Tag Archives: telkomsel

Industri telekomunikasi Indonesia di tahun 2021 mengeksplorasi model baru di bisnis digital hingga mempersiapkan ekosistem 5G / Sumber: Telkomsel

[Kaleidoskop 2021] Catatan Penting Menyambut Babak Baru Industri Telekomunikasi

Investasi ke startup decacorn, konsolidasi antar-operator, hingga akuisisi perusahaan internet, merupakan tiga dari sekian banyak aksi korporasi yang menarik perhatian industri telekomunikasi Indonesia di sepanjang 2021.

Industri telekomunikasi juga menatap optimismenya di 2022 dengan proyeksi pertumbuhan 4% di bisnis konektivitas, 8% di TIK, dan digital sebesar 12%, meski operator sempat kesulitan meraup pendapatan di masa awal pandemi Covid-19.

DailySocial merangkum beberapa aksi korporasi besar di 2021, proyeksi pertumbuhan, hingga insight yang dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang masa depan industri telekomunikasi Indonesia selanjutnya.

Kaleidoskop telekomunikasi 2021

Pertama, Telkomsel menyuntik investasi tambahan ke Gojek senilai $300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun pada Mei 2021. Investasi pertamanya dikucurkan pada November 2020 sebesar $ 150 juta atau Rp2,1 miliar.

Dalam laporan Info Memo Telkom di kuartal III 2021, Telkomsel disebut telah menikmati valuation benefit dari investasi ini. Adapun, Telkom dan Telkomsel akan melanjutkan kemitraan strategis dengan Gojek untuk mendigitalisasi UMKM dan mengakuisisi pengguna baru melalui ekosistem Gojek, mendorong mitra UMKM Gojek menjadi mitra reseller Telkomsel, dan meningkatkan akses outlet Telkomsel melalui layanan GoShop.

Kedua, industri telekomunikasi di Tanah Air mendapat angin segar dari pengumuman merger dan akuisisi (M&A) oleh Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Keduanya sepakat untuk menggabungkan bisnisnya menjadi “Indosat Ooredoo Hutchison” dengan nilai Rp85,6 triliun.

Managing Director of Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo mengungkap bahwa konsolidasi ini dapat membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia dengan proyeksi pendapatan tahunan hingga $3 miliar atau sekitar Rp42,7 triliun. Asumsinya, pendapatan ini diperoleh dari penggabungan jaringan, frekuensi, keuangan, skala bisnis, dan SDM.

Sebelumnya, aksi M&A sudah lebih dulu dilakukan oleh PT Mobile-8 Tbk (FREN) mencaplok PT Smart Telecom dan melebur menjadi Smartfren. Kemudian aksi ini diikuti oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mengakuisisi Axis senilai Rp8,6 triliun.

M&A, Investasi Nilai/Saham Keterangan
Telkomsel tambah investasi ke Gojek Rp4,3 triliun Suntikan investasi pertama senilai Rp2,1 triliun di 2020
Indosat Ooredoo akuisisi Hutchison 3 Indonesia (Tri) Rp85,6 triliun Efektif 4 Januari 2022
XL Axiata akuisisi LinkNet 66,03% saham LinkNet Tahap negosiasi Perjanjian Jual Beli (PJB)

Aksi korporasi 2021/Sumber: DailySocial, Bisnis Indonesia

Sementara, XL Axiata tengah melakukan negosiasi perjanjian jual beli (PJB) akuisisi saham PT Link Net Tbk (IDX: LINK) sebesar 66,03%. Rencana pengambilalihan saham ini terungkap lewat keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada 25 November 2021.

Mengutip CNN, aksi korporasi ini dilakukan sebagai strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity). Adapun, XL tengah menggenjot pembangunan jaringan serat optik untuk mendorong bisnis jaringan dari segmen B2B.

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerbitkan peta jalan Indonesia Digital 2021-2024, yang mana di antaranya mencakup peningkatan infrastruktur digital, pemberdayaan masyarakat untuk mengembangan digital, dan mendorong Indonesia sebagai produsen teknologi.

Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Sebagai informasi, pembangunan infrastruktur digital terdiri dari infrastruktur fisik; pembangunan internet di pedesaan, peningkatan kapasitas 4G dab 5G, jaringan serat optik, kabel laut, satelit, BTS, dan ponsel, serta infrastruktur non-fisik; cloud dan aplikasi, untuk mendukung kegiatan ekonomi digital.

Proyeksi telekomunikasi 2022

Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah melihat industri telekomunikasi di dunia, termasuk Indonesia, sudah mulai menunjukkan tren positif dibandingkan ketika pertama kali menghadapi pandemi Covid-19. Ia memproyeksi tren ini terus berlanjut hingga tahun depan.

Dalam paparan “Outlook Industri Telekomunikasi 2022” oleh Indotelko, pertumbuhan pendapatan industri secara keseluruhan diestimasi mencapai 3% (YoY). Apabila dirinci, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.

Proyeksi tersebut telah memperhitungkan tren pergeseran perilaku masyarakat yang mulai terbiasa beraktivitas secara digital, yang mana menurut Ririek sebanyak 90% masyarakat Indonesia diprediksi terus mempertahankan perilaku digital ini apabila pandemi selesai.

“Lini bisnis seluler, SMS dan voice call, diprediksi menurun karena orang semakin jarang menggunakannya. Sementara, layanan mobile data akan terus naik, tetapi unit price akan turun karena tingginya konsumsi,” ungkap Ririek beberapa waktu lalu.

Dengan proyeksi pertumbuhan tersebut, lanjut Ririek, hal ini dapat menjadi tantangan besar bagi operator karena mereka dituntut untuk berinvestasi di jaringan.

Kendati begitu, konsolidasi antara Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia dinilai membawa angin segar bagi industri telekomunikasi di masa depan mengingat jumlah operator semakin menyusut, menyisakan pemain aktif: Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison (branding usai merger), XL Axiata, dan Smartfren. Ditambah lagi, beberapa operator mulai merestrukturisasi portofolio bisnis telekomunikasi demi efisiensi, seperti melepas aset menara dan data center.

Ia juga memproyeksi pembangunan jaringan 5G beserta use case-nya akan terus berlanjut di Indonesia. Demikian juga dengan langkah digitasi dan digitalisasi operator telekomunikasi sejalan dengan upaya mereka mencari sumber pendapatan baru.

Yang perlu diantisipasi

Berdasarkan proyeksi dari lini bisnis digital, peluang operator telekomunikasi untuk mengeksplorasi produk/layanan digital baru masih besar. Operator belajar dari pengalaman dan kegagalan terdahulu ketika mengembangkan layanan digital, seperti uang elektronik dan marketplace. Ditambah, ekosistem digital di Indonesia semakin mapan sejalan dengan meningkatnya adopsi.

Pengamat Telekomunikasi ITB Ian Josef Matheus menilai sampai saat ini operator belum bisa membuat aplikasi yang dapat menyentuh masyarakat, dan punya ekosistem layanan lengkap yang dapat mengakomodasi berbagai keperluan, seperti Gojek dan OVO. Istilahnya, operator belum punya killer app yang relevan bagi basis penggunannya.

“Apabila operator bisa mencari tambahan [pendapatan] dari produk digital ataupun memiliki aplikasi sendiri, tentu hal ini akan membuat kualitas [jaringan] dan efesiensi menjadi besar. Atau misalnya, produk cloud dan konten tidak perlu dikerjakan atau dikembangkan semua oleh operator, tetapi bisa kolaborasi untuk mendorong peningkatan ARPU,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Pendapatan Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 Rp65,14 triliun (+0%) Rp23,1 triliun (+12%) Rp19,8 triliun (+0,7%)
9M20 Rp65,13 triliun Rp20,6 triliun Rp19,6 triliun
EBITDA Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 Rp39,4 triliun (+1,9%) Rp10,4 triliun (+22,7%) Rp9,9 triliun (+0,1%)
9M20 Rp38,4 triliun Rp8,5 triliun  Rp9,8 triliun
Pelanggan Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 173,5 juta (+1,9%) 62,3 juta (+3,2%) 57,9 juta (+1,9%)
9M20 170,1 juta 60,4 juta 56,8 juta

Sumber: Info Memo Telkom, Indosat Ooredoo, XL Axiata Kuartal III 2021

Terlepas dari pertumbuhan ekosistem digital Indonesia yang semakin mapan, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai tidak semua operator memiliki kebebasan atau kemampuan untuk bisa fokus mengembangkan bisnis digital.

Alasannya, infrastruktur jaringan merupakan bisnis inti operator seluler. Memang tren ke depan tidak lagi mengandalkan bisnis dasar dari infrastruktur, seperti voice call dan SMS, sehingga perlu adanya sumber pendapatan baru. Akan tetapi bisnis digital perlu ditopang oleh infrastruktur yang andal, jadi mau tidak mau operator kembali lagi ke bisnis akarnya.

“Saat ini, jika melihat jumlah base transceiver station (BTS) keseluruhan, jelas Telkomsel lebih unggul dibanding operator lain, dan ditunjang oleh jaringan optik milik Telkom. Sementara, operator yang lain masih terkendala [dalam pembangunan jaringan]. Makanya, tidak masalah [Telkom dan Telkomsel] agresif di bisnis digital,” ungkapnya dihubungi DailySocial.

Di samping eksplorasi bisnis digital, Ridwan juga mengantisipasi dampak dari merger Indosat Ooredoo terhadap Tri terhadap industri. Peleburan Tri akan meningkatkan jumlah frekuensi yang dimiliki Indosat, dan kondisi ini akan memampukan perusahaan untuk meningkatkan kapabilitas jaringan dan layanan.

“Juga, yang paling dinantikan di tahun depan adalah operator harus siap-siap mengeluarkan kocek untuk lelang frekuensi 5G setelah Analog Switch Off dimulai. Mereka perlu menyiapkan aplikasi yang menunjang untuk Industri 4.0.”

5G hingga eksplorasi bisnis digital

Dari kacamata penulis, sesungguhnya saya sempat ragu menantikan gebrakan baru di industri telekomunikasi Indonesia. Apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan bisnis yang sempat stagnan. Operator juga tampak masih kesulitan mencari model yang tepat untuk mengeksplorasi lini digital sebagai sumber pendapatan baru selama beberapa tahun terakhir.

Namun, jika melihat sejumlah aksi korporasi operator di sepanjang 2021 dan ke belakang, saya cukup excited mengantisipasi apa yang akan terjadi di industri ini tahun depan.

Saya menyoroti sejumlah hal penting. Pertama, merger antara Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia otomatis merampingkan jumlah operator di Indonesia, membuat kompetisi antar-pemain semakin sehat tanpa perlu perang harga. Operator dapat fokus memenuhi pembangunan jaringan secara nasional.

Bisa jadi dalam 1-2 tahun ke depan, kita akan kembali mendengar aksi konsolidasi serupa. Skenario paling memungkinkan antara XL Axiata dan Smartfren. Selama satu dekade ini, Smartfren belum pernah mengecap keuntungan. Plus, keduanya santer dikabarkan akan merger. Jika ini direalisasikan, XL dan Smartfren bakal sama-sama mengalami aksi M&A kedua kalinya. Sebelumnya, XL mencaplok Axis, dan Mobile-8 melakukan merger dengan Smart Telecom.

Kedua, harapannya operator mulai mempersiapkan pengembangan use case layanan 5G sejalan dengan upaya pemerintah melakukan Analog Switch Off (ASO) dalam tiga tahap di 2022 untuk mempercepat implementasi 5G di frekuensi emas.

5G memang dikatakan sebagai game changer, tetapi semua itu tidak akan ada artinya tanpa ekosistem layanan dan perangkat, baik itu ponsel maupun perangkat-perangkat lain yang dapat terhubung di masa depan. Toh saat ini 5G belum digelar secara nasional karena keterbatasan spektrum. Masih ada waktu untuk mempersiapkan ekosistem pendukungnya.

Ketiga, saya cukup menantikan eksplorasi model bisnis digital lainnya dari operator telekomunikasi. Sejak dua tahun terakhir, operator telah mencoba melakukan berbagai gebrakan demi meningkatkan nilai tambah layanan dan mencari sumber pendapatan baru.

Salah satu gebrakan ini adalah layanan prabayar digital berbasis aplikasi yang dikeluarkan oleh Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren. Operator seluler menggunakan pendekatan berbeda agar lebih luwes mengakuisisi pengguna baru tanpa embel-embel branding operator.

Pendekatan tanpa branding operator juga dipakai untuk masuk ke bisnis digital non-telekomunikasi. Telkomsel berani masuk ke layanan edtech (Kuncie) dan healthtech (Fita), dua vertikal yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi layanan digital operator di Indonesia. Selama ini, operator telekomunikasi mengembangkan layanan digital yang masih relevan dengan bisnis utama mereka, seperti IoT, big data, dan hiburan (musik, video, games) baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan petinggi Kuncie dan Fita, Telkomsel menggunakan pendekatan berbeda pula pada pengelolaan bisnisnya, yakni keleluasaan mengembangkan produk dengan growth mentality ala startup. Jika keduanya memberikan performa baik, Kuncie dan Fita berpotensi di-spin off agar bisa akselerasi lebih cepat. Saat ini, Kuncie mengantongi satu juta unduhan, sedangkan Fita lebih dari 500 ribu unduhan aplikasi di Google Play Store.

Berkaca dari perjalanan produk unggulan digital Telkomsel, Tcash baru bisa mengecap pertumbuhan pemakaian besar ketika di-spin off dan di-rebranding menjadi LinkAja. Sebelum rebranding, Tcash hanya punya 20 juta pengguna. Usai lepas dari Telkomsel, pengguna LinkAja melesat menjadi 70 juta per Juni 2021.

Indosat juga cukup agresif mengembangkan ekosistem layanan digital yang lengkap meski masih memiliki asosiasi kuat dengan branding-nya. Di tahun ini, anak usaha Ooredoo Group ini meluncurkan platform gaya hidup IMove dengan konsep gamifikasi dan platform IM Gaming yang menyediakan berbagai layanan bagi para gamer, mulai dari bermain dan berkompetisi, menonton game, dan membeli item dalam permainan.

Sebagai kesimpulan, pengembangan bisnis digital memang identik dengan investasi besar, dinamika tren, dan akselerasi produk yang cepat. Kriteria ini sulit dipenuhi oleh nature bisnis operator. Namun, dengan perkembangan ekonomi digital dan ekosistem yang makin mapan, operator telekomunikasi kini memiliki peluang dan opsi yang beragam untuk meningkatkan value added dan mencari sumber pendapatan baru.

CEO Fita Reynazran Royono

Langkah Reynazran Royono Membangun Startup “Fita” Lepas dari Bayangan Telkomsel

Telkomsel resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.

Salah satu yang menarik, pada acara peluncuran virtual beberapa waktu lalu, Telkomsel sekaligus memperkenalkan Reynazran Royono sebagai CEO Fita. Pria yang karib disapa Rey ini dikenal sebagai Founder & CEO Snapcart, startup yang menawarkan layanan loyalty.

Dalam wawancara khusus oleh DailySocial.id, Rey mengaku bahwa ia kini telah bekerja sepenuhnya di Fita. “Karena saya founder, tentu saja [nama saya] akan tetap ada di board Snapcart. Namun, [peran saya] hanya key decision-making, tetapi bukan operasional yang mana itu dipegang C-level,” ungkapnya.

Menurut Rey, saat itu Snapcart sempat berencana masuk ke ranah healthtech mengingat vertikal ini mengecap pertumbuhan signifikan di masa Covid-19. Terutama di segmen prevented healthcare yang disebut tumbuh dua kali lipat. Di samping itu, ia melihat supply dan demand di segmen ini belum saling terpenuhi.

Di saat bersamaan, kala itu Telkomsel juga punya rencana serupa untuk masuk ke prevented healthcare melalui Fita, dan Rey mengaku tertarik dengan rencana pengembangannya. Namun, situasi ini dinilai berpotensi menjadi distraksi bagi Snapcart yang ingin masuk ke healthtech. Maka itu, ia memutuskan meninggalkan posisinya sebagai CEO Snapcart.

Gaya startup dan ekosistem

Ada beberapa alasan menarik yang mendorong Rey untuk berlabuh ke Fita. Pertama, Telkomsel memiliki basis pengguna dan ekosistem layanan yang dapat membantunya mengembangkan Fita. Sebagai entrepreneur yang telah malang melintang di ekosistem digital  leverage tersebut sangat signifikan mengingat user base adalah salah satu metrik yang sulit di-scale di startup.

Kedua, Telkomsel disebut memberikan independensi yang besar kepada Rey dan timnya untuk mengembangkan Fita. Menurut Rey, Fita berdiri dengan menggunakan pendekatan ala startup. Secara organisasi, tim Fita yang berjumlah 40 orang itu sepenuhnya berasal dari pro hire. Telkomsel hanya menyertakan satu orang di dalamnya untuk membantu pengembangan dan sinergi Fita.

Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan pada Fita untuk mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Hal-hal tersebut dinilai dapat membantunya untuk bereksperimen di Fita, serta leluasa menyalurkan kemampuan dan pengalamannya sebagai entreprenuer.

“Bagi saya, keberhasilan startup didorong oleh tiga hal, yaitu product market-fit, company culture, eksperimentasi dan riset tersendiri, branding, hingga user acquisition. So far, Telkomsel memiliki ketiganya dan tidak ada influence dari sisi korporasi. Agenda ini tidak mungkin di-push dari Telkomsel mengingat mereka tidak punya core di situ [healthtech],” tuturnya.

Rey mengambil contoh pada strategi branding. Menurutnya, branding yang dilakukan Telkomsel bakal menghasilkan emotional selling ketimbang jika dilakukan Fita sendiri yang menurutnya bisa lekat dengan nilai functionality. Inilah salah satu agenda besar yang ingin dicapai Fita.

Rencana jangka panjang Fita

Sejak dikembangkan tahun lalu, Fita disebut telah mencapai product market-fit. Menurut data perusahaan, Fita telah diunduh sebanyak 350 ribu kali di perangkat Android dan iOS. Kemudian, Fita juga menempati peringkat pertama kategori Fitness and Health di Google Play Store Indonesia. Menurut Rey, mengingat 94% pasar Indonesia didominasi perangkat Android, pencapaian ini menjadi signifikan, dan sekaligus membuktikan produknya diterima pasar.

Ia melihat tantangan mengembangkan produk wellness masih besar. Pasalnya, pasar healthtech Indonesia saat ini 70% masih didominasi layanan telemedicine yang akselerasinya meningkat pesat tahun lalu. Pasar wellness mulai memperlihatkan tren pertumbuhan mengingat banyak masyarakat Indonesia kini mulai memperhatikan kesehatan di era Covid-19.

Untuk itu, Rey tengah mendorong awareness Fita agar melekat sebagai produk wellness di Indonesia. Ia juga akan fokus untuk mendorong value proposition produk dan target pasar berdasarkan riset yang telah dilakukannya selama 1,5 tahun terakhir.

Pertama, Fita akan memperkuat lokalisasi konten yang dekat dengan persona orang Indonesia. Konten ini bisa berupa kegiatan olahraga, meal plan, atau community. Selain itu, ia juga akan menggarap sistem reward yang dapat diperoleh dari berbagai konten Fita. Ia berharap konsep reward ini dapat membantu membentuk kebiasaan hidup sehat orang Indonesia.

“Di sini prevented healthcare masih sangat diabaikan. Makanya, kami banyak melakukan partnership untuk menggerakkan wellness di Indonesia. Sembari mencari opportunity untuk monetisasi, kami ingin menciptakan high performance growth startup, tapi tetap sustainable,” ujar Rey.

Sumber: Telkomsel Fita
Sumber: Telkomsel Fita

Terakhir, Fita akan melakukan enhance pada fitur existing untuk meningkatkan pengalaman penggunaan. Ambil contoh, mengetahui jumlah nutrisi dan kalori pada makanan dengan teknologi AI. Contoh lainnya, pemanfaatan AI untuk mengetahui apakah gerakan olahraga yang dilakukan sudah benar.

“Kami menargetkan bisa capai satu juta pengguna dengan menambah sepuluh coach dari posisi 40 coach saat ini. Dalam jangka pendek, kami berharap bisa capture 1%-2% pangsa pasar pada 2-3 tahun ke depan. Kami ingin bereksperimen dulu, jangan sampai langsung monetisasi dengan model berbayar,” tambahnya.

Kesempatan mencari investor

Selama ini, salah satu tantangan operator seluler dalam mengembangkan produk digital adalah mencapai Return of Investment (ROI). Hal ini mengingat industri telekomunikasi merupakan salah satu sektor yang padat investasi sehingga ROI menjadi krusial.

Hal ini turut disoroti pula oleh Rey. Menurutnya, Telkomsel tidak melihat hal tersebut sebagai metrik utama pada pengembangan Fita. Sejak awal Telkomsel telah memberikan komitmen kepada Fita untuk berkembang sebagai startup. “When it comes to metrik yang terukur, kami tidak menggunakan pendapatan, tetapi user base, terutama untuk tiga tahun pertama,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rey juga menyebut ia tidak menutup kemungkinan untuk mencari investor di luar lingkup Telkomsel maupun Telkom Group, atau bahkan lepas menjadi entitas terpisah seperti halnya LinkAja (sebelumnya T-cash).

“Ada fasenya untuk ke sana jika melihat pengalaman Telkomsel terdahulu. Saya rasa ini masuk ke plan Kuncie dan Fita. Namun perlu diketahui bahwa saat ini kami belum bisa bicara soal itu mengingat Fita masih dalam struktur Telkomsel, dan terlepas dari pendekatannya sebagai startup.”

Application Information Will Show Up Here
Telkomsel redi

redi Jalan Telkomsel Masuk Industri Bank Digital

Kemarin (28/10) bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, Telkomsel meresmikan kerja samanya dengan unit bank digital milik BCA, atau dikenal dengan blu. Di sisi Telkomsel, kemitraan tersebut melibatkan platform redi, sebagai aplikasi agregator layanan perbankan yang memungkinkan pengguna mengelola berbagai akun bank di satu dasbor. Saat ini aplikasi redi sudah bisa digunakan oleh pengguna, baik di platform Android maupun iOS.

Kini, pengguna redi dapat mengintegrasikan rekening blu ke dalam aplikasi – termasuk melakukan pendaftaran dari sana. Selain itu, pengguna juga bisa melakukan pengelolaan rekening blu seperti cek saldo, dan melakukan transaksi transfer. Proposisi nilai yang ditawarkan, aplikasi redi mengintegrasikan akun bank di dalamnya dengan nomor ponsel pengguna. Selain itu mereka turut menawarkan beragam promo dan reward eksklusif.

Sudah terdapat beberapa bank lain

Gambaran aplikasi redi

Selain blu, sebenarnya sudah ada 23 opsi bank lainnya yang dapat diintegrasikan ke redi. Beberapa nama populer seperti Mandiri, BNI, Bukopin, BCA, CIMB Niaga, dan lain-lain. Pengguna bisa menambahkan lebih dari satu rekening bank untuk dikelola bersama. Adapun untuk jenis transaksi yang saat ini dapat digunakan lewat redi adalah transfer, QRIS, berbagai pembayaran (plus pengingat), dan top-up.

Permasalahan utama kami saat mencoba, semua rekening idealnya harus terdaftar dengan nomor Telkomsel yang digunakan sebagai akun redi. Tentu ini menjadi hal wajar, karena layanan redi sendiri memang didesain sebagai nilai tambah bagi pengguna Telkomsel. Namun bisa menjadi halangan untuk pengguna yang sudah terlanjur memakai nomor dari penyedia lain untuk layanan perbankannya.

Di sisi desain, redi juga mencoba hadir dengan pengalaman pengguna kekinian – desain simpel dan menawarkan ragam promo.

Peluang di tengah BaaS

Salah satu model bisnis yang diusung oleh para penyedia bank digital adalah Bank as a Service (BaaS). Sederhananya, konsep tersebut memungkinkan mereka mengintegrasikan layanan perbankan dengan berbagai jenis aplikasi konsumer. blu sendiri, selain dengan Telkomsel, juga sudah menjalin kerja sama strategis dengan beberapa pihak, salah satunya Blibli.

Direktur Utama BCA Digital Lanny Budiati menjelaskan, “Dalam merealisasikan misi BCA Digital sebagai Bank as a Service untuk membangun ekosistem digital yang berkelanjutan di Indonesia, kami fokus berkolaborasi dengan expertise dari setiap industri. Sebagai yang terdepan di bidangnya, Telkomsel merupakan mitra kerja sama ideal bagi BCA Digital untuk tumbuh bersama dan memberikan seamless banking experience yang lebih mudah dan nyaman bagi nasabah blu maupun pengguna redi.”

Menurut laporan yang dirangkum Verified Market Research, nilai pasar BaaS telah mencapai $356,26 miliar pada 2020 dan diproyeksikan meningkat sampai $2.299 miliar di 2028 dengan CAGR 26,33% dalam periode tersebut.

Konsumer digital di Indonesia sendiri jumlahnya sangat besar – misalnya dilihat dari jumlah pelanggan layanan mobile telco, e-commerce, atau lainnya. Jelas ini menjadi pasar yang empuk bagi layanan finansial untuk melakukan on-boarding nasabah baru, termasuk dari kalangan baru yang mungkin sebelumnya tidak terfasilitasi layanan perbankan. Berbasis API, layanan perbankan tersebut dapat disematkan ke aplikasi digital lainnya, sehingga memberikan pengalaman yang lebih ringkas.

“Ke depannya, ekosistem digital yang dibangun blu bersama dengan Telkomsel redi ini akan terus diperluas dan menghasilkan terobosan baru yang lebih baik dan menjadi solusi digital untuk berbagai kebutuhan bagi para nasabah kami,” tambah Lanny.

Application Information Will Show Up Here
Telkomsel REDI menawarkan layanan transaksi keuangan ke berbagai nomor rekening dengan nomor ponsel / Telkomsel

Telkomsel dan BCA Digital Persiapkan Kolaborasi Platform Keuangan “REDI” dan blu

Telkomsel kembali melanjutkan babak baru transformasi digitalnya. Setelah platform Kuncie (edtech) dan Fita (healthtech), operator seluler milik BUMN ini kembali menambah portofolio digital dengan meluncurkan aplikasi keuangan Telkomsel REDI. Saat ini, aplikasi REDI sudah tersedia untuk perangkat Android.

Telkomsel REDI membuka sinyal kolaborasi dengan bank digital milik BCA, yakni BCA Digital (blu). Kolaborasi ini belum diluncurkan secara resmi, tetapi sudah diumumkan melalui laman LinkedIn BCA Digital. Dalam informasi tersebut, keduanya akan mengumumkan kolaborasi Telkomsel REDI dan blu pada akhir Oktober ini.

DailySocial telah mencoba menghubungi BCA Digital dan Telkomsel. Namun, belum ada konfirmasi dan informasi lebih lanjut dari keduanya.

“[Kolaborasi] Telkomsel Redi dan blu bisa dinantikan pekan depan ya. Tunggu saja,” ungkap juru bicara BCA Digital dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Aplikasi Telkomsel REDI memungkinkan pengguna untuk bertransaksi dan mengakses lebih dari satu rekening bank dengan nomor ponsel saja. Pengguna juga bisa mentransfer uang dengan QR code tanpa perlu memasukkan nomor rekening. Telkomsel REDI juga menawarkan sejumlah fitur lain, seperti split bill, pengingat tagihan (listrik, air, telepon, dll), hingga laporan pengeluaran setiap bulan.

Dalam siaran persnya beberapa waktu lalu, SVP Digital Advertising and Banking Telkomsel Ronny W Sugiadha mengatakan, Telkomsel REDI merupakan kelanjutan dari pengembangan inovasi layanan m-Banking Telkomsel yang awalnya dirilis di 2002.

“Melalui Telkomsel REDI, kami berupaya mengintegrasikan sejumlah layanan keuangan digital dari mitra perbankan ternama, yang diharapkan dapat semakin memudahkan masyarakat dalam mengelola berbagai rekening yang dimiliki dalam satu askes layanan aplikasi,” ujarnya.

Saat ini, Telkomsel REDI telah bekerja sama dengan lebih dari 20 institusi perbankan. Pihaknya akan terus menambah jumlah mitra perbankan agar dapat menjangkau target pengguna dalam ekosistem Telkomsel yang lebih luas.

Kolaborasi digital lintas sektor

Belum diketahui model kerja sama yang dilakukan antara blu dan Telkomsel REDI. Namun, beberapa platform digital lintas vertikal mulai berkolaborasi dengan perbankan untuk menghadirkan layanan Bank-as-a-Service (BaaS).

Misalnya, kolaborasi Bukalapak dan Sociolla dengan platform nexus milik Standard Chartered . Kemudian, kemitraan Grab dan BRI untuk menyediakan akses pembukaan rekening secara online. Sementara itu, BCA Digital memperkuat ekosistem layanannya dengan menggandeng platform e-commerce Blibli sebagai partner eksklusif platform blu.

Berbagai macam model kolaborasi yang telah dilakukan ini sebetulnya membidik target serupa, yakni mendorong perluasan inklusi keuangan di Indonesia. Dengan basis pengguna yang dimiliki masing-masing, kolaborasi ini memungkinkan akselerasi adopsi layanan yang lebih cepat.

Berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2019 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum terjamah layanan keuangan. Laporan ini menyebut populasi unbanked di Indonesia mencapai 92 juta jiwa, sedangkan underbanked mencapai 47 juta jiwa.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Cara Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB

Cara Mudah Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB

Buat anda pengguna Telkomsel, ada kabar baik untuk anda karena Telkomsel baru saja mengeluarkan informasi mengenai kuota gratis untuk para penggunanya. Kuota gratis ini didapatkan karena hasil kerja sama Telkomsel dan Bank Digital TMRW (Tomorrow). Ini dia langkah-langkah dan  cara mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB.

Apa itu Telkomsel TMRW?

TMRW bisa dibilang adalah bank digital yang bisa diakses melalui aplikasi di smartphone, bank ini dikelola oleh United Overseas Bank Limited yang merupakan bank multinasional dari Singapura yang kini sudah hadir di Indonesia. Kamu bisa mencoba aplikasi TMRW dengan mengunduhnya di Play store maupun App Store.

Sebagai pembukaan kehadiran TMRW, TMRW dan Telkomsel bekerja sama dan menghasilkan promo yang bernama TMRW Telkomsel 50 GB yang bisa anda dapatkan mulai 1 September hingga 31 Desember 2021.

Cara Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB untuk Anda Gunakan

 Untuk mendapatkan Kuota gratis ini memang diperlukan 3 langkah yang harus anda ikuti, mulai dari pembukaan rekening baru menggunakan TMRW, kemudian melakukan top up saldo dan melakukan transaksi setidaknya satu kali. Dalam tahapan tersebut, akan ada kuota yang bisa dapatkan yaitu:

-Kuota 5 GB untuk anda yang berhasil mendaftar sebagai nasabah untuk bank TMRW

-Kuota 15 GB apabila anda melakukan top up dalam kurun waktu 30 hari setelah anda mendaftarkan diri sebagai nasabah dari TMRW, top up ini harus dilakukan dengan minimal jumlah Rp.1.000.000

-Kuota 30 GB dapat anda dapatkan apabila anda sudah melakukan setidaknya sekali transaksi menggunakan kartu kredit dari TMRW dalam kurun waktu 45 hari setelah pembuatan akun rekening anda.

Setelah anda melihat ketentuan diatas, berikut ini ada cara untuk anda dalam menerima kuota gratis Telkomsel oleh TMRW:

  • Unduh Aplikasi TMRW melalui Play Store maupun App Store

    Cara Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB

  • Bukalah dan Izinkan permohonan akses untuk aplikasi tersebut.


Cara Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB

 

  • Lakukan pendaftaran dengan menekan pilihan tombol Daftar.

Cara Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB

 

  • Setelah itu anda bisa memilih jenis akun rekening TMRW yang anda ingin buat.


Cara Mendapatkan TMRW Telkomsel 50 GB

 

  • Selanjutnya anda bisa memasukan kode Telkomsel ini yaitu TSELTMRW50GB yang tersedia pada kolom pop up.
  • Anda bisa kemudian membaca dan menyetujui syarat dan ketentuan yang telah dicantumkan oleh TMRW
  • Selanjutnya anda bisa menekan konfirmasi
  • Lalu anda akan diminta untuk mengisi biodata diri anda, pastikan anda mengisi biodata dengan teliti setelah itu anda bisa menekan tombol konfirmasi.

Di atas adalah cara-cara yang bisa anda lakukan untuk mendapatkan kuota Telkomsel gratis melalui pendaftaran sebagai nasabah TMRW, anda tidak perlu ragu karena pada dasarnya TMRW sudah terdaftar melalui OJK dan dijamin keamanannya. Semoga Bermanfaat!

Gambar Header Pixabay

Digital Prepaid Strives to Become Consumers’ Alternative Service

Over the past decade, telecommunication operators have been experimenting to find the right formula to improve its business performance. Since the emergence of over-the-top (OTT) services in Indonesia, operators have developed various service models to bring in new customers and increase ARPU.

A series of operators have tried e-commerce and digital money businesses. They failed to develop a sustainable business. From two years ago, the operator is finally back with a new strategy. This time, it’s not creating digital services. Instead, they provide services that remains in the corridor of its core business, but with a different approach.

Operators introduce digital-based prepaid services. It is said as various user transaction activities are carried out entirely through the application. In this case, the operator offers a unique value proposition to accommodate market demand that likes to try new ways.

For example, consumers can customize the SIM card, or in other words, select a ‘special number’ through the application. Likewise the purchase and registration of cards. This method is definitely different from what we usually do; buy starter packs and top up data at the counters.

Currently, consumers have three choices of digital prepaid brands, by.U, Live.On, and MPWR. There used to be four, but Switch Mobile decided to discontinue its service in early 2021.

The question is, will digital prepaid services be able to survive the hustle and bustle of the telecommunications industry which is getting saturated? DailySocial, through this writings, has compiled various perspectives regarding the digital prepaid phenomenon and its projections in the future.

Changing operator’s branding

As previously said, telecommunications services are identical to conventional methods. In fact, the idea of ​​digitizing this process has been achieved considering that operators have its own applications that serve to provide data or credit package purchases. However, this is not the goal.

According to Telkomsel’s former President Director, Emma Sri Hartini, by.U could bring “refreshment” to the telecommunications industry that was more familiar with the presence of the old card brand. She considered by.U to be able to embrace the younger generation without having to be closely associated with Telkomsel, which has often been associated with expensive cellular cards.

Another reason is that today’s young generation tends not to want to be dictated to the service needs, aka product-driven. Digital prepaid cards offer service customization that is considered to be able to meet the needs of users in this segment.

Smartfren’s President Director, Merza Fachys previously said the same thing. This digital cellular brand can be positioned as a completely new product without the need to be associated with the existing parent brand.

Big job on increasing awareness

Based on its timestamp, by.U is the first digital prepaid product launched in Indonesia (October 2019). Then, followed by Switch Mobile (March 2020), Live.On (October 2020), and MPWR (December 2020). Almost two years later, are these products able to disrupt the existence of cards that have been circulating in the market for a long time? Can the new approach brands steal consumers’ attention?

The hypothesis above can easily be broken considering the Switch Mobile’s sudden discontinuation within only a year. Switch did not specify the reason behind this closure. We can assume this service is a failure in the market. It may also be because consumers are not used to enjoying cellular services in a new way. Otherwise, it could be a lack of awareness due to the Covid-19 pandemic situation which makes it difficult for service providers to market its products offline.

Another assumption is that the cellular market is already saturated, making it difficult to gain significant traction. Moreover, it is targeting certain segments, not the mass market.

Quoting Katadata, the Central Statistics Agency (BPS) noted that cellular card users reached 341.28 million in 2019, down from 435.1 million in 2017. Its penetration exceeded the total population of 269.6 million in 2019.

Platform Provider Rating
by.U Telkomsel 4.5 (5M+ downloads)
Live On XL Axiata 3.7 (100K+ downloads)
MPWR Indosat Ooredoo 2.7 (1M+ downloads)
Switch Mobile Smartfren Terminated

We tried to validate this with every digital prepaid service provider, but most were reluctant to share the data. Telkomsel isthe only provider willing to reveal a little information. by.U’s Principal Growth Lead, Riko Ringgoanto said its users reached 2.5 million after two years of launching. This means that by.U only contributed 1.4% of the total 169.2 million Telkomsel subscribers in the first semester of 2021.

Riko added, this achievement has exceeded the prior expectations. This target even consider the Covid-19 factor where consumers tend to reduce their spending. With the current total user and engagement, he said that by.U is already product-market fit.

“Awareness is still our big homework for the past two years. Due to Covid-19, it has become difficult for us to market advertisements and offline events. However, we continue to intensively do digital placements, enter youth communities in the region, and hold webinars. As by.U is a digital-only prepaid, it seems that it is becoming less chaotic. Indeed, offline channels still number one promotion in Indonesia. When the situation improves, we are prepared to promote in offline locations, such as MRT and KRL,” he explained.

Meanwhile, XL Axiata’s Head of External Communications, Henry Wijayanto agred on this. Although marketing activities have become limited, his team sees a positive impact where people are now getting used to doing digital activities.

“Similar challenges faced by all digital telco brands on how to increase awareness and credibility. Moreover, as a new brand, these things will often appear. We will continue to increase sustainable partnerships to encourage consumer needs to go digital,” Henry said to DailySocial.

Is it enough for disruption?

Secretary General of the ITB Telecommunication Policy and Regulatory Study Center Muhammad Ridwan Effendi said that the emergence of digital prepaid will be difficult to disrupt prepaid brands that have been around for a long time. In addition to today’s prepaid products, Indonesians seem to prefer products with more simple feature and easier to remember. Therefore, the new products emergence is considered to be difficult to survive.

“In some countries, digital operators such as the MVNO model enter with a community approach. However, it is still less successful here. There are [prepaid] products entering the youth community segment, eventually disbanding. Maybe we need to try to enter a wider community, such as religion, motorcycles, or music. This concept has been successful in several countries,” he explained.

Currently, Indonesia has at least more than ten brands of cellular cards, both prepaid and postpaid cards. In order to boost efficiency with today’s competitive cellular market, several operators have started to streamline its service brands.

Citing Liputan6.com, Telkomsel finally merged the prepaid brands from SimPATI, Loop, and Kartu AS into Telkomsel Prepaid. According to internal research conducted over the past year, Telkomsel sees customer segmentation as less relevant in the digital era. It is now more focused on presenting packages according to customer needs and interests.

Meanwhile, Telecommunications Observer from ITB, Ian Josef Matheus actually present a different perspective. Instead of coming up with new brands and approaches, operators should give consumers more understanding that postpaid and prepaid costs are eventually the same.

“Prepaid is indeed the biggest contributor to cellular operator income. However, prepaid cards should only be made in one brand and indeed what the community really needs. It is to avoide confusion for customers or potential customers with the combined advantages,” he told DailySocial.

In addition, operators can actually develop more innovations for postpaid because their ARPU is considered to guarantee more income. For example, providing volume-based or time-based on-demand payments for digital applications developed by mobile operators.

“Unfortunately, operators are yet to have a killer product which popularity can match WhatsApp, Zoom, or Telegram. In fact, self-owned applications can reduce outgoing traffic and streamline spending costs. Even if they cannot develop internally, at least operators can collaborate with the digital ecosystem to encourage increasing ARPU,” he added.

Respondent’s perspective

DailySocial had the opportunity to conduct a mini survey from the user’s point of view. As a disclaimer, this survey does not fully reflect the facts and problems in the field. This survey was conducted to show users’ perspectives regarding the use of digital prepaid services, as well as our efforts to validate it with related service providers.

The survey shows that most respondents use digital prepaid as a secondary number for their mobile data or internet needs. Respondents also admitted that they did not plan to make it their main number.

Some respondents admitted that they did not want to use it for some reasons, including not keen to install the application, not being interested, its complicated, and too many numbers. As many as 40% of respondents said they were not interested in trying digital prepaid in the future, 40% said they were interested, and 20% answered maybe.

Sumber: Mini Survey DailySocial
Source: DailySocial’s mini survey

“Before it was launched, we were aware that by.U would be used as a secondary number, and from the start we did not try to make by.U the main number. According to our internal research, the most spending was on secondary numbers. That’s why we tried to present rewards, free quotas, and additional features (music, podcasts, etc.) to increase user engagement. Therefore, they don’t just do mere transaction,” Riko said.

(+) (-)
Choose your own number Speed issue
SIM Card is being delivered SIM Card took a long time to arrive
Additional quota for certain app Delivery charge
Unlimited active period Application running slow
App-based SIM registration Customer service is difficult to reach
Unlimited data without FUP Unlimited data up to 2Mbps
SIM Card available through e-commerce Data package is often changing
Affordable data cost May not work in remote area

Various user perspectives regarding digital prepaid services / DailySocial Mini Survey

We also spoke with two anonymous sources regarding the use of Live.On and MPWR. Each has the same concern with user experience even though the issues are different.

According to Live.On users, the internet speed is fairly good as the signal and capacity in the area are strong. He said, the package is relatively affordable, not more expensive than Telkomsel, but not much cheaper than its parent operator XL. However, the Live On user experience from the payment side is considered less than optimal.

“I use Live.On for secondary numbers on different devices. When making payments, it becomes complicated because all e-wallet applications are already installed on the main device. Inevitably it has to be done on the same device because it requires synchronization. It should be just e-wallet number for it can be directly arranged,” said one user.

Meanwhile, MPWR users also claimed to have no problems with signal and internet. However, he considered the MPWR application to be less responsive and seamless. The appearance is also considered a bit different from most applications which usually come with up and down scroll modes.

“The MPWR looks sideways so it doesn’t feel good. In my opinion, the myIM3 application is actually better than MPWR. How come it loses to the parent application, even though the [MPWR] tagline is digital.” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan prabayar digital, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, masih berjuang menjadi pilihan sekunder / Pexels

Perjuangan Layanan Prabayar Digital Menjadi Pilihan Konsumen

Selama satu dekade terakhir, operator telekomunikasi bereksperimen mencari formula yang tepat untuk meningkatkan kinerja bisnisnya. Sejak kemunculan layanan over-the-top (OTT) di Indonesia, operator mengembangkan berbagai model layanan demi mendatangkan pelanggan baru dan peningkatan ARPU.

Sejumlah operator pernah menjajal bisnis e-commerce dan uang digital. Mereka gagal mengembangkan bisnis yang sustainable. Sejak dua tahun lalu, operator kembali hadir dengan strategi baru. Kali ini bukan menciptakan layanan digital. Mereka justru menghadirkan layanan yang masih di koridor core business-nya, tetapi dengan pendekatan berbeda.

Operator memperkenalkan layanan prabayar berbasis digital. Dikatakan demikian karena berbagai aktivitas transaksi pengguna dilakukan sepenuhnya melalui aplikasi. Di sini, operator menawarkan proposisi nilai yang unik untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pasar yang suka mencoba cara-cara baru.

Misalnya saja, konsumen bisa mengkustomisasi kartu SIM, atau istilahnya pilih ‘nomor cantik’ melalui aplikasi. Demikian juga pembelian dan registrasi kartu. Cara ini sudah pasti berbeda dengan yang biasa kita lakukan; membeli starter pack dan pulsa di counter-counter.

Saat ini, konsumen punya tiga pilihan brand prabayar digital, yakni by.U, Live.On, dan MPWR. Tadinya ada empat, tetapi Switch Mobile memutuskan untuk menyetop layanannya sejak awal 2021.

Pertanyaannya, apakah layanan prabayar digital mampu bertahan dengan hiruk-pikuk industri telekomunikasi yang semakin jenuh? Pada laporan ini, DailySocial menghimpun berbagai perspektif terkait fenomena prabayar digital dan proyeksinya di masa depan.

Mengubah branding operator

Sebagaimana dikatakan di atas, layanan telekomunikasi identik dengan metode konvensional. Sebetulnya, ide-ide mendigitalisasi proses ini sudah tercapai mengingat operator punya aplikasi masing-masing yang berfungsi untuk menyediakan pembelian paket data atau pulsa. Tetapi, ini bukan ini tujuannya.

Menurut mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini saat itu, by.U dapat membawa “penyegaran” bagi industri telekomunikasi yang lebih familiar dengan kehadiran merek kartu lama. Ia menilai by.U dapat merangkul generasi anak muda tanpa perlu dikaitkan erat dengan Telkomsel yang selama ini sering diasosiasikan sebagai kartu seluler mahal.

Alasan lainnya adalah generasi anak muda masa kini cenderung tidak ingin didikte kebutuhan layanannya alias product-driven. Kartu prabayar digital menawarkan kustomisasi layanan yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan pengguna di segmen tersebut.

Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys sebelumnya sempat mengatakan hal senada. Merek seluler digital ini dapat diposisikan sebagai produk yang betul-betul baru tanpa perlu dikaitkan dengan merek existing induknya.

PR besar meningkatkan awareness

Jika dirunut berdasarkan stempel waktunya, by.U menjadi produk prabayar digital pertama yang diluncurkan di Indonesia (Oktober 2019). Kemudian disusul oleh Switch Mobile (Maret 2020), Live.On (Oktober 2020), dan MPWR (Desember 2020). Hampir dua tahun berselang, apakah produk-produk tersebut mampu mendisrupsi keberadaan kartu-kartu yang sudah lama beredar di pasaran? Apakah branding dan pendekatan baru dapat mencuri perhatian konsumen?

Hipotesis di atas sebetulnya dapat dipatahkan dengan mudah mengingat layanan Switch Mobile keburu dihentikan di usia yang belum genap setahun. Pihak Switch tidak merinci alasan di balik penutupan ini. Kita bisa saja berasumsi layanan ini gagal di pasaran. Mungkin juga diakibatkan konsumen tidak terbiasa menikmati layanan seluler dengan cara baru. Atau bisa saja kurangnya awareness akibat situasi pandemi Covid-19 yang menyulitkan penyedia layanan memasasarkan produk secara offline.

Asumsi lainnya, pasar seluler memang sudah jenuh sehingga sulit untuk memperoleh traction secara signifikan. Ditambah lagi, target pasarnya saja segmented, bukan mass market.

Mengutip Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengguna kartu seluler mencapai 341,28 juta di 2019, turun dari 435,1 juta di 2017. Penetrasinya melampaui jumlah penduduk dengan 269,6 juta jiwa di 2019.

Platform Provider Rating
by.U Telkomsel 4.5 (5M+ downloads)
Live On XL Axiata 3.7 (100K+ downloads)
MPWR Indosat Ooredoo 2.7 (1M+ downloads)
Switch Mobile Smartfren Terminated

Kami mencoba memvalidasi hal ini ke setiap penyedia layanan prabayar digital, tetapi sebagian besar enggan membagikan datanya. Hanya Telkomsel yang mau mengungkap sedikit informasinya. Disampaikan by.U Principal Growth Lead Riko Ringgoanto, pengguna by.U mencapai 2,5 juta setelah dua tahun meluncur. Artinya, by.U baru berkontribusi 1,4% dari total 169,2 juta pelanggan Telkomsel di semester I 2021.

Menurut Riko, pencapaian itu sudah melebihi ekspektasi awal. Target ini bahkan sudah memperhitungkan faktor Covid-19 di mana konsumen cenderung mengurangi pengeluarannya. Dengan capaian jumlah dan engagement pengguna saat ini, ia menyebut by.U sudah product-market fit.

Awareness masih menjadi PR besar kami selama dua tahun ini. Karena Covid-19, kami jadi sulit untuk memasarkan iklan dan event offline. Tetapi, kami terus gencar lakukan digital placement, masuk ke komunitas anak muda di daerah, dan mengadakan webinar. Karena by.U digital only, kelihatannya jadi kurang wara-wiri. Memang promoting lewat kanal offline tetap tidak tergantikan di Indonesia. Jika situasi membaik, kami bersiap promoting di lokasi offline, seperti MRT dan KRL,” paparnya.

Sementara, Head of External Communications XL Axiata Henry Wijayanto  mengakui hal serupa. Meski kegiatan pemasaran menjadi terbatas, pihaknya melihat ada dampak positif di mana masyarakat kini mulai terbiasa beraktivitas secara digital.

“Tantangan serupa dihadapi semua digital telco brand, yaitu bagaimana meningkatkan awareness dan kredibilitas. Apalagi masuk sebagai merek baru, hal-hal ini akan kerap muncul. Kami akan terus meningkatkan kemitraan berkelanjutan untuk mendorong kebutuhan konsumen beraktivitas secara digital,” ujar Henry kepada DailySocial.

Mampukah mendisrupsi?

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai kemunculan prabayar digital akan sulit mendisrupsi merek prabayar yang sudah lebih lama muncul. Selain terlalu banyaknya produk prabayar saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia tampakya lebih menginginkan produk yang lebih sederhana dan mudah diingat. Maka itu, kemunculan produk baru dinilai akan sulit bertahan.

“Di beberapa negara, operator digital seperti model MVNO masuk dengan pendekatan komunitas. Tetapi di sini masih kurang berhasil. Ada produk [prabayar] yang masuk ke segmen komunitas anak muda, akhirnya bubar. Mungkin perlu dicoba untuk masuk ke komunitas yang lebih luas, seperti keagamaan, pemotor, atau musik. Konsep ini pernah berhasil di beberapa negara,” paparnya.

Saat ini setidaknya Indonesia punya lebih dari sepuluh merek kartu seluler, baik kartu prabayar maupun pascabayar. Demi mendorong efisiensi dengan persaingan pasar seluler saat ini, beberapa operator pun mulai merampingkan merek layanannya.

Mengutip Liputan6.com, Telkomsel akhirnya menggabungkan merek prabayar dari SimPATI, Loop, dan Kartu AS menjadi Telkomsel Prabayar. Menurut riset internal yang dilakukan selama setahun terakhir, Telkomsel melihat segmentasi pelanggan menjadi kurang relevan di era digital. Pihaknya kini lebih fokus menghadirkan paket sesuai kebutuhan dan minat pelanggan.

Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi dari ITB Ian Josef Matheus justru memberikan perspektif berbeda. Alih-alih hadir dengan merek dan pendekatan baru, operator sebaiknya memberikan pemahaman lebih kepada konsumen bahwa biaya dikeluarkan pascabayar dan prabayar akan sama saja.

“Prabayar memang berkontribusi terbesar terhadap pemasukan operator seluler. Namun, kartu prabayar sebaiknya dibuat dalam satu brand saja dan memang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Ini agar tidak menimbulkan kebingungan bagi pelanggan atau calon pelanggan dengan kelebihan yang digabungkan,” katanya kepada DailySocial.

Selain itu, operator sebetulnya bisa mengembangkan inovasi lebih bagi pascabayar karena ARPU-nya dinilai lebih menjamin pendapatan operator. Misalnya, menyediakan pembayaran on-demand baik volume-based atau time-based untuk aplikasi digital yang dikembangkan operator seluler.

“Sayangnya, operator belum punya killer product yang popularitasnya bisa menyamai WhatsApp, Zoom, atau Telegram. Padahal, aplikasi milik sendiri bisa menekan trafik keluar dan mengefisiensikan biaya pengeluaran. Kalaupun tidak bisa mengembangkan sendiri, setiknya operator dapat berkolaborasi dengan ekosistem digital untuk mendorong peningkatan ARPU,” tambahnya.

Perspektif responden

DailySocial kembali berkesempatan melakukan mini survey dari sudut pandang pengguna. Sebagai disclaimer, survei ini tidak sepenuhnya mencerminkan fakta dan permasalahan yang ada di lapangan. Survei ini dilakukan untuk menampilkan perspektif pengguna terkait pemakaian layanan prabayar digital, serta upaya kami memvalidasinya ke penyedia layanan terkait.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan prabayar digital sebagai nomor sekunder untuk kebutuhan mobile data atau internet. Responden juga mengaku tidak berencana untuk menjadikannya sebagai nomor utama.

Beberapa responden mengaku belum mau menggunakannya karena sejumlah alasan antara lain, malas instal aplikasi, tidak tertarik, ribet, dan terlalu banyak nomor. Sebanyak 40% responden mengaku tidak berminat mencoba prabayar digital di masa depan, sebanyak 40% menjawab berminat, dan 20% menjawab mungkin saja.

Sumber: Mini Survey DailySocial
Sumber: Mini Survey DailySocial

“Sebelum diluncurkan, kami sadar by.U bakal digunakan sebagai nomor sekunder, dan sejak awal kami tidak mencoba menjadikan by.U sebagai nomor utama. Menurut riset internal kami, spending paling banyak justru di nomor sekunder. Makanya, kami coba menghadirkan reward, free kuota, dan fitur-fitur tambahan (musik, podcast, dan lain-lain) untuk meningkatkan engagement pengguna. Jadi, mereka tidak cuma sekadar bertransaksi saja,” papar Riko.

(+) (-)
Bisa pilih nomor sendiri Kecepatan internet tak sesuai yang dijanjikan
Kartu SIM bisa dikirim ke rumah Pengiriman kartu SIM lama
Beli kuota tambahan untuk aplikasi tertentu Pengiriman kartu SIM dikenai biaya ongkir
Masa aktif selamanya Aplikasi sering bekerja lambat
Registrasi SIM melalui aplikasi Sulit menghubungi customer service
Paket data unlimited tanpa FUP Kecepatan internet unlimited hanya 2 Mbps
Bisa beli kartu SIM di marketplace Paket data sering berubah
Harga paket data terjangkau Ragu bisa digunakan di remote area

Ragam perspektif pengguna terkait layanan prabayar digital / Mini Survey DailySocial

Kami juga berbincang dengan dua narasumber anonim terkait penggunaan Live.On dan MPWR. Masing-masing memiliki concern yang sama dengan user experience meski isu yang dialaminya berbeda.

Menurut pengguna Live.On, kecepatan internetnya terbilang bagus karena sinyal dan kapasitas di areanya termasuk kuat. Harga paket pun menurutnya cukup relatif terjangkau, tidak lebih mahal dari Telkomsel, tetapi tidak jauh lebih murah juga dari operator induknya XL. Akan tetapi, user experience Live On dari sisi pembayaran dinilai kurang maksimal.

“Saya pakai Live.On untuk nomor sekunder di perangkat berbeda. Ketika melakukan pembayaran, jadinya ribet karena semua aplikasi e-wallet sudah terpasang di perangkat utama. Mau tak mau harus dilakukan di perangkat yang sama karena ada sinkronisasi. Seharusnya, pembayaran itu tinggal memasukkan nomor e-wallet saja sehingga bisa langsung diatur,” ujar seorang pengguna.

Sementara, pengguna MPWR  juga mengaku tidak memiliki masalah pada sinyal dan internet. Namun, ia menilai aplikasi MPWR kurang responsif dan seamless. Tampilannya pun dinilai agak berbeda dengan aplikasi kebanyakan yang biasanya hadir dengan mode scroll ke atas dan bawah.

“Tampilan MPWR malah menyamping jadi rasanya kurang enak. Menurut saya, aplikasi myIM3 justru lebih baik daripada MPWR. Kok malah kalah sama aplikasi induknya, padahal tagline [MPWR] itu kan digital.” Tuturnya.

DigiHackAction 2021 Resmi Mengumumkan Tiga Pemenang dengan Inovasi Terbaik di Bidang AdTech dan MarTech

DigiHackAction 2021 Resmi Mengumumkan Tiga Pemenang dengan Inovasi Terbaik di Bidang AdTech dan MarTech

Program hackathon yang digagas secara kolaboratif oleh Telkomsel DigiAds, TINC dan DailySocial.id memasuki tahapan akhir. Setelah melalui tahapan kurasi dan seleksi yang ketat dari ratusan peserta, kemudian rangkaian Demo Day dari 10 peserta yang terpilih, akhirnya DigiHackAction kini telah resmi mengantongi 3 nama pemenang hackathon dalam menghadirkan inovasi produk teknologi seputar Advertising Technology (AdTech) dan Marketing Technology (MarTech) khususnya bagi industri UMKM. Siapa saja ketiga pemenang DigiHackAction tersebut?

Sebelum membahasnya lebih lanjut, beberapa informasi terkait kriteria penilaian patut Anda perhatikan. Setelah menerima lebih dari 300 ide yang masuk, DigiHackAction menerapkan beberapa kriteria penilaian bersama dengan panel juri yang datang dari industri dan ahli bidang terkait. Kriteria penilaian pertama adalah menilai kelayakan tim yang dilihat berdasarkan kemampuan, dan pengalaman teknikal yang dimiliki oleh masing-masing tim. Poin ini cukup krusial mengingat kemampuan melakukan rekayasa komputasi menjadi aspek utama dalam ajang hackathon.

Kriteria penilaian kedua adalah mengukur tingkat kompetensi peserta, dalam menghadirkan solusi teknologi yang relevan di bidang AdTech dan MarTech. Kriteria penilaian ini juga cukup krusial. Pasalnya, kompetensi yang diukur tidak hanya berdasarkan pada rancangan teknologi saja, namun juga inovasi yang ditawarkan harus menjawab permasalahan yang dihadapi khususnya oleh industri UMKM menuju digitalisasi – sesuai dengan sasaran DigiHackAction.

Sementara itu, kriteria penilaian terakhir adalah mengukur kesiapan produk (prototipe) yang telah dibuat oleh peserta. Perlu diketahui, DigiHackAction menerima aplikasi atau produk yang masih baru memiliki fitur minimal (MVP) yang juga terhubung oleh API dari pihak penyelenggara. Pada kriteria ini, panel juri akan memastikan API yang disediakan oleh penyelenggara telah dimanfaatkan dan terhubung dengan optimal atau oleh peserta.

Sebagai tambahan, kriteria penilaian juri juga tidak luput dari penilaian potensi pengembangan dari inovasi yang dihasilkan oleh peserta. Sejalan dengan visi dan misi DigiHackAction yang ingin berkontribusi dalam transformasi digital khususnya bagi pelaku UMKM lewat AdTech dan MarTech, inovasi yang ditawarkan peserta juga wajib dapat direalisasikan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi pasar yang membutuhkan.

Inilah ketiga pemenang DigiHackAction 2021!

1. Cek Toko Sebelah App

Sesuai namanya, inovasi teknologi AdTech dan MarTech yang diusung oleh Cek Toko Sebelah App berkisar pada platform komparasi harga pada layanan marketplace. Menariknya, inovasi yang hanya dimotori oleh satu orang ini hadir dalam bentuk web extension (add-on) yang tentu sangat mudah diimplementasi oleh pengguna.


2. Tim Deadliner

Dengan mengandalkan ide bertajuk “CoBo”, tim yang dibentuk oleh dua alumni ITB dan UGM ini mencoba menawarkan solusi teknologi content marketing bagi pelaku bisnis UMKM lewat teknologi Natural Language Processing Artificial Intelligence. Teknologi CoBo sendiri mencoba mengolah arus kolom komentar di sosial media yang dapat dimanfaatkan oleh pebisnis sebagai tools marketing yang jitu.

3. StoriAI

Tim yang digawangi oleh Dzakwan Silverdi dan Aimmatul ini punya teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI) yang disematkan dalam produk inovasinya untuk AdTech dan MarTech bagi kebutuhan social media marketing. Dalam profilnya disebutkan, kedua co-founder yang berasal dari Universitas Gadjah Mada ini mengimplementasikan teknologi Generative Pretrained Transformer 3 (GPT-3) yang memungkinkan pengguna untuk menghasilkan narasi komersial baik itu untuk product copywriting, hingga caption media sosial tanpa perlu memiliki skill copywriting yang baik. Teknologi AI yang disematkan akan membantu pengguna menghasilkan hal tersebut.

“Ada lebih dari 300 submission yang kita terima selama periode. Dan hari ini kita sudah melakukan judges dari top 10 dan akhirnya dapat 3 pemenang. Kami sangat senang sekali melalui ajang ini bisa membuka pintu masuk untuk inovasi di bidang digital advertising dan juga bagi industri UMKM,”  ujar Ronny Sugiadha selaku Senior Vice President Digital Advertising, Banking and Data Solutions Telkomsel.

“Kami menyadari untuk membesarkan industri digital tidak bisa dilakukan sendiri, untuk itu kami kolaborasi dengan startup digital kami rasa penting untuk tidak hanya mengakselerasi bisnis telkomsel, namun juga melalui kolaborasi ini bisa membesarkan industri startup digital, dan industri lain secara keseluruhan” tambah Andi Kristianto, selaku Pj. SVP Corporate Strategy and Strategic Investment of Telkomsel.

Hadirnya program DigiHackAction 2021 ini telah membuka peluang bagi para talenta digital untuk terus berkembang di bidang AdTech dan MarTech di Indonesia, sekaligus memperluas keterbukaan kolaborasi bersama Telkomsel dan antarstartup. Tidak hanya bagi ketiga pemenang dalam program hackathon bidang AdTech dan MarTech pertama di Indonesia, namun bagi 100+ peserta yang telah mengikuti program ini juga menjadi langkah awal perjalanan baru dalam mengakselerasi bisnis startup  mereka.

Menantang Inovator dan Founder Bantu UMKM Memasarkan dan Mengiklankan Produknya Secara Efektif

Hadirnya layanan digital seperti online marketplace dan social media telah terbukti membuka ruang yang semakin lebar bagi pelaku UMKM untuk merangkul pangsa pasar yang lebih luas. Namun di balik itu, kemudahan akses yang diberikan juga memberikan tantangan tersendiri, yakni kompetisi yang semakin sengit. Di ranah online, ada ribuan hingga jutaan pelaku usaha yang menyajikan produk atau layanan serupa, maka selain unique selling point yang kuat, pebisnis juga harus memikirkan secara matang strategi pemasaran dan pengiklanan yang tepat.

Sayangnya dengan kondisi pasar yang sangat beragam mengharuskan pelaku bisnis untuk memiliki cara-caranya sendiri agar kegiatan pemasaran dan iklannya mendapati perhatian dan konversi maksimal. Dan kenyataannya tidak semua pebisnis memiliki kecakapan tersebut, dan kelas-kelas ala digital marketing membutuhkan biaya dan waktu yang relatif panjang.
Dari permasalahan tersebut kemudian munculah terminologi advertising technology (adtech) dan marketing technology (martech). Pada dasarnya kedua inovasi teknologi tersebut ditujukan untuk memudahkan pebisnis dalam merencanakan, merancang, mengeksekusi, dan mengukur kegiatan pemasaran dan iklan yang dilakukan agar lebih tepat sasaran dan efektif. Peran teknologi di dalamnya membantu pelaku UMKM dalam melakukan pemasaran digital modern.

Cakupannya dapat dimulai dari aspek yang paling dasar, misalnya, di tahap perencanaan. Teknologi seperti kecerdasan buatan dapat membantu pebisnis menentukan kanal pemasaran yang efektif didasarkan pada tipe bisnis dan persona konsumen yang ingin disasar. Atau di tingkat eksekusi inovasi ala omnichannel yang dapat memudahkan pebisnis dalam mengelola iklan digital di berbagai kanal dalam satu dasbor terpusat.

Melalui berbagai kanal pemasaran tersebut, industri UMKM dapat menerapkan beragam solusi kreatif tersebut dalam bisnis mereka. Mengingat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga kini, tercatat lebih dari 60 juta pelaku UMKM, sayangnya hanya sebesar 8 persen jumlah pelaku UMKM yang baru mengadopsi digital. Melihat jumlah tersebut potensi masif jelas terpampang lebar, terlebih pada kebutuhan mendorong industri UMKM lewat pemasaran digital.

Untuk menyambut potensi tersebut, inovator di bidang teknologi mesti mampu melihat celah yang dapat dimanfaatkan untuk sama-sama bertumbuh. Dalam mendukung modernisasi pemasaran digital, salah satu operator telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel menyelenggarakan Digihackaction, sebuah wadah kolaboratif di bidang teknologi yang menargetkan lahirnya inovasi baru di bidang advertising technology dan juga marketing technology, untuk mendukung industri UMKM lewat pemasaran digital.

Guna merealisasikan ide ataupun solusi yang Anda miliki untuk UMKM Indonesia, Telkomsel DigiAds, Tinc, berkolaborasi dengan DailySocial.id dalam membuka kesempatan tersebut melalui program hackathon Digihackaction 2021, yang menjadi perhelatan hackathon pertama di Indonesia pada bidang pemasaran digital modern. Program tersebut memberikan peluang bagi para inovator yang memiliki ide untuk memperkuat UMKM melalui berbagai kanal pemasaran digital, yang bisa diaplikasikan langsung oleh para pelaku usaha mikro.

Inovasi yang dapat Anda tawarkan dalam bidang ini sangat terbuka lebar. Misalnya saja, jika Anda memiliki ide untuk mengkombinasikan omnichannel dengan permasalahan di dunia periklanan, Anda dapat mengimplementasikannya ke dalam inovasi Digital Advertising Omnichannel. Inovasi lain yang mungkin dapat menjadi inspirasi, Anda bisa mencoba di ranah analisis data bagi industri periklanan, dengan mengkombinasikan fungsi Business Intelligence untuk ranah marketing yang akan menghasilkan strategi pemasaran berbasis data. Masih banyak lagi inspirasi dan inovasi lainnya yang dapat Anda telusuri untuk menghasilkan solusi di dunia pemasaran digital. Ranah seperti SEO, programmatic ads, hingga Software-As-A-Service (SaaS) juga dapat Anda jajaki.

Setiap orang maupun tim bisa mendaftarkan lebih dari satu ide di Digihackaction. Yang nantinya akan diimplementasikan untuk mengembangkan industri UMKM, sekaligus Anda juga berkesempatan untuk mengembangkan prototype tersebut menjadi sebuah startup yang bisa dibangun ke depannya, dibantu dengan teknologi yang didukung oleh Telkomsel DigiAds dan Tinc, serta berkesempatan mendapatkan pendanaan dari Telkomsel.

Tidak hanya itu, Telkomsel DigiAds dan Tinc menyediakan akses API sandbox berupa, API ‘Adtag’ dan ‘Adscript’ yang dapat dimanfaatkan para pengembang sebagai “playground” atau “testing environment” untuk menghasilkan prototipe (purwarupa) terkait solusi bagi AdTech dan juga MarTech. Secara teknis, akses API ini akan diberikan secara eksklusif bagi peserta Digihackaction yang berhasil memasuki fase 100 besar. Keuntungan lain yang akan didapatkan oleh para peserta adalah memperluas network bisnis startup bersama Telkomsel DigiAds, Tinc, dan jejaring mereka, hingga mendapatkan kesempatan hadiah ratusan juta rupiah.

Untuk bisa mengikuti program hackathon ini, para peserta diminta untuk mengisi formulir registrasi yang ada di laman resmi Digihackaction 2021. Peserta bisa mendaftarkan diri secara perseorangan maupun tim dan mendaftarkan beragam ide yang berbeda dengan formulir yang berbeda. Bagi Anda yang belum memiliki link video bisa melewati persyaratan tersebut dan melanjutkan mengisi kolom yang tersedia. Sedangkan untuk contoh portofolio bisa diunduh dan mengikuti template yang telah disediakan oleh panitia.

Advertorial ini didukung oleh Digihackaction

Telkom Launches Ad-Inventory Platform “Tanah Air Digital Exchange”

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) officially launched the Indonesia Digital Exchange (TADEX) advertising inventory platform. This is the collaboration between two of Telkom’s subsidiaries, Telkomsel and Metranet, along with the Press Council, Task Force Media Sustainability, and the Advertising Association.

In the virtual launch, President Joko Widodo believes TADEX will add up value into the Indonesian digital advertising industry. TADEX is also expected to open up new opportunities for advertisers, publishers, marketers, and other stakeholders.

“TADEX’ launching is an important momentum to deliver new leaps to encourage a better Indonesian digital ecosystem and become the largest in Southeast Asia,” he said.

Meanwhile, Telkom’s President Director Ririek Adriansyah believes that advertising will not lost its market even though people’s purchasing power is weakening in the current economic situation. In fact, she notices shifting in the need for advertising through digital platforms.

“We are committed to supporting various ecosystems through optimizing digital technology. This is all in line with our efforts to transform into a digital telecommunications operator (digico) in Indonesia,” Ririek said.

On the other hand, the Chairman of the Indonesian Press Council, Mohammad Nuh, considered that TADEX can raise awareness of data as an essential asset this generation should manage properly. “We expect that TADEX can create a healthy digital advertising industry, therefore, it can contribute to a national press ecosystem that is friendly to readers, especially in terms of content experience,” she said.

Supported by big data analytic

The TADEX platform is said to be the first platform to present the premium programmatic advertising publisher in Indonesia. The company mentioned, there are three excellent features offered.

First, this platform is connected to Telkom Group’s big data analytics, which is said to be able to boost advertising effectiveness. Second, TADEX provides a wide selection of digital advertising medium categories, ranging from SMS, MMS, applications, and websites from trusted publishers.

Third, TADEX allows users to personalize ads extensively. All of these features are expected to drive targeted advertising and reach a broader range of users and ad recipients.

Supported by Telkom Group’s big data analytic system, TADEX is claimed to be able to offer great scalability and impact as it provides various kinds of inventories that allow advertising content to be broadcast widely and on target.

Brand owners or media agencies can find the services they need with a variety of quality inventory. All inventories are owned by media publishers who have been verified by the Press Council.

“We are trying to create access and optimizing digital potential in various industrial sectors. This is a continuation of Telkomsel’s business transformation which is our basis for presenting products and services to meet people’s digital lifestyles,” Telkomsel’s President Director, Hendri Mulya Syam said.

Hendri said, TADEX can help advertisers optimize their ad campaigns, from traffic, placement, to delivery time , therefore, they can connect with the right segments. By leveraging data, TADEX generates comprehensive insights that advertisers can use for target profiling.

Previously, Nielsen said that the digital advertising prospect in Indonesia is expected to increase in 2021. Referring to the data in 2020, advertising in the digital space increased by four times compared to the previous year. One of the factors is said that advertisers have shifted their budget to digital during the Covid-19 pandemic.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian