Turnamen Dota 2 terbesar tahunan yang diselenggarakan oleh Valve, The International akan segera dimulai. Dota 2 maupun The International mempunyai sejarah yang panjang sebelum menjadi kompetisi esports dengan hadiah terbesar di dunia. Turnamen seri yang kesepuluh ini akan digelar pada 7 hingga 17 Oktober 2021 mendatang di Bucharest, Romania. The International 10 kali ini diikuti oleh 18 tim Dota 2 terbaik dari seluruh penjuru dunia.
Tim-tim peserta The International 10 sudah melakukan bootcamp atau latihan keras jauh-jauh hari. Mereka ingin tampil maksimal dalam turnamen yang memperebutkan total hadiah hingga US$40 juta atau sekitar Rp570 miliar ini. Lalu dari 18 tim peserta tersebut, tim manakah yang bakalan menjuarai TI10?
Berikut ini 5 tim yang dijagokan akan menjuarai The International 10:
1. EVIL GENIUSES
Evil Geniuses adalah tim yang paling dijagokan akan menjuarai TI10. Penampilan konsisten di tahun 2021 ini adalah salah satu alasannya. Evil Geniuses selalu finis di urutan 2 terbaik dari 4 turnamen yang mereka ikuti musim ini. Evil Geniuses berhasil menjuarai DPC 2021: S1 – NA Upper Division dan menjadi juara 2 DPC 2021: S2 – NA Upper Division. Pada 2 turnamen major tahun ini Evil Geniuses juga sukses menjadi runner-up, yakni di turnamen ONE Esports Singapore Major 2021 dan WePlay AniMajor.
Selain itu, skuad Evil Geniuses juga sudah matang dan terbentuk sejak lama. Pemain terakhir yang masuk ke dalam tim adalah iceiceice. Iceiceice menggantikan RAMZES666 untuk posisi offlaner pada tahun 2020 kemarin. Keinginan kuat tim meraih trophy Aegis untuk kedua kalinya sejak tahun 2015 silam juga dapat menjadi semangat tim untuk memenangi The International tahun 2021 ini.
2. OG ESPORTS
Meskipun sempat kesulitan di musim 2021 ini dan hampir gagal lolos, OG Esports akhirnya menunjukan kualitasnya. OG Esports berhasil lolos melalui babak kualifikasi TI10 wilayah Eropa Barat dengan menyingkirkan tim-tim kuat lainnya seperti Tundra Esports, Team Liquid, dan Team Nigma.
Hal tersebut bisa menjadi bukti bahwa OG Esports saat ini sedang bangkit. Sejak ditinggal 2 pemainnya, ana dan JerAx, penampilan OG semakin menurun. Kini squad OG Esports semakin matang dengan 2 pemain barunya yakni SumaiL dan Saksa. Keduanya membuat OG Esports menjadi salah satu penantang terkuat dalam perebutan trophy Aegis. Apalagi saat ini mereka juga berusaha memecahkan rekor juara TI sebanyak 3 kali beruntun.
3. PSG.LGD
PSG.LGD dapat dikatakan sebagai tim Dota 2 terbaik di Tiongkok saat ini. Meskipun pada 2 turnamen DPC Tiongkok 2021 PDG.LGD hanya mampu menempati posisi 4 dan 2 klasemen akhir, namun mereka selalu tampil konsisten di 2 turnamen majornya. PSG.LGD berhasil meraih peringkat ketiga di ONE Esports Singapore Major 2021 dan menjuarai WePlay AniMajor.
PSG.LGD lolos otomatis menuju The International 10 dengan perolehan 1300 DPC. Padahal peta persaingan tim-tim Dota 2 di Tiongkok sangat ketat. Impian untuk mengembalikan dinasti tim Dota 2 Tiongkok di TI 10 bisa menjadi penambah semangat bagi PSG.LGD.
4. TEAM SECRET
Team Secret juga menjadi salah satu tim yang mempunyai potensi untuk menjuarai TI 10. Team Secret merupakan wakil dari Eropa yang lolos otomatis bersama dengan Alliance. Perjalanan DPC Team Secret musim ini cukup memuaskan. Team Secret berhasil menjuarai DreamLeague Season 14 DPC EU Upper Division dan berakhir di peringkat 4 klasemen akhir DreamLeague Season 15 DPC Western Europe Upper Division. Pada 2 turnamen major performa Team Secret menurun. Team Secret hanya mampu finis di urutan 4 ONE Esports Singapore Major 2021 dan urutan 16 di WePlay AniMajor.
Namun demikian, keunggulan Team Secret adalah dari segi squad yang dimiliki. Team Secret sangat jarang sekali mengganti pemainnya. Sekarang, Puppey dan kawan-kawan sudah bersama dalam tim lebih dari 2 tahun. Potensi Team Secret untuk menjadi juara TI 10 juga semakin tinggi karena tim ini merupakan salah satu tim kuat Dota 2 yang hingga saat ini masih belum pernah menjuarai turnamen tahunan terbesar dari Valve.
5. T1
T1 menjadi tim Dota 2 yang juga dijagokan untuk menjuarai TI 10. Wakil dari SEA, yang diperkuat oleh 2 pemain Indonesia, ini mempunyai performa yang bagus pada DPC musim 2021 ini. T1 berhasil menempati posisi ketiga DPC 2021: S1 – SEA Upper Division dan menjuarai DPC 2021: S2 – SEA Upper Division. Pada turnamen major terakhir yakni WePlay Animajor, T1 sukses menempati posisi 3 turnamen.
T1 merupakan tim kuda hitam yang tidak boleh disepelekan oleh tim lainnya. Meskipun squad dari T1 diisi oleh pemain-pemain yang baru bergabung dan berasal dari 3 negara yang berbeda, namun T1 mempunyai semangat juang yang tinggi. Motivasi T1 semakin bertambah karena mereka akan jadi tim SEA pertama yang memenangi The International jika berhasil.
Itulah tadi 5 tim yang dijagokan untuk menjuarai The International 10 mendatang. 5 tim di atas mempunyai kemampuan, potensi, dan motivasi yang tinggi untuk menjadi juara. Namun The International bukanlah turnamen yang penuh cerita jika tidak ada kejutan. Kita lihat saja nantinya tim manakah yang akhirnya berhasil mengangkat trophy Aegis The International pada Oktober 2021 mendatang?
The International 10 belum juga resmi digelar namun banyak cerita sudah mewarnai gelaran tahunan terbesar Dota 2 ini. Mulai dari turnamen yang tadinya direncanakan digelar pada tahun 2020 kemarin harus ditunda karena pandemi COVID-19 hingga sengitnya persaingan DPC musim ini.
Sengitnya persaingan DPC musim ini membuat beberapa tim kuat gagal lolos menuju TI 10. Beberapa nama tim kuat yang gagal lolos antara lain Team Nigma, Team Liquid, Tundra Esports, NAVI, hingga EHOME. Selain itu sengitnya persaingan DPC musim ini juga membuat beberapa pemain veteran Dota 2 juga gagal lolos menuju TI 10.
Siapa saja mereka? Berikut daftar 5 pemain veteran Dota 2 juga gagal lolos menuju TI 10:
1. KuroKy
Kegagalan Team Nigma untuk lolos ke dalam The International 10 mengejutkan banyak pihak. Pasalanya Team Nigma merupakan salah satu tim Dota 2 papan atas di Eropa. Selain itu squad Team Nigma juga diisi oleh mantan pemain Team Liquid yang berhasil menjuarai TI 7 dan runner-up TI 9 kemarin.
Sayangnya performa dari KuroKy dan kawan-kawan terus menurun sepanjang tahun 2021 ini. Mereka hanya mampu finis di urutan 13 klasemen akhir DPC 2021. Sementara tim yang lolos menuju TI 10 hanya diambil 12 tim teratas saja. Kemudian pada babak kualifikasi TI 10, Team Nigma juga tampil buruk setelah dikalahkan oleh OG di final lower bracket.
Kini rekor penampilan KuroKy di TI sudah terhenti. Sebelumnya KuroKy menjadi salah satu pemain yang tidak pernah absen selama gelaran The International Dota 2 berangsung sejak 2011 silam. Kemudian, sebagai pemain veteran, KuroKy juga menyandang pemain dengan 1.000 kemenangan di pertandingkan kompetitif Dota 2 dan menjadi pemain dengan penggunaan jumlah hero terbanyak di dunia profesional.
2. Dendi
Ikon Dota 2 Dendi untuk kesekian kalinya gagal lolos ke dalam The International. Terakhir kali Dendi bertanding pada gelaran TI adalah pada tahun 2016 silam bersama NAVI. Sayangnya setelah 5 tahun berjuang, Dendi masih belum bisa menembus turnamen nomor 1 Dota 2 ini.
Memang semenjak Dendi memutuskan keluar dari NAVI pada tahun 2018 kemarin dan membentuk timnya sendiri, performanya terus menurun. Juara TI 1 dan finalis TI 2 serta TI 3 tersebut terus berkutat di papan tengah turnamen Dota 2 di kawasan CIS.
Hingga akhirnya musim ini bersama tim B8, Dendi masih belum mampu mengembalikan performanya. Usianya yang saat ini sudah mencapai 31 tahun sepertinya juga menjadi penyebab turunnya performanya. Meskipun begitu Dendi tetaplah Dendi, sang ikon veteran dan legenda Dota 2.
3. Sylar
Sylar adalah pemain Dota 2 asal Tiongkok yang sudah terjun ke dunia kompetitif Dota 2 pada tahun 2011 silam. LGD Gaming adalah tim pertama yang merekrut Sylar di usiannya yang ke 18 tahun. Sylar membawa tim-tim yang dia bela menjadi tim papan atas di kompetisi Dota 2 Tiongkok maupun internasional.
Sayangnya performa tim yang dia bela selalu naik turun. Meskipun selalu tampil apik di setiap turnamen yang dijalani, namun timnya kesulitan untuk memenangkan sebuah turnamen. Sylar sudah tampil sebanyak 5 kali dengan 3 tim yang berbeda di gelaran The International. Namun tidak sekalipun berhasil menjuarainnya. Prestasi terbaiknya adalah 1 kali juara 2 bersama Vici Gaming di tahun 2014 dan 2 kali juara 3 bersama LGD Gaming di tahun 2012 dan 2015.
Musim ini Sylar bermain untuk tim EHOME. Persaingan ketat Dota 2 di Tiongkok membuatnya kesulitan untuk menembus papan atas turnamen. Pada babak kualifikasi TI 10 kemarin, EHOME gagal lolos setelah dikalahkan oleh Elephant di partai final.
4. EternaLEnVy
Siapa penggemar esports Dota 2 yang tidak mengenal EternaLEnVy? Pemain asal Amerika Serikat yang mempunyai julukan lain bernama EE Sama tersebut mempunyai kemampuan bermain Dota 2 yang mengagumkan. Sayangnya banyak juga skandal yang melibatkan dirinya dalam kiprahnya di kompetisi profesional.
EternaLEnVy pertama kali terjun ke dunia esports Dota 2 pada tahun 2012 silam bersama No Tidehunter. No Tidehunter adalah pemain berbakat di game Heroes of Newerth sebelum memutuskan untuk pindah ke Dota 2. Puncak kejayaan karir EternaLEnVy terjadi pada tahun 2014 saat tergabung bersama Cloud 9. Sayangnya EternaLEnVy hanya mampu finis di urutan 5 besar gelaran The International 2014.
Selanjutnya karir dari EternaLEnVy tidak menentu. Dia sering sekali berpindah pindah tim setelah dream team Cloud 9 memutuskan untuk bubar. Beberapa tim besar pernah EternaLEnVy bela seperti Team Secret, Team NP, dan Fnatic. Pada tahun 2021 ini performanya juga semakin menurun. EternaLEnVy bermain untuk 3 tim pada tahun ini yakni Black N Yellow, bumble bEE’s, dan terakhir 4 Zoomers.
5. Aui_2000
Aui_2000 juga merupakan salah satu pemain veteran yang gagal lolos ke dalam The International 10 mendatang. Aui_2000 mengawali karir Dota 2 bersamaan dengan EternaLEnVy yakni pada tahun 2012 silam. Kedua pemain bertemu dan membentuk tim yang akhirnya bernama Cloud 9.
Setelah Cloud 9 bubar pada tahun 2015, karir Aui_2000 berbeda dengan EternaLEnVy. Aui_200 selalu tampil konsisten dan membela tim-tim besar. Beberapa contohnya adalah Evil Geniuses, Digital Chaos, dan Team NP. Bersama Evil Geniuses Aui_2000 berhasil menjuarai The International 2015 silam.
Setelah itu Aui_2000 memilih untuk menjadi coach sebelum akhirnya kembali menjadi pemain lagi pada tahun 2019. Pada tahun 2021 ini Aui_2000 tergabung bersama Arkosh Gaming. Sayangnya penampilannya tidak mampu membawa tim asal Kanada ini melaju ke TI 10.
Itulah tadi 5 pemain veteran yang gagal lolos menuju The International 10. Meskipun mempunyai pengalaman yang banyak namun usia yang semakin bertambah sepertinya tidak bisa ditutupi. Kita lihat saja apakah mereka masih akan terus bermain dan berjuang untuk dapat mengikuti The International 11 mendatang.
Sebulan menjelang The International 10, Valve masih belum menjual tiket dari kompetisi tersebut. Sementara itu, liga League of Legends Tiongkok menunjukkan trofi baru yang dibuat oleh perusahaan perhiasan Tiffany and Cos. Astralis mengungkap bahwa mereka punya tim Rainbow Six yang akan bertanding di Amerika Utara, sementara TSM FTX buat tim Call of Duty: Mobile.
Astralis Akuisisi Disrupt Gaming, Jajaki Skena Esports Rainbow Six di Amerika Utara
Astralis baru saja mengakuisisi tim Rainbow Six dari Disrupt Gaming. Dengan ini, organisasi esports asal Eropa itu resmi melebarkan sayap mereka ke Amerika Utara. Melalui akuisisi ini, Astralis akan menguasai aset, staf penting, dan fasilitas milik Disrupt Gaming. Selain itu, tim Rainbow Six Disrupt Gaming akan berganti nama menjadi Astralis US. Mereka akan bertanding di liga Rainbow Six untuk kawasan Amerika Utara.
“Melakukan ekspansi ke Amerika Utara dan menjajaki Rainbow Six NA League adalah rencana besar untuk kami,” kata Pendiri dan Chief Revenue Officer, Astralis, Jakob Lund Kristensen, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami ingin membawa sesuatu yang baru dan menarik bagi fans Rainbow Six. Pada saat yang sama, kami ingin memberikan tim baru yang berlaga di liga dan game baru bagi semua fans Astralis di dunia.”
LPL Perkenalkan Trofi Baru, Buatan Tiffany and Co.
League of Legends Pro League (LPL) menunjukkan Silver Dragon Cup yang baru. Trofi tersebut dibuat oleh perusahaan perhiasan Tiffany and Co. dalam rangka untuk merayakan ulang tahun League of Legends ke-10 di Tiongkok. Informasi terkait Silver Dragon Cup baru tersebut diumumkan pertama kali pada LPL Summer Final, yang digelar di Hangzhou Olympic Sports Centre. Trofi itu ditempa oleh Shen XinPei, seorang Seniman Warisan Budaya Takbenda asal Tiongkok. Salah satu material yang digunakan untuk menempa trofi tersebut adalah kepingan dari Silver Dragon Cup yang lama.
Di Silver Dragon Cup baru, Anda akan menemukan ukiran nama dari tim-tim yang pernah memenangkan LPL Spring dan Summer Finals, termasuk EDward Gaming, tim esports yang memenangkan LoL Pro League pertama pada 2013. Kali ini merupakan kali kedua Tiffany and Co. bekerja sama dengan LoL Esports di Asia. Sebelum ini, Tiffany and Co. bekerja sama dengan liga League of Legends Korea untuk membuat cincin dan gelang yang menjadi bagian dari koleksi Tiffany 1837 Makers. Perhiasan tersebut juga diberikan pada setiap pemenang dari LCK selama tiga tahun, menurut laporan Esports Insider.
Kingston FURY Kerja Sama dengan Cloud9
Organisasi esports asal Amerika Utara, Cloud9, telah menjalin kerja sama dengan Kingston FURY. Melalui kerja sama ini, Kingston FURY akan menjadi rekan RAM resmi dari Cloud9. FURY adalah salah satu sub-merek milik Kingston, yang dikenal sebagai produsen RAM, SSD, dan memory cards. Melalui FURY, Kingston mencoba untuk membuat produk yang fokus pada performa. Mengingat HyperX telah dijual ke HP, FURY jadi satu-satunya sub-merek Kingston yang fokus pada performa. Saat ini, FURY merupakan merek untuk RAM performa tinggi yang digunakan di gaming PC.
“Kingston terus mendedikasikan diri untuk komunitas game dan esports, dengan mendesain produk yang dibuat secara khusus untuk para gamers dan techenthusiasts,” kata Senior Director of Marketing, Kingston, Craig Tilmont, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami senang karena bisa bekerja sama dengan Cloud9, yang akan menggunakan RAM Kingston FURY di perangkat gaming mereka.”
TSM FTX Perkenalkan Tim CoD: Mobile
TSM FTX mulai menjajaki skena esports Call of Duty: Mobile setelah mengakuisisi tim dari Truly. Tim tersebut terdiri dari Solid, Cyzu, TipWrath, Hihi, Gamer, Slothy, dan haxs. Tim tersebut pertama kali bertanding di bawah nama TSM FTX pada babak playoffs dari CoD: Mobilw World Championship 2021, yang digelar pada 4-5 September 2021 kemarin. Dari babak playoffs tersebut, akan dipilih dua tim terbaik untuk mewakili kawasan Amerika Utara di 2021 World Championship Finals.
Pada Juni 2021, TSM menandatangani kontrak naming rights dengan bursa cryptocurrency, FTX. Ketika itu, mereka mengungkap bahwa mereka akan menggunakan dana yang mereka dapatkan untuk melakukan ekspansi global, termasuk menjajaki kompetisi mobile esports. Tak lama setelah itu, TSM mempekerjakan Jeff “SuiJeneris” Chau sebagai Director of Mobile. Chau adalah mantan pemain Vainglory profesional. Selain itu, dia juga pernah bekerja di Team Liquid dan Immortals, lapor Dot Esports.
Valve Belum Berikan Informasi Soal Penjualan Tiket TI10
The International 10 akan digelar pada awal Oktober mendatang. Namun, sampai saat ini, Valve belum memberikan informasi tentang penjualan tiket dari TI10. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, penyelenggaraan The International harus ditunda karena pandemi COVID-19. Pada tahun ini, Valve kembali harus menunda TI10 sekitar dua bulan dari jadwal semula. Alasannya karena Sports Federation menolak untuk mengategorikan esports sebagai olahraga. Jadi, sulit bagi para peserta TI10 untuk mendapatkan visa ke Swedia. Pada akhirnya, Valve memutuskan untuk memindahkan lokasi penyelneggaraan The International, dari Swedia ke Romania. Meskipun begitu, Valve belum mengeluarkan ketentuan terkait penonton offline untuk TI10 karena kemunculan varian baru dari COVID-19. .
“Kami harap, kami sudah bisa memberikan informasi tentang tiket dari TI10 saat ini. Namun, varian Delta memunculkan tantangan baru dalam usaha kami untuk mengadakan kompetisi offline yang aman,” ungkap Valve, menurut laporan Dot Esports. Jika pemerintah Romania mengubah peraturan terkait kedatangan wisatawan mancanegara, hal ini juga akan memengaruhi orang-orang yang ingin menonton TI10 secara langsung. Karena itu, sampai sekarang, Valve belum berani mengungkap tentang penjualan tiket TI10.
Kabar mengejutkan datang dari tim esports Dota 2 terbesar di Indonesia yakni BOOM Esports. Melalui unggahan video, sang CEO Gary Ongko Putera mengungkapkan bagaimana nantinya masa depan tim mereka.
Di season yang baru nantinya selepas pagelaran TI10 diadakan, BOOM Esports berencana merombak tim mereka. Gary juga mengatakan akan melepas 3 pemainnya yakni Dreamocel, Hyde, dan Khezcute. Dreamocel dan Hyde sepertinya akan melajutkan karir profesional Dota 2 di tim lain. Sementara Khezcute memutuskan untuk pensiun setelah 4 tahun berkarir bersama BOOM. Dengan begitu, squad dari BOOM Esports hanya tersisa 2 pemain saja yaitu Mikoto dan Fbz.
Seperti yang kita ketahui, performa BOOM Esports tahun ini tidak begitu baik. BOOM Esports memulai perjalanan DPC musim ini di upper bracket SEA bersama tim-tim Dota 2 terbaik di Asia Tenggara. 2 turnamen DPC musim ini yang mereka jalani tidak berbuah manis. BOOM Esports hanya mampu menempati peringkat 5 klasemen Dota Pro Circuit 2021: Season 1 – Southeast Asia Upper Division dan peringkat 7 di Dota Pro Circuit 2021: Season 2 – Southeast Asia Upper Division. Dengan hasil tersebut, BOOM Esports akan terdegradasi ke Lower Division untuk gelaran DPC musim depan.
Sebetulnya BOOM Esports berusaha memperbaiki performa buruk mereka di akhir musim. BOOM Esports mengikuti turnamen BTS Season 6: SEA dan TI10 SEA Qualifier. Pada BTS Season 6: SEA BOOM Esports menjadi runner-up turnamen. Sementara pada kualifikasi TI10, BOOM Esports hanya mampu menempati posisi ketiga setelah dikalahkan oleh TNC Predator dengan skor 2-1 di final lower bracket. Sayangnya hasil tersebut masih dirasa kurang memuaskan untuk BOOM Esports.
Masih menjadi misteri bagaimana squad BOOM Esports ke depannya. CEO BOOM Esports juga menambahkan bahwa dia masih berusaha merekrut 3 pemain baru. Ada kemungkinan bahwa pemain dari luar negeri akan direkrut untuk melengkapi squad BOOM Esports di musim depan.
Kita lihat saja bagaimana squad BOOM Esports di musim Dota 2 2022 mendatang. Apakah wajah-wajah baru yang hadir mampu meningkatkan performa tim? Saat ini mereka juga harus berjuang dari babak Lower Division terlebih dahulu. BOOM Esports yang berusaha menggunakan “full Indo squad” dirasa tidak mampu bersaing menuju pentas tertinggi, The International. Apakah nantinya perjuangan tim selama lebih dari 4 tahun ini nantinya akan terbayar di musim depan?
Turnamen Dota 2 ESL One Fall 2021 akan digelar pada 21 hingga 29 Agustus 2021. Turnamen ini nantinya akan menjadi turnamen bergengsi sebelum dimulainya The International 10 pada bulan Oktober 2021 mendatang. Sebanyak 12 tim Dota 2 terbaik dunia mengikuti turnamen ini. 10 tim merupakan tim undangan sedangkan 2 tim lainnya berhasil lolos dari babak kualifikasi.
12 tim peserta ESL One Fall 2021 adalah Alliance, Team Liquid, Team Spirit, T1, Thunder Predator, PSG.LGD, beastcoast, Virtus.pro, Tundra Esports. SG Esports, Team Empire, dan Creepwave. Uniknya turnamen ini diikuti oleh 8 tim yang nantinya akan mengikuti The International 10.
A new file has just dropped in: our #ESLOne Fall: Bootcamp Edition Groups! 🕵️
Nantinya 12 tim peserta ESL One Fall 2021 akan dibagi menjadi 2 grup dengan masing-masing 6 tim. 2 tim terbaik setiap grup akan lolos ke babak upper bracket playoff. Kemudian peringkat 3 dan 4 klasemen akan lolos ke babak lower bracket playoff. Sementara 2 tim terbawah setiap grup akan tereliminasi.
Babak group stage akan menggunakan format round robin best of 2. Sementara babak playoff akan menggunakan format double elimination dengan sistem pertandingan best of 3 dan best of 5 untuk partai grand final.
ESL One Fall 2021 sendiri merupakan turnamen tier 1 yang diselenggarakan oleh ESL dan bukan termasuk turnamen DPC. ESL One Fall 2021 akan memperebutkan total hadiah sebesar US$400.000 atau sekitar Rp5,8 miliar. Turnamen ini akan diselenggarakan online karena pandemi COVID-19 yang belum mereda. Namun sebagian tim sudah berada di Romania untuk mempersiapkan diri menjelang The International 10.
ESL One Fall 2021 dapat dikatakan sebagai turnamen pemanasan sebelum dimulainya The International 10. Hal ini karena jarak turnamen yang berdekatan, tim-tim kuat yang mengikuti turnamen, dan besarnya hadiah yang diperebutkan dalam ESL One Fall 2021 ini. Selain itu tim-tim peserta juga dapat mencoba dan beradaptasi terhadap patch 7.30 yang baru saja dirilis oleh Valve.
Kita lihat saja siapakah nantinya yang akan menjuarai ESL One Fall 2021 dan membawa pulang uang sebesar US$175.000 atau sekitar Rp2,5 miliar sebagai juara pertama. Tim-tim yang juga akan berlaga dalam The International 10 seperti T1, Alliance, dan PSG.LGD dapat mencoba strategi baru mereka ataupun mengasah strategi yang ada sebelum pertempuran sesungguhnya di The International 10 berlangsung.
Pagelaran turnamen Dota 2 The International 10 yang akan digelar bulan Oktober 2021 mendatang menjadi spesial bagi pengemar di Indonesia — di masa ekosistem Dota 2 di Indonesia tak lagi subur seperti dulu. Pasalnya, turnamen TI kali ini merupakan kali pertamanya pemain asal Indonesia dapat mengikuti turnamen esports terbesar di dunia ini.
Pemain Indonesia yang berhasil menembus TI10 tidak lain adalah Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon. Kedua pemain tersebut merupakan pemain Support yang saat ini membela T1. Tim T1 berhasil lolos menuju TI10 berkat penampilan apik pemainnya dalam turnamen DPC musim ini.
T1 berhasil lolos ke dalam 2 turnamen Major musim ini yakni ONE Esports Singapore Major 2021 dan WePlay AniMajor. Bahkan Xepher dan kawan-kawan berhasil menempati peringkat ketiga turnamen WePlay AniMajor yang digelar bulan Juni 2021 kemarin.
Lalu bagaimanakah perjalanan duo support Indonesia dalam mencapai tangga tertinggi turnamen Dota 2 The International? Fans Indonesia harus menunggu hingga seri yang kesepuluh alias 10 tahun sebelum dapat menyaksikan anak bangsa bersaing dalam perebutan trophy Aegis of the Immortal.
Xepher – Pemain Berpengalaman yang Selalu Tampil Konsisten
Kenny “Xepher” Deo merupakan pemain profesional Dota 2 yang cukup lama di Indonesia. Dia mengawali karir profesionalnya pada tahun 2014 silam bersama tim Zero Latitude. Bersama Xepher, tim ini langsung melejit menjadi salah satu tim Dota 2 terbaik di Indonesia. Sayangnya tim Zero Latitude tidak berumur panjang. Tim tersebut langsung disband di tahun yang sama, meskipun penampilan apik para pemainnya.
Selanjutnya Xepher bergabung bersama TEAM nxl>. Kiprahnya di TEAM nxl> juga tidak berjalan cukup lancar karena tim ini juga memutuskan untuk melepas para pemainnya. Kemudian di awal tahun 2015 Xepher memutuskan untuk bergabung dengan raksasa Dota 2 Indonesia yakni RRQ. Sayangnya kiprah Xepher bersama tim RRQ kurang begitu bagus. Bersama RRQ, Xepher hanya berhasil menembus tingkat Minor — itu pun GESC Indonesia Minor yang kualifikasinya hanya melawan tim-tim Indonesia lainnya.
Pada tahun 2018, Xepher memutuskan untuk keluar dari RRQ dan bergabung dengan tim TNC Tigers bersama InYourdreaM. Bersama tim TNC Tigers inilah performa Xepher semakin baik dan konsisten. Dia semakin diperhitungkan sebagai supports terbaik di Asia Tenggara. TNC Tigers yang akhirnya berganti nama menjadi Tigers berhasil merengkuh gelar juara DreamLeague Season 10 di tahun 2018.
Penampilan konsisten terus ditunjukan oleh Xepher saat bersama tim barunya Geek Fam. Di tim inilah akhirnya Xepher diduetkan dengan Whitemon sebagai duo supports. 2 trophy berhasil mereka persembahkan yakni dari turnamen BTS Pro Series Season 2: Southeast Asia dan ONE Esports Dota 2 SEA League, sebelum akhirnya tim ini memutuskan untuk disband pada tahun 2020.
Dengan susunan squad yang hampir sama, mantan pemain Geek Fam berlabuh menuju tim T1. Permainan para pemain T1 semakin lama semakin kompak. Hal ini membuat performa tim semakin naik dan menjadikan T1 salah satu tim kuat di dunia. Hingga akhirnya tim T1 dapat menembus ajang The International 10 dengan status sebagai tim undangan.
Whitemon – Pemain Baru yang Penuh Talenta
Matthew “Whitemon” Filemon dapat dikatakan sebagai pemain baru di kancah profesional Dota 2. Meskipun sudah bermain game Dota sejak lama yakni sejak kelas 5 SD, namun Whitemon belum perhah terjun ke dunia esports. Selain itu Whitemon juga sebenarnya mempunyai role sebagai Carry sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi Supports 5.
Karir profesional Whitemon dimulai saat dikontrak untuk bermain sebagai stand-in di tim Pandora Esports. Sayangya tim Pandora Esports tidak bertahan lama dan membubarkan timnya. Karir profesional Whitemon selanjutnya terganjal restu orang tua dan juga dia harus memulai kuliahnya. Namun berkat keseriusan dari tim EVOS Esports dan Whitemon sendiri akhirnya dia dapat bergabung bersama tim ini pada tahun 2018 kemarin.
Di EVOS Esports, Whitemon bermain bersama pemain pro Indonesia yang lebih senior lainnya seperti Aville, iLogic, dan InYourdreaM. Bermain bersama pemain-pemain berpengalaman talenta membuat Whitemon terus terasah. Sayangnya tim ini hanya tak dapat berbicara banyak di skena internasional dan kesulitan menghadapi tim-tim Dota 2 dari Asia Tenggara lainnya. Akhirnya tim EVOS Esports memutuskan untuk disband pada tahun 2019.
Tidak butuh waktu lama, Whitemon segera mendapatkan tim baru yakni bersama Geek Fam dan diduetkan dengan Xepher. Dengan talenta yang dimiliki oleh Whitemon, dia langsung beradaptasi dengan baik di tim barunya dan menjadikan Geek Fam tim papan atas di Asia Tenggara sebelum akhirnya tim ini juga memutuskan untuk disband pada tahun 2020.
Bersama dengan Xepher akhirnya Whitemon direkrut oleh tim T1. Keduanya menjadikan T1 sebagai tim yang patut diperhitungkan tidak hanya di Asia Tenggara namun juga di dunia. Meloloskan tim T1 ke dalam turnamen The International 10 langsung adalah bukti talenta dari Whitemon.
Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.
Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esportsevents memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.
Persiapan Olimpiade
Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.
Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.
Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.
Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.
Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.
Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.
Persiapan Esports Events
Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.
Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.
Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.
“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”
“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.
Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.
“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”
Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:
1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan
“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.
Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.
“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”
Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.
“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.
“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.
Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.
Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.
“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”
Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.
“Dari pengalaman guehandle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”
Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.
Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.
“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.
Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports
Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.
Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.
Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.
Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:
Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%
Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.
CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.
Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.
Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.
Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.
Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.
Money, Money, Money~
Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.
Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.
Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.
Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.
Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.
Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.
Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.
Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.
Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.
Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.
Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.
Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.
“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”
Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah. Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.
Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?
Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.
Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports, sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).
“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”
Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”
Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.
“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”
Kesimpulan
Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.
Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.
Pemain Dota 2 asal Indonesia yakni InYourdreaM kembali menorehkan prestasi individunya. Pemain dengan nama asli Muhammad Rizky ini berhasil mengambil alih puncak MMR leaderboard di SEA atau Asia Tenggara. Berarti, saat ini InYourdreaM menjadi pemain Dota 2 nomor 1 di Asia Tenggara. IYD menggeser pemain asal Laos yaitu JaCkky yang sebelumnya menjadi pemimpin klasemen.
Prestasi yang diraih oleh InYourdreaM ini bukanlah kali pertamanya. Sebelumnya IYD merupakan pemain pertama yang berhasil meraih MMR 9.000 pada tahun 2017 silam dan menjadi salah satu pemain yang berhasil menembus MMR 11.000 pada tahun 2021 kemarin di server Asia Tenggara.
IYD juga tercatat sebagai pemain Dota 2 Indonesia pertama yang membela tim Dota 2 besar luar negeri pada tahun 2017 lalu di Fnatic. Selain itu IYD juga tercatat pernah bermain untuk tim-tim besar seperti Fnatic, TNC Tigers, serta T1. Prestasi tertinggi yang pernah diraih oleh IYD adalah menjuarai turnamen minor Dota 2 DreamLeague Season 10 pada tahun 2018 lalu bersama tim Tigers.
Hingga saat ini InYourdreaM masih aktif membela tim Dota 2 dari Malaysia yakni Galaxy Racer bersama 1 pemain asal Indonesia lainnya yakni Jhocam. Sayangnya IYD gagal membawa tim ini untuk melaju ke dalam turnamen The International setelah dalam babak kualifikasi dikalahkan oleh BOOM Esports. Saat ini Galaxy Racer juga sedang bertanding dalam turnamen PNXBET Invitationals Southeast Asia Season 2 menghadapi tim-tim Dota 2 Asia tenggara lainnya.
Kita lihat saja apakah prestasi individu yang diraih oleh InYourdreaM ini mampu mengangkat performa timnya di tingkat internasional. Saat ini memang performa dari IYD sedang menurun. Hal ini terbukti, dalam 1 tahun terakhir, IYD sering bergonta ganti tim seperti BOOM Esports, T1, Zero Two, hingga akhirnya berlabuh di tim Galaxy Racer. Meskipun begitu penampilan dari InYourdreaM tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia selalu tampil impresif di setiap laga yang dia ikuti bersama timnya.
In the esports world, game publishers are the absolute power holder who can determine every aspect of the game’s ecosystem. They are essentially the kings of the esports kingdom. Of course, there are pros and cons that comes with this system. On the one hand, publishers can give much-needed resources to grow and develop an esports ecosystem. On the other hand, publishers can also single-handedly shut down the whole esports ecosystem if deemed unprofitable. Let’s explore each these advantages and disadvantages in greater depth.
Advantage #1: No Power Scramble
In Indonesia, four major associations oversee the country’s esports scene, namely the Indonesia Esports Association (IESPA), the Indonesian Video Game Association (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia or AVGI), the Indonesian Esports Federation (Federasi Esports Indonesia or FEI), and the Indonesian Esports Executive Board (Pengurus Besar Esports Indonesia or PBESI). Each association has its own affiliation. For example, IESPA has been a member of the International Esports Federation since 2013 and has been a member of the Indonesian Olympic Committee (Komite Olimpiade Indonesia or KOI) since 2018. In addition, it is also affiliated with the Indonesian Community Recreational Sports Federation (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia or FORMI). On the other hand, PBESI has a close relationship with the Indonesian National Sports Committee (Komite Nasional Olahraga Indonesia or KONI).
In August 2020, KONI recognized esports as a legitimate sport, no longer considered as merely a recreational sport. On the other hand, PBESI’s position is on par with the Football Association of Indonesia (PSSI) or the Badminton Association of Indonesia (PBSI). According to One Esports, however, PBESI is the association with the highest authority or power in promoting esports. All of this information suggests that IESPA’s power or influence in the esports realm is not very widespread. However, IESPA used to be involved in encouraging esports athletes to compete in global competitions and is even responsible for selecting esports athletes at the 2019 SEA Games.
We are proud to announce the Indonesian Esports national team contingent squad for the 2019 SEA Games. Further finalization processes will be carried out by the Indonesian Olympic Committee and@KEMENPORA_RI. Please support us so that Indonesia can win as much gold medals as possible!pic.twitter.com/OZ3apKDZgV
Ideally, these esports associations in Indonesia can work hand in hand to develop the esports ecosystem in the country. Boxing, for example, has four associations that can coexist in overseeing and developing the sport. However, the coexistence of multiple associations does present the possibility of conflict and the overlapping of responsibilities.
Instead, if one single organization controls the whole sport, these power struggle conflict can be prevented entirely. Publishers can ensure that all parties involved in the esports ecosystem (players, teams, tournament organizers) will comply with the rules they set. As a result, the development of the esports ecosystem will become a much more cohesive and stable process.
Let’s compare the absolute power of publishers in the esports scene with a dictatorial government system. People have always said that a democratic system is far better than an autocratic one. However, in a democracy, the government leadership or power will always change once every few years. In Indonesia, for example, a person can serve as president for a maximum of ten years (or two terms).
Unfortunately, different leaders will have different visions, goals, virtues, and implementation of policies. Erratic changes can occur especially if the new leader comes from the opposing party, which happened in DKI Jakarta a few years ago. When Anies Baswedan and Sandiaga Uno won the DKI Jakarta Regional Head Election in 2017, they immediately modified several policies that were put in place by the previous governors.
Of course, in the context of a country or state, a change in leadership may have a positive impact in the long term. However, in the esports scene, continuity is a very important commodity. For example, let’s say that the majority of the power in the esports scene was in the hands of association A. The association felt that the regeneration of esports players is of utmost importance and subsequently hosted several competitions at the high school and college level. However, the very next year, the power shifted to association B, which considers amateur-level tournaments unnecessary. Association B proceeds to disband all competitions at the student level held by association A in the previous year. You can see how changes of power or influence can cause instability and conflict in the esports ecosystem
On the flip side, countries under dictatorship solely depend on the goals and policies that the dictator implements. Similarly, when the publisher holds absolute power, the success or failure of the esports scene will depend entirely on the publisher’s actions. Fortunately, most game publishers do want their esports ecosystem to thrive since it highly impacts their finances and revenue.
Advantage #2: Publishers will try their best to maintain and cultivate their esports ecosystem
Valve earned approximately $130.8 million USD from the sales of The International 9 Battle Pass. 25% of the total Battle Pass sales — approximately US$32.7 million — went directly to TI9’s prize pool, enabling it to accumulate a whopping $34.3 million USD. Valve, interestingly, only prepared $1.6 million USD for the starting price and pocketed $98.1 million USD from the 75% of remaining sales of the Battle Pass. Dota 2 is a relatively old game, launched in July 2013, which is also free to play. However, due to the massive success of its esports scene, Dota 2 is arguably the most profitable money-making machine for Valve. Looking at Valve’s success from Dota 2, it begs the question: why do some game publishers not opt to maintain or grow their esports scene?
Of course, The International might be an extreme case that is not easily replicable for most publishers out there. However, publishers do have other options for monetizing the esports scene than just using the prize pool. For example, Riot Games creates special and limited skins based on the team that won the League of Legends World Championship. Riot also implemented the franchise league model to generate extra revenue from esports. A franchise league model allows teams to participate in the league if they pay a certain amount of money. Currently, Riot has implemented the model in three different LoL leagues, namely the North American League (LEC), European League (LEC), and South Korean League (LCK). In Indonesia, one of the publishers that adopt the franchise league monetization model is Moonton through Mobile Legends Professional League (MPL).
Esports can also be used as a marketing tool to maintain the player base and extend the life span of a game. Ubisoft is an example of a successful publisher that uses esports as a means of marketing. In 2016, a year after launching Rainbow Six: Siege, the game only has around 10 million active players. Jumping to 2020, however, that number skyrocketed to 55 million players. This trend usually does not occur in the gaming industry, as games often lose players a few years after their release. However, Ubisoft uses R6’s esports scene to keep the game relevant and maintain the loyalty of its fans.
As we can observe, the esports scene can highly impact the success and relevancy of a game throughout its life span, which is why most game publishers will try their best to develop their esports ecosystem. For example, Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive were used to have a very big scene in Indonesia. However, since both of these franchises’ esports were not properly cultivated in the country, Dota 2 and CS eventually died out in the region. Very few esports organizations in Indonesia still have teams competing in these two games, and the player base in the country is also shrinking rapidly.
Similar to Dota 2 and CS, Arena of Valor is also losing its prestige in the local esports ecosystem. However, the AOV esports scene is still very much alive and much more thriving than the two previous games. AOV’s major tournament, Arena of Valor Premier League, is still being held today, with prize pools reaching $350 thousand USD. As you may have already expected, Tencent and Garena were directly involved in hosting these tournaments. Therefore, although some esports ecosystems can survive without publisher support (like what we see locally with Dota 2), the game publisher’s support will extensively affect the degree of success of an esports scene.
Advantage #3: Fixed Set of Rules
In most esports, both tournament organizers and game publishers usually determine the rules in their esport scenes. However, publishers do have a stronger influence to enforce the rules they set since they obviously have direct access to the game. For example, if an esports player cheats in an official PUBG Mobile competition, Tencent can directly ban the player ID from the game. On the other hand, if a player was caught cheating in a third-party tournament, then he/she might only be banned from participating in the tournament.
We can also take an example from Pro Evolution Soccer, one of the large esports ecosystems in Indonesia without publisher support. The PES esports scene can grow due to the efforts of Liga1PES and also the Indonesia Football e-League (IFeL). Of course, these 2 leagues have implemented their own set of rules. However, Liga1PES will not be able to interfere in the regulations made by IFeL and vice versa, potentially causing several inconsistencies or interference.
Indeed, there is a possibility of abusing the absolute power that publishers have. However, referring back to the second point/advantage, publishers will most likely use their influence for the good of the esports ecosystems as it directly impacts their finances.
Disadvantage #1: Abrupt Shutdowns of the Esports Ecosystem
Although esports can generate a lot of revenue for publishers, creating and maintaining a profitable esports ecosystem is not an easy task. More often than not, publishers have to invest a substantial amount of budget and time to develop the esports scene of their games. As a result, when esports is no longer deemed profitable for the company, it can decide to pull out their investments and shut down the ecosystem overnight. Blizzard Entertainment is an infamous publisher that has done this in the past.
In 2015, Blizzard released Heroes of the Storm as their MOBA franchise. In the same year, Blizzard collaborated with a university-level esports organization, Tespa, to hold a HoTS competition called Heroes of the Dorm. Blizzard provides a prize pool of $25,000 USD in scholarships for the winning team. One year later, in 2016, Blizzard held a top-tier HoTS competition for professionals called Heroes of the Storm Global Championship (HGC). It went all-in on the tournament, making it global, and invested a lot of capital into it. The HoTS esports scene was a massive hit, gathering a number of well-known esports organizations, such as Gen.G from South Korea and Fnatic from England.
Unfortunately, in December 2018, Blizzard decided to stop supporting the HoTS esports scene, considering it to be unprofitable. Blizzard did not inform this move far ahead of time, causing many HoTS professional coaches and players to abruptly lose their jobs. Esports organizations that recently created HoTS teams also suffer sizable losses. Luckily, many loyal HoTS fans continued to push and support the HoTS esports scene, although most tournaments are conducted at a much smaller scale.
Blizzard’s decision to unilaterally shut down HoTS’ esports is one of the negative impacts that may arise when publishers hold absolute power in the esports world. South Korean politicians even reacted to Blizzard’s action and subsequently made regulations to prevent this type of event. In May 2021, Korean Democratic Party congressman Dong-su Yoo proposed a regulation called the Heroes of the Storm Law which ensures that no tournament organizers or game publishers can abruptly cancel or shut down tournaments before properly informing related parties. According to a Naver Sports report, through the HoTS Law, Yoo hopes that game publishers will notify teams and players far ahead of time before executing an event cancellation.
“In esports, if the game publisher is no longer willing to support the competition, the rights of many other parties who are involved in the competitions, including esports organizations, players, casters, viewers, and others would seriously be affected by these kinds of unilateral decisions,” Yoo said, as quoted from The Esports Observer. He pointed out that most esports players are in their early 20s, a vital period of determining a person’s career. Instability or a sudden shut down of an esports ecosystem can have massive consequences. “Laws must be in place to protect them from unilateral damage,” he said.
Disadvantage #2: Publishers who have no interest in Esports
Nintendo, as an example, shows absolutely no interest in building an esports ecosystem out of Super Smash Bros. Contrary to our expections, however, the Super Smash Bros esports scene is actually quite developed. The game is included in EVO, a collection of the most prestigious fighting games competition, and an annual tournament called Smash Summit is also held since 2015. Despite the collective success that has been forged by the community, Nintendo still turns a blind eye towards Super Smash Bros’ esports scene.
Nintendo does provide some form of logistical support to the Smash community once in a while, but it rarely contribute to any sort of financial assistance. As a result, Super Smash Bros tournaments don’t have the large prize pools that we often see in other esports scenes. As a comparison, Smash Summit 5, which currently has the largest prize pool in all of Smash’s esports, only offered a prize of $83.7 thousand USD. On the other hand, MPL, which is only primarily broadcasted in Indonesia, has a prize pool of $150 thousand USD. Furthermore, Riot contributed $2.25 million USD for the League of Legends World Championship prize.
Nintendo’s philosophy towards Smash’s esports scene has generated a lot of backlash from professional Smash players. Eventually, in 2020, Nintendo’s President, Shuntaro Furukawa, was prompted to clarify the reasons behind Nintendo’s decision to not support the Super Smash Bros esports ecosystem. He explained that Nintendo wanted the game to be enjoyed by both casual and also hardcore players. Nintendo didn’t want to accentuate the differences in skills between the two groups. Indeed, most people do consider Super Smash Bros to be a much more casual fighting game played for fun and entertainment.
“Esports, in which players compete on stage for prize money as an audience watches, demonstrates one of the wonderful charms of video games,” Furukawa told Nikkei, as translated by Kotaku. “We are not necessarily opposing the idea of esports. However, we also want our games to be widely enjoyed by anyone regardless of experience, gender, or age. We want to be able to participate in a wide range of different events, instead of merely competing for prize money. Our strength, what differentiates us from other companies, is this different viewpoint.
Disadvantage #3: Declining Legitimacy of Third Party Tournaments
Let’s go back to Dota 2 for a moment. You probably have realized by now that The International is essentially the World Cup for Dota 2 players. Winning a TI is the pinnacle of all Dota 2 pros due to the sheer scale in prize pool money.
For Valve, the massive hype for TI is definitely beneficial for the company. For third-party tournament organizers, however, not so much. Obviously, third-party tournaments are incredibly insignificant compared to TI. You can probably win all non-TI tournaments in a year and still can’t get close to TI’s winning prize or prestige. Thus, some teams or players might be discouraged to participate in these smaller-scale tournaments. Subsequently, the tournament organizers might have a more difficult time getting views from audiences.
Furthermore, small-scale tournaments created by third-party organizers usually find it difficult to compete with official tournaments from publishers in terms of prestige. When you watch The International or PUBG Mobile Global Championship, you know that the teams competing in those tournaments are some of the best teams in the world. The teams in these high-tier tournaments need to go through a “preliminary round” at the national or regional level, filtering all the less competent teams. You can also observe which teams can compete at the national, regional, and global levels.
Of course, not all third-party TOs are willing to spend substantial investments to create this “filtration” process or a tiered esports competition. One exception is Intel, a non-publisher company that held the Intel Grand Slam with help from ESL Gaming. Intel Grand Slam offers a $1 million USD prize for a CS:GO team that wins 4 S-Tier tournaments in a window of 10 consecutive esport events.
The existence of the Intel Grand Slam does prove, to a certain extent, that third-party organizations can create high-tier and competitive tournaments. But, of course, not many companies are willing to invest as much as Intel. Intel has an adequate budget and is also considered an endemic brand in esports. As an illustration, in 2020, Intel’s revenue reached $ 77.87 billion USD. On the other hand, NVIDIA’s revenue in the 2021 fiscal year was only $16.68 billion USD, while Sony’s is $10.7 billion USD, and Lenovo Group only accumulated $50.7 billion USD.
Conclusion
There is a saying that goes: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. A person or entity who has complete control is very likely to make selfish decisions that will benefit themself. In the world of esports, publishers – who always have absolute control – also have the potential to act arbitrarily, evident from Blizzard’s decision to unilaterally shutting down the Heroes of the Storm esports ecosystem.
Of course, not all companies will follow in Blizzard’s footsteps. Most publishers out there do consider esports as a marketing tool to attract new audiences, maintain the loyalty of fans, and subsequently generate revenue. However, establishing a healthy esports ecosystem is can be difficult, and will need the collective support of professional teams, players, and tournament organizers. Therefore, while publishers have all the power to make all the decisions, they must also take the necessary steps to benefit all parties if they were to create a profitable esports scene.
Turnamen The International 10 telah menyelesaikan babak kualifikasinya. 6 tim berhasil mengamankan 6 slot terakhir dari babak kualifikasi. Tim OG berhasil merebut slot terakhir setelah memenangkan babak kualifikasi wilayah Eropa Barat. Juara dunia TI 2 kali tersebut nantinya akan mempertahankan gelarnya melawan 17 tim lainnya di The International 10.
Kedelapan belas tim tersebut adalah Evil Geniuses, PSG.LGD, Virtus.pro, Quincy Crew, Invictus Gaming, T1, Vici Gaming, Team Secret, Team Aster, Alliance, beastcoast, Thunder Predator, Undying, SG e-sports, OG, Team Spirit, Elephant, dan Fnatic.
Peserta turnamen The International 10 ini dapat dibilang merata. Dota Pro Circuit poin yang digunakan oleh Valve untuk menentukan tim undangan menuju TI 10 sangat tepat. Hal ini membuat tim-tim Dota 2 dari berbagai regional mempunyai kesempatan yang sama untuk tampil.
Sebelum The International 10 digelar, Valve mengadakan beberapa turnamen untuk mendapatkan DPC poin. Pada musim ini terdapat 2 turnamen regional dan 2 turnamen major yang digelar oleh Valve. 12 tim dengan perolehan DPC poin tertinggi mendapatkan undangan langsung menuju The International 10.
Beberapa tim kuat yang berhasil lolos ke ajang tahunan terbesar Dota 2 ini antara lain Evil Geniuses, PSG.LGD, T1, Team Secret, hingga juara bertahan OG. Mereka dijagokan untuk memenangkan trophy aegis of immortal tahun ini. Meskipun begitu, tim-tik kuda hitam macam beastcoast, Team Aster, dan Fnatic juga tidak boleh diremehkan.
Sayangnya, ada beberapa tim Dota 2 kuat yang tidak lolos ke dalam turnamen The International 10. Tim Liquid dan Team Nigma dari Eropa Barat, NAVI dari Eropa Timur, EHOME dari Tiongkok, serta TNC Predator dari Asia Tenggara tidak mampu lolos dari babak kuaifikasi. Buruknya performa mereka dalam mengikuti turnamen minor maupun major tahun ini merupakan salah satu penyebab gagal lolosnya tim-tim tersebut.
The International 10 sendiri akan digelar pada 7 hingga 17 Oktober 2021 mendatang. Meskipun sempat direncanakan batal digelar di Swedia, akhirnya Valve memutuskan untuk menggelar TI 10 di Bucharest, Romania. Turnamen ini akan memperebutkan total hadiah sebesar US$40.018.195 atau sekitar Rp580 miliar.