Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) baru saja menyelesaikan akuisisi terhadap 300 ribu aset pelanggan milik PT MNC Kabel Mediacom (MNC Play). Pihaknya memastikan transisi penyediaan layanan internet MNC Play kepada Indosat, termasuk kontrak berlangganan dan data pelanggan, telah resmi berpindah ke Indosat.
“Dengan pengambilalihan pelanggan MNC Play, Indosat berharap dapat meningkatkan pendapatan dari bisnis Fiber-to-the-Home (FTTH) yang merupakan bagian dari segmen Multimedia, Data Communications, and Internet (MIDI). Per sembilan bulan 2023, segmen ini berkontribusi sekitar ~12.1% dari total pendapatan Indosat,” tulis SVP Head of Corporate Communications Indosat Steve Saerang dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.
Steve mengatakan bisnis FMC menjadi peluang pertumbuhan sektor telekomunikasi di masa depan. Langkah pengambilalihan ini bertujuan memperkuat penetrasi Indosat di lini bisnis FTTH. Apalagi, kombinasi layanan IPTV milik MNC Play akan memperkuat posisi Indosat dalam menawarkan layanan broadband.
Menurut Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo sempat mengungkap bahwa terdapat dua transaksi yang disepakati pada akuisisi ini. Pertama, Indosat Ooredoo mengakuisisi pelanggan MNC Play untuk jaringan berbasis fiber optik. Transaksi kedua adalah akuisisi jaringan Fiber-to-the-Home (FTTH) milik MNC Play oleh Asianet (Lightstorm Group Company). Sementara, pelanggan IPTV masih berada dalam naungan MNC Play.
Indosat akan meningkatkan kapasitas Fiber-to-the-home (FTTH) melalui brand Indosat HiFi. Sementara, Asianet yang mengelola jaringan milik MNC Play, juga otomatis akan memiliki jaringan fiber lebih dari 15.000 kilometer dan lebih dari 1,5 juta home pass di sepuluh kota di Indonesia.
Pihaknya juga mengklaim bahwa akuisisi tersebut menjadikan Indosat sebagai salah satu operator FTTH dengan teknologi netral di Indonesia, dengan menggandeng Asianet sebagai mitra infrastrukturnya.
“Kami memastikan transisi yang mulus dan tetap memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh pelanggan. Tim, mitra bisnis, dan klien kami berjalan beriringan bersama MNC Play dan menawarkan layanan konten video terbaik, baik lokal maupun internasional kepada pelanggan IPTV di Indonesia,” tutur Presiden Direktur MNC Play Ade Tjendra dalam siaran resminya.
Genjot FMC dengan strategi anorganik
Kompetitornya, Telkomsel dan XL Axiata telah lebih dulu melakukan aksi korporasi serupa dengan strategi anorganik demi menggenjot bisnis FMC. Aksi ini menjadi babak selanjutnya untuk mengantisipasi persaingan Fixed-Mobile Convergence (FMC) di Indonesia.
XL Axiata mengakuisisi LinkNet yang tadinya dikuasai oleh taipan Grup Lippo. Layanan broadband berbasis fiber optic milik XL saat ini terdiri dari XL Home dan XL Satu Fiber (FMC). Per November 2023, XL menyebut penetrasi layanan FMC-nya telah menjangkau 69% di Indonesia.
Sementara, Telkomsel melebur dengan IndiHome yang awalnya adalah unit bisnis broadband Telkom. Peleburan ini menghasilkan Telkomsel One sebagai wajah baru layanan FMC. Perlu dicatat, migrasi IndiHome mencakup layanan internet, voice bundling, IPTV, OTT, dan layanan digital.
Seperti diketahui, industri telekomunikasi telah mengalami kondisi saturasi, di mana tingginya penetrasi mobile menyulitkan operator untuk mengakuisisi pengguna baru dan menggenjot ARPU. Jumlah pengguna seluler di Indonesia tercatat telah melampaui angka 340 juta.
Menurut analisis firma konsultan Oliver Wyman, konvergensi antara jaringan mobile dan fixed broadband dapat menjadi cara baru operator untuk mendongkrak ARPU, menekan tingkat churn rate, dan memaksimalkan tingkat retensi pelanggan.
Laporan Mason Research di 2021 mencatat penetrasi fixed broadband di Indonesia baru mencapai 14%, terendah dari negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura (87%), Malaysia (40%), dan Filipina (36%).
Beberapa hari lalu, Telkomsel resmi memperkenalkan Telkomsel One sebagai wajah baru penggabungan layanan mobile broadband dan IndiHome. Peresmian ini menandai langkah awal operator pelat merah ini masuk ke layanan fixed-mobile convergence (FMC).
FMC merupakan perpaduan antara layanan telekomunikasi berbasis mobile dan fixed broadband. Sebelum diresmikan, penyatuan unit bisnis IndiHome ke Telkomsel ditandatangani lewat Perjanjian Pemisahan Bersyarat (Conditional Spin-Off Agreement) pada 6 April 2023.
Per kuartal I 2023, IndiHome tercatat punya 9,5 juta pengguna, naik 7% dari periode sama tahun lalu. IndiHome mengklaim telah menguasai 75,2% pangsa pasar broadband di Indonesia.
Pengalihan ini menandai strategi Telkom Group untuk menata bisnis. Telkom akan fokus pada layanan B2B, sedangkan anak Telkomsel mengelola penuh layanan telekomunikasi untuk B2C. Adapun, integrasi Telkomsel dan IndiHome mencakup pengelolaan layanan fixed broadband, fixed line, IPTV, dan bundling layanan digital lainnya.
Dalam keterangannya waktu itu, Direktur Utama Hendri Mulya Sjam mengungkap bahwa langkah FMC ini dapat memperkuat posisi Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi digital terdepan di tanah air, konvergensi ini dapat mengakselerasi pengalaman masyarakat menikmati layanan digital yang setara.
Strategi akuisisi baru
Industri telekomunikasi dihadapkan pada tantangan untuk mendongkrak pertumbuhan bisnis seiring dengan penetrasi pengguna seluler yang sudah melampaui 100%. Hal ini membuat ruang untuk akuisisi pelanggan baru menjadi sulit.
Laporan Capital IQ, Telkom, dan Kearney di 2021 menyebutkan bahwa industri telekomunikasi berdasarkan pendapatan 30 perusahaan telekomunikasi global teratas di periode 2011-2021 hanya tumbuh rata-rata sebesar 2%.
Kendati pasar seluler sudah jenuh, menurut analisis McKinsey Oxford Economic, ada peluang pendapatan baru yang dapat diciptakan lewat konvergensi layanan telekomunikasi mengingat penetrasi fixed broadband di Indonesia baru 14%.
Perlu diketahui, pelanggan Telkomsel menyusut signifikan hingga 20 juta menjadi 156 juta di 2022, dari posisi tahun sebelumnya yang sebesar 175 juta. Pihaknya menyebut bahwa penyusutan tersebut adalah upaya ‘bersih-bersih’ Telkomsel untuk menyisihkan pelanggan pasif yang tidak berkontribusi terhadap bisnisnya.
Churn rate
Sementara, dalam laporan analisis Oliver Wyman, konvergensi mobile dan fixed broadband diperkirakan bakal menjadi senjata ampuh bagi operator telekomunikasi untuk memaksimalkan retensi pelanggan, meningkatkan ARPU, menurunkan tingkat perpindahan pelanggan ke kompetitor (churn rate), hingga mendapatkan pangsa pasar baru.
Di sisi operasional, konvergensi memungkinkan operator untuk menyatukan seluruh prose berkaitan dengan layanan customer, mulai dari marketing, penjualan, aktivasi, hingga customer care. Demikian juga integrasi di back-end.
Laporan ini menyebut bahwa pengguna layanan konvergensi menunjukkan penurunan tingkat churn rate hingga 50% dibandingkan pengguna yang tidak terkonvergensi. Operator layanan FMC di Prancis tercatat telah mencapai penetrasi mobile tertinggi di atas 60% dengan layanan fixed broaband.
Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) mengumumkan kerja sama dengan perusahaan payment gatewayTara-Indepay untuk permudah transaksi konsumen melalui aplikasi myIM3 dan bima+. Selama ini mekanisme pembayaran dari berbagai metode seringkali jadi isu karena berbagai alasan, salah satunya sulit dan biaya tinggi.
Dari temuan Tara-Indepay, terdapat berbagai masalah yang dialami pelanggan dan pedagang terkait mekanisme pembayaran, antara lain 17% atau 1 dari 6 transaksi dibatalkan karena proses checkout yang panjang dan rumit. Kemudian, 9% karena tidak adanya pilihan metode pembayaran yang dipilih, dan 4% karena kartu kredit ditolak dan banyak di antaranya karena biaya tinggi dan biaya transfer antar bank.
Terintegrasinya solusi gerbang pembayaran di ekosistem IOH dari Tara-Indepay, memungkinkan transaksi yang cepat, aman, dan lancar di seluruh jaringan pembayaran dengan model count capped zero-fee dibandingkan dengan metode pembayaran tradisional.
“IOH berkomitmen menghadirkan pengalaman digital kelas dunia, menghubungkan dan memberdayakan masyarakat Indonesia. Kami sangat senang menyambut eksplorasi kolaborasi dengan Tara-Indepay untuk menghadirkan pengalaman pembayaran global yang simpel kepada 98,2 juta pelanggan kami,” ucap Chief Commercial Officer IOH Ritesh Kumar Singh dalam keterangan resmi, Kamis (24/11).
Mengenai mekanismenya, Tara-Indepay memungkinkan pelanggan IOH untuk memetakan nomor ponsel ke salah satu dari berbagai sumber dana mereka, seperti rekening bank, e-money, kartu debit dan kredit, sebagai Identitas Pembayaran (Pay-ID) ke dalam platform Open Headless API. Dengan demikian, transfer antarakun akan lebih cepat dan aman.
Dari pihak Tara-Indepay telah menunjukkan komitmennya untuk perbanyak integrasi dengan bank-bank besar di seluruh Indonesia ke dalam jaringannya selama setahun mendatang. Rencana berikutnya adalah membuat program loyalitas untuk konsumen.
Sebagai catatan, Headless Commerce adalah arsitektur e-commerce, yang mana front-end dan back-end merchant dipisahkan. Front-end bertindak sebagai kepala (media sosial, aplikasi smartphone, dan situs), sementara back-end bertindak sebagai semua sistem, prosedur, dan alat yang mendukung kelancaran operasi bisnis. Tumpukan teknologi ini dapat membantu merchandising, penyedia, integrasi, penyimpanan data, promosi, dan tugas checkout unutk bisnis.
Co-founder dan CEO Setara Networks Worldwide Rajib Saha menambahkan, pembayaran digital memainkan peran penting dalam mendorong perekonomian suatu negara. Pembeli online dalam jumlah besar untuk membeli produk dan layanan, seringkali harus melalui proses menyulitkan, seperti memasukkan detail pembayaran (CVV, tanggal kadaluwarsa, dan alamat) yang mengarahkan ke pembatalan utama di halaman checkout.
“Dengan platform Tara, kami ingin memecahkan masalah tersebut dengan menawarkan pengalaman transaksi low-cost, yang sangat cepat, mudah, dan aman, yang tidak lebih dari satu detik. Ini akan berdampak pada ekonomi digital di Indonesia secara masif karena akan membantu penjual meningkatkan keuntungan, dan pembeli berbelanja lebih percaya diri dan aman,” kata Saha.
Kedua perusahaan bakal berfokus pada pencapaian solusi pembayaran real-time yang dibangun berdasarkan kebutuhan konsumen, terutama transaksi gratis yang dibatasi hitungan, pembayaran secepat kilat, aman, yang dimungkinkan oleh satu Pay-ID untuk memberikan pengalaman konsumen yang mulus.
“Ini adalah solusi unik yang mengatasi masalah besar dalam pembayaran dan menyatukan pedagang, retailer, dan bank di bawah satu jaringan unutk memberikan pengalaman yang lebih sederhana kepada pelanggan IOH,” tutup Singh.
Solusi Pay-ID ini sudah dirilis Tara-Indepay pada Mei 2022. Perusahaan yang sudah memanfaatkannya adalah Domino’s Pizza. Dari kolaborasi tersebut, pelanggan Domino’s Pizza bisa menikmati fasilitas one-click checkout melalui rekening Bank BRI tanpa perlu beralih ke halaman aplikasi pembayaran atau perbankan lain. Bank BRI merupakan bank pertama yang bekerja sama dengan Tara-Indepay dalam peluncurannya.
Solusi ini akan membantu sektor D2C dan pengusaha dengan menawarkan teknologi menyeluruh, mulai dari digitalisasi instan, social commerce, pemesanan, analitik, CRM, supply chain, pemasaran, promosi, dan lainnya.
Telkomsel memperluas portofolio bisnis layanan digital dengan meluncurkan platform tSurvey.id. Ini adalah platform survei digital yang menawarkan solusi bagi seluruh kebutuhan riset pelanggan, baik dalam lingkup akademik, komersial lintas industri, sosial, maupun keperluan riset lainnya secara luas.
Solusi ini beririsan langsung dengan apa yang ditawarkan oleh JakPat, Populix, dan beberapa platform lainnya. Kapabilitas platform tSurvey ini diperkaya dengan data insight telco, sehingga memiliki beberapa keunggulan, mulai dari jangkauan basis responden yang luas, fitur respondent targeting dengan profil yang akurat, keluaran hasil yang lebih cepat, dan fitur manajemen survei yang user friendly.
Direktur Planning and Transformation Telkomsel Wong Soon Nam menuturkan, peluncuran platform ini merupakan bentuk nyata komitmen perusahaan dalam melanjutkan positioning sebagai digital ecosystem enabler dengan melahirkan inovasi dan teknologi terdepan.
“Juga bagian dari upaya kami untuk membantu dan memfasilitasi berbagai pemangku kepentingan, baik akademisi, profesional, LSM, dan lainnya dalam membuka lebih banyak peluang kemajuan dengan mendorong penguatan kultur pengambilan keputusan berbasis data,” ujar Nam saat konferensi pers virtual, Selasa (24/5).
tSurvey hadir sebagai hasil dari program inkubasi internal Telkomsel InnoXtion (kini Telkomsel TINC Polaris) yang bertujuan mendukung terciptanya data-driven decision-making culture.
Telkomsel sendiri memiliki basis pengguna yang besar mencapai 170 juta orang se-Indonesia. Terdapat pula data internet, suara, SMS yang dapat diutilisasi menjadi insight baru buat perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis, terutama yang sangat mengedepankan aspek konsumer.
Sejak tahun lalu, unit bisnis Data Solution Group Telkomsel melakukan berbagai pengembangan berkelanjutan guna memastikan tSurvey menjadi platform survei digital dengan kapabilitas unggul di pasar industri market research. Kemudian, pada bulan Desember 2021 tSurvey mulai diutilitasi secara komersial dan melayani kebutuhan riset pasar bagi sejumlah perusahaan di lintas industri, seperti ride hailing, e-commerce, dan FMCG.
Salah satu pengguna tSurvey adalah Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) untuk pelaksanaan studi dan penyusunan laporan tahunan bertajuk “2022 Consumer Insight Report” untuk mengetahui perilaku konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai aspek. Dalam proses penyusunannya, tSurvey mampu mengumpulkan 1.500 responden se-Indonesia dalam waktu satu hari. Umumnya, dengan kuantitas tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Pengguna dapat menentukan sendiri respondennya, bisa berdasarkan behaviour, konsumsi penggunaan datanya, dan sebagainya sehingga hasilnya dapat lebih akurat. Juga tidak ada batasan maksimal responden,” tambah VP Data Solutions Telkomsel Mia Melinda.
Kompetitornya di pasar
Kehadiran tSurvey tentunya meramaikan platform survei digital di Indonesia, sebelumnya dihuni oleh Populix dan JakPat. Sejak tahun lalu, Populix memperbarui layanan “Populix for Business” dengan meningkatkan UI/UX guna memudahkan klien memperoleh banyak informasi tentang proyek riset yang mereka lakukan.
Melalui aplikasi baru tersebut, Populix memiliki ambisi untuk menjadi “toko serba ada” bagi bisnis dalam melakukan berbagai penelitian dan mendapatkan wawasan konsumen. Untuk mendukung pengumpulan data, aplikasi Populix kini dapat mengenali tagihan (misalnya dari pembelian di e-commerce) responden dengan teknologi optical character recognition atau pemindaian nota lewat kamera, dinilai akurasinya sampai 93%.
Konsep pengumpulan data melalui nota pembelian ini bukan hal baru, sebelumnya ada startup Pomona yang lakukan hal serupa untuk membantu brand memahami pelanggannya.
Tidak hanya Populix, layanan serupa juga disuguhkan startup asal Yogyakarta bernama Jakpat. Menggunakan aplikasi dan pendekatan gamifikasi, mereka mengajak masyarakat umum menjadi responden sebuah survei yang sesuai dengan kriteria/profilnya.
Telkom Indonesia melalui anak usahanya Telkomsel menyuntikkan modal sebesar Rp292 miliar kepada anak usahanya, PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) atau kini dikenal dengan Indonesia Digital Ecosystem (INDICO). Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Telkom melakukan transaksi afiliasi tersebut dalam rangka memperkuat platform digital yang dimiliki TED.
PGS Direktur Strategic Portofolio Telkom Bogi Witjaksono mengatakan, transaksi ini termasuk transaksi afiliasi mengingat Telkom merupakan perusahaan pengendali Telkomsel dengan kepemilikan sebesar 65%. TED merupakan anak perusahaan yang dikendalikan langsung Telkomsel dengan kepemilikan saham sebesar 99,99%.
“Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan (POJK 42/2020), dengan ini kami sampaikan bahwa pada tanggal 18 Mei 2022 telah dilakukan Transaksi Afiliasi berupa Penyertaan Modal oleh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED),” tulis Bogi.
TED merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultasi manajemen bisnis dan investasi atau penyertaan modal kepada sejumlah perusahaan. Selain itu, bisnis TED juga bergerak di sektor aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berkaitan dengan periklanan.
TED resmi dibentuk pada awal Januari 2022 dan diposisikan sebagai perusahaan holding yang menaungi beberapa anak usaha dari emerging portofolio bisnis vertikal Telkomsel di bidang sektor digital, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh keunggulan ekosistem aset yang dimiliki Telkomsel. Beberapa inovasi digital yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).
Dalam peresmiannya beberapa waktu lalu, CEO TED Andi Kristianto menegaskan INDICO berkomitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.
Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.
Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.
Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.
Pendekatan baru Telkomsel
Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).
Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.
Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).
Andi Kristianto bukanlah sosok baru di industri telekomunikasi. Ia telah dipercaya memimpin berbagai inisiasi dan langkah strategis dalam meningkatkan nilai Telkomsel sebagai penyedia jaringan terbesar melalui produk digital.
Andi merupakan Founder dari program inkubasi dan akselerasi Telkomsel Innovation Center (TINC). Ia juga sempat ditunjuk menakhodai entitas baru Telkomsel di bidang investasi, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) selama dua tahun. Kini ia kembali dipercaya memimpin Telkomsel Ekosistem Digital (TED) melalui brand INDICO. Pendirian entitas INDICO tentu menjadi penanda penting yang menunjukkan komitmen Telkomsel dalam membesarkan bisnis digital, lepas dari cangkangnya.
Sebelum mendirikan INDICO, Telkomsel telah memperkenalkan produk digital Kuncie (edtech) dan Fita (healthtech) pada paruh 2021. Kedua produk ini dikembangkan berbasis dua hipotesis penting, yakni (1) “inside-out” atau potensi melepas (spin off) bisnis untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar dan (2) “outside-in” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel.
Hingga akhir 2021, Telkomsel memiliki tiga portofolio dengan mendirikan perusahaan patungan yang didirikan bersama GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB), yakni Majamojo.
DailySocial berkesempatan berbincang dengan Andi seputar pendirian INDICO dan bisnisnya. Berikut rangkumannya.
Ceritakan alasan pendirian entitas baru dengan brand Indonesia Digital Ecosystem (INDICO)?
Jawab: INDICO punya dua peran; (1) sebagai holding atau horizontal platform dan (2) untuk mengembangkan vertikal bisnis. Di poin kedua, INDICO sudah menaungi Kuncie, Fita, dan Majamojo. Potentially more to come.
Holding pada umumnya adalah bagaimana membuat vertikal bisnis punya competitive advantage. Maksudnya begini, semua orang bisa buat startup. Namun, yang membedakan INDICO adalah leverage aset yang telah dibangun Telkomsel selama 27 tahun di industri telekomunikasi. [Aset] ini punya banyak relevansi dalam mendorong kemajuan inovator dengan metrik berbeda. Misalnya, metrik cost acquisition atau market delivery pada startup.
Masalah engagement itu lebih ke “how”, tapi “why”-nya adalah aset Telkomsel bisa relevan. Semua bisa berinvestasi di startup, tetapi ekosistemnya semakin mature selama lima tahun terakhir. Ada VC, ada inkubator. Sudah ada pakem. Kami yakin akan ada pembeda jika aset Telkomsel bisa relevan dalam mendorong inovator [berinovasi dengan cara] berbeda. INDICO menjadi titik awal untuk bisa engage, bisa ke investor, ekosistem partner, dan startup sendiri.
Dari cara [berinovasi], kami sebetulnya agile. Organisasi kami berkembang, ada saya, Andry Firdiansyah (CFO dan CHRO), dan Luthfi K Arif (CTO), ke depan akan terus bertambah. Saat ini cukup untuk kickstart sambil menyiapkan operasional, culture, dan hal teknis lain. Penting untuk punya culture baru dan fundamental bagus ketika membentuk perusahaan, karena tim founder ini yang akan membawa INDICO lebih maju.
Bagaimana cara INDICO leverage aset ini?
Jawab: Kami punya 170 juta pelanggan dan lebih dari 300 mitra outlet di 514 kota. Ini merupakan [aset] yang luar biasa. Ternyata ada banyak use case yang dapat dieksplorasi dari offline presence ini. Selama ini, sebagai perusahaan telekomunikasi, kita tahu ada aset, tetapi leverage ke bisnis digital belum terbayang. Justru terkadang dapat dari ekosistem inovator.
Mungkin ada inovator bingung mulai dari mana, mungkin biaya akuisisi berat. Bisa saja kita go global, tetapi ada banyak yang dapat dieksplorasi. Di sini kita bisa engage untuk mencari win-win. [INDICO] dapat membuat startup bisa go to market lebih cepat, ada efisiensi cost.
Dari sisi konektivitas, semua orang saat ini butuh, berbeda dengan dulu di mana penetrasi masih rendah. Saat ini, kita tinggal membangun di atas konektivitas, yakni platform untuk enable layanan digital lain.
Industri telekomunikasi selama ini dilihat sebagai vertikal bisnis. Namun, sebagai vertikal bisnis, kita juga harus siap jadi enabler di horizontal. Konektivitas itu akan selalu ada, tapi aset kami tidak cuma konektivitas saja. Aset itu sangat luas, bisa networking atau pemahaman terhadap pasar lokal. Kalau bicara horizontal enablement, banyak yang bisa dieksplorasi. Kita tidak mimpi semua bisa dibangun sendiri, makan cost dan waktu, dan eksplorasi ide juga tidak mungkin dilakukan sendiri.
Use case apa yang sedang dieksplorasi oleh INDICO?
Jawab: Saya melihat [industri] telekomunikasi di skala global sudah mencoba [eksplorasi digital], mungkin karena dulu mereka merasa punya basis pelanggan, lalu bikin sendiri saja [produknya]. Sekarang, tidak hanya telekomunikasi, semua perusahaan besar harus membuka diri ke ekosistem jika ingin berinovasi. Tidak bisa bangun sendiri. R&D terlalu lama, banyak potensi di luar sana.
Telkomsel ada di 514 kota. Kami jadi tahu karakteristik pasar di daerah–banyak unknown yang belum kita ketahui. Pada akhirnya, kita harus buka diri dan gabung ke ekosistem.
Bicara pasar healthtech dan edtech, pasarnya besar di Indonesia. Kami yang masuk di dua vertikal ini melihat ini bukan sesuatu yang baru. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sudah punya portofolio di dua vertikal itu. TMI memang VC, tapi ada bridging ke sinergi.
Mengenai hipotesis inside-out atau outside-in, keduanya kita garap agar inovator manapun bisa engage. Di dalam telkomsel, ada banyak inovator yang paham market dan punya sense of purpose yang kuat. Dunia Games dan Maxstream itu kan dikembangkan dari dalam Telkomsel.Telkomsel juga punya TMI, Telkomsel Innovation Center (TINC), dan The NextDev. Jadi tidak perlu [semua use case] di INDICO, tergantung di mana modelnya cocok.
Saat ini, fokus vertikal kami agnostik. Kami melihat opportunity, juga mengombinasikan antara market dan right-to-play. Ada banyak potensi menarik, tapi ini masih too early to say. Untuk sekarang, saya melihat vertikal di video [streaming atau on-demand], agritech, dan leisure economy menarik. Kalau blockchain, tampaknya masih terlalu early ya.
Apa peran INDICO dalam pengembangan bisnis portofolio?
Jawab: Saat ini, Kuncie, Fita, dan Majamojo sudah punya entitas sendiri. Sudah jadi legal company, bukan business unit lagi. Setiap perusahaan punya CEO dan mereka yang paling paham bisnisnya. Peran kami adalah sebagai holding atau horizontal platform. Awalnya, ada funding [internal], tetapi ke depan harus terbuka. Mereka harus act as a founder.
Nah yang kami lakukan di INDICO adalah create value. Kami sudah tahu tesisnya. Apa opportunity yang dapat diambil? Apa aset Telkomsel yang bisa di-leverage agar mereka bisa create a difference?
Sejauh ini tiga bulan berdiri, kami sudah melihat perkembangan positif, initial indicator-nya menarik. Memang masih too early ya, apalagi inovator harus menjaga persistensinya.
Operator telekomunikasi umumnya mengacu pada metrik ROI dan EBITDA. Bagaimana INDICO dalam menetapkan metrik bisnis pada portofolionya?
Jawab: Sebetulnya, sebuah perusahaan pada akhirnya akan melihat metrik itu seiring berkembangnya bisnis. Contohnya GoTo. Jadi saya tidak ingin mengkotak-kotakan soal ini. Memang kami memisahkan diri supaya lebih agile, tetapi ini karena mereka sedang berada di fase eksplorasi. Jangan sampai perusahaan yang masih eksplorasi dan belum product market-fit, langsung dihadapkan pada metrik-metrik besar.
Yang lebih penting di masa eksplorasi adalah alasan di belakangnya. Contoh, Objective and Key Result (OKR) menjadi sebuah referensi bagaimana membuat kita aspirasional dalam mengejar target. Proses “so what” itu lebih penting. Selain mengembangkan produk dan mencapai target product market-fit, pastikan jalan menuju monetisasinya juga jelas.
Dengan model OKR, kita bisa diskusikan kenapa target tercapai terlalu cepat? Apakah target kerendahan atau kontribusi kami kurang? Pasti ada sesuatu. Yuk kita coba raise the bar supaya kita bisa proud kerjanya. Kalau tidak tercapai kenapa? Apa ada metrik yang mengganjal? Jadi kita sudah punya mentality di sana.
Apakah INDICO terbuka mencari sumber pendanaan eksternal?
Jawab: Secara struktur, Kuncie, Fita, dan Majamojo tetap punya entitas berbeda. Mereka bisa fundraise sendiri dan menurut saya perlu. Ini bukan masalah uangnya, tetapi pendanaan eksternal itu perlu bagi kredensial bisnis. Belum tentu semua investor punya tesis yang cocok dengan korporat yang filled with startups. Justru ini akan membuat perubahan besar, dalam satu tahun bisa sebesar ini [bisnisnya]. Kami punya network lebih luas. Sementara, mungkin [startup] lain butuh waktu 3 tahun atau lebih. Memang perlu timing yang tepat untuk fundraise. Saat ini [Kuncie, Fita, dan Majamojo] belum, belum decide. Tapi, kami sangat terbuka dengan pendanaan eksternal.
Dalam jangka pendek, kami ingin menunjukkan lewat kesuksesan kami bahwa aset Telkomsel dapat relevan bagi startup, dan beneficial juga buat Telkomsel dan INDICO. Ini bisa menjadi bisnis baru, model bisnis ini ada yang mau beli. Dalam jangka panjang, visi kami adalah membuat sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di pedesaan, punya rezeki kota dan bisnisnya mendunia.
Usai era dompet digital, operator telekomunikasi kini mulai merambah layanan pinjaman uang. Kali ini, PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (IDX: ISAT) atau IOH bermitra dengan platform Maucash untuk menghadirkan pinjaman Bima Kredit, khusus bagi pelanggan prabayar dan pascabayar Tri.
Bima Kredit adalah produk pinjaman kolaborasi antara Tri dan Maucash yang hanya bisa diakses di aplikasi Bima+. Sedikit informasi, Maucash adalah platform pinjaman tunai dan paylater yang juga anak usaha PT Astra International Tbk dengan WeLab. Maucash telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai platform fintech lending.
Dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu, Chief Commercial Officer IOH Ritesh Kumar Singh mengatakan Bima Kredit menjadi strategi diversifikasi untuk memperkuat ekosistem produk dan layanan digital lifestyle di aplikasi Bima+. “Layanan ini untuk menjawab kebutuhan finansial pelanggan Tri di masa depan,” ujarnya.
Sementara, Chief of Marketing Maucash Indra Suryawan menambahkan, pihaknya berupaya memberikan akses pinjaman tunai bagi masyarakat di masa pandemi Covid-19. “Kami harap pelanggan Tri dapat melihat Bima Kredit sebagai salah satu solusi finansial mereka,” katanya.
Proses bisnis
Untuk mendapatkan pinjaman Bima Kredit, pengguna Tri harus melakukan pendaftaran di aplikasi Bima+ dengan nomor yang sudah teregistrasi dan tervalidasi. Pengajuan ini tidak memerlukan dokumen fisik. Pengguna dapat memilih nilai dan tenor pinjaman yang diinginkan.
Setelah data dan perjanjian pinjaman telah disetujui, dana yang dikirimkan langsung ke rekening pengguna yang sudah didaftarkan. Adapun, maksimal pinjaman yang difasilitasi Bima Kredit adalah sebesar Rp500 ribu dengan periode pinjaman selama 30 hari dan bunga 0%. Indosat akan menambah limit dan tenor pinjaman yang lebih bervariasi.
Dihubungi DailySocial.id secara terpisah, SVP-Head of Corporate Communication IOH Steve Saerang mengatakan tengah mengkaji kemungkinan untuk bermitra dengan penyedia pinjaman lain. Pihaknya juga menyiapkan beberapa use case produk dan layanan lain yang sesuai dengan profil dan kebutuhan pengguna.
“Selain pinjaman digital, dalam waktu dekat Tri akan menyediakan proteksi kepada pelanggan melalui produk Bima Asuransi, seperti proteksi kendaraan bermotor dan kecelakaan diri,” tambah Steve.
Operator masuk ke pinjaman digital
Lebih lanjut, Steve mengungkap bahwa peleburan Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia tidak memengaruhi brand seluler masing-masing, yakni IM3 Ooredoo dan Tri. Menurutnya, kedua brand ini dapat saling melengkapi satu sama lain dan meningkatkan pengalaman digital pengguna.
Sebagai informasi, Indosat Ooredoo resmi merampungkinan mergerdengan H3I pada awal tahun ini. Dengan peleburan ini, kini IOH memiliki tiga brand selular, yakni IM3, MPWR, Tri. Berdasarkan informasi yang kami himpun, brand communication Tri dan IM3 dikelola oleh tim berbeda. Sementara, corporate brand keduanya sama-sama dikelola di bawah naungan tim Corporate Communication IOH.
Maka itu, perusahaan menghadirkan produk pinjaman dengan mitra yang berbeda. Untuk pengguna Tri, Indosat menggandeng Maucash lewat brand Bima Kredit. Sedangkan untuk pengguna IM3, perusahaan bekerja sama dengan Bank QNB Indonesia melalui brand UCan.
Pengguna IM3 dapat mengakses dua produk utama UCan, yakni Cash Withdrawal atau penarikan uang tunai dan Installment atau pembelian produk paket data Indosat Ooredoo Hutchison. Adapun, UCan kini masuk ke dalam ekosistem layanan myIM3.
Pada layanan sejenis, sebelumnya Telkomsel masuk dengan model bisnis platform fintech agregator Klop sejak tahun lalu. Klop masuk dalam klaster baru OJK sebagai Inovasi Keuangan Digital (IKD). Platform ini memberikan rekomendasi pilihan produk pinjaman dengan mengandalkan kemampuan analisis dari data calon peminjam.
Sebetulnya, pinjaman digital bukan lah produk keuangan pertama yang dieksplorasi operator telekomunikasi agar tetap relevan bagi pengguna di tengah pesatnya perkembangan digital. Hampir satu dekade lalu, seluruh operator masuk ke produk dompet digital, tetapi dihentikan karena tidak berkembang. Hanya T-cash yang masih bertahan hingga di-spin off dan dilebur menjadi LinkAja.
Mengawali tahun baru, Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia mengumumkan telah menyelesaikan penggabungan usaha setelah menerima semua persetujuan hukum dan pemegang saham yang diperlukan. Dengan nama baru, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), akan beroperasi dan tetap menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia dengan ticker ISAT.
Penggabungan dua usaha ini akan menyatukan dua bisnis yang saling melengkapi untuk menciptakan perusahaan telekomunikasi dan internet digital berskala dunia di Indonesia. Perseroan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk bersaing dan memberikan nilai lebih untuk semua stakeholder.
Lebih lanjut, penggabungan usaha ini turut mengubah jajaran direksi perseroan. Vikram Sinha, yang sebelumnya COO Indosat Ooredoo akan memimpin Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) sebagai CEO. Dari Tri Indonesia ada dua yang menjabat di IOH, yakni Muhammad Danny Buldyansyah (Director & Chief Regulatory Officer) dan Nicky Lee Chi Hung (Director & Chief Financial Officer).
Dari jajaran komisaris terdapat Eks Direktur Utama Indosat Ooredoo Ahmad Abdulaziz AA Al Neama dan Eks Direktur Utama Tri Cliff Woo Chiu Man menjadi komisaris bersama Patrick Walujo (Northstar Group). Sementara dari Indosat Ooredoo ada Irsyad Syahroni di posisi yang sama. Eks Menteri Kominfo periode 2014-2019 Rudiantara turut bergabung sebagai Komisaris Independen.
President Director dan CEO Indosat Ooredoo Hutchison yang Ditunjuk Vikram Sinha menyampaikan, perusahaan berada di posisi yang lebih kuat untuk menjadi industri telekomunikasi digital yang paling dipilih di Indonesia serta menjadi pemain penting dalam ekosistem 5G dan transformasi digital bangsa.
“Hari ini menandai dimulainya babak baru yang menarik bagi Indosat Ooredoo Hutchison. Saya merasa terhormat untuk memimpin perusahaan yang bersatu menjadi lebih besar dan lebih kompetitif, dengan didukung oleh pengalaman kelas dunia dan keahlian lokal yang terbukti, dalam upaya untuk menghubungkan dan memberdayakan seluruh masyarakat Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi.
Dia melanjutkan, “Kami akan membangkitkan rasa bangga dari masyarakat Indonesia dengan berkontribusi pada pertumbuhan digital dan ekonomi bangsa seraya mempersiapkan Indosat Ooredoo Hutchison untuk menjadi salah satu perusahaan telekomunikasi paling terpercaya di Asia Tenggara.”
Penggabungan usaha ini tidak berdampak pada pelanggan Indosat Ooredoo Hutchison sebab pelanggan akan terus menerima layanan dan penawaran. Untuk menandai hari pertama setelah merger, perseroan menawarkan bebas menelepon selama sebulan untuk para pelanggan hingga 200 menit sehari.
Mengutip dari Kontan, Director & Chief Strategy & Execution Officer Indosat Ooredoo Hutchison Armand Hermawan mengatakan, merger ini akan memberikan manfaat yang besar bagi seluruh pelanggan. Pasalnya, kekuatan finansial yang dimiliki dapat menjadi amunisi bagi perseroan untuk memberikan layanan yang lebih baik, termasuk meluasnya cakupan dan jaringan.
“Ada peningkatan efisiensi yang didapat karena perusahaan dapat mengalihkan investasi ke daerah-daerah lain, di luar daerah yang sudah padat dengan sinyal kami,” ucap Armand.
Terkait rencana pengembangan 5G, Director & Chief Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison Danny Buldansyah menambahkan, gabungan dua usaha ini akan menghasilkan spektrum yang mencukupi agar pergelaran 5G akan jauh lebih baik.
Pengembangan jaringan 5G
Pengamat industri telekomunikasi Moch S. Hendrowijono menuturkan dengan tambahan modal, perseroan memiliki manfaat strategis dengan skala yang lebih besar dan struktur biaya yang lebih efisien, spektrum frekuensi teragregat dan kapasitas, kecepatan dan layanan yang lebih handal.
Kondisi ini membuat perseroan siap melakukan investasi untuk jaringan 5G yang padat modal, sebab terjadi efisiensi di biaya modal untuk memperluas jangkauan. “Penggabungan infrastruktur memungkinkan mereka melakukan perluasan jangkauan dengan biaya modal lebih murah, memanfaatkan infrastruktur yang direlokasi, serta pengurangan duplikasi dalam penggunaan teknologi,” terangnya dikutip dari Kompas.com.
Tanpa banyak investasi, mereka dapat menambah jumlah BTS yang dioperasikan dengan merelokasi BTS yang ada, menjadi kelebihan dibandingkan operator lain. Saat ini BTS ex-Indosat ada sebanyak 235.885 BTS, sebanyak 70.109 buah merupakan BTS 4G, dan BTS ex-Tri ada di lebih 37.000 desa/kelurahan. Ada 18.000 BTS kedua operator yang berdekatan, sehingga bisa direlokasi untuk meluaskan jaringan yang berpotensi menambah jumlah pelanggan.
Bukan tidak mungkin jumlah pelanggan IOH akan mendekati Telkomsel. Sebab sebagai pemegang lisensi modern, IOH berkewajiban melayani seluruh Indonesia, tidak hanya Jawa dan Sumatera saja.
Gencar layanan digital
Setelah sektor digital ditinggal selama beberapa waktu, Indosat mulai gencar melakukan berbagai inisiatif digital. Beberapa yang sudah diluncurkan adalah IMove dan IMBeats. IMove adalah aplikasi wellness yang menawarkan pendekatan holistik untuk kesehatan yang optimal, dimulai dari gerakan, nutrisi, dan kesehatan emosional.
Sementara IMBeats adalah aplikasi streaming musik dengan pustaka musik lebih dari 50 ribu musik dan video klip yang dapat dinikmati. Selain mendengarkan musik secara streaming, pengguna dapat menggunakan aplikasi untuk membuat playlist lagu, menonton cuplikan video klip, hingga membaca berita dari musisi favorit.
Aplikasi konsumer Indosat, yakni myIM3 kini ditenagai dengan berbagai fitur, mulai dari fintech (UCan bersama Bank QNB Indonesia), keagenan (Kios myIM3), streaming video (Vidio, KlikFilm, trueID), e-commerce (iStyle.id), keyboard virtual (Bobble AI), dan gaming (myIM3 Games Club bersama AMK dan Own Games).
Sementara di Tri Indonesia sendiri, sektor digital menjadi fokus perusahaan mengingat bahwa 95% penggunanya didominasi oleh anak muda. Oleh karenanya, perusahaan memosisikan diri sebagai digital lifestyle provider dengan menyediakan beragam produk, mulai dari kartu perdana hingga isi ulang AlwaysOn dan Happy dengan harga hemat, masa aktif panjang, dan dilengkapi dengan produk unlimited internet mulai dari kuota harian hingga paket bundling berbagai aplikasi favorit pelanggan.
Pelanggan dapat mengikuti loyalty program poin BonsTri, berwirausaha bersama Bima Agent, menemukan potensi dalam bermain game dengan H3RO, dan mendapatkan ragam kemudahan dalam bertransaksi digital melalui aplikasi bima+. Produk H3RO dilengkapi dengan teknologi Tri Primeline, yang memungkinkan para pengguna mendapatkan akses prioritas di jaringan kuat 4.5G Pro, pengalaman bebas nge-lag dengan teknologi low latency. Tidak hanya ragam produk H3RO yang dihadirkan, 3 Indonesia juga menyediakan wadah untuk mengasah potensi gaming anak muda melalui H3RO Esports Tournament.
Investasi ke startup decacorn, konsolidasi antar-operator, hingga akuisisi perusahaan internet, merupakan tiga dari sekian banyak aksi korporasi yang menarik perhatian industri telekomunikasi Indonesia di sepanjang 2021.
Industri telekomunikasi juga menatap optimismenya di 2022 dengan proyeksi pertumbuhan 4% di bisnis konektivitas, 8% di TIK, dan digital sebesar 12%, meski operator sempat kesulitan meraup pendapatan di masa awal pandemi Covid-19.
DailySocial merangkum beberapa aksi korporasi besar di 2021, proyeksi pertumbuhan, hingga insight yang dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang masa depan industri telekomunikasi Indonesia selanjutnya.
Kaleidoskop telekomunikasi 2021
Pertama, Telkomsel menyuntik investasi tambahan ke Gojek senilai $300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun pada Mei 2021. Investasi pertamanya dikucurkan pada November 2020 sebesar $ 150 juta atau Rp2,1 miliar.
Dalam laporan Info Memo Telkom di kuartal III 2021, Telkomsel disebut telah menikmati valuation benefit dari investasi ini. Adapun, Telkom dan Telkomsel akan melanjutkan kemitraan strategis dengan Gojek untuk mendigitalisasi UMKM dan mengakuisisi pengguna baru melalui ekosistem Gojek, mendorong mitra UMKM Gojek menjadi mitra reseller Telkomsel, dan meningkatkan akses outlet Telkomsel melalui layanan GoShop.
Kedua, industri telekomunikasi di Tanah Air mendapat angin segar dari pengumuman merger dan akuisisi (M&A) oleh Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Keduanya sepakat untuk menggabungkan bisnisnya menjadi “Indosat Ooredoo Hutchison” dengan nilai Rp85,6 triliun.
Managing Director of Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo mengungkap bahwa konsolidasi ini dapat membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia dengan proyeksi pendapatan tahunan hingga $3 miliar atau sekitar Rp42,7 triliun. Asumsinya, pendapatan ini diperoleh dari penggabungan jaringan, frekuensi, keuangan, skala bisnis, dan SDM.
Sebelumnya, aksi M&A sudah lebih dulu dilakukan oleh PT Mobile-8 Tbk (FREN) mencaplok PT Smart Telecom dan melebur menjadi Smartfren. Kemudian aksi ini diikuti oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mengakuisisi Axis senilai Rp8,6 triliun.
M&A, Investasi
Nilai/Saham
Keterangan
Telkomsel tambah investasi ke Gojek
Rp4,3 triliun
Suntikan investasi pertama senilai Rp2,1 triliun di 2020
Indosat Ooredoo akuisisi Hutchison 3 Indonesia (Tri)
Rp85,6 triliun
Efektif 4 Januari 2022
XL Axiata akuisisi LinkNet
66,03% saham LinkNet
Tahap negosiasi Perjanjian Jual Beli (PJB)
Aksi korporasi 2021/Sumber: DailySocial, Bisnis Indonesia
Sementara, XL Axiata tengah melakukan negosiasi perjanjian jual beli (PJB) akuisisi saham PT Link Net Tbk (IDX: LINK) sebesar 66,03%. Rencana pengambilalihan saham ini terungkap lewat keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada 25 November 2021.
Mengutip CNN, aksi korporasi ini dilakukan sebagai strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity). Adapun, XL tengah menggenjot pembangunan jaringan serat optik untuk mendorong bisnis jaringan dari segmen B2B.
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerbitkan peta jalan Indonesia Digital 2021-2024, yang mana di antaranya mencakup peningkatan infrastruktur digital, pemberdayaan masyarakat untuk mengembangan digital, dan mendorong Indonesia sebagai produsen teknologi.
Sebagai informasi, pembangunan infrastruktur digital terdiri dari infrastruktur fisik; pembangunan internet di pedesaan, peningkatan kapasitas 4G dab 5G, jaringan serat optik, kabel laut, satelit, BTS, dan ponsel, serta infrastruktur non-fisik; cloud dan aplikasi, untuk mendukung kegiatan ekonomi digital.
Proyeksi telekomunikasi 2022
Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah melihat industri telekomunikasi di dunia, termasuk Indonesia, sudah mulai menunjukkan tren positif dibandingkan ketika pertama kali menghadapi pandemi Covid-19. Ia memproyeksi tren ini terus berlanjut hingga tahun depan.
Dalam paparan “Outlook Industri Telekomunikasi 2022” oleh Indotelko, pertumbuhan pendapatan industri secara keseluruhan diestimasi mencapai 3% (YoY). Apabila dirinci, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.
Proyeksi tersebut telah memperhitungkan tren pergeseran perilaku masyarakat yang mulai terbiasa beraktivitas secara digital, yang mana menurut Ririek sebanyak 90% masyarakat Indonesia diprediksi terus mempertahankan perilaku digital ini apabila pandemi selesai.
“Lini bisnis seluler, SMS dan voice call, diprediksi menurun karena orang semakin jarang menggunakannya. Sementara, layanan mobile data akan terus naik, tetapi unit price akan turun karena tingginya konsumsi,” ungkap Ririek beberapa waktu lalu.
Dengan proyeksi pertumbuhan tersebut, lanjut Ririek, hal ini dapat menjadi tantangan besar bagi operator karena mereka dituntut untuk berinvestasi di jaringan.
Kendati begitu, konsolidasi antara Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia dinilai membawa angin segar bagi industri telekomunikasi di masa depan mengingat jumlah operator semakin menyusut, menyisakan pemain aktif: Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison (branding usai merger), XL Axiata, dan Smartfren. Ditambah lagi, beberapa operator mulai merestrukturisasi portofolio bisnis telekomunikasi demi efisiensi, seperti melepas aset menara dan data center.
Ia juga memproyeksi pembangunan jaringan 5G beserta use case-nya akan terus berlanjut di Indonesia. Demikian juga dengan langkah digitasi dan digitalisasi operator telekomunikasi sejalan dengan upaya mereka mencari sumber pendapatan baru.
Yang perlu diantisipasi
Berdasarkan proyeksi dari lini bisnis digital, peluang operator telekomunikasi untuk mengeksplorasi produk/layanan digital baru masih besar. Operator belajar dari pengalaman dan kegagalan terdahulu ketika mengembangkan layanan digital, seperti uang elektronik dan marketplace. Ditambah, ekosistem digital di Indonesia semakin mapan sejalan dengan meningkatnya adopsi.
Pengamat Telekomunikasi ITB Ian Josef Matheus menilai sampai saat ini operator belum bisa membuat aplikasi yang dapat menyentuh masyarakat, dan punya ekosistem layanan lengkap yang dapat mengakomodasi berbagai keperluan, seperti Gojek dan OVO. Istilahnya, operator belum punya killer app yang relevan bagi basis penggunannya.
“Apabila operator bisa mencari tambahan [pendapatan] dari produk digital ataupun memiliki aplikasi sendiri, tentu hal ini akan membuat kualitas [jaringan] dan efesiensi menjadi besar. Atau misalnya, produk cloud dan konten tidak perlu dikerjakan atau dikembangkan semua oleh operator, tetapi bisa kolaborasi untuk mendorong peningkatan ARPU,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Pendapatan
Telkomsel
Indosat
XL Axiata
9M21
Rp65,14 triliun (+0%)
Rp23,1 triliun (+12%)
Rp19,8 triliun (+0,7%)
9M20
Rp65,13 triliun
Rp20,6 triliun
Rp19,6 triliun
EBITDA
Telkomsel
Indosat
XL Axiata
9M21
Rp39,4 triliun (+1,9%)
Rp10,4 triliun (+22,7%)
Rp9,9 triliun (+0,1%)
9M20
Rp38,4 triliun
Rp8,5 triliun
Rp9,8 triliun
Pelanggan
Telkomsel
Indosat
XL Axiata
9M21
173,5 juta (+1,9%)
62,3 juta (+3,2%)
57,9 juta (+1,9%)
9M20
170,1 juta
60,4 juta
56,8 juta
Sumber: Info Memo Telkom, Indosat Ooredoo, XL Axiata Kuartal III 2021
Terlepas dari pertumbuhan ekosistem digital Indonesia yang semakin mapan, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai tidak semua operator memiliki kebebasan atau kemampuan untuk bisa fokus mengembangkan bisnis digital.
Alasannya, infrastruktur jaringan merupakan bisnis inti operator seluler. Memang tren ke depan tidak lagi mengandalkan bisnis dasar dari infrastruktur, seperti voice call dan SMS, sehingga perlu adanya sumber pendapatan baru. Akan tetapi bisnis digital perlu ditopang oleh infrastruktur yang andal, jadi mau tidak mau operator kembali lagi ke bisnis akarnya.
“Saat ini, jika melihat jumlah base transceiver station (BTS) keseluruhan, jelas Telkomsel lebih unggul dibanding operator lain, dan ditunjang oleh jaringan optik milik Telkom. Sementara, operator yang lain masih terkendala [dalam pembangunan jaringan]. Makanya, tidak masalah [Telkom dan Telkomsel] agresif di bisnis digital,” ungkapnya dihubungi DailySocial.
Di samping eksplorasi bisnis digital, Ridwan juga mengantisipasi dampak dari merger Indosat Ooredoo terhadap Tri terhadap industri. Peleburan Tri akan meningkatkan jumlah frekuensi yang dimiliki Indosat, dan kondisi ini akan memampukan perusahaan untuk meningkatkan kapabilitas jaringan dan layanan.
“Juga, yang paling dinantikan di tahun depan adalah operator harus siap-siap mengeluarkan kocek untuk lelang frekuensi 5G setelah Analog Switch Off dimulai. Mereka perlu menyiapkan aplikasi yang menunjang untuk Industri 4.0.”
5G hingga eksplorasi bisnis digital
Dari kacamata penulis, sesungguhnya saya sempat ragu menantikan gebrakan baru di industri telekomunikasi Indonesia. Apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan bisnis yang sempat stagnan. Operator juga tampak masih kesulitan mencari model yang tepat untuk mengeksplorasi lini digital sebagai sumber pendapatan baru selama beberapa tahun terakhir.
Namun, jika melihat sejumlah aksi korporasi operator di sepanjang 2021 dan ke belakang, saya cukup excited mengantisipasi apa yang akan terjadi di industri ini tahun depan.
Saya menyoroti sejumlah hal penting. Pertama, merger antara Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia otomatis merampingkan jumlah operator di Indonesia, membuat kompetisi antar-pemain semakin sehat tanpa perlu perang harga. Operator dapat fokus memenuhi pembangunan jaringan secara nasional.
Bisa jadi dalam 1-2 tahun ke depan, kita akan kembali mendengar aksi konsolidasi serupa. Skenario paling memungkinkan antara XL Axiata dan Smartfren. Selama satu dekade ini, Smartfren belum pernah mengecap keuntungan. Plus, keduanya santer dikabarkan akan merger. Jika ini direalisasikan, XL dan Smartfren bakal sama-sama mengalami aksi M&A kedua kalinya. Sebelumnya, XL mencaplok Axis, dan Mobile-8 melakukan merger dengan Smart Telecom.
Kedua, harapannya operator mulai mempersiapkan pengembangan use case layanan 5G sejalan dengan upaya pemerintah melakukan Analog Switch Off (ASO) dalam tiga tahap di 2022 untuk mempercepat implementasi 5G di frekuensi emas.
5G memang dikatakan sebagai game changer, tetapi semua itu tidak akan ada artinya tanpa ekosistem layanan dan perangkat, baik itu ponsel maupun perangkat-perangkat lain yang dapat terhubung di masa depan. Toh saat ini 5G belum digelar secara nasional karena keterbatasan spektrum. Masih ada waktu untuk mempersiapkan ekosistem pendukungnya.
Ketiga, saya cukup menantikan eksplorasi model bisnis digital lainnya dari operator telekomunikasi. Sejak dua tahun terakhir, operator telah mencoba melakukan berbagai gebrakan demi meningkatkan nilai tambah layanan dan mencari sumber pendapatan baru.
Salah satu gebrakan ini adalah layanan prabayar digital berbasis aplikasi yang dikeluarkan oleh Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren. Operator seluler menggunakan pendekatan berbeda agar lebih luwes mengakuisisi pengguna baru tanpa embel-embel branding operator.
Pendekatan tanpa branding operator juga dipakai untuk masuk ke bisnis digital non-telekomunikasi. Telkomsel berani masuk ke layanan edtech (Kuncie) dan healthtech (Fita), dua vertikal yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi layanan digital operator di Indonesia. Selama ini, operator telekomunikasi mengembangkan layanan digital yang masih relevan dengan bisnis utama mereka, seperti IoT, big data, dan hiburan (musik, video, games) baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.
Berdasarkan wawancara DailySocial dengan petinggi Kuncie dan Fita, Telkomsel menggunakan pendekatan berbeda pula pada pengelolaan bisnisnya, yakni keleluasaan mengembangkan produk dengan growth mentality ala startup. Jika keduanya memberikan performa baik, Kuncie dan Fita berpotensi di-spin off agar bisa akselerasi lebih cepat. Saat ini, Kuncie mengantongi satu juta unduhan, sedangkan Fita lebih dari 500 ribu unduhan aplikasi di Google Play Store.
Berkaca dari perjalanan produk unggulan digital Telkomsel, Tcash baru bisa mengecap pertumbuhan pemakaian besar ketika di-spin off dan di-rebranding menjadi LinkAja. Sebelum rebranding, Tcash hanya punya 20 juta pengguna. Usai lepas dari Telkomsel, pengguna LinkAja melesat menjadi 70 juta per Juni 2021.
Indosat juga cukup agresif mengembangkan ekosistem layanan digital yang lengkap meski masih memiliki asosiasi kuat dengan branding-nya. Di tahun ini, anak usaha Ooredoo Group ini meluncurkan platform gaya hidup IMove dengan konsep gamifikasi dan platform IM Gaming yang menyediakan berbagai layanan bagi para gamer, mulai dari bermain dan berkompetisi, menonton game, dan membeli item dalam permainan.
Sebagai kesimpulan, pengembangan bisnis digital memang identik dengan investasi besar, dinamika tren, dan akselerasi produk yang cepat. Kriteria ini sulit dipenuhi oleh nature bisnis operator. Namun, dengan perkembangan ekonomi digital dan ekosistem yang makin mapan, operator telekomunikasi kini memiliki peluang dan opsi yang beragam untuk meningkatkan value added dan mencari sumber pendapatan baru.
Telkomsel resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.
Salah satu yang menarik, pada acara peluncuran virtual beberapa waktu lalu, Telkomsel sekaligus memperkenalkan Reynazran Royono sebagai CEO Fita. Pria yang karib disapa Rey ini dikenal sebagai Founder & CEO Snapcart, startup yang menawarkan layanan loyalty.
Dalam wawancara khusus oleh DailySocial.id, Rey mengaku bahwa ia kini telah bekerja sepenuhnya di Fita. “Karena saya founder, tentu saja [nama saya] akan tetap ada di board Snapcart. Namun, [peran saya] hanya key decision-making, tetapi bukan operasional yang mana itu dipegang C-level,” ungkapnya.
Menurut Rey, saat itu Snapcart sempat berencana masuk ke ranah healthtech mengingat vertikal ini mengecap pertumbuhan signifikan di masa Covid-19. Terutama di segmen prevented healthcare yang disebut tumbuh dua kali lipat. Di samping itu, ia melihat supply dan demand di segmen ini belum saling terpenuhi.
Di saat bersamaan, kala itu Telkomsel juga punya rencana serupa untuk masuk ke prevented healthcare melalui Fita, dan Rey mengaku tertarik dengan rencana pengembangannya. Namun, situasi ini dinilai berpotensi menjadi distraksi bagi Snapcart yang ingin masuk ke healthtech. Maka itu, ia memutuskan meninggalkan posisinya sebagai CEO Snapcart.
Gaya startup dan ekosistem
Ada beberapa alasan menarik yang mendorong Rey untuk berlabuh ke Fita. Pertama, Telkomsel memiliki basis pengguna dan ekosistem layanan yang dapat membantunya mengembangkan Fita. Sebagai entrepreneur yang telah malang melintang di ekosistem digital leverage tersebut sangat signifikan mengingat user base adalah salah satu metrik yang sulit di-scale di startup.
Kedua, Telkomsel disebut memberikan independensi yang besar kepada Rey dan timnya untuk mengembangkan Fita. Menurut Rey, Fita berdiri dengan menggunakan pendekatan ala startup. Secara organisasi, tim Fita yang berjumlah 40 orang itu sepenuhnya berasal dari pro hire. Telkomsel hanya menyertakan satu orang di dalamnya untuk membantu pengembangan dan sinergi Fita.
Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan pada Fita untuk mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Hal-hal tersebut dinilai dapat membantunya untuk bereksperimen di Fita, serta leluasa menyalurkan kemampuan dan pengalamannya sebagai entreprenuer.
“Bagi saya, keberhasilan startup didorong oleh tiga hal, yaitu product market-fit, company culture, eksperimentasi dan riset tersendiri, branding, hingga user acquisition. So far, Telkomsel memiliki ketiganya dan tidak ada influence dari sisi korporasi. Agenda ini tidak mungkin di-push dari Telkomsel mengingat mereka tidak punya core di situ [healthtech],” tuturnya.
Rey mengambil contoh pada strategi branding. Menurutnya, branding yang dilakukan Telkomsel bakal menghasilkan emotional selling ketimbang jika dilakukan Fita sendiri yang menurutnya bisa lekat dengan nilai functionality. Inilah salah satu agenda besar yang ingin dicapai Fita.
Rencana jangka panjang Fita
Sejak dikembangkan tahun lalu, Fita disebut telah mencapai product market-fit. Menurut data perusahaan, Fita telah diunduh sebanyak 350 ribu kali di perangkat Android dan iOS. Kemudian, Fita juga menempati peringkat pertama kategori Fitness and Health di Google Play Store Indonesia. Menurut Rey, mengingat 94% pasar Indonesia didominasi perangkat Android, pencapaian ini menjadi signifikan, dan sekaligus membuktikan produknya diterima pasar.
Ia melihat tantangan mengembangkan produk wellness masih besar. Pasalnya, pasar healthtech Indonesia saat ini 70% masih didominasi layanan telemedicine yang akselerasinya meningkat pesat tahun lalu. Pasar wellness mulai memperlihatkan tren pertumbuhan mengingat banyak masyarakat Indonesia kini mulai memperhatikan kesehatan di era Covid-19.
Untuk itu, Rey tengah mendorong awareness Fita agar melekat sebagai produk wellness di Indonesia. Ia juga akan fokus untuk mendorong value proposition produk dan target pasar berdasarkan riset yang telah dilakukannya selama 1,5 tahun terakhir.
Pertama, Fita akan memperkuat lokalisasi konten yang dekat dengan persona orang Indonesia. Konten ini bisa berupa kegiatan olahraga, meal plan, atau community. Selain itu, ia juga akan menggarap sistem reward yang dapat diperoleh dari berbagai konten Fita. Ia berharap konsep reward ini dapat membantu membentuk kebiasaan hidup sehat orang Indonesia.
“Di sini prevented healthcare masih sangat diabaikan. Makanya, kami banyak melakukan partnership untuk menggerakkan wellness di Indonesia. Sembari mencari opportunity untuk monetisasi, kami ingin menciptakan high performance growth startup, tapi tetap sustainable,” ujar Rey.
Terakhir, Fita akan melakukan enhance pada fitur existing untuk meningkatkan pengalaman penggunaan. Ambil contoh, mengetahui jumlah nutrisi dan kalori pada makanan dengan teknologi AI. Contoh lainnya, pemanfaatan AI untuk mengetahui apakah gerakan olahraga yang dilakukan sudah benar.
“Kami menargetkan bisa capai satu juta pengguna dengan menambah sepuluh coach dari posisi 40 coach saat ini. Dalam jangka pendek, kami berharap bisa capture 1%-2% pangsa pasar pada 2-3 tahun ke depan. Kami ingin bereksperimen dulu, jangan sampai langsung monetisasi dengan model berbayar,” tambahnya.
Kesempatan mencari investor
Selama ini, salah satu tantangan operator seluler dalam mengembangkan produk digital adalah mencapai Return of Investment (ROI). Hal ini mengingat industri telekomunikasi merupakan salah satu sektor yang padat investasi sehingga ROI menjadi krusial.
Hal ini turut disoroti pula oleh Rey. Menurutnya, Telkomsel tidak melihat hal tersebut sebagai metrik utama pada pengembangan Fita. Sejak awal Telkomsel telah memberikan komitmen kepada Fita untuk berkembang sebagai startup. “When it comes to metrik yang terukur, kami tidak menggunakan pendapatan, tetapi user base, terutama untuk tiga tahun pertama,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rey juga menyebut ia tidak menutup kemungkinan untuk mencari investor di luar lingkup Telkomsel maupun Telkom Group, atau bahkan lepas menjadi entitas terpisah seperti halnya LinkAja (sebelumnya T-cash).
“Ada fasenya untuk ke sana jika melihat pengalaman Telkomsel terdahulu. Saya rasa ini masuk ke plan Kuncie dan Fita. Namun perlu diketahui bahwa saat ini kami belum bisa bicara soal itu mengingat Fita masih dalam struktur Telkomsel, dan terlepas dari pendekatannya sebagai startup.”