Anda yang hobi mengkonsumsi konten gaming mungkin sudah sering mendengar atau melihat istilah “Clutch Moment“. Kalau diartikan secara kasar, momen clutch adalah kejadian luar biasa yang tidak disangka bisa terjadi di dalam permainan. Dalam game FPS misalnya, momen 1vs5 yang malah dimenangkan oleh dia yang seorang diri. Atau kalau dalam game MOBA, mencuri monster objektif besar seperti Lord, Roshan/Aegis, atau Baron seorang diri, bisa disebut sebagai momen clutch.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Ada yang bilang, momen clutch hanya “hoki” atau beruntung belaka. Pendapat itu mungkin tidak salah, tapi juga tidak berarti sepenuhnya benar. Walau istilah momen clutch sering beredar dalam komunitas gaming, namun fenomena dan istilah ini sebenarnya dimulai dari kompetisi olahraga. Karena konsep clutch sudah beredar cukup lama, jadi banyak peneliti yang berusaha menjelaskan, mengapa seorang atlet kadang bisa melakukan gerakan atau reaksi melebihi manusia normal, dalam keadaan terjepit.
Jadi mari kita bahas lebih dalam soal momen clutch, mulai dari arti kata, bagaimana fenomena ini terjadi di olahraga dan esports, sampai perdebatan dalam menentukan momen clutch.
Apa Itu Momen Clutch
Dari segi bahasa, kamus Merriam-Webster mengartikan kata “clutch” dalam beberapa makna. Arti paling utama adalah memegang sesuatu dengan tangan, atau dengan menjepit secara kuat, rapat, atau tiba-tiba. Tapi tentu bukan itu yang kita cari. Kamus Merriam-Webster juga mendefinisikan clutch sebagai berhasil melakukan sesuatu dalam situasi krusial.
Dalam olahraga, istilah ini kadang disebut sebagai clutch play. Dalam esports istilah ini kadang disebut Shoutcaster lewat ungkapan “what a clutch!” Dalam esports, satu momen paling familiar bagi penonton esports Indonesia mungkin adalah momen-momen gemilang di Dota 2. Apa Anda ingat asal muasal ucapan “patience from Zhou”? Momen ini memang cukup lawas karena terjadi pada Dota 2 The International 2012, dalam pertandingan Navi melawan IG.
Pada menit 17, IG mencoba melakukan smoke gank ke arah Dendi dan kawan-kawan yang sedang beramai-ramai di Lane Bawah. Zhou, pemain IG, berhasil menangkap lima pemain Navi. Mereka dibuat tidak berkutik, semua Hero tim Navi tidak bisa gerak, tertidur karena terkena Song of the Siren. Normalnya, pertarungan ini harusnya dimenangkan oleh IG bukan? Mereka tinggal mempersiapkan posisi dan menggunakan semua Skill untuk menumpas Hero dari tim Navi.
Sayangnya tidak. Dalam keadaan penuh kemelut, Faith terlalu terburu-buru melepas Ravage. Dendi dan LightofHeaven tanggap situasi. Dendi dengan Rubick kabur menggunakan Force Staff, LightofHeaven dengan Enigma menggunakan BKB dan mengeluarkan Black Hole untuk menangkap 3 orang pemain IG. Dendi yang lepas dari kemelut mencuri Ravage dan menggunakannya untuk menumpas hero tim IG. Alhasil, kawan-kawan Navi selamat, sementara IG rata dengan tanah.
Apakah fenomena tadi adalah momen clutch? Atau keberuntungan belaka? Satu yang pasti, jangan samakan panggung The International dengan pengalaman Anda main MMR. Dalam situasi tersebut tekanan datang dari berbagai sisi, entah itu rasa takut akan kekalahan, rasa gugup bertanding di panggung megah, suara riuh penonton, dan berbagai faktor lainnya terjadi, mempengaruhi pikiran sang pemain.
Walaupun, kalau dipikir dengan logika, apa yang dilakukan Dendi dan LightofHeaven sebenarnya mudah saja. Cukup tekan BKB cepat-cepat, lalu tekan Dark Hole. Dendi juga sudah menghadap ke luar saat kemelut terjadi. Jadi dia cukup buru-buru tekan Force Staff, gunakan Spell Steal ke arah Tidehunter, lalu Ravage.
https://www.youtube.com/watch?v=Yot0UNsQh3I
Tapi dalam keadaan penuh tekanan seperti itu, logika seakan jadi tidak berlaku, membuat tugas mudah seperti apa yang saya jelaskan jadi tidak terpikirkan. Tidak percaya? Lihat saja tim IG. Sebagai pemain profesional, seharusnya mereka tanggap akan informasi sekecil apapun itu. Tapi nyatanya IG bisa-bisanya lupa bahwa ada BKB, Force Staff, serta posisi mereka terlalu rapat yang membuatnya jadi sasaran empuk Dark Hole.
Beralih ke skena fighting games, satu momen clutch paling ikonik sepanjang masa adalah Evo Moment #37, yang juga disebut momen Daigo parry. Momen itu terjadi pada babak Semi-Final turnamen Street Fighter III: 3rd Strike di EVO 2004. Pertandingan mempertemukan Daigo Umehara dengan Justin Wong, dua pemain yang kerap dianggap rival oleh komunitas, karena punya sudut pandang berbeda dalam memahami Street Fighter.
Di saat momen penentu kemenangan, Daigo sedang sangat terdesak. Jumlah HP karakter Ken yang ia mainkan hanya sebesar pixel saja. Sementara di lain sisi Justin Wong masih punya banyak HP, dan Gauge Meter yang penuh. Kehabisan akal, Chun Li dari Justin lalu mengeluarkan “Super Art” untuk menghabisi Ken dari Daigo. Seharusnya, Ken dari Daigo kalah dong? HP Daigo sisa satu pixel, kalaupun menangkis, damage serangan Chun-Li tetap tembus, dan Daigo jadi kalah.
Tetapi tidak, Daigo yang masih berusia 23 tahun melakukan tindakan melebihi manusia normal. Daigo menahan serangan dengan Parry, yang yang membuat damage serangan musuh jadi tidak masuk.
Melakukan satu kali Parry di dalam Street Fighter itu susah, karena Parry bukan sekadar menahan arah belakang seperti menangkis. Tapi, dalam keadaan yang sangat terdesak, Daigo melakukan LIMA BELAS KALI Parry terhadap gerakan Justin Wong dengan sempurna, membuat seluruh damage kombinasi serangan Super Art milik Justin Wong jadi tidak masuk.
Tak hanya itu, setelah Parry, Daigo membalas serangan dengan kombinasi gerakan yang juga sempurna. Chun-Li dari Justin Wong pun akhirnya berhasil dibuat K.O. Berkat momen tersebut, Daigo Umehara lolos ke babak Final EVO 2004 cabang Street Fighter III: 3rd Strike.
Kalau dari sisi olahraga, berhubung saya tidak terlalu mengikuti sepak bola, jadi satu-satunya clutch play yang paling saya ingat datang dari olahraga American Football. Momen ini terjadi pada musim pertandingan tahun 2014. Seorang pemain rookie bernama Odell Beckham Jr. (OBJ) dari tim New York Giants, berhasil mengejutkan penonton berkat tangkapan dengan satu tangan yang ia lakukan. Padahal keadaannya ia sedang dijaga ketat, bahkan bajunya ditarik, yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran bagi pemain bertahan di dalam olahraga American Football.
Jadi apakah itu sebuah momen clutch? Agak keterlaluan jika Anda masih meragukan momen tangkapan satu tangan tersebut. Kenapa? Pertama, menangkap bola Football sambil berdiri diam itu sudah cukup sulit, terutama jika lemparannya keras.
Kedua, menangkap bola sambil berlari tanpa dijaga juga susah. Nah, Anda tinggal membayangkan, bagaimana sulitnya menangkap menangkap bola dengan dua tangan, dalam penjagaan yang sangat ketat seperti momen itu. Tapi menariknya, dalam keadaan tertekan, OBJ melakukan tindakan di luar nalar manusia biasa, menjangkau bola dengan satu tangan, berhasil menangkapnya, dan menghasilkan skor Touchdown. Tapi cukup disayangkan, dalam pertandingan tersebut tim New York Giants malah kalah di akhir pertandingan.
Bagaimana Momen Clutch di Esports Bisa Terjadi
Sebelum kita perdebatkan dari faktor eksternal (entah itu lawan lengah karena kena santet, atau lengah gara-gara bad mood karena putus cinta), kita harus melihat bagaimana sebuah momen clutch bisa terjadi berdasarkan dari faktor internal sang atlet.
Membahas ini saya juga berdiskusi dengan Yohannes Paraloan Siagian, sosok yang dulu sempat mengisi posisi Kepala Sekolah SMA 1 PSKD, dan juga sempat mengisi posisi sebagai Vice President EVOS Esports.
Sebelum artikel ini, saya juga sudah pernah berbincang dengan “Mas Joey” saat membahas perjuangan atlet dari sudut pandang psikologi esports. Ketika membahas soal clutch play, Joey mengatakan bahwa memang ada banyak faktor untuk menentukan sebuah momen itu clutch atau bukan. Namun, kebanyakan faktor lain-lain tersebut datang dari eksternal, yang akan kita bahas pada sub-bagian terakhir.
Namun satu yang pasti, setidaknya ada tiga faktor internal dari seorang atlet/pemain yang memungkinkan hal ini terjadi. Tiga faktor tersebut adalah, kepercayaan diri dan ketangguhan mental, skill si pemain, dan pengalaman si pemain.
Pengalaman dan skill, bisa dibilang berasal dari kemampuan kognitif (membaca situasi, nalar, logika, dan memproses informasi) dan motorik (menggerakan otot tangan, kaki, jari, ataupun tubuh secara keseluruhan) seorang pemain. Sementara faktor ketangguhan mental datang dari kemampuan psikologis seorang pemain.
“Walaupun suatu momen clutch bisa diperdebatkan dari sisi eksternal, namun komponen utama dari Clutch menurut saya adalah confidence dan knowledge of self. Jadi yang pertama dia percaya diri bahwa dia bisa menang dalam situasi tertekan. Kedua, rasa percaya diri itu datang dari pengetahuan akan level kemampuan dia, dan kesadaran atas apa saja yang dapat ia lakukan dalam situasi tersebut. Jadi dalam konsep clutch, seringkali yang bisa menunjukan performance clutch adalah yang merasa bahwa dia sedang memegang kendali pada suatu keadaan di dalam pertandingan.” Joey menjelaskan soal konsep clutch.
Dari sisi skill, satu teori yang bisa menjelaskan fenomena clutch mungkin adalah konsep Muscle Memory. Konsep ini sempat saya jelaskan saat membahas tips aiming pada game FPS, yang intinya adalah semakin lama dan sering Anda melakukan repetisi atas suatu kegiatan, maka akan semakin luwes pula motorik atau gerak tubuh Anda terhadap kegiatan tersebut.
Ada satu fenomena menarik yang sempat dijelaskan oleh seorang neuroscientist dari Universitas Oxford bernama Ainslie Johnstone pada sebuah artikel yang dipublikasikan lewat Medium.
Ia menceritakan soal fenomena seorang pasien bernama H.M, yang menderita amnesia, dan kehilangan kemampuan untuk belajar, serta menciptakan memori baru. Menariknya, H.M ternyata masih memiliki kemampuan dan mahir menggambar, walaupun ia memiliki kondisi tersebut. Namun karena kondisinya, H.M tidak bisa ingat bahwa ia pernah berlatih menggambar, bahkan tidak bisa ingat perlengkapan apa saja yang diperlukan untuk menggambar. Tetapi ketika ia diminta untuk menggambar dengan alat gambar yang sudah dipegang di tangannya, ia dapat menggambar hampir secara tanpa sadar dan otomatis.
Dari penjelasan Joey dan fenomena Muscle Memory, jadi semakin jelas bagaimana momen Clutch bisa terjadi. Saat mengatakan soal skill serta pengalaman, Joey juga menegaskan bahwa dua hal itu tercipta berkat repetisi atau pengulangan terhadap satu kegiatan secara terus menerus.
Hal ini jadi alasan kenapa latihan seorang atlet atau pemain esports berbentuk pengulangan. Seorang pemain esports bisa bermain selama 8 jam dalam sehari, hanya untuk mengulang-ulang hal yang sama. Pemain Dota 2 mungkin sudah menghabiskan ratusan, ribuan, mungkin ratusan ribu jam hanya untuk bermain pada map yang sama, dan menghadapi berbagai macam ragam kombinasi hero. Begitu juga dengan pemain CS:GO, yang mungkin sudah ratusan ribu kali menghadapi lorong panjang yang sama di De_Dust2. Begitu juga dengan pemain Street Fighter seperti Daigo Umehara, yang sudah ratusan ribu kali mengeluarkan command hadouken.
Repetisi ini membuat momen clutch kadang tidak terjelaskan oleh si pemain itu sendiri. Kolega saya sesama jurnalis esports mungkin yang paling paham dengan kondisi pemain esports seperti di atas. Biasanya ketika kami melontarkan pertanyaan soal apa yang ada di pikiran pemain saat momen clutch, para pemain esports kadang cuma bisa menjawab dengan satu kata… Reflek.
Jika kita mendasarkan pada konsep Muscle Memory, jawaban tersebut tidak kita bilang salah. Setelah ratusan, ribuan, bahkan jutaan repetisi, momen clutch yang kita kita anggap rumit, jadi dapat dilakukan hampir secara otomatis oleh sang pemain, bahkan terasa seperti reflek saja.
Kembali ke soal Olahraga, ini juga jadi menjelaskan kenapa OBJ si pemain rookie tim New York Giants, dapat menangkap dengan satu tangan dalam keadaan terdesak.
Ia sempat bercerita, bahwa dirinya ternyata memang dengan sengaja menyertakan tangkapan satu tangan ke dalam latihan, serta pemanasan yang ia lakukan. Padahal, tangkapan satu tangan diperdebatkan oleh para pelatih tim American Football, karena dianggap terlalu pamer dan tidak berguna. Jadi, OBJ bisa melakukan Clutch tangkapan satu tangan karena ia berlatih. Jika OBJ tidak pernah satu kali pun berlatih menangkap bola dengan satu tangan, niscaya momen Catch of the Year tersebut tidak akan pernah terjadi.
Oke, itu tadi soal Muscle Memory, skill, dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemain atau atlet. Faktor kedua datang dari faktor psikologis, yaitu ketangguhan mental sang pemain. Perkara mental memang dalam kompetisi memang penting, termasuk esports. Ellavie Ichlasa Amalia, Senior Writer Hybrid sempat membahas soal beban mental seorang atlet esports, dan berbagai cara untuk menanggulanginya. Dengan mengutip pernyataan dari Mia Stellberg, psikolog tim Australis dan OG, artikel tersebut menjelaskan bagaimana stres bisa berdampak negatif kepada performa pemain esports.
Menariknya, pada sisi lain stres ternyata bisa memberi dampak positif kepada performa pemain. Mengaitkan antara stres, ketahanan mental, serta fenomena Clutch, ada satu teori yang sudah cukup tua untuk menjelaskan hal tersebut. Teori tersebut bernama Yerkes-Dodson Law yang dicetuskan dua orang psikologis, Robert Yerkes dan John Dillingham Dodson, lewat sebuah penelitian yang ia lakukan pada tahun 1908.
Dalam teori tersebut ia menguji bagaimana dampak tekanan terhadap kemampuan tikus menciptakan sebuah habit atau kebiasaan. Mereka mengobservasi 40 tikus percobaan yang diperintahkan untuk memilih antara box hitam atau putih. Tikus yang memilih box hitam akan disetrum, sementara yang memilih box putih akan baik-baik saja. Tikus percobaan akan dianggap berhasil melalui tes apabila ia berhasil memilih box putih secara berturut-turut sebanyak 10 kali tes selama 3 hari.
Dari percobaan tersebut ditemukan, jika level setrum box hitam dinaikan sampai level tertentu, maka akan semakin banyak tikus yang jadi lebih mahir memilih box putih. Namun, jika level setrum terlalu tinggi atau terlalu rendah, jumlah tikus yang memilih box putih jadi semakin sedikit.
Penelitian tersebut kerap kali menjadi dasar penjelasan bahwa performa kerja seseorang bisa meningkat jika sedang mengalami tekanan mental pada tingkat tertentu. Maka, dengan menggunakan dasar teori tersebut, sedikit banyak terjelaskan kenapa dalam keadaan tertekan, seorang atlet atau pemain esports kadang tampil lebih cemerlang.
Pada skena esports, sosok terbaik untuk jadi contoh atas teori tersebut mungkin adalah Andreas Hojsleth, pemain tim CS:GO Astralis yang lebih dikenal dengan nickname Xyp9x. Pemain ini mungkin bukan tipe pemain bintang layaknya Coldzera, namun beberapa tahun ke belakangan ia jadi dijuluki sebagai Clutch Minister oleh komunitas. Julukan ini diberikan karena performa Xyp9x yang secara konsisten meningkat saat keadaannya sedang terdesak.
Andres Bulme salah satu Shoutcaster ternama di skena CS:GO sempat memberikan komentarnya terhadap Xyp9x. “Kami kadang memanggil dia dengan sebutan robot. Ini karena dia seperti selalu bisa memberikan solusi dalam keadaan penuh tekanan, ketika waktu tersisa sangat sedikit, namun banyak pilihan tersedia yang dapat dilakukan.” Ucap Andres.
Fenomena Xyp9x sedikit banyak menjelaskan bagaimana Yerkes-Dodson Law bekerja. Menjelaskan bahwa ternyata memang ada beberapa pemain esports yang justru jadi cemerlang, saat sedang berada dalam tekanan.
Saya juga berdiskusi dengan Joey terkait soal Yerkes-Dodson Law ini.
Joey lalu menjelaskan. “Benar adanya konsep YD (Yerkes-Dodson) menjelaskan semakin naik tekanan, semakin naik performa seseorang. Namun bisa dibilang itu adalah hal yang normal, karena hukum YD berlaku untuk semua orang. Jujur saja, mayoritas orang baru perform atau kerja, ketika ada pressure. Dikejar deadline misalnya, atau seperti kamu yang lagi ditagih artikel oleh Mas Yabes… Haha.” Ucapnya seraya berkelakar.
“Tapi kalau dalam melatih atlet, aku percaya bahwa YD ada benarnya, tetapi ada tambahan. Semakin kita kembangkan kemampuan atlet mengatasi mengatasi tekanan (mental), maka semakin besar tekanan eksternal yang bisa dia terima. Semakin tahan mental, semakin ia bisa perform di atas optimal saat tertekan, sehingga dia akan bisa lebih sering Clutch.” Perjelas Joey, yang punya pengalaman 20 tahun menjadi praktisi pelatihan olahraga dengan latar belakang psikologi, serta pengalaman dalam membina dan melatih atlet remaja sampai menjadi wakil Indonesia di tingkat tim nasional.
Perdebatan soal Momen Clutch
Seperti sempat saya senggol sebelumnya, bahwa momen clutch memang kerap kali diperdebatkan, terutama oleh para analis olahraga. Rob Goldberg, jurnalis olahraga BleacherReport, yang merupakan salah satu media olahraga ternama di Amerika Serikat, memberikan pernyataan berani bahwa clutch sebenarnya adalah produk memori jangka pendek otak manusia di antara para fans dan analis.
Kenapa demikian? Rob Goldberg memang mempertanyakan clutch dari sudut pandang analis olahraga, dan berusaha menggali lebih dalam bagaimana dampak dari satu momen, terhadap hasil yang diperoleh tim secara keseluruhan.
“Misalnya kita bicara momen 1vs5 di game VALORANT. Kalau terjadi di ronde 1 saat skor masih 0-0, apakah itu clutch? Kalau terjadi saat skor 12-12, apakah itu clutch? Kalau skor tim yang tinggal satu orang adalah 0, lalu tim musuh yang masih sisa 5 skornya 8, apakah itu sebuah clutch? Banyak situasi, kondisi, dan timing juga.” Joey menjelaskan dari sudut pandangnya soal melihat apa itu momen clutch dari sudut pandang yang lebih luas.
Mungkin ada benarnya juga. Kalau kita bicara game FPS, pemain yang tinggal sendiri akan sangat kesulitan jika menghadapi situasi 1vs5 dengan keadaan musuh datang dari sudut berlawanan secara berbarengan. Pemain yang tinggal sendiri dengan senjata AR juga bisa menang 1vs5 dengan mudah jika musuhnya sedang eco, dan hanya memiliki pistol saja. Pemain dengan Rank Global Elite, juga bisa menang situasi 1vs5 dengan mudah kalau lawannya hanya Rank Silver saja.
Tapi bukan berarti kita harus secara serta merta melupakan faktor internal si pemain itu sendiri. Penonton mungkin bisa merasa suatu momen clutch game FPS 1vs5 itu terjadi karena hoki, gara-gara pemain yang sendirian menghadapi musuhnya secara satu per satu dari sudut yang dapat ia menangkan.
Padahal, bisa jadi pemain yang sendirian itu, jadi menghadapi musuh secara satu per satu karena ia paham betul map yang dimainkan. Dengan pengalaman dan repetisi terhadap suatu map selama bertahun-tahun, ia jadi tahu, dalam suatu momen, sudut mana saja yang memungkinkan dirinya lebih unggul terhadap satu musuh.
Belum lagi soal ketahanan mental dan kemampuan membidik. Jika tidak kuat mental, tangan pemain mungkin sudah gemetar atau lemas, membuat bidikannya jadi tidak stabil. Belum lagi soal komitmen latihan membidik yang ia lakukan selama bertahun-tahun, sehingga membidik area kepala musuh jadi semudah seperti bersiul atau mengendarai sepeda.
Saya sendiri berpendapat bahwa memang kita bisa melihat momen clutch dalam dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang mikro yang lebih sempit.
Dalam sudut pandang mikro, kita mengerucutkan momen clutch pada satu pertandingan saat itu saja, dan pada momen itu saja. Terlepas dari bagaimana dampak momen tersebut terhadap tim, dalam sudut pandang mikro, saya tetap merasa momen cemerlang seorang atlet esports tetap bisa disebut clutch. Mengapa? Karena momen tersebut menunjukkan kualitas faktor internal dari seorang atlet. Momen cemerlang tersebut jadi bukti latihan, repetisi, dan ketahanan mental sang atlet esports terhadap tekanan, sehingga ia bisa tampil luar biasa saat berada di bawah tekanan.
Sudut pandang kedua adalah dari sudut pandang makro. Dalam sudut pandang ini, baru kita mempertanyakan momen clutch dari aspek-aspek eksternal. Seperti yang dibahas oleh Joey, kalau ternyata Anda bisa menang 1vs5 tapi tim Anda kalah, momen itu mungkin belum bisa disebut clutch karena kurang memberi dampak terhadap tim secara keseluruhan
—
Pada akhirnya faktor keberuntungan sebenarnya juga punya peranaan di dalam sebuah pertandingan. Namun jika sudah beruntung, faktor internal si pemain esports tetap menjadi kunci untuk membuka gerbang momen clutch. Bagaimanapun momen clutch tidak akan terjadi, jika sang pemain tidak siap.
Pada saat berdiskusi, Joey menutup obrolan dengan satu kutipan dari aktor Samuel Goldywyn yang mengatakan “The harder i work, the luckier i get.”