Tag Archives: Telkomsel Mitra Inovasi

Telkomsel Ventures

Telkomsel Ventures Tegaskan Komitmen Investasi di Sektor Agnostik

Wajah baru Telkomsel Ventures dari nama sebelumnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), menjadi babak lanjutan bagi operator seluler pelat merah ini untuk memperluas portofolio investasinya. Pihaknya juga sekaligus mengumumkan penutupan dana kelolaan kedua.

Tidak ada perubahan tesis investasi dengan pergantian nama tersebut. Pihaknya tetap membidik sektor agnostik sembari menjajaki peluang di sektor baru.

“Tujuan utama kami adalah mendistribusikan dana untuk memperkuat strategi pertumbuhan dengan memanfaatkan aset Telkomsel, serta eksplorasi ke area bisnis baru,” ujar CEO Telkomsel Ventures Mia Melinda dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Fokus investasinya harus beririsan dengan bisnis intinya, yakni digital lifestyle, digital enablement, dan emerging tech (early adopter pada teknologi baru). Ketiga fokus ini akan memiliki sektor turunan yang berkaitan dengan internet, AI, UMKM, e-commerce, hingga konten hiburan. “Ini akan kami tinjau kembali dari waktu ke waktu berdasarkan peluang pasar dan relevansi strategis kami.”

Menurut Mia, dana kelolaan kedua masih sepenuhnya bersumber dari induk usahanya, Telkomsel. Adapun, dana kelolaan pertama telah diinvestasikan sebesar $40 juta (sekitar Rp623 miliar) ke 17 startup, termasuk Halodoc (healthtech), Evermos (social commerce), dan PrivyID (e-KYC).

Disinggung soal nilai sinergi yang telah diperoleh, Mia menambahkan, “sudah banyak sinergi yang dihasilkan oleh startup portofolio kami dengan unit bisnis Telkomsel, dan kami akan terus menggali potensi-potensi baru.”

Sekadar informasi, entitas legal Telkomsel Ventures didirikan pada 2019 yang akan bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana investasi dan sinergi induk usahanya. Telkomsel Ventures bermitra dengan MDI Ventures dan Singtel Innov8.

Telkomsel Ventures menjadi kendaraan investasi untuk mengeksplorasi peluang sinergi bagi bisnis telekomunikasinya. Pihaknya tak hanya mengucurkan pendanaan, tetapi juga memanfaatkan sumber daya, dukungan teknis, mentorship, dan kolaborasi dengan Telkomsel atau ekosistem lainnya.

Pergeseran sektor investasi

Lanskap Venture Capital (VC) di Indonesia pada tahun ini ditandai oleh pergeseran fokus investasi ke beberapa sektor, yakni kendaraan listrik, energi, dan agrikultur. Menurut laporan AC Ventures dan Bain & Company, pada periode 2020-2022, VC justru fokus membidik sektor yang mendapat pengaruh positif dari pembatasan sosial saat pandemi, misalnya e-commerce dan layanan fintech.

“Sektor seperti bioteknologi, energi, EV, dan cleantech terus bertumbuh sehingga menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi yang semakin menarik. Minat pasar dan peralihan industri ke arah keberlanjutan dan ekonomi hijau, akan mendorong ekspansi di bidang ini. Demikian juga dengan model yang menggabungkan AI dan teknologi penting lainnya, atau bisnis yang memiliki kekayaan intelektual, punya potensi pertumbuhan besar dan ceruk pasar yang unik,” tutur Partner SV Investment Steve Patuwo dalam laporan tersebut.

Total nilai pendanaan VC yang mengalir ke Indonesia mencapai $3,6 miliar pada 2023 (year-to-date). Pendanaan VC ke Indonesia tumbuh stagnan (YoY), tetapi lebih baik dibandingkan tren investasi global (termasuk AS, Tiongkok, dan India) yang tercatat turun sebesar 20%-40%.

Jajaran founder Evermos: Ghufron Mustaqim, Ilham Taufiq, Iqbal Muslimin, Arip Tirta / Evermos

Evermos Bukukan Pendanaan Rp584 Miliar, Perkuat Kehadiran di Kota Tier-2 dan 3

Setelah mengantongi pendanaan seri B senilai $30 juta tahun 2021 lalu, startup social commerce Evermos kembali merampungkan pendanaan seri C senilai $39 juta atau setara 584 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini dipimpin International Finance Corporation (IFC).

Investor lainnya yang terlibat di antaranya Jungle Ventures, Shunwei Capital, UOB Venture Management, dan Telkomsel Mitra Inovasi. Putaran pendanaan ini juga melibatkan investor mitra baru seperti SWC Global, Endeavour Catalyst, dan Uni-President Asset Holdings.

Selanjutnya Evermos akan menggunakan dana segar untuk memperkuat jaringan reseller dengan memperdalam penetrasi di pulau Jawa dan melakukan ekspansi ke Sumatera, agar bisa mempercepat brand menjangkau lebih banyak lagi kota tier 2 dan tier 3.

Memberdayakan para reseller

Selain mengembangkan jaringan reseller-nya, Evermos akan terus memberdayakan keterampilan pengecer untuk memperluas pelanggan mereka melalui iklan digital. Perusahaan mencatat penjualan 18x lebih tinggi untuk reseller yang memanfaatkan digital tools, dibandingkan dengan yang mengandalkan jaringan pribadi saja. Evermos rencananya juga akan menerapkan teknologi yang didukung oleh AI.

“Kami tetap berpegang pada komitmen kami untuk mendukung brand lokal sejak hari pertama. Dalam proses memecahkan masalah logistik yang dihadapi brand Indonesia akibat tantangan geografis dan ekonomi yang unik di negara ini, kami menyadari brand menghadapi berbagai tantangan selain distribusi. Oleh karena itu, kami akan terus memanfaatkan inovasi untuk menghubungkan brand lokal dan pelanggan di kota-kota tingkat rendah dengan lebih efisien,” kata Co-founder & CEO of Evermos Ghufron Mustaqim.

Ditambahkan olehnya, prestasi ini mencerminkan kepercayaan investor Evermos dalam menjalankan misi dan dedikasi mereka untuk memberdayakan komunitas, dengan memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan dan fleksibel melalui jaringan distribusi terhubung dan layanan commerce Evermos.

Sejak awal berdirinya, mereka telah berkomitmen untuk mengatasi tantangan logistik, dengan tujuan memastikan adanya kesempatan yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa memandang lokasi geografis, tingkat pendapatan, atau gender.

Ini termasuk menjalin hubungan langsung dengan brand lokal untuk mendekatkan mereka dengan konsumen dan menawarkan solusi komprehensif untuk kebutuhan perdagangan khusus setiap brand. Dengan bergabung ke dalam ekosistem Evermos, brand dapat memanfaatkan 500 kota.

Didirikan pada bulan November 2018 oleh Ghufron Mustaqim, Arip Tirta, Iqbal Muslimin, dan Ilham Taufiq, Evermos mengklaim telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Sejak pandemi, bisnis mereka telah menunjukan pertumbuhan GMV sebesar 17x lipat dari tahun keuangan 2020 hingga 2022. Tercatat sebanyak 160 ribu reseller yang melakukan transaksi setiap bulannya per Januari 2023.

Produk yang disediakan kebanyakan adalah komoditas busana muslim, produk kesehatan/kecantikan halal, makanan dan minuman, dan lain-lain — sebagian besar mengutamakan produk bernuansa halal. Namun Ghufron menegaskan, tersedia juga kategori fesyen, home & living, herbal & health. Menjadikan produk mereka inklusif untuk semua.

“Investasi kami di Evermos tidak hanya akan mendorong kemakmuran bersama, inklusi keuangan dan digital, tetapi juga akan memberikan kontribusi signifikan dalam memajukan ekonomi digital yang terus berkembang pesat di Indonesia,” kata Country Manajer IFC untuk Indonesia dan Timor-Leste, Randall Riopelle.

Application Information Will Show Up Here
VC Telkomsel Pimpin Pendanaan Pra-Seri B untuk Startup Agritech “EdenFarm” / EdenFarm

CVC Telkomsel Pimpin Pendanaan Pra-Seri B untuk Startup Agritech “EdenFarm”

Startup agritech EdenFarm mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri B sebesar $13,5 juta (lebih dari 202,9 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), CVC Telkomsel, didukung dengan investor lainnya, seperti AppWorks, AC Ventures, Decart Ventures, Fubon Capital, Trihill Capital, OCBC NISP Ventura, Nakhla, dan Capria Ventures.

Bila ditotal, jumlah investasi yang diraih EdenFarm mencapai $34,5 juta sejak pertama kali berdiri di 2017. Rencananya dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk memperkuat penetrasi dalam menjaring lebih banyak mitra petani di Indonesia. Serta, meningkatkan pengalaman pelanggan dalam menghadirkan solusi berbasis teknologi yang dapat mengatasi permasalahan efisiensi pada distribusi guna mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.

CEO TMI Mia Melinda menyampaikan, pihaknya percaya dengan pentingnya penggunaan “tech for good” dengan tujuan dan dedikasi untuk mendukung pemberdayaan entrepreneur maupun UKM yang dapat berdampak positif bagi ekonomi Indonesia. Menurutnya, jaringan B2B food supply chain milik EdenFarm yang kuat dari hulu ke hilir telah berhasil mendorong pemberdayaan petani lokal untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, sekaligus memberikan dampak positif di pedesaan.

“Oleh karena itu, kami sangat bersemangat untuk mendukung ekosistem pangan EdenFarm melalui pendanaan dan kolaborasi jangka panjang dengan Telkomsel Digital Food Ecosystem (DFE) yang merupakan salah satu inisiatif Telkomsel untuk mendukung digitalisasi sektor pertanian, serta kerja sama strategis lainnya guna memperkuat platform EdenFarm untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia [..],” ucapnya dalam keterangan resmi, kemarin (30/1).

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, EdenFarm beroperasi dengan hampir 0% limbah dari proses distribusi, memberikan dampak yang kuat dan bermakna bagi petani Indonesia, selaras dengan filosofi investasi di ACV yang berfokus pada ESG.

“EdenFarm mampu merevolusi rantai distribusi pangan B2B dengan mengatasi beberapa tantangan paling mendesak, baik yang dihadapi oleh produsen maupun penjual. Kami di AC Ventures yakin dengan bisnis EdenFarm dan bersemangat untuk berpartisipasi dalam putaran pendanaan terbarunya [..],” terang Adrian.

Target EdenFarm

Founder dan CEO EdenFarm David Setyadi Gunawan turut menyampaikan, kemitraan dengan Telkomsel diharapkan dapat memperkuat kapabilitas teknologi pertanian di EdenFarm sebagai solusi tepat guna bagi para petani lokal. Solusinya disebutkan telah melayani setiap aspek di industri agrikultur, mulai dari pertanian hingga distribusi, untuk membantu petani menciptakan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan.

“Pendanaan terbaru ini akan memungkinkan kami untuk mengembangkan kehadiran sekaligus memperkuat posisi EdenFarm sebagai pemain teknologi terbesar di sektor pertanian dan jasa pangan. Kami yakin kemitraan dengan Telkomsel ini akan memberikan manfaat yang signifikan bagi platform kami,” terang David.

EdenFarm merupakan startup agrikultur yang berfokus membangun ekosistem distribusi pangan (food supply chain ecosystem) nasional untuk lebih menguntungkan bagi para petani dan seluruh pemangku kepentingan di sektor pertanian secara berkelanjutan.

Diklaim, EdenFarm tumbuh hampir 60 kali lipat dalam 40 bulan terakhir. Pencapaian tersebut memperkuat fondasi perusahaan berada di jalur profitabilitas, di tengah pemain sejenis di industri yang justru mengalami kerugian. “Kami bertujuan untuk meningkatkan laba dalam 12 bulan ke depan, seiring dengan pertumbuhan 3,5-4 kali lipat secara YoY. Dari situ, kami akan fokus dalam berekspansi ke pasar yang baru,” pungkas David.

Application Information Will Show Up Here
Privy rampungkan penandatanganan perjanjian definitif bersama perusahaan investasi global KKR untuk putaran pendanaan Seri C senilai $48 juta

Privy Kantongi Pendanaan Seri C Sebesar 744 Miliar Rupiah Dipimpin KKR

Startup penyedia layanan tanda tangan digital dan identitas digital Privy mengumumkan pendanaan seri C senilai $48 juta atau sekitar 744 miliar Rupiah yang dipimpin perusahaan investasi global KKR. Putaran ini diikuti oleh investor terdahulu, yakni MDI Ventures, GGV Capital, dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), serta investor baru Singtel Innov8.

Sebelumnya, GGV Capital memimpin putaran seri B di Privy dengan nilai $17,5 juta pada Oktober 2021.

Privy akan menggunakan dana segar untuk memperkuat posisinya sebagai penyedia tanda tangan digital dan identitas digital di Indonesia, mempercepat transformasi digital, serta mendukung pengembangan produk konsumen agar masyarakat dan pelaku bisnis dapat mengakses layanan lebih luas secara aman. Selain itu, perusahaan juga berencana ekspansi ke luar negeri untuk mempercepat pertumbuhan dengan dukungan jaringan investornya.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Privy Marshall Pribadi mengatakan pihaknya senang menyambut KKR sebagai salah satu investor baru di Privy. Dukungan KKR dan investor sebelumnya merupakan bukti kemajuan yang telah dibuat selama ini dan keyakinan pada visi jangka panjang Privy untuk membangun kepercayaan dan mendorong potensi transformasi digital di Indonesia.

“Dengan dukungan dan pengalaman global KKR, dikombinasikan dengan dukungan investor MDI Ventures, GGV Capital, dan TMI yang telah memainkan peran penting dalam membantu kami mencapai kesuksesan kami sejauh ini, Privy berada di posisi tepat untuk berinovasi lebih jauh dengan penawaran dan kemampuan lebih kuat, serta membangun fondasi yang kuat untuk ekspansi ke luar negeri,” ucap Marshall.

Sementara, Partner dan Head of Growth Equity Asia Pacific KKR Mukul Chawla mengatakan, “Privy telah memantapkan dirinya sebagai pelopor dalam ruang kepercayaan digital Indonesia dengan ambisi yang kuat. Kami sangat antusias dengan potensi pertumbuhan Privy dan peluang untuk memajukan transformasi digital dan kemakmuran Indonesia.”

Growth Technology Lead KKR di Asia Tenggara Louis Casey menambahkan, “Privy telah membangun platform terdepan di industri yang menggabungkan fitur-fitur utama, desain yang ramah pengguna, serta infrastruktur yang aman dan kuat. Kami ingin memanfaatkan jaringan global dan keahlian operasional KKR untuk membawa Privy ke tingkat pertumbuhan berikutnya dan memperluas kepemimpinannya dalam kepercayaan digital bagi individu dan perusahaan di Indonesia dan sekitarnya.”

Investasi di Privy merupakan bagian dari strategi KKR “Asia Next Generation Technology”. Privy menjadi portofolio investasi terbaru KKR pada kategori software di Asia Tenggara, menambah deretan portofolio di kawasan ini setelah platform e-commerce B2B asal Filipina GrowSari dan platform untuk merchant UKM asal Vietnam KiotViet.

Di kawasan Asia Pasifik, KKR juga menambah portofolionya, termasuk Education Perfect (Selandia Baru), dataX (Jepang), NetStars (Jepang), dan Livspace (India dan Singapura).

Mempercepat transformasi digital

Marshall melanjutkan, investasi terbaru ini dilandasi atas komitmen kuat pemerintah Indonesia untuk mempercepat transformasi digital pada empat sektor strategis, yakni infrastruktur digital, tata kelola digital, ekonomi digital, dan kewarganegaraan digital yang berkontribusi pada pengembangan komunitas digital di Asia Tenggara.

Adapun, ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $146 miliar pada 2025, dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan nilai lebih dari $300 miliar pada 2030.

Menurut laporan Statista, pasar solusi identitas digital secara global diproyeksikan tumbuh dari $23,3 miliar pada 2020 menjadi $49,5 miliar pada 2026. Pertumbuhan pasar yang sangat cepat ini didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan peraturan pemerintah baru.

Didirikan pada 2016, Privy menawarkan berbagai layanan termasuk identitas digital, tanda tangan digital, verifikasi digital, dan produk dan layanan manajemen dokumen di berbagai sektor termasuk layanan keuangan, kesehatan, dan pendidikan.

Dalam perkembangannya di 2018, Privy menjadi lembaga non-pemerintah pertama yang mendapatkan lisensi sebagai Otoritas Sertifikat (CA) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Setahun kemudian, menjadi penyedia layanan e-KYC pertama yang terdaftar di OJK.

Diklaim, saat ini Privy adalah pemimpin pasar dengan lebih dari 30 juta pengguna terverifikasi dan 1.800 konsumen perusahaan pada produk tanda tangan digital, verifikasi digital, dan langganannya, serta memproses lebih dari 40 juta tanda tangan digital per tahun.

Selain Privy, saat ini juga muncul startup dengan layanan serupa, misalnya TekenAja, Verihub, dan Vida.

Telkomsel T-Connext

Telkomsel Memperkenalkan Program “T-Connext” untuk Memaksimalkan Pertumbuhan Ekosistem Digital

PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) memperkenalkan program T-Connext untuk menghubungkan ekosistem digital dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait. Program ini merupakan inisiatif perusahaan untuk memberikan exposure lebih besar bagi produk digital dan portofolio inovasinya ke venture capital (VC), inovator, hingga korporasi.

T-Connext terdiri dari serangkaian aktivitas yang menghubungkan partisipan VIP dari ekosistem Telkomsel dengan VC untuk memicu potensi kolaborasi atau pendanaan. Di sesi lanjutan juga diharapkan bisa mengekspos produk dan portofolio Telkomsel melalui kegiatan business matching, founder meet-up, dan workshop.

“Program T-Connext melengkapi ekosistem digital yang dimiliki Telkomsel sebagai digital-telco (digico) company. Kami harap program T-Connext dapat menjadi program berkelanjutan ke depannya,” ungkap VP Business Development dan Innovation Telkomsel Jockie Heruseon dalam sesi media update, Rabu (21/9).

T-Connext melengkapi inisiatif pengembangan inovasi digital yang selama telah dibangun Telkomsel. Sebagai informasi, kendaraan inovasi Telkomsel terdiri dari Telkomsel Innovation Center (TINC), TheNextDev, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), Telkomsel Ekosistem Digital (INDICO) yang memiliki objektif berbeda-beda.

Adapun, TMI dan INDICO berdiri sebagai entitas terpisah di luar Telkomsel. TMI didirikan pada 2019, sedangkan INDICO sendiri baru diresmikan pada awal tahun ini. Jockie menyebut TINC menaungi sebanyak 36 portofolio TINC, TMI memiliki 17 portofolio, dan INDICO menaungi 3 portofolio startup.

Di samping itu, Jockie menjelaskan bahwa industri telekomunikasi memiliki peran sebagai penyedia infrastruktur jaringan dan menjadi enabler bagi keberlangsungan bisnis digital. Padahal, ada banyak aset yang dapat dimanfaatkan Telkomsel untuk mengakselerasi pertumbuhan digital di luar core business-nya sebagai penyedia jaringan telekomunikasi.

Ia juga menyoroti bagaimana program ini dapat membantu pelaku startup dan stakeholder terkait dalam memberikan market access; salah satu elemen penting yang banyak dicari. Akses terhadap pasar dapat membantu pelaku startup untuk menurunkan biaya akuisisi dan menekan tingkat burn-rate.

“Dengan semua yang telah dibangun, kami masih merasa kurang untuk mengoptimalkan aset-aset yang dimiliki Telkomsel. Maka itu, T-Connext dapat memberikan exposure lebih terhadap produk dan portofolio inovasi kami ke ekosistem eksternal. Mereka butuh bridging ke para VC,” tuturnya.

Ritel hingga enterprise

Kepada DailySocial.id, Jockie menambahkan bahwa acara post-event yang dilaksanakan nanti akan mengikutsertakan, tidak hanya portofolio startup, tetapi juga unit bisnis Telkomsel yang melayani segmen pelanggan ritel dan enterprise lintas sektor, seperti Maxstream dan DigiAds. Artinya, portofolio dan unit bisnis yang berpartisipasi sudah memiliki produk digital, bukan hanya sekadar ide saja.

Sejumlah startup dan portofolio Telkomsel yang mengikuti program T-Connext meliputi Feedloop, Klik Daily, Bizhare, Kecilin, Shinta VR, sekolah.mu, Kuncie, Telkomsel DigiAds, LinkAja, dan tSurvey.id.

Kemudian, investor maupun VC yang turut berpartisipasi terdiri dari TMI, Singtel Innov8, MDI Ventures, AC Ventures, Alpha JWC, East Ventures, Finch Capital, Indigo Capital, Indogen Capital, Insignia Ventures, Intudo Ventures, Kejora Capital, Vertex Ventures, Venturra Discovery.

“T-Connext lahir dari kegalauan kami di era pandemi karena semua menjadi disconnected, dan saat ini menjadi momentum tepat untuk reconnect. Kami ingin menunjukkan bahwa Telkomsel adalah perusahaan yang enak untuk diajak untuk bekerja sama.” Tutupnya.

Usai memimpin Telkomsel Mitra Inovasi, kini Andi Kristianto didapuk menakhodai INDICO / Telkomsel

Andi Kristianto: INDICO Manfaatkan Aset Telkomsel untuk Membesarkan Bisnis Digital

Andi Kristianto bukanlah sosok baru di industri telekomunikasi. Ia telah dipercaya memimpin berbagai inisiasi dan langkah strategis dalam meningkatkan nilai Telkomsel sebagai penyedia jaringan terbesar melalui produk digital.

Andi merupakan Founder dari program inkubasi dan akselerasi Telkomsel Innovation Center (TINC). Ia juga sempat ditunjuk menakhodai entitas baru Telkomsel di bidang investasi, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) selama dua tahun. Kini ia kembali dipercaya memimpin Telkomsel Ekosistem Digital (TED) melalui brand INDICO. Pendirian entitas INDICO tentu menjadi penanda penting yang menunjukkan komitmen Telkomsel dalam membesarkan bisnis digital, lepas dari cangkangnya.

Sebelum mendirikan INDICO, Telkomsel telah memperkenalkan produk digital Kuncie (edtech) dan Fita (healthtech) pada paruh 2021. Kedua produk ini dikembangkan berbasis dua hipotesis penting, yakni (1) “inside-out” atau potensi melepas (spin off) bisnis untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar dan (2) “outside-in” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel.

Hingga akhir 2021, Telkomsel memiliki tiga portofolio dengan mendirikan perusahaan patungan yang didirikan bersama GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB), yakni Majamojo.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Andi seputar pendirian INDICO dan bisnisnya. Berikut rangkumannya.

Ceritakan alasan pendirian entitas baru dengan brand Indonesia Digital Ecosystem (INDICO)?

Jawab: INDICO punya dua peran; (1) sebagai holding atau horizontal platform dan (2) untuk mengembangkan vertikal bisnis. Di poin kedua, INDICO sudah menaungi Kuncie, Fita, dan Majamojo. Potentially more to come.

Holding pada umumnya adalah bagaimana membuat vertikal bisnis punya competitive advantage. Maksudnya begini, semua orang bisa buat startup. Namun, yang membedakan INDICO adalah leverage aset yang telah dibangun Telkomsel selama 27 tahun di industri telekomunikasi. [Aset] ini punya banyak relevansi dalam mendorong kemajuan inovator dengan metrik berbeda. Misalnya, metrik cost acquisition atau market delivery pada startup.

Masalah engagement itu lebih ke “how”, tapi “why”-nya adalah aset Telkomsel bisa relevan. Semua bisa berinvestasi di startup, tetapi ekosistemnya semakin mature selama lima tahun terakhir. Ada VC, ada inkubator. Sudah ada pakem. Kami yakin akan ada pembeda jika aset Telkomsel bisa relevan dalam mendorong inovator [berinovasi dengan cara] berbeda. INDICO menjadi titik awal untuk bisa engage, bisa ke investor, ekosistem partner, dan startup sendiri.

Dari cara [berinovasi], kami sebetulnya agile. Organisasi kami berkembang, ada saya, Andry Firdiansyah (CFO dan CHRO), dan Luthfi K Arif (CTO), ke depan akan terus bertambah. Saat ini cukup untuk kickstart sambil menyiapkan operasional, culture, dan hal teknis lain. Penting untuk punya culture baru dan fundamental bagus ketika membentuk perusahaan, karena tim founder ini yang akan membawa INDICO lebih maju.

Bagaimana cara INDICO leverage aset ini?

Jawab: Kami punya 170 juta pelanggan dan lebih dari 300 mitra outlet di 514 kota. Ini merupakan [aset] yang luar biasa. Ternyata ada banyak use case yang dapat dieksplorasi dari offline presence ini. Selama ini, sebagai perusahaan telekomunikasi, kita tahu ada aset, tetapi leverage ke bisnis digital belum terbayang. Justru terkadang dapat dari ekosistem inovator.

Mungkin ada inovator bingung mulai dari mana, mungkin biaya akuisisi berat. Bisa saja kita go global, tetapi ada banyak yang dapat dieksplorasi. Di sini kita bisa engage untuk mencari win-win. [INDICO] dapat membuat startup bisa go to market lebih cepat, ada efisiensi cost.

Dari sisi konektivitas, semua orang saat ini butuh, berbeda dengan dulu di mana penetrasi masih rendah. Saat ini, kita tinggal membangun di atas konektivitas, yakni platform untuk enable layanan digital lain.

Industri telekomunikasi selama ini dilihat sebagai vertikal bisnis. Namun, sebagai vertikal bisnis, kita juga harus siap jadi enabler di horizontal. Konektivitas itu akan selalu ada, tapi aset kami tidak cuma konektivitas saja. Aset itu sangat luas, bisa networking atau pemahaman terhadap pasar lokal. Kalau bicara horizontal enablement, banyak yang bisa dieksplorasi. Kita tidak mimpi semua bisa dibangun sendiri, makan cost dan waktu, dan eksplorasi ide juga tidak mungkin dilakukan sendiri.

Use case apa yang sedang dieksplorasi oleh INDICO?

Jawab: Saya melihat [industri] telekomunikasi di skala global sudah mencoba [eksplorasi digital], mungkin karena dulu mereka merasa punya basis pelanggan, lalu bikin sendiri saja [produknya]. Sekarang, tidak hanya telekomunikasi, semua perusahaan besar harus membuka diri ke ekosistem jika ingin berinovasi. Tidak bisa bangun sendiri. R&D terlalu lama, banyak potensi di luar sana.

Telkomsel ada di 514 kota. Kami jadi tahu karakteristik pasar di daerah–banyak unknown yang belum kita ketahui. Pada akhirnya, kita harus buka diri dan gabung ke ekosistem.

Bicara pasar healthtech dan edtech, pasarnya besar di Indonesia. Kami yang masuk di dua vertikal ini melihat ini bukan sesuatu yang baru. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sudah punya portofolio di dua vertikal itu. TMI memang VC, tapi ada bridging ke sinergi.

Mengenai hipotesis inside-out atau outside-in, keduanya kita garap agar inovator manapun bisa engage. Di dalam telkomsel, ada banyak inovator yang paham market dan punya sense of purpose yang kuat. Dunia Games dan Maxstream itu kan dikembangkan dari dalam Telkomsel. Telkomsel juga punya TMI, Telkomsel Innovation Center (TINC), dan The NextDev. Jadi tidak perlu [semua use case] di INDICO, tergantung di mana modelnya cocok.

Saat ini, fokus vertikal kami agnostik. Kami melihat opportunity, juga mengombinasikan antara market dan right-to-play. Ada banyak potensi menarik, tapi ini masih too early to say. Untuk sekarang, saya melihat vertikal di video [streaming atau on-demand], agritech, dan leisure economy menarik. Kalau blockchain, tampaknya masih terlalu early ya.

Apa peran INDICO dalam pengembangan bisnis portofolio?

Jawab: Saat ini, Kuncie, Fita, dan Majamojo sudah punya entitas sendiri. Sudah jadi legal company, bukan business unit lagi. Setiap perusahaan punya CEO dan mereka yang paling paham bisnisnya. Peran kami adalah sebagai holding atau horizontal platform. Awalnya, ada funding [internal], tetapi ke depan harus terbuka. Mereka harus act as a founder. 

Nah yang kami lakukan di INDICO adalah create value. Kami sudah tahu tesisnya. Apa opportunity yang dapat diambil? Apa aset Telkomsel yang bisa di-leverage agar mereka bisa create a difference?

Sejauh ini tiga bulan berdiri, kami sudah melihat perkembangan positif, initial indicator-nya menarik. Memang masih too early ya, apalagi inovator harus menjaga persistensinya.

Operator telekomunikasi umumnya mengacu pada metrik ROI dan EBITDA. Bagaimana INDICO dalam menetapkan metrik bisnis pada portofolionya?

Jawab: Sebetulnya, sebuah perusahaan pada akhirnya akan melihat metrik itu seiring berkembangnya bisnis. Contohnya GoTo. Jadi saya tidak ingin mengkotak-kotakan soal ini. Memang kami memisahkan diri supaya lebih agile, tetapi ini karena mereka sedang berada di fase eksplorasi. Jangan sampai perusahaan yang masih eksplorasi dan belum product market-fit, langsung dihadapkan pada metrik-metrik besar.

Yang lebih penting di masa eksplorasi adalah alasan di belakangnya. Contoh, Objective and Key Result (OKR) menjadi sebuah referensi bagaimana membuat kita aspirasional dalam mengejar target. Proses “so what” itu lebih penting. Selain mengembangkan produk dan mencapai target product market-fit, pastikan jalan menuju monetisasinya juga jelas.

Dengan model OKR, kita bisa diskusikan kenapa target tercapai terlalu cepat? Apakah target kerendahan atau kontribusi kami kurang? Pasti ada sesuatu. Yuk kita coba raise the bar supaya kita bisa proud kerjanya. Kalau tidak tercapai kenapa? Apa ada metrik yang mengganjal? Jadi kita sudah punya mentality di sana.

Apakah INDICO terbuka mencari sumber pendanaan eksternal?

Jawab: Secara struktur, Kuncie, Fita, dan Majamojo tetap punya entitas berbeda. Mereka bisa fundraise sendiri dan menurut saya perlu. Ini bukan masalah uangnya, tetapi pendanaan eksternal itu perlu bagi kredensial bisnis. Belum tentu semua investor punya tesis yang cocok dengan korporat yang filled with startups. Justru ini akan membuat perubahan besar, dalam satu tahun bisa sebesar ini [bisnisnya]. Kami punya network lebih luas. Sementara, mungkin [startup] lain butuh waktu 3 tahun atau lebih. Memang perlu timing yang tepat untuk fundraise. Saat ini [Kuncie, Fita, dan Majamojo] belum, belum decide. Tapi, kami sangat terbuka dengan pendanaan eksternal.

Dalam jangka pendek, kami ingin menunjukkan lewat kesuksesan kami bahwa aset Telkomsel dapat relevan bagi startup, dan beneficial juga buat Telkomsel dan INDICO. Ini bisa menjadi bisnis baru, model bisnis ini ada yang mau beli. Dalam jangka panjang, visi kami adalah membuat sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di pedesaan, punya rezeki kota dan bisnisnya mendunia.

Qlue Pendanaan ICMG

Qlue Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B1 dari ICMG

Startup pengembang platform smart city “Qlue” mengumumkan tambahan pendanaan seri B1 dari Intellectual Capital Management Group (ICMG) Pte Ltd (Singapura) dengan nominal yang dirahasiakan.

Sebagai informasi, ICMG merupakan perusahaan yang berfokus pada co-create bisnis di vertikal smart city & smart villages, MaaS & logistic, healthcare & life science, energy & water, digital, dan sustainability (SDG).

“ICMG merupakan investor strategis bagi Qlue untuk scale up solusi kami di berbagai kota di Jepang,” ujar Founder & CEO Qlue RaMa Raditya dalam laman LinkedIn pribadinya.

Sebelumnya pada Juni 2021, Qlue menerima pendanaan seri B1 dari perusahaan telekomunikasi Jepang KDDI, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dan startup pengembang layanan biometrik ASLI RI. Diketahui pendanaan ini akan dipakai untuk menggenjot ekspansi agresif Qlue ke pasar Asia melalui pengembangan solusi smart city terintegrasi. Target pasar utamanya adalah Jepang, Malaysia, dan Filipina.

Kerja sama strategis juga dilakukan dengan para investor. Salah satunya adalah sinergi dengan KDDI, keduanya akan mengintegrasikan berbagai platform yang dikembangkan Qlue ke lini bisnis KDDI di Asia Tenggara.

Ekspansi Qlue

Dalam keterangan terpisah, perwakilan ICMG mengungkap investasi ini penting dalam menghadirkan smart city yang aman dan terjamin, baik di Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Pengembangan solusi ini dapat mendukung akuisisi pelanggan dan ekspansi Qlue lebih lanjut.

Di samping itu, ekspansi ini juga sejalan dengan peningkatan urbanisasi di seluruh dunia, di mana 70 persen penduduk dunia diproyeksi tinggal di wilayah perkotaan di 2050. Situasi ini tentu akan memunculkan persoalan baru, terkait masalah keamanan hingga peningkatan kualitas hidup dan ekonomi.

“Maka itu, kami berencana untuk memperluas solusi pemantauan AI perusahaan ke berbagai kota tier 1 dan tier 2 di Indonesia. Kami juga berencana memperluas ekspansi ke wilayah lain di Asia, dengan Vietnam, Filipina, Thailand, Jepang, sebagai tujuan utama,” tambahnya.

ICMG juga menyebut akan mendukung rencana ekspansi Qlue ke Jepang dengan memanfaatkan jaringannya ke perusahaan skala besar di Jepang. Selain itu, ICMG juga akan mendukung sinergi anak usaha dan afiliasi dari perusahaan Jepang yang akan ekspansi ke Indonesia.

Ke depan, Qlue akan memperkuat posisinya sebagai pengembang solusi pemantauan berbasis teknologi AI di Indonesia melalui kemitraan dengan segmen pemerintahan maupun korporasi.

Qlue mengembangkan solusi terintegrasi yang dapat mengotomatisasi aktivitas pemantauan dan meningkatkan produktivitas pekerja lewat solusi berbasis AI. Solusi-solusi ini dapat diimplementasikan di sektor pemerintah maupun bisnis untuk mendorong sejumlah efisiensi, seperti pengurangan biaya, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan peningkatan keamanan.

Solusi Qlue saat ini terdiri dari QlueApp (aplikasi pelaporan warga), QlueVision (analisis video CCTV berbasis kecerdasan buatan), QlueWork (mobile workforce management), QlueDashboard (platform visualisasi data), QlueSense (solusi produk berbasis IoT), dan QlueThermal (solusi pemindai suhu tubuh dan penggunaan masker otomatis).

Per Juni 2021, sekitar 120 kota/kabupaten telah memanfaatkan solusi Qlue. Beberapa solusi Qlue juga telah diimplementasi di sejumlah negara, termasuk Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika.

Application Information Will Show Up Here
PT Telkomsel Ekonomi Digital

Telkomsel Resmikan Anak Usaha Baru untuk Mewadahi Inisiatif Digital Perusahaan

Dalam upaya mendukung kelangsungan peta jalan transformasi digital di Indonesia, Telkomsel secara khusus membentuk sebuah entitas baru yang dinamakan PT Telkomsel Ekosistem Digital. Hal ini dinyatakan sebagai wujud keseriusan perusahaan dalam memperluas portofolio bisnis digital.

PT Telkomsel Ekosistem Digital akan mengambil posisi sebagai perusahaan induk yang menaungi beberapa anak perusahaan dari portofolio bisnis vertikal Telkomsel di sektor digital. Melalui inisiatif ini, mereka akan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh ekosistem aset yang dimiliki. Hingga saat ini, perusahaan belum mengumumkan nama resmi yang akan digunakan sebagai brand atau identitas bisnis.

Selain itu, pembentukan anak usaha baru Telkomsel ini juga diharapkan bisa membuka peluang serta mempermudah pemanfaatan teknologi digital terkini. Hal ini semata-mata bertujuan untuk memperkuat ekosistem digital tanah air demi mengantarkan Indonesia menjadi digital powerhouse di Asia Tenggara.

Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam mengatakan, “Telkomsel ingin terus memberikan manfaat kepada masyarakat dengan mengoptimalkan kapabilitas digital trifecta (digital connectivity, digital platform, dan digital service) yang dimiliki untuk mendorong perluasan portofolio bisnis di berbagai sektor, terutama yang dapat memperkuat perekonomian digital nasional.”

Indonesia kini telah menjadi salah satu negara dengan penetrasi ekonomi digital yang terus tumbuh positif setiap tahunnya dengan transaksi digital yang diproyeksikan mencapai $124 miliar pada tahun 2025.

Berdasarkan studi yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Co., sekitar 41,9% dari total transaksi ekonomi digital Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Nilai ekonomi digital Indonesia sendiri pada 2020 telah mencapai $44 miliar, tumbuh 11% dibandingkan 2019, dan memiliki kontribusi sebesar 9,5% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Kami berharap, PT Telkomsel Ekosistem Digital dapat menjalankan perannya memperkuat Telkomsel sebagai digital ecosystem enabler, melalui optimalisasi kapabilitas ekosistem layanan digital yang dimiliki, guna mewujudkan visi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi digital terbesar di dunia,” ungkap Hendri.

Di tahap awal, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan dipimpin oleh Andi Kristianto sebagai Chief Executive Officer (CEO). Sebelumnya, Andi juga pernah menjabat sebagai CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan SVP Corporate Strategy and Strategic Investment di Telkomsel. Selain itu, Andi juga akan didampingi oleh Andry Firdiansyah sebagai Chief Financial Officer (CFO) dan Chief Human Resource Officer (CHRO), dan Luthfi K. Arif sebagai Chief Technology Officer (CTO).

Inisiatif digital Telkomsel

Beberapa tahun terakhir, Telkomsel telah memperluas cakupan solusi digitalnya melalui divisi inkubasi dan akselerasi internal Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perusahaan perpanjangan investasi di luar ekosistem perusahaan. Ini menjadi salah satu langkah strategis untuk mencari model bisnis yang tepat bagi bisnis telekomunikasinya.

Dalam upaya mendorong pengembangan di gelombang pertama, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan fokus pada tiga sektor industri digital, yakni edtech, healthtech, dan gaming. Ketiga lini bisnis tersebut dinilai berpotensi untuk mendorong perekonomian digital nasional dan akan menjadi bagian dari emerging portofolio bisnis digital Telkomsel yang berkelanjutan.

Di pertengahan tahun 2021, Telkomsel memperkenalkan Kuncie, platform edtech yang menyediakan layanan pembelajaran pengembangan bisnis di berbagai macam kategori dengan mentor berpengalaman. Edtech merupakan vertikal bisnis yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Selang beberapa waktu, tepatnya di akhir tahun 2021, perusahaan resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Produk ini disebut mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.

Dalam waktu dekat, Telkomsel berencana melakukan pemekaran usaha melalui pemisahan keseluruhan bisnis aplikasi Kuncie dan Fita untuk dialihkan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital, guna memperkuat penetrasi bisnis vertikal, masing-masing di sektor edutech dan healthtech.

Sedangkan untuk sektor gaming, Telkomsel juga telah mengalihkan kontrak usaha patungan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital untuk mendirikan perusahaan Joint Venture (JV) yang memiliki fokus bisnis sebagai perusahaan penerbit (publisher) gaming guna meningkatkan kompetensi dan kapabilitas di vertikal bisnis Telkomsel di industri gaming.

Evermos Announces Over 427 Billion Rupiah Series B Funding, Social Commerce Is in Its Peak

Social commerce startup Evermos has announced its series B funding of $30 million or the equivalent of 427.3 billion Rupiah. This round was led by UOB Venture Management through the Asia Impact Investment Fund II. Several other investors involved include MDI Ventures, Telkomsel Mitra Innovation, Future Shape, and supported by previous investors, including Jungle Ventures and Shunwei Capital.

The fresh funds will be used to strengthen the leadership team, expand and develop technology. We previously reported the Evermos series B round since August 2021, including the participation of 2 Telkom Group’s CVCs.

“Our vision is to empower one million micro-entrepreneurs in the next five years. One of the main factors influencing the way we do business is by measuring the sustainability and social impact of our platform,” Evermos’ Co-Founder & President, Arip Tirta said.

He also said that the company’s income has been mostly supported by individuals and SMEs in tier-2 and 3 cities. In order to strengthen its presence in the area, they are currently running a pilot program “Evermos Village”, involving nearly 100 villages. In this program, less productive local residents are empowered to become reseller partners — including being trained on entrepreneurial principles.

Evermos social commerce concept

Was founded in November 2018 by Arip, Ghufron Mustaqim, Iqbal Muslimin, and Ilham Taufiq; Evermos has acquired around 100 thousand active resellers in 500 cities. They partner with more than 500 brands with 90% of them coming from curated local SMEs.

The products offered are mostly Muslim clothing commodities, halal health/beauty products, food and beverages, and others — most of them prioritize halal products. From a business perspective, they claim to have grown up to 60 times in the last two years.

Evermos facilitates people who want to become resellers. These users can sell the products in the application to their network, via WhatsApp or social media. There is a profit sharing or reward applied. Evermos alone, in addition to providing products, also helps in terms of logistics management, customer support, and technology.

Evermos’ Co-Founder & Deputy CEO, Ghufron Mustaqim said that his business philosophy is based on ‘Economy Gotong Royong‘, prioritizing collaborative economic empowerment. Through the existing reseller network, Evermos wants to be a vehicle for local SMEs to grow their business, on the other hand, it will generate additional income for resellers.

Social commerce potential in Indonesia

The total GMV generated from online trading business continues to grow rapidly in Indonesia – to date, it still has the largest proportion in the region. According to Bain & Co. data, as visualized by Statista, in 2020 the total GMV for online trading businesses in Indonesia has reached $47 billion.

Although the majority come from e-commerce or online marketplaces, social commerce services have quite a big contribution, which is around $12 billion.

Meanwhile, according to McKinsey, the social commerce business is projected to experience rapid growth of up to $25 billion by 2022. Pandemic becomes one of the catalysts, this is related to changes in the way people shop and the job opportunities offered by social commerce.

UOB Venture Management’s Senior Director, Clarissa Loh explained, Evermos’ social commerce model can be a bridge in answering this gap, by enabling its resellers to market the products of local SMEs.

“The Evermos platform also empowers local brands and creates a source of income for the lower middle class people with minimal access and opportunities, but already own and use smartphones (underserved communities),” Clarissa added.

Social commerce players in Indonesia

In Indonesia, there are already several platforms that offer similar services. Throughout 2021, several other social commerce startups also received funding from investors, including:

Startup Funding
RateS Series A
Raena Series A
KitaBeli Series A, 114 billion Rupiah
Super Series B, 405 billion Rupiah
Dagangan Pre-Series A

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Seri B Evermos

Evermos Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 427 Miliar Rupiah, Bisnis Social Commerce Menggeliat

Startup social commerce Evermos mengumumkan telah menutup pendanaan seri B senilai $30 juta atau setara 427,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh UOB Venture Management melalui Asia Impact Investment Fund II. Beberapa investor lain yang terlibat termasuk MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Future Shape, dan turut didukung investor sebelumnya yakni Jungle Ventures dan Shunwei Capital.

Dana segar yang diperoleh akan digunakan untuk memperkuat tim kepemimpinan, melakukan ekspansi, dan mengembangkan teknologi. Kabar putaran seri B Evermos sebelumnya kami beritakan sejak Agustus 2021 lalu, termasuk adanya keterlibatan 2 CVC milik grup Telkom.

“Visi kami adalah memberdayakan satu juta pengusaha mikro dalam lima tahun ke depan. Salah satu faktor utama yang memengaruhi cara kami menjalankan bisnis adalah dengan mengukur keberlanjutan dan dampak sosial dari platform kami,” ujar Co-Founder & President Evermos Arip Tirta.

Ia juga mengatakan, bahwa selama ini pendapatan perusahaan banyak disokong dari individu dan UKM d kota tier-2 dan 3. Untuk menguatkan keberadaannya di wilayah tersebut, saat ini mereka tengah menjalankan percontohan program “Desa Evermos”, melibatkan hampir 100 desa. Di program itu, warga lokal yang masih kurang produktif diberdayakan menjadi mitra reseller — termasuk dilatih dengan prinsip kewirausahaan.

Konsep social commerce Evermos

Sejak didirikan pada November 2018 lalu oleh Arip, Ghufron Mustaqim, Iqbal Muslimin, dan Ilham Taufiq; saat ini Evermos telah memiliki sekitar 100 ribu reseller aktif di 500 kota. Mereka bermitra dengan lebih dari 500 brand dengan 90% di antaranya datang dari kalangan UKM lokal yang dikurasi.

Produk yang disediakan kebanyakan adalah komoditas busana muslim, produk kesehatan/kecantikan halal, makanan dan minuman, dan lain-lain — sebagian besar mengutamakan produk bernuansa halal. Dari sisi bisnis, dalam dua tahun terakhir mereka mengklaim mendapati pertumbuhan hingga 60 kali.

Aplikasi Evermos memfasilitasi masyarakat yang ingin menjadi reseller. Para pengguna tersebut selanjutnya bisa menjual produk yang ada di aplikasi ke jaringannya, melalui WhatsApp atau media sosial. Ada bagi hasil atau imbalan yang diterapkan. Pihak Evermos sendiri, selain menyediakan produk, juga membantu dari sisi pengelolaan logistik, dukungan konsumen, dan teknologi.

Co-Founder & Deputy CEO Evermos Ghufron Mustaqim menyatakan bahwa dasar filosofi bisnisnya adalah ‘Ekonomi Gotong Royong‘, mengedepankan pemberdayaan ekonomi kolaboratif. Melalui jaringan reseller yang ada, Evermos ingin menjadi sarana bagi UKM lokal untuk mengembangkan bisnis mereka, di sisi lain akan menghasilkan pendapatan tambahan bagi reseller.

Potensi social commerce di Indonesia

Total GMV yang dihasilkan dari bisnis perdagangan online memang terus bertumbuh pesat di Indonesia – sampai saat ini masih memiliki proporsi terbesar di regional. Menurut data Bain & Co., seperti divisualisasikan Statista, pada tahun 2020 total GMV untuk bisnis perdagangan online di Indonesia telah mencapai angka $47 miliar.

Kendati mayoritas datang dari e-commerce atau online marketplace, layanan social commerce memiliki sumbangsih yang tidak kecil, yakni sekitar $12 miliar.

Sementara itu menurut McKinsey, bisnis social commerce diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan pesat hingga $25 miliar pada tahun 2022 mendatang. Kondisi pandemi menjadi salah satu katalisator, hal ini terkait perubahan cara orang berbelanja dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh social commerce.

Senior Director UOB Venture Management Clarissa Loh menjelaskan, model social commerce Evermos dapat menjadi jembatan dalam menjawab kesenjangan ini, dengan memungkinkan para reseller-nya untuk memasarkan produk para UKM lokal.

“Platform Evermos juga memberdayakan brand lokal dan menciptakan sumber pendapatan bagi masyarakat menengah ke bawah yang minim akses dan kesempatan, namun memiliki dan menggunakan smartphone (underserved community),” imbuh Clarissa.

Pemain social commerce di Indonesia

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan serupa. Bahkan sepanjang tahun 2021 ini, beberapa startup social commerce lain turut mendapatkan pendanaan dari investor, meliputi:

Startup Tahapan Pendanaan
RateS Seri A
Raena Seri A
KitaBeli Seri A, 114 miliar Rupiah
Super Seri B, 405 miliar Rupiah
Dagangan Pra-Seri A
Application Information Will Show Up Here