dan penyedia jasa internet. Facebook akan memberikan dukungan untuk proses perencanaan jaringan fiber tersebut.

“Dengan tools dari Facebook, pembangunan jaringan ini menjadi lebih cepat dan lebih efisien. Mereka juga mentransfer teknologinya agar bisa kami gunakan secara gratis,” kata Teguh seperti dikutip dari Liputan6.

Teguh melanjutkan dukungan dari Facebook kepada perusahaan tidak hanya dari sisi materi saja. Namun juga sisi teknologi, termasuk transfer pengetahuan. Dia bilang investasi yang diberikan kepada Alita nominalnya kurang dari $100 juta atau hampir 1,5 triliun Rupiah.

“Ini sebagai long term investasi Facebook Connectivity,” katanya dikutip dari Merdeka.com.

Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari mengatakan kerja sama ini penting karena sekitar 3,5 miliar orang di dunia belum terhubung dan merasakan manfaat internet broadband.

“Kami terus mencari model-model baru, kami terus mencari teknologi baru, mitra bisnis baru, dan tentu mitra-mitra strategis di seluruh dunia untuk bagaimana kita bisa addressing problem tersebut,” terang Ruben.

Dia juga menegaskan peran Facebook Connectivity dalam kerja sama bukan sebagai provider. Perusahaan akan memberi dukungan teknologi seperti analitik dan infrastruktur.

Saat ini pembangunan infrastruktur sudah dimulai untuk tahap pertama sepanjang 3 ribu kilometer di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Pada fase ini nantinya akan menghubungkan 10 juta orang dengan akses internet terbaik.

Adapun Alita kini memiliki akses fiber optik sepanjang lebih dari 3 ribu pembangunan di 40 kota dari enam provinsi, a.l: Denpasar, Bandung, Cilegon, Cirebon, Malang, Manado, Semarang, Serang, Solo, Surabaya dan Tegal.

“Melalui kemitraan ini, kami dapat mendukung 56 kota di 8 provinsi pada akhir 2021. Alita akan terus mengembangkan infrastruktur jaringan akses telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan para penyedia layanan telekomunikasi dan ICT,” imbuh Teguh.

Kancah Facebook Connectivity

Facebook Connectivity adalah program internal dari perusahaan untuk mengatasi soal konektivitas. Dalam perjalanannya, sebelum masuk ke Indonesia, Facebook telah berinvestasi ke berbagai negara, seperti Meksiko, Kolombia, Kongo, Peru dan Brazil; mayoritas masuk ke negara Afrika atau lainnya dengan tingkat ekonomi yang rendah.

Sumber: Facebook Connectivity
Sumber: Facebook Connectivity

Dalam rangkaian program ini, Facebook memiliki berbagai inisiatif. Di antaranya mendirikan Telecom Infrastructure Project (TIP) bersama perusahaan telekomunikasi tersohor seperti Vodafone dan Telefonica. TIP fokus pada pengembangan alternatif teknologi komunikasi yang membuat harga data jauh lebih murah, sehingga lebih banyak orang yang terjun ke dunia online.

Berikutnya ada Terragraph yang lebih diarahkan pada pengembangan solusi konektivitas nirkabel bandwidth tinggi dan murah untuk pusat kota. Malaysia, Puerto Rico, California menjadi contoh negara yang sudah menjajal layanan ini.

Layanan lainnya ada Analytics, Free Basics, High Altitude Connectivity, Internet Exchange Points, Magma, OpenCellular, Rural Access dan Express Wi-Fi. Inti dari seluruh layanan di sini adalah bagaimana orang bisa mengakses internet di manapun lokasi mereka.

Menurut laporan dari 2019 EIU Internet Inclusivity Index, diestimasi ada 3,8 miliar orang di dunia yang belum memiliki koneksi internet yang cepat dan andal. Penelitian ini juga mengungkap dari tahun-tahun sebelumnya, kemajuan teknologi telah berhenti yang menghasilkan kesenjangan digital.

Meskipun layanan internet seluler terus meningkat, masih banyak negara dengan tingkat pendapatan perkapita yang rendah mengalami pertumbuhan yang melambat.

Visi Facebook dalam menghubungkan dunia dengan jaringan internet tentu adalah hal yang mulia. Tapi bisa menjadi perhatian khusus di balik seluruh rencananya ini. Sebab, semakin banyak orang di internet, semakin banyak penambahan pengguna Facebook.

Platform dapat memanfaatkan data-data tersebut untuk membuat algoritma yang jauh lebih canggih, untuk memprediksi bagaimana Anda menanggapi iklan dan bagaimana Anda akan berperilaku.

Facebook bisa memprediksi siapa kandidat yang kemungkinan bakal Anda pilih saat pesta politik. Bahkan saat ini, juga terjadi di Indonesia, akun Facebook bisa menjadi salah satu komponen dalam menentukan skoring kredit saat mengajukan pinjaman. Berapa bunga dan limit yang tepat sesuai dengan jejak online calon nasabah.

Pada akhirnya, pendapatan iklan yang bisa dihimpun Facebook akan semakin tebal. Forbes melaporkan, Facebook mengantongi pendapatan dari iklan sebesar $70 miliar pada tahun lalu. Bila dirata-rata, pendapatan iklan yang dikantongi dari tiap pengguna adalah $7,26 untuk per kuartalnya.

Application Information Will Show Up Here

Literally, Indonesia Is Yet to Welcome the 5G Era

Five years ago, the Indonesian government expected to start implementing the 5G network in 2020. Today, weeks after 2020 started, commercializing is yet to happen. In some countries, such as the United States and South Korea, 5G is now available.

Before we get into commercializing, even the regulation is not ready. What the public aware is, the Ministry of Communication and Informatics (Kominfo) is currently preparing the regulation and its derivatives. 5G technology is projected to run five years later.

One thing that is on progress is the frequency that will be used to implement the 5G network. The 700MHz band as said to be the key spectrum is not yet discharged from analog TV. Meanwhile, the migration of analog TV to digital is to be carried out in 2024.

In terms of timeline, this plan is quite realistic. Reasonably, there is no ecosystem to support the development of 5G technology in Indonesia. In fact, there is still a long journey to get there.

The Minister of Communication and Information, Johnny G. Plate even told us not to rush for 5G technology to be immediately commercialized. “The trial isn’t even finished,” he said as quoted by Detik.

Do we really need 5G?

In more developed countries, such as the US and South Korea, the 5g technology is now available / Unsplash
In more developed countries, such as the US and South Korea, the 5g technology is now available / Unsplash

Five years can be a short period of time in the global dynamic competition and massive technology development. Not mentioning the industrial revolution of 4.0. If we get loose for a minute, there’s a chance we can get far left behind from the neighbor countries.

Moreover, 5G is no longer about how we can stream without buffering or downloading movies faster than a day. This fifth-generation cellular technology can be a game-changer for human life, industry and the country’s economy.

5G guarantees extraordinary speeds – though not yet proven – one of which is to transfer data at 800 Gbps. 5G can also handle thousands of devices and sensors simultaneously. Therefore, it’s not surprising 5G is called the fastest telecommunications protocol.

The people who benefit most from the implementation of 5G are not data and cellular customers, but the industry. Moreover, the manufacturing sector is the main pillar of the country’s economy.

The use of the Internet of Things (IoT), automation, big data to real-time analysis in the manufacturing industry is said to be able to increase productivity and great efficiency. Layers of business processes that used to be done manually will be run with automation.

A T Kearney consulting firm, as quoted by Business Times, predicts the adoption of 5G has a devastating impact on the industrial sector in Southeast Asia of US$ 147 billion in 2025.

A total of US $ 81 billion of the previous number mentioned will be contributed by the trade, transportation and financial industries. Then the value is to increase by another US$ 59 billion if the manufacturing sector utilizes the Internet of Things (IoT).

In reality, Indonesia is yet to call for 5G. First, the circulation of our telecommunications infrastructure is still uneven. Internet penetration alone is not 100 percent. There are thousands of populations still using 2G mobile phones.

Second, supporting ecosystems, such as assemblers company and its equipment, are not ready. When it’s time to generate the domestic industry, we have to think about people who develop it – it is impossible to depend on foreign countries.

Third, we have no examples of appropriate cases or use cases to be implemented. Thus, why bother implementing technology with very expensive switching costs.

Not to mention the literacy and technology adoption issue. What should be a concern – when targeting the industrial sector – is how they perceive the importance of technology implementation in business processes.

The government alone cannot assure the ideal time when the 5G technology can be implemented in Indonesia. The Director-General of Resources and Equipment of Post and Information Technology (SDPPI) Kominfo Ismail revealed that there are many technical issues should be discussed further.

Ismail said the implementation of 5G is not only a matter of frequency availability but also the readiness of the ecosystem and monetization of the 5G infrastructure that was built. “Therefore, we are still focusing on trials with operators now,” he told DailySocial.

The explosion of data consumption

Adoption and Consumption of digital content in Indonesia is increasing / Unsplash
Adoption and Consumption of digital content in Indonesia is increasing / Unsplash

As previously mentioned, 5G is an investment to compete in the global market. We don’t need to re-evaluate when 3G enters the Indonesian market and it takes more than 10 years to encourage its penetration.

Ecosystem development should be the government’s priority as the first step to remaining consistent with its digital economic vision. And the industrial sector can make a contribution to drive digital economic growth, not just startups and corporates.

In addition, the urgency to implement 5G technology is getting inevitable given the increasing consumption of internet data in Indonesia. With a total population exceeds 250 million, a data explosion can occur along with the massive trends in the use of video-based services.

In an era where mobile content is getting very popular, dozens of people are streaming video and music simultaneously. The highly cited increase in data consumption can disrupt the dense spectrum.

The Chairperson of the Indonesian IoT Association Teguh Prasetya agreed on this when highlighting the urgency of implementing 5G. He said, user demand for applications that require high bandwidth, low latency, and high speed will increase in the next three years. It is not limited in a residential area but also in industrial estates and big cities.

Another thing to be highlighted is the readiness of related ecosystem, starting from the providers of devices, networks, applications, and content. It is related to the investment side, both from capital expenditure, operational costs and human resources.

Therefore, Teguh continued, the government needs to consider the growth of domestic supporting ecosystems, starting from technology providers, system integrators, communities and domestic producers who can play a role in the development of 5G in the country.

“As to judge from the three things above, our concentration and priority at the moment are to focus on the distribution of broadband to all levels of society in Indonesia by optimizing the existing 4G technology in addition to other fixed broadband,” he said.

Use case optimization

Meanwhile, MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li discussed the importance of using the right case for the 5G implementation. He emphasized on the use case that is not easily replaced by 4G or its predecessor technology.

As an example, streaming activity. 3G technology was developed to allow streaming activities, while 2G technology can hardly do this.

However, in the context of developing IoT, he said that there are still many developers who embrace the concept of product development that can be substituted with technology.

“They still apply the concept ‘best with 5G but work on 4G or 3G‘. In fact, if they thought about creating technology that only works for 5G, the market penetration will be very slow, “Kenneth told DailySocial.

The above concept is considered possible to slow the growth of 5G technology, particularly with use cases related to IoT. Thus, he emphasized on developing use cases that also applies to the use of the current technology.

“With more and more use case primary, in the future [development of use cases] I think all is good,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

5G di Indonesia

Sesungguhnya Indonesia Belum Menyambut Era 5G

Lima tahun lalu, pemerintah Indonesia pernah menargetkan penerapan jaringan 5G di 2020. Sekarang sudah memasuki 2020, tapi komersialisasi ini belum juga terjadi. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara.

Jangankan komersialisasi, regulasinya pun belum ada. Yang publik tahu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini masih menggodok aturan dan turunannya. 5G diestimasi meluncur lima tahun dari sekarang.

Salah satu yang masih digodok adalah frekuensi yang akan digunakan untuk mengimplementasi jaringan 5G. Pita 700MHz yang digadang menjadi spektrum kunci, belum terbebas dari TV analog. Sementara, migrasi TV analog ke digital baru akan dilaksanakan di 2024.

Secara timeline, rencana ini terdengar cukup realistis. Pasalnya, ekosistem untuk mendukung pengembangan teknologi 5G di Indonesia belum ada. Intinya, masih sangat panjang perjalanan untuk menuju ke sana.

Menkominfo Johnny G. Plate bahkan meminta agar kita tidak usah terburu-buru meminta 5G untuk segera dikomersialisasikan. “Trial-nya saja belum selesai,” begitu katanya sebagaimana dikutip Detik.

Sudah perlukah kita 5G?

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara / Unsplash
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara / Unsplash

Tapi bisa jadi lima tahun bukan waktu yang lama di era persaingan global dan masifnya perkembangan teknologi. Belum lagi bicara revolusi Industri 4.0. Jika kita lengah sedikit, kita akan jauh tertinggal–setidaknya dari negara tetangga.

Lagipula, 5G bukan lagi bicara soal bagaimana kita bisa streaming tanpa buffering atau mengunduh film tanpa perlu ditinggal pulang seharian. Teknologi seluler generasi kelima ini dapat menjadi game changer bagi kehidupan manusia, industri dan perekonomian negara.

5G menjanjikan kecepatan luar biasa–meski belum terbukti–yang salah satunya adalah melakukan transfer data sebesar 800 Gbps. 5G juga dapat menangani ribuan perangkat dan sensor secara bersamaan. Maka tak heran 5G disebut sebagai protokol telekomunikasi tercepat.

Yang paling diuntungkan dengan implementasi 5G bukanlah kita pelanggan data dan seluler, melainkan industri. Lebih lagi, sektor manufaktur sebagai penopang utama ekonomi negara.

Pemanfaatan Internet of Things (IoT), automasi, big data hingga analisis secara real time pada industri manufaktur disebut dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang besar. Berlapis-lapis proses bisnis yang biasanya dilakukan secara manual dapat sepenuhnya dijalankan dengan automasi.

Firma konsultan A T Kearney, seperti dikutip dari Business Times, memprediksi bahwa penerapan 5G membawa dampak dahsyat terhadap sektor industri di Asia tenggara sebesar US$147 miliar pada 2025.

Dari angka tersebut, senilai US$81 miliar bakal disumbang oleh industri perdagangan, transportasi dan keuangan. Kemudian nilai tersebut bakal bertambah lagi US$59 miliar jika sektor manufaktur memanfaatkan Internet of Things (IoT).

Secara realistis, Indonesia memang belum membutuhkan 5G. Pertama, penyebaran infrastruktur telekomunikasi kita masih belum merata. Penetrasi internet saja belum 100 persen. Masih banyak yang sampai sekarang menggunakan ponsel 2G.

Kedua, ekosistem pendukung, seperti pabrik perakit dan perangkatnya, belum siap. Kalau memang ingin membangkitkan industri dalam negeri, kita harus pikirkan siapa yang akan mengembangkannya–tak mungkin bergantung pada luar negeri.

Ketiga, kita belum memiliki contoh kasus atau use case yang tepat untuk diimplementasikan. Jadi buat apa repot implementasi yang biaya switching teknologinya saja sudah mahal.

Belum lagi soal literasi dan adopsi teknologi. Yang patut menjadi concern–kalau memang sasarannya sektor industri–adalah bagaimana mereka memandang pentingnya implementasi teknologi dalam proses bisnis.

Pemerintah bahkan belum dapat memastikan kapan idealnya 5G diterapkan di Indonesia. Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail mengungkapkan ada banyak masalah teknis yang perlu dibahas lebih dalam.

Menurut Ismail, implementasi 5G bukan hanya masalah ketersediaan frekuensi, tetapi juga kesiapan ekosistem dan monetisasi infrastruktur 5G yang dibangun. “Jadi saat ini kita masih fokus pada uji coba bersama para operator,” tuturnya kepada DailySocial.

Ledakan konsumsi data

Adopsi dan konsumsi konten digital di Indonesia terpantau tinggi dan terus meningkat / Unsplash
Adopsi dan konsumsi konten digital di Indonesia terpantau tinggi dan terus meningkat / Unsplash

Sebagaimana disampaikan di awal, 5G merupakan investasi untuk bersaing di pasar global. Kita tidak perlu mengulang ketika 3G masuk Indonesia dan butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk mendorong penetrasinya.

Pembangunan ekosistem sebagai langkah awal layak menjadi prioritas pemerintah jika ingin tetap konsisten dengan visi ekonomi digitalnya. Dan sektor industri dapat dilibatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, tak hanya startup dan korporat saja.

Di sisi lain, urgensi untuk menerapkan 5G semakin tak terelakkan mengingat konsumsi data internet di Indonesia terus meningkat. Dengan populasi mencapai lebih dari 250 juta, ledakan data dapat terjadi sejalan dengan semakin masifnya tren penggunaan layanan berbasis video.

Di era di mana konten bergerak menjadi primadona, ratusan juta orang streaming video dan musik secara bersamaan. Peningkatan konsumsi data yang sangat masih disebut dapat mengganggu pita spektrum yang semakin padat.

Hal ini diamini oleh Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya saat menyoroti urgensi implementasi 5G. Menurutnya, permintaan pengguna terhadap aplikasi yang membutuhkan bandwidth tinggi, latensi rendah dan kecepatan tinggi akan meningkat dalam tiga tahun ke depan. Ini tak hanya di lingkungan perumahan saja, tetapi juga kawasan industri dan kota besar.

Hal lain yang disoroti adalah kesiapan dari ekosistem terkait, mulai dari penyedia perangkat, jaringan, aplikasi, maupun konten. Kesiapan ini berkaitan dari sisi investasi, baik dari belanja modal, biaya operasional dan SDM.

Maka itu, lanjut Teguh, pemerintah perlu mempertimbangkan penumbuhan ekosistem pendukung dalam negeri, mulai dari penyedia teknologi, sistem integrator, komunitas dan produsen dalam negeri yang dapat berperan dalam pengembangan 5G di Tanah Air.

“Menilik dari tiga hal di atas, saat ini tentunya konsentrasi dan prioritas utama kita adalah penyebarluasan broadband hingga semua lapisan masyarakat di Indonesia dengan mengoptimalkan teknologi 4G yang sudah ada di samping juga fixed broadband lainnya,” ungkapnya.

Optimalisasi use case

Sementara itu, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li menyoroti pentingnya use case yang tepat pada implementasi 5G. Ia menekankan penciptaan use case yang tidak mudah digantikan 4G atau teknologi pendahulunya.

Sebagai contoh, aktivitas streaming. Teknologi 3G dikembangkan untuk bisa menjalankan streaming, sedangkan teknologi 2G hampir tidak untuk melakukan hal ini.

Namun, dalam konteks pengembangan IoT, ia menilai masih banyak developer yang menganut konsep pengembangan produk yang teknologinya dapat tersubtitusi.

“Mereka masih menerapkan konsep ‘best with 5G but work over 4G or 3G‘. Karena apabila mereka cuma memikirkan menciptakan teknologi yang dapat digunakan 5G, maka penetrasi pasar akan sangat lambat,” ucap Kenneth kepada DailySocial.

Konsep di atas yang menurutnya dinilai dapat memperlambat pertumbuhan 5G, terutama yang use case-nya berkaitan dengan IoT. Maka itu, ia menekankan untuk mengembangkan use case sesuai dengan kegunaan teknologi pada zamannya.

“Dengan semakin banyak use case primary seperti tadi, ke depannya [pengembangan use case] saya rasa akan baik,” tambahnya.

PP PTSE Kominfo

PP 71/2019 tentang PTSE Sudah Berlaku, Pelaku Industri Pusat Data Lokal Khawatir

Pemerintah sudah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Kalangan pelaku industri lokal menanggapi dingin regulasi baru tersebut. PP 71/2019 ini merupakan hasil revisi dari PP 82/2012 yang sebelumnya berlaku. Peraturan ini sejatinya sudah resmi sejak 10 Oktober lalu.

Namun sebelum melihat pandangan pelaku industri lokal, berikut adalah beberapa poin penting dalam PP 71/2019 dengan perubahan signifikan dari aturan sebelumnya.

  1. PSTE dibagi menjadi dua yakni; publik dan privat.
  2. PSTE terbebas dari tanggung jawab jika dalam keadaan terpaksa atau berasal dari kesalahan pengguna.
  3. PSTE tunduk terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia termasuk soal konten informasi yang tak sesuai ketentuan negara.
  4. Pengakuan hak right to be erased dan right to delisting dari mesin pencari atau platform informasi elektronik lainnya.
  5. PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri.

Dari sekian poin dalam aturan baru tersebut, pasal 21 ayat 1 menjadi sorotan utama bagi pelaku industri lokal. Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto mengatakan, pihaknya mengaku kaget ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika era Menteri Rudiantara meloloskan pasal tersebut.

Alex menilai pasal 21 ayat 1 itu berlawanan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan kedaulatan data. Namun pada kenyataannya, pasal itu justru mengizinkan sektor privat memiliki pusat data di luar negeri.

“Pada prinsipnya kami kecewa karena apa yang kami harapkan dari implementasi janji Presiden Jokowi pada pidato tanggal 16 Agustus 2019 di depan MPR soal pentingnya perlindungan data, kedaulatan data, tapi ternyata hasilnya malah bertentangan,” ujar Alex.

Alex mengaku tak mempersoalkan perusahaan OTT asing. Namun ketika pemerintah justru melonggarkan peraturan pusat data lewat regulasi ini, ia menilai negara bakal kena imbas negatif terutama dari aspek kedaulatan.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” ucap Alex penuh protes.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Industri 4.0 Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Teguh Prasetya. Namun dalam hal ini, Teguh lebih khawatir oleh potensi ekonomi yang hilang dengan berlakunya PP ini.

Investasi pusat data di Indonesia diperkirakan mencapai US$850 juta (sekitar Rp12 triliun) pada 2020 nanti. Teguh bahkan memperkirakan uang yang masuk dari investasi pusat data bisa sampai US$1 miliar (Rp14 triliun). Namun dengan berlakunya PP 71/2019 ini, negara kemungkinan akan kehilangan pendapatan.

“Dengan ada relaksasi ini, artinya penyedia layanan privat tidak harus ada di Indonesia, enggak harus pakai server lokal, dan berarti investasi penyedia data center lokal akan berkurang,” tutur Teguh.

Sejauh ini, pasal 21 ayat 1 menjadi sumber kontroversi dari PP 71/2019 ini. Kendati demikian, perlu diperhatikan juga dalam pasal 21 ayat 3 terdapat klausul yang mewajibkan penyelenggara layanan memberikan akses kepada pemerintah dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.

“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 3.

RP Menkominfo menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas

Menkominfo Tandatangani Rancangan Peraturan Frekuensi untuk IoT

Pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan terhadap penerapan teknologi Internet of Things (IoT) melalui Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang baru saja ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Pelaksana Tugas Kepala Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menyampaikan, RPM ini memiliki urgensi untuk memenuhi ketersediaan spektrum frekuensi radio sebesar 350 MHz, untuk mobile broadband sesuai target Rencana Strategis Kementerian Kominfo tahun 2015-2019, melalui penetapan pita frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan alat atau perangkat telekomunikasi Licensed Assisted Access (LAA).

“Dukungan tersebut berupa penetapan pita frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi Low Power Wide Area (LPWA) Nonseluler,” terang Ferdinandus.

Menurut Ferinandus, latar belakang dibuatnya RPM ini adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 68 ayat (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 9 Tahun 2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.

RPM yang diteken Menkominfo ini menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas yaitu Wireless Local Area Network (WLAN), Peranti Jarak Dekat (Short Range Device), Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler), Licensed Assisted Access (LAA), Dedicated Short Range Communication (DSRC), dan alat-alat yang beroperasi pada pita frekuensi radio yang digunakan berdasar izin kelas yang sejenis sesuai tingkat teknologi dan karakteristiknya.

“Ketentuan penggunaan frekuensi radio berdasarkan izin kelas, yaitu digunakan secara bersama (sharing) pada waktu, wilayah, dan/atau teknologi secara harmonis antar pengguna, dilarang menimbulkan gangguan yang merugikan, tidak mendapatkan proteksi interferensi dari pengguna lain dan wajib mengikuti ketentuan teknis yang ditetapkan,” kata Ferdinandus seperti dikutip Bisnis.

Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya ketika dihubungi DailySocial mengungkapkan, pihaknya menyambut positif regulasi yang disahkan ini. Regulasi yang mengesahkan penggunaan frekuensi untuk IoT ini sejalan dengan program Asosiasi IoT Indonesia untuk terus mendorong pertumbuhan ekosistem IoT di Indonesia.

Teguh mengatakan, “Tentunya kami dari Asosiasi IoT Indonesia, menyambut positif sekali dengan telah disahkannya regulasi penggunaan frekuensi yang dialokasikan untuk pengguna dan penyedia IoT di tanah air.”

“Hal ini sejalan dengan program kami di tahun ini untuk terus mendorong penetrasi pertumbuhan ekosistem IoT di Indonesia mulai dari para makers, penyedia jaringan, penyedia platform, hingga penyedia aplikasi dan solusi IoT untuk semua sektor baik industri, konsumer, kesehatan, pertanian, perikanan, perkotaan, transportasi hingga perbankan,” jelasnya.

Perkembangan Industri Internet of Things di Indonesia Tahun 2017

Internet of Things (IoT) merupakan sebuah teknologi yang mampu mengubah perangkat menjadi sesuatu yang berharga, di antaranya untuk monitoring dan analisis. Di Indonesia, ekosistem IoT masih kalah dengan industri teknologi lainnya semacam e-commerce dan teknologi finansial. Banyak hal yang menghambat pertumbuhan IoT di Indonesia, mulai dari kebijakan mengenai perangkat, datam hingga yang paling penting yakni penggunaan frekuensi. Ekosistem IoT mengharapkan peran aktif banyak pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk regulator, untuk mendukung akselerasi industri IoT di Indonesia.

Dari segi pemanfaatannya, IoT memiliki banyak peluang, baik untuk pengguna umum atau bisnis. Dari rilis yang dikeluarkan Hitachi, adopsi teknologi IoT akan menjadi tren adopsi global di tahun 2018 mendatang. Hitachi memaparkan solusi IoT akan mampu memberikan wawasan yang berharga untuk mendukung transformasi digital dan dengan cepat menjadi keharusan di hampir semua sektor industri.

CTO Hictachi Hubert Yoshida menyampaikan, membangun solusi IoT akan menjadi tantangan besar tanpa mempersiapkan arsitektur dasar yang tepat dan pemahaman yang mendalam tentang bisnis. CTO Hictachi untuk Asia Pasifik Russel Skingsley menambahkan, perusahaan harus mencari platform IoT yang menawarkan fleksibilitas untuk membantu adopsi sistem yang beragam.

Tren dan Permasalahan yang menghambat IoT di Indonesia

Di Indonesia, setidaknya dalam tiga tahun terakhir mulai banyak orang yang mencoba mengembangkan solusi-solusi IoT. Belakangan juga akhirnya dibentuk IoT Forum yang terdiri dari para penggiat IoT, perusahaan, hingga regulator. Forum yang didirikan Teguh Prasetya, Direktur PT Alita Praya Mitra, ini dibangun untuk menjadi wadah mereka yang terlibat dan terkait dengan teknologi maupun ekosistem IoT di Indonesia.

Dari kacamata Teguh, IoT di tahun 2017 ini masih terus bertumbuh dengan dominasi oleh industrial IoT yang disebutnya bertumbuh di luar ekspektasi, sedangkan untuk consumer IoT masih dalam tahap pengenalan dan sosialisasi.

Hal yang tidak jauh berbeda disampaikan Founder Cubecon Tiyo Avianto. Sebagai salah satu pendiri dari startup yang menawarkan solusi IoT, Tiyo mengungkapkan tren IoT saat ini masih didominasi kebutuhan perusahaan atau enterprise. Semua atas nama efisiensi atau meningkatkan kinerja bisnis.

Dipaparkan Tiyo, ada lima fokus fungsi penerapan IoT, yakni tagging (indentifikasi), monitoring, tracking, kontrol, dan analisis. Kelima fungsi tersebut akan tetap ada untuk ke depannya.

“Tren fokus fungsi ini akan tetap ada untuk ke depannya. Semua piranti IoT pasti akan memiliki kemampuan tersebut, ke depan akan ada segmentasi produk dari bisnis IoT, seperti hardware, dan platform. Semua memiliki potensi market yang menarik, dan memiliki tantangan masing-masing,” terang Tiyo.

Tiyo juga sedikit menyinggung mengenai Fin-IoT (Fintech-internet of things). Sesuatu yang menurutnya bisa ramai dalam beberapa tahun mendatang.

Berbicara mengenai tantangan, menurut Teguh, ia menemukan pengembang dan penggunanya masih menjadi tantangan serius. Kemampuan menembus pasar yang lebih luas masih sedikit terhambat. Di sisi lain, Tiyo menyoroti bahwa ekosistem industri di Indonesia masih cukup berat terutama dari segi perangkat keras.

Kurangnya produsen lokal yang memproduksi perangkat keras atau komponen IoT menjadi permasalahan bagi pengembang. Jika mendatangkan perangkat dari luar negeri urusannya adalah dengan pajak sehingga sangat mempengaruhi harga. Dengan sendirinya pengembang solusi IoT tidak bisa mengembangkan solusi yang kompetitif, terutama di sisi harga, melawan perusahaan asing.

“Ekosistem industri di Indonesia masih cukup berat, utamanya di bidang manufacturing hardware. Indonesia tidak punya kemandirian terhadap komponen elektronika, tentunya semua material harus import. Beban pajak masuk membuat harga pokok produksi cenderung tak mampu sekompetitif produk luar. Menghindari perang harga dengan pabrikan luar negeri adalah keputusan penting, mengingat secara cost produksi, kita tak mampu untuk membuat yang lebih murah,” ujarnya.

Regulasi dan fasilitas yang dibutuhkan industri IoT tanah air

Ekosistem dan industri IoT sangat membutuhkan peran aktif dari pemerintah. Frekuensi, sertifikasi, dan penyediaan sarana pengembangan solusi IoT menjadi bagian yang penting. Disebutkan Teguh, peranan pemerintah dalam menunjang pengembangan industri dan ekosistem IoT sangat dibutuhkan, tidak hanya soal regulasi tetapi juga soal penyediaan laboratorium IoT yang dirasa bisa sangat berperan membantu industri IoT Indonesia untuk tumbuh.

“Peranan pemerintah sangat kondusif dengan memperhatikan masukan dari stakeholder IoT, termasuk di dalamnya IoT Forum yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan dengan mulai membuat draft tentang Roadmap Dan Framework IoT kemudian kajian perlunya Sandbox IoT, hingga Lab IoT di Indonesia,” terang Teguh.

Laboratorium IoT tersebut nantinya tidak hanya akan berperan sebagai pusat pengembangan dan inovasi teknologi, tetapi juga tempat bertemunya para pengembang, pemangku kebijakan, dan investor untuk sama-sama membantu solusi IoT yang dikembangkan bisa bermanfaat bagi masyarakat. Sinergi positif itu yang dirasa masih kurang.

Menurut Presiden Direktur ZTE Indonesia, Mei Zhonghua, industri IoT di Indonesia berkembang pesat dalam dua atau tiga tahun belakangan. Kondisi ini membuat industri IoT membutuhkan tempat yang sama untuk berbagi inovasi baru dan kemajuan. Untuk itu Laboratorium IoT menjadi hal penting untuk mendukung akselerasi ekosistem dan industri IoT di Indonesia.

GM Smart System PT Alita Praya Mitra Reza Akbar menambahkan, untuk membuat sesuatu yang belum begitu populer butuh bukti dan hasil. Keduanya bisa dibantu pemerintah melalui pembentukan regulasi dan membantu infrastruktur, termasuk perlunya roadmap dan tujuan yang jelas.

Sementara Tiyo menyoroti bagaimana kewajiban pemerintah melindungi industri dalam negeri. Ia mencontohkan pemerintah bisa berperan dengan membantu memudahkan startup (dalam hal ini IoT) untuk mendapatkan subsidi sertifikasi, kemudahan akses ke balai uji, hingga diterbitkannya sertifikasi produk, sertifikasi penggunaan frekuensi dan lainnya. Disebutkan biaya sertifikasi masih dianggap mahal.

“Belum lagi perubahan teknologi, pergantian chipset, update hardware, mengharuskan produk disertifikasi [dan] diuji ulang. Circle produk IoT tidak bisa terbilang lama, hanya hitungan 2 tahun teknologi baru berganti dan teknologi lama ditinggalkan. Jeda regulasi di setiap produk harusnya tidak memberatkan startup yang fokus di bidang hardware, karena industri di bidang perangkat keras [investasinya] tidak bisa dibilang murah dan memiliki resiko kegagalan yang cukup tinggi,” papar Tiyo.

Bagi Tiyo, IoT adalah ekosistem, sehingga dibutuhkan banyak tantangan yang saling terkait, termasuk juga campur tangan pemerintah. Tren teknologi baru harusnya tidak menjadi penghalang inovasi industri lokal, seperti LPWAN (Low-Power Wide Area Network) dan NB-IoT (NarrowBand IoT) yang di negara-negara lain didukung pemerintah setempat. Hal ini menjadi kendala di tahun-tahun sebelumnya. Harapannya di tahun 2018 IoT bisa menjadi salah satu industri yang diperhatikan lebih baik oleh pemerintah.

Survei IoT Forum: Ada Ekspektasi dan Minat Cukup Tinggi terhadap Laboratorium IoT

Industri Internet of Things (IoT) di Indonesia belum begitu sepopuler industri e-commerce maupun fintech. Namun dalam beberapa tahun belakangan mulai banyak pengembang yang melakukan riset, bergabung dengan komunitas atau pun workshop dan seminar bertajuk IoT. Cukup banyak kebutuhan bagi para pengembang maupun pebisnis IoT di Indonesia, salah satunya adalah adanya laboratorium IoT.

Dari survei yang diadakan IoT Forum, kebanyakan narasumber menginginkan keberadaan adanya laboratorium IoT untuk membantu mengembangkan produk IoT dan mempercepat komersialisasi solusi IoT di Indonesia.

Survei disampaikan Founder IoT Forum Teguh Prasetya dalam rangka mewujudkan upaya menggapai pasar IoT yang diperkirakan akan tumbuh mencapai Rp 444 Triliun di tahun 2022 dan dengan kebutuhan perangkat perangkat atau sensor sebesar 400 juta di tahun 2022. Hasil riset yang melibatkan 112 responden dari berbagai latar belakang seperti pegawai perusahaan, pengusaha, mahasiswa, dosen, peneliti, dan regulator yang bergerak di industri TIK menunjukkan ada ekspektasi dan minat yang cukup tinggi akan peran laboratorium IoT untuk membantu membuka akses ke pasar potensial.

“Mayoritas mereka ingin bergabung dengan Lab IoT untuk belajar dan merasakan pengalaman mengembangkan produk IoT sembari membangun jejaring dengan stakeholders dalam industri ini. Sebanyak 72,3% responden bahkan sudah memiliki ide dan berniat mengembangkan produk mereka sendiri,” terang Teguh.

Laboratorium IoT juga disebut mampu menawarkan ekosistem yang mampu mengumpulkan pengembang, pengguna akhir, dan inovator untuk menjalin kolaborasi atau kerja sama demi menghadapi tantangan nyata menuju pasar komersial.

Teguh menjelaskan regulator bisa membantu dengan memberikan proteksi atau pun insentif, salah satunya dengan menerapkan kebijakan sandbox, khususnya untuk perkembangan IoT yang fleksibel sehingga memberikan ruang bagi para pengembang, mulai dari ide, perencanaan, pengembangan, sampai dengan komersialisasi.

Laboratorium IoT idaman

Hasil survei yang telah dilakukan mencatat mayoritas responden mengharapkan laboratorium IoT yang dimiliki murni oleh swasta atau pemerintah, kemudian prioritas selanjutnya adalah independen dan yang terakhir adalah laboratorium milik institusi pendidikan.

Dari hasil survei terlihat bahwa responden menginginkan laboratorium yang komplit, baik dari segi teknologi maupun dari segi industri. Ada 87,5% yang berpendapat IoT bisa memberikan manfaat khususnya untuk akses terhadap pasar komersial dan kesempatan bekerja sama dengan multi stakeholder. Harapan lainnya juga soal kesempatan mendapat pendanaan hingga kemudahan mengenai legal atau regulasi.

Untuk teknologi, responden terlihat menginginkan laboratorium yang canggih yang mendukung penerapan teknologi mutakhir. Mulai dari lingkup tersedianya platform, jaringan, perangkat dan aplikasi menjadi keinginan para responden. Untuk lokasi laboratorium, mayoritas (77% responden) menginginkan berlokasi di tengah kota dan mudah dijangkau oleh sarana transportasi publik.

spesifikasi IoT forum

Penerapan teknologi mutakhir seperti perangkat pengukuran dan uji coba, NB-IoT (Narrow Band) atau LoRa, AI, Big Data, Cloud, Wearable device dan lainnya juga menjadi harapan bagi 90% responden. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden menginginkan “kemewahan” dari segi teknologi.

Disampaikan Founder DyCodeX Andri Yadi, sebagai maker atau pengembang IoT, laboratorium IoT sebaiknya tidak hanya fokus pada riset dan pengembangan, namun juga bisa membantu produksi dalam volume terbatas.

“Perlu ada fasilitas untuk melakukan produksi dalam jumlah terbatas untuk memproduksi perangkat IoT seperti sensor atau actuators, guna memenuhi kebutuhan piloting atau trial atau Proof of Concept. Hal ini sangat mahal kalau dilakukan di luar negeri,” ujarnya.

Kewajiban TKDN 40% untuk Smartphone 4G Belum Tentu Tekan Harga

Ilustrasi Produk Lokal / Shutterstock

Saat ini pemerintah sedang sibuk menyiapkan aturan soal implementasi 4G berbasis Frequency Division Duplex-Long Term Evolution (FDD-LTE) di frekuensi 1800 MHz. Ya, pada tahun ini seharusnya pelanggan seluler sudah bisa menikmati layanan generasi keempat di frekuensi ideal yang paling dinanti.

Continue reading Kewajiban TKDN 40% untuk Smartphone 4G Belum Tentu Tekan Harga