Harry Potter: Magic Awakened diluncurkan pada 9 September 2021. Meskipun hanya dirilis di beberapa negara Asia — Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Makau — game buatan NetEase itu berhasil mendapatkan lebih dari US$228 juta dalam waktu kurang dari 2 bulan. Dengan begitu, Magic Awakened menjadi game dengan pemasukan terbesar ke-2 dalam franchise Harry Potter, menurut data dari Sensor Tower.
Tiongkok, pasar game terbesar di dunia, menjadi kunci dari kesuksesan NetEase dengan Magic Awakened. Di negara tersebut, Magic Awakened berhasil menjadi game dengan jumlah download paling banyak dan pemasukan terbesar di iOS. Tak hanya itu, Magic Awakened bahkan berhasil mempertahankan gelar itu selama tujuh hari berturut-turut. Menurut Niko Partners, Magic Awakened menjadi game non-Tencent pertama yang berhasil mendapatkan pencapaian tersebut sejak Onmyoji dirilis pada 2016.
Jika Anda membandingkan Magic Awakened dengan Onmyoji, Anda akan menemukan beberapa kesamaan antara keduanya. Pertama, keduanya sama-sama digarap oleh NetEase. Faktanya, tim dan produser dari Onmyoji juga ikut serta dalam pengembangan Magic Awakened. Kedua, baik Magic Awakened dan Onmyoji sama-sama merupakan card-based RPG.
Lalu, apa saja yang dilakukan oleh NetEase sehingga Magic Awakened bisa langsung populer di Tiongkok? Menurut Niko Partners, ada empat hal yang membuat Magic Awakened sukses. Berikut penjelasan lengkapnya.
Popularitas Franchise Harry Potter di Tiongkok
Salah satu alasan mengapa Magic Awakened disambut dengan hangat di kalangan gamers Tiongkok adalah karena popularitas franchise Harry Potter di negara itu. Di Tiongkok, novel pertama Harry Potter diluncurkan pada Agustus 2000, 3 tahun setelah versi bahasa Inggris dari novel itu diluncurkan. Berdasarkan data dari Beijing Youth Daily, total penjualan novel Harry Potter di Tiongkok mencapai sekitar 200 juta buku.
Walau novel terakhir dari Harry Potter diluncurkan pada 2007 dan film terakhir dari franchise itu ditayangkan pada 2011, belakangan, franchise Harry Potter kembali populer di kalangan masyarakat Tiongkok. Alasannya, karena pada tahun lalu, film Harry Potter pertama kembali ditayangkan di bioskop Tiongkok. Tak hanya itu, bulan lalu, Universal Studio Resort juga resmi dibuka di Beijing. Di sana, ada area khusus untuk Harry Potter.
Keberadaan Magic Awakened pertama kali diumumkan pada Oktober 2019 oleh Warner Bros. dan Portkey Games, divisi WB yang bertanggung jawab untuk membuat dan merilis game Harry Potter. Proses pengembangan Magic Awakened sendiri ditangani oleh NetEase dan Portkey Games. Sejak keberadaan Magic Awakened diumumkan, informasi terkait game itu perlahan diungkap, seperti fakta bahwa di Magic Awakened, pemain akan bisa menjadi murid Hogwards. Dengan begitu, NetEase berhasil membuat gamers Tiongkok tertarik dengan Magic Awakened bahkan sebelum game itu diluncurkan.
Kampanye Marketing Pra-Peluncuran
Popularitas franchise Harry Potter bukan satu-satunya alasan di balik kesuksesan Magic Awakened. Faktor lain yang membuat game itu populer di kalangan gamers Tiongkok adlaah kampanye marketing yang dilakukan oleh NetEase sebelum peluncuran. Melalui kampanye pra-peluncuran, NetEase membiarkan orang-orang untuk mengunduh Magic Awakened dua hari sebelum game diluncurkan. Setelah mengunduh game itu, orang-orang akan bisa mengakses beberapa segmen dari Magic Awakened.
Salah satu hal yang bisa pemain lakukan sebelum game diluncurkan adalah membuat karakter dan ikut serta dalam Sorting Hat Ceremony. Tak berhenti sampai di situ, pemain juga bisa menghias ruang asrama mereka dan mengundang teman-teman mereka untuk bermain bersama. Semua hal ini mendorong para pemain untuk berbagi pengalaman mereka memainkan Magic Awakened di media sosial, seperti Weibo dan WeChat. Alhasil, ada lebih dari 15 juta orang yang mendaftarkan diri dalam pra-registrasi.
Gameplay yang Unik
Tidak peduli seberapa cakap sebuah perusahaan melakukan marketing, jika gameplay dari sebuah game membosankan, maka pada akhirnya, para pemain akan meninggalkan game itu. Kabar baiknya, NetEase berhasil memberikan gameplay yang unik pada Magic Awakened dengan menggabungkan elemen RPG dengan CCG. Selain itu, game tersebut juga menyediakan mode PvE dan PvP. Story Mode dari game itu bahkan menerapkan sistem real time battles. Jadi, saat battle, pemain bisa menggerakkan karakter mereka. Hal ini penting karena posisi pemain akan mempengaruhi efektivitas dari sihir yang mereka gunakan.
Dalam Magic Awakened, NetEase juga menyediakan special cards. Kartu-kartu khusus tersebut bisa digunakan oleh pemain untuk memanggil karakter atau binatang legendaris dari dunia Harry Potter. Selain Story Mode, NetEase juga melengkapi Magic Awakened dengan berbagai mode dan mini game. Harapannya, jumlah gamers yang tertarik untuk memainkan game itu akan bertambah. Beberapa mini game yang ada di Magic Awakened antara lain quidditch, dance mode, serta roguelike mode di Forbidden Forest.
Fitur Sosial
Terakhir, aspek yang membuat Magic Awakened sukses di Tiongkok adalah adanya fitur sosial dalam game. Fitur sosial sudah terintegrasi ke dalam game sebelum atau setelah game diluncurkan. Sebelum game diluncurkan, para gamers bisa menggunakan fitur sosial pada game untuk berbagi pengalaman mereka ketika mereka melalui Sorting Hat Ceremony untuk menentukan asrama yang akan mereka tinggali.
Setelah game diluncurkan, fitur sosial pada game pun menjadi semakin beragam. Para gamers tidak hanya bisa membagikan konten tentang events dalam game ke media sosial, mereka juga bisa mengakses grup diskusi, walkthrough, dan bahkan video dalam jaringan sosial internal pada game. Fitur sosial memang salah satu fitur penting untuk gamers Tiongkok. Karena, bagi gamers Tiongkok, bermain game merupakan bagian dari bersosialisasi.
Magic Awakened di Masa Depan
Magic Awakened memang telah sukses untuk menarik hati para gamers di Tiongkok. Namun, hal itu bukan berarti game itu sudah sempurna. Masih ada beberapa keluhan yang disampaikan oleh para gamers. Salah satunya adalah sistem monetisasi yang sangat agresif. Jika pemain ingin mendapatkan kartu level tinggi, maka dia harus siap untuk mengeluarkan uang. Protes lain dari para pemain adalah ketika mereka membeli item dalam game, pembelian itu berubah menjadi subscription aktif.
Dari segi cerita, sebagian pemain mengeluhkan bahwa ada beberapa bagian dalam Magic Awakened yang tidak realistis atau tidak sesuai dengan cerita di novel Harry Potter. Misalnya, dalam game, pemain bisa mendapatkan spells yang seharusnya tidak bisa diakses oleh para murid Hogwards. Contoh lainnya, pemain bisa menggunakan Unforgivable Curses. NetEase mencoba untuk mengatasi masalah itu satu per satu. Saat ini, mereka akan membatasi jumlah Unforgiveable Curses yang bisa pemain gunakan.
Ke depan, NetEase sudah punya rencana untuk mengekspansi dunia dalam Magic Awakened dengan menambahkan lokasi-lokasi baru yang bisa pemain jelajahi. Selain itu, mereka juga akan memperkenalkan elemen gameplay baru. Baik NetEase maupun Warner Bros. telah mengonfirmasi bahwa mereka akan meluncurkan Magic Awakened di pasar internasional. Hal ini sesuai dengan ambisis NetEase untuk memperbesar kontribusi pasar game global ke pemasukan mereka. Saat ini, hanya 10% dari pemasukan game NetEase berasal dari pasar internasional. Mereka berharap, dalam beberapa tahun ke depan, angka itu akan naik hingga 50%.
Jepang merupakan negara dengan pasar game terbesar ketiga. Menurut data dari Newzoo, nilai industri game di Jepang mencapai US$20,6 miliar. Tak hanya itu, Jepang juga menjadi rumah dari beberapa perusahaan game ternama, seperti Sony dan Nintendo. Jepang bahkan sempat mendominasi pasar game global pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Perusahaan-perusahaan game Jepang menguasai 50% dari pangsa pasar game global sekitar 25 tahun lalu. Namun, sekarang, dominasi Jepang telah mulai luntur. Pertanyaannya: apa yang membuat kejayaan Jepang di industri game runtuh?
Era Kejayaan Jepang di Industri Game
Kesuksesan Jepang di dunia game berawal dari arcade. Game arcade pertama, Periscope, diluncurkan pada 1966. Namun, di Jepang, game arcade baru mulai populer pada 1970-an, ketika Atari meluncurkan game arcade pertama mereka, Computer Space, di 1971. Sejak saat itu, mesin arcade menjamur, ditempatkan di berbagai pusat perbelanjaan dan bar. Sebenarnya, saat itu, para gamers sudah bisa membeli konsol untuk memainkan game di rumah. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Japan Times, game arcade lebih populer karena ia menawarkan grafik yang lebih bagus.
Salah satu perusahaan Jepang yang menuai sukses dari bisnis game arcade adalah Sega. Dan salah satu game arcade Sega yang dianggap sukses adalah Sega Rally Championship. Game itu bahkan dianggap sebagai game balapan revolusioner karena menawarkan fitur berupa gaya gesek yang berbeda untuk setiap permukaan yang berbeda. Tetsuya Mizuguchi adalah salah satu developer yang mengembangkan Sega Rally Championship.
Mizuguchi bergabung dengan Sega pada 1990, saat dia berumur 25 tahun. Dia mengaku, alasan dia ingin bekerja untuk Sega adalah karena dia kagum dengan mesin arcade yang Sega buat. Contohnya, R360, mesin arcade yang bisa berputar 360 derajat. Kepada Channel News Asia, dia mengaku bahwa ketika dia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Sega, dia tidak berusaha untuk mencoba melamar pekerjaan di tempat lain.
Pada tahun 1990-an, Sega berhasil mendapatkan miliaran dollar dengan membuat dan menjual mesin arcade. Hal ini membuat Sega tidak segan-segan untuk mengucurkan banyak uang bagi divisi riset dan pengembangan. Mizuguchi bercerita, pada awal dia bergabung dengan Sega, perusahaan itu punya atmosfer layaknya startup. Pasalnya, kebanyakan kreator game di sana masih berumur 20-an.
“Kami semua tidak punya pengalaman, tapi kami terus berusaha untuk membuat hal baru. Ketika itu, saya merasa, atmosfer perusahaan Sega sangat menyenangkan. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Kami percaya, kami bisa mencoba untuk melakukan sesuatu walau kami tidak tahu caranya. Dan jika kami gagal, kami akan bisa mencoba lagi,” cerita Mizuguchi.
Sayangnya, pada 2000-an, bisnis arcade mulai lesu. Hal ini terjadi karena berkembangnya bisnis konsol, yang menurunkan minat para gamers untuk bermain di arcade. Lesunya industri arcade bahkan membuat Sega ada di ujung tanduk. Akhirnya, pada 2004, Sega akhirnya memutuskan untuk melakukan merger dengan Sammy Corporation. Sega selamat dari kebankrutan. Namun, setelah merger, atmosfer perusahaan berubah. Perubahan tersebut mendorong Mizuguchi untuk keluar.
“Tadinya, saya bisa mencoba untuk membuat hal-hal baru dan menantang di Sega. Tapi, atmosfer baru di perusahaan membuat saya kesulitan untuk melakukan hal itu,” ungkap Mizuguchi. “Namun, saya rasa, hal ini terjadi di banyak perusahaan.”
Turunnya minat akan mesin arcade memang merupakan kabar buruk untuk Sega. Namun, meningkatnya popularitas konsol menjadi kabar baik untuk produsen konsol, seperti Sony dan Nintendo. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, konsol buatan Sony dan Nintendo mendominasi pasar. Sampai saat ini, daftar lima konsol dengan penjualan terbaik diisi oleh konsol-konsol buatan kedua perusahaan Jepang tersebut.
Runtuhnya Dominasi Jepang
Era 2000-an menjadi awal dari memudarnya dominasi Jepang di industri game. Menurut Matt Alt, penulis, penerjemah, dan penulis yang bermarkas di Tokyo, peluncuran Xbox oleh Microsfot merupakan salah satu alasan di balik runtuhnya dominasi Jepang di industri game. Dengan adanya Xbox, developer di Amerika Utara dan Eropa bisa membuat game untuk konsol berbasis Windows. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir akan masalah bahasa, mengingat Microsoft adalah perusahaan Amerika Serikat.
Senada dengan Alt, Shin Imai, jurnalis IGN Jepang mengatakan, kemunculan Xbox menjadi awal dari menurunnya penjualan game buatan Jepang di pasar global. Alasannya adalah karena game-game dari developer di luar Jepang juga mulai menarik perhatian gamers. Sementara itu, John Ricciardi, localizergame Jepang, menganggap bahwa meningkatnya biaya untuk membuat game menjadi salah satu alasan mengapa game Jepang menjadi kurang populer di pasar global.
“Ongkos untuk membuat game mendadak meroket, dan proses pengembangan game menjadi kaku serta tidak fleksibel. Dan saya rasa, Jepang terjebak di sini,” ujar Ricciardi. “Di Barat, game engine mulai muncul. Para developer game melakukan semua yang bisa mereka lakukan untuk menyederhanakan proses pembuatan game. Jadi, mereka bisa fokus pada sisi kreatif pembuatan game. Namun, hal ini tidak terjadi di Jepang.”
Sementara dominasi Jepang di industri game mulai lutur, pada 2000-an, industri game Korea Selatan justru mulai tumbuh. Menariknya, budaya game Korea Selatan jauh berbeda dengan Jepang. Hal ini terjadi karena pemerintah Korea Selatan melarang impor konsol dan game dari Jepang. Memang, hubungan antara Jepang dan Korea Selatan kurang baik karena Jepang pernah menjajah Korea Selatan.
Larangan pemerintah untuk menjual game dan konsol Jepang mendorong munculnya format game baru yang unik, yaitu game berbasis teks yang disebut Multi-User Dungeon alias TextMUD. Sesuai namanya, “game” TextMUD tidak punya grafik sama sekali. Sebagai gantinya, pemain bisa berinteraksi dengan satu sama lain dalam dunia virtual dengan mengetikkan perintah sederhana. TextMUD biasanya menggabungkan elemen RPG, hack and slash, PVP, dan online chat. Dan format game ini menjadi awal dari kemunculan game online.
“Dengan kata lain, jika konsol game Jepang mendominasi pasar game Korea Selatan, genre inovatif TextMUD tidak akan pernah muncul,” kata Jong Hyun Wi, President of Korean Academic Society of Games. Di masa depan, popularitas game online juga turut berperan dalam membentuk budaya gaming di Korea Selatan. Jika gamers Jepang lebih suka bermain sendiri, gamers Korea Selatan lebih menikmati bermain bersama teman di game online. Dan hal ini akan mendorong kemunculan esports.
Peran Perusahaan Game Jepang di Tiongkok
Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang melarang penjualan konsol buatan Jepang. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal yang sama pada 2000. Ketika itu, alasan Beijing melarang penjualan konsol — baik buatan perusahaan Jepang maupun Amerika Serikat — adalah karena orang tua dan guru khawatir game akan menjadi “heroin digital”. Larangan penjulaan konsol ini juga mempengaruhi pertumbuhan industri game Tiongkok. Karena konsol dilarang, maka di Tiongkok, industri game PC dan mobile tumbuh pesat.
Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia. Lisa Hanson, Games Industry Consultant, Niko Partners mengatakan, Tiongkok menguasai setidaknya 25% pada pangsa pasar game global. “Banyak perusahaan game yang ingin bisa mendapatkan akses ke gamers Tiongkok,” katanya. “Dan halangan pertama yang harus mereka hadapi adalah regulasi. Ada banyak regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para pelaku industri game. Perusahaan yang ingin bisa masuk ke Tiongkok harus memenuhi regulasi tersebut.”
Lebih lanjut, Hanson menjelaskan, untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, sebuah perusahaan tidak hanya harus mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Beijing, mereka juga harus bekerja sama dengan perusahaan lokal. “Karena, hanya perusahaan lokal di Tiongkok yang bisa mengakses infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.
Kabar baik untuk perusahaan pembuat konsol, pemerintah Tiongkok menghapus larangan impor konsol pada 2015. Setelah larangan untuk menjual konsol dihapus, Nintendo menggandeng Tencent untuk meluncurkan Switch di Tiongkok. Tak mau kalah, Sony juga meluncurkan PlayStation 5 di Tiongkok pada Mei 2021. Dan PS5 laku keras di Tiongkok, membuktikan bahwa gamers Tiongkok punya minat akan konsol.
“PS5 terjual habis dalam waktu singkat. Konsol itu juga mendapat banyak pujian,” kata Hanson. “Gamers Tiongkok punya minat tinggi akan PS5 dan Switch dan Xbox. Memang, tidak semua gamers Tiongkok ingin bermain di konsol. Tapi, orang-orang yang berminat dengan konsol, mereka sangat senang dengan keberadaan konsol.” Dia menambahkan, di masa depan, dengan keberadaan cloud gaming — yang memungkinkan game-game konsol untuk dimainkan di perangkat lain via cloud — hal ini akan membuka kesempatan baru bagi perusahaan konsol.
Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, kontribusi segmen konsol di pasar game Tiongkok memang sangat kecil. Menurut Alt, kontribusi konsol pada keseluruhan pasar game Tiongkok hanyalah 2-3$. Dia menjelaskan, “Pangsa pasar konsol di Tiongkok sangat kecil karena game PC dan mobile mendominasi. Jadi, apa yang Nintendo, Sony, dan Microsoft coba lakukan adalah membangun audiens konsol yang setia.”
Industri Game Jepang di Masa Depan
Selera gamers Jepang berbeda dengan gamers dari Amerika Utara atau kawasanlain. Imai mengatakan, gamers dari Amerika Utara biasanya menyukai game dengan grafik yang realistis karena budaya menonton film di bioskop cukup kental di sana. Sebaliknya, gamers Jepang lebih terbiasa mengonsumsi media hiburan selain film, seperti manga dan anime. Perbedaan selera ini berpotensi membuat perusahaan game Jepang bingung: apakah mereka harus fokus pada pasar domestik atau global. Pasalnya, industri game Jepang juga cukup besar sehingga sebuah perusahaan bisa tetap sukses meskipun mereka hanya fokus pada pasar domestik.
Menurut Alt, di masa depan, akan semakin banyak game yang menggunakan karakter atau elemen khas Jepang lainnya, tapi dibuat oleh developer dari luar Jepang. Dia menjadikan Pokemon Go sebagai contoh. Walau menggunakan franchise Pokemon, game AR itu dibuat oleh Niantic, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Alt bahkan menduga, karakter atau trope khas Jepang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mencoba teknologi baru.
Sementara itu, ketika ditanya tentang memudarnya dominasi Jepang di industri game, Mizuguchi menjawab bahwa dia tidak merasa pangsa pasar Jepang di bisnis game menurun. Hanya saja, industri game sudah berkembang menjadi jauh lebih besar. Alhasil, pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang terlihat menyusut. Selain itu, dia juga merasa, kreativitas developer game Jepang juga masih hidup.
“Kami tidak punya keinginan untuk menguasai pasar game,” ujar Mizuguchi. “Kami lebih mementingkan kreativitas, teknologi, keahlian, dan seterusnya. Saya rasa, developer Jepang akan tetap membuat game sesuai dengan prinsip mereka. Dan jika game tersebut memang sukses, maka jumlah orang yang memainkan game yang kami kuasai akan naik dengan sendirinya.”
Dengan jumlah gamers mencapai 720 juta orang, Tiongkok merupakan pasar game terbesar di dunia. Selain unggul dalam jumlah, gamers di Tiongkok juga menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk bermain. Menurut studi dari perusahaan cloud Limelight Networks, rata-rata, gamers Tiongkok menghabiskan waktu selama 12,4 jam per minggu untuk bermain game. Sebagai perbandingan, di tingkat global, durasi rata-rata yang dihabiskan oleh gamers setiap minggu 8,5 jam seminggu.
Fakta bahwa gamers Tiongkok menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game menimbulkan kekhawatiran akan bahaya dari kecanduan game. Karena itu, pemerintah Tiongkok pun memutuskan untuk memperketat regulasi terkait game. Regulasi terbaru dari pemerintah Tiongkok berfungsi untuk membatasi lama waktu bermain gamers di bawah umur.
Regulasi Terbaru di Tiongkok
Pada akhir Agustus 2021, National Press and Publication Administration (NPPA), regulator game di Tiongkok, mengumumkan regulasi baru untuk membatasi jam main gamers di bawah umur. Regulasi itu menetapkan bahwa gamers di bawah umur 18 tahun hanya boleh bermain game pada hari Jumat, Sabtu, Minggu, dan hari libur selama 1 jam, yaitu pada pukul 8 malam sampai 9 malam. Hal itu berarti, gamers di bawah umur hanya bisa bermain game selama 3 jam seminggu.
Seperti yang disebutkan oleh Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah Tiongkok membatasi waktu bermain anak-anak di bawah umur. Pada 2019, NPPA membuat regulasi untuk membatasi waktu main gamers di bawah umur, menjadi 13,5 jam dalam seminggu.
“Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok memang aktif dalam mengeluarkan kebijakan yang mencegah dampak negatif game online, terutama perihal kecanduan, dalam kaitannya dengan pemain di bawah umur. Ini bukan hal baru,” ujar Darang melalui email kepada Hybrid.co.id.
Dalam analisa awal tentang regulasi baru dari NPPA, Niko Partners menyebutkan, dalam lebih dari 15 tahun terakhir, pemerintah Tiongkok memang terus berusaha untuk mengatasi masalah kecanduan gaming pada gamers di bawah umur. Faktanya, regulasi anti-candu gaming pertama dikeluarkan pada 2005. Selain pembatasan waktu bermain, pemerintah juga menetapkan sistem identifikasi menggunakan nama asli pada game. Jadi, ketika seseorang hendak bermain game online, ID mereka akan dicocokkan dengan database penduduk nasional milik Kementerian Keamanan Masyarakat. Dengan begitu, informasi tentang para pemain bisa diketahui, termasuk umur mereka.
Namun, Niko Partners menyebutkan, sistem pembatasan waktu bermain yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok masih punya celah. Gamers di bawah umur bisa saja membeli ID dewasa palsu sehingga mereka bisa bermain di luar jam yang telah ditetapkan. Bahkan, orang tua bisa membiarkan anak mereka bermain menggunakan ID mereka. Karena itu, pemerintah Tiongkok meminta kerja sama orang tua untuk membatasi waktu bermain dari gamers di bawah umur.
Adanya celah pada regulasi untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur menuai protes dari masyarakat. Untuk mengatasi celah ini, Tencent tengah mencoba untuk menggunakan sistem pengejalan wajah dari AI pada game mereka. Dengan begitu, sistem bisa mendeteksi gamers di bawah umur yang mencoba untuk menggunakan ID orang dewasa.
Efek ke Industri Game dan Esports
Kabar baiknya, regulasi baru dari pemerintah Tiongkok ini tampaknya tidak akan memberikan dampak besar pada pemasukan industri game di Tiongkok. Pasalnya, kontribusi gamers di bawah umur pada pemasukan perusahaan-perusahaan game di Tiongkok memang sangat kecil. Tencent mengungkap, gamers di bawah umur 16 tahun hanya memberikan kontribusi sebesar 2,6% dari total pemasukan mereka. Hal yang sama juga terjadi di perusahaan-perusahaan game lain. Kontribusi gamers di bawah umur pada total pemasukan perusahaan biasanya ada di rentang 1%-5%.
Walau regulasi baru ini tidak akan memberikan pengaruh besar pada pemasukan industri game, kemungkinan, ia akan mempengaruhi jumlah gamers. Regulasi baru dari NPPA punya kemungkinan untuk membuat jumlah gamers muda menurun. Dan meskipun orang dewasa tidak dipengaruhi oleh regulasi baru itu, kemungkinan, orang tua tetap harus membatasi waktu bermain game mereka di hadapan anak-anak mereka.
Sayangnya, Niko Partners menyebutkan, saat ini, masih belum diketahui bagaimana regulasi baru ini akan mempengaruhi industri esports. Pasalnya, pemain profesional biasanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game. Satu hal yang pasti, pembatasan waktu bermain untuk anak di bawah umur ini bisa membuat mereka enggan untuk menjadikan game sebagai hobi atau membuat mereka tidak tertarik berkarir di dunia game dan esports. Karena keterbatasan waktu untuk bermain, di masa depan, anak-anak di bawah umur juga mungkin tidak lagi tertarik dengan game yang kompleks.
Menurut Darang, peraturan yang semakin ketat di Tiongkok bisa membuat perusahaan-perusahaan game menjadi semakin bersemangat untuk melakukan ekspansi. “Perusahaan-perusahaan Tiongkok mulai melakukan ekspansi ke berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara, dalam beberapa tahun terakhir,” katanya. “Dengan adanya regulasi-regulasi baru di bidang game dan esports, tren tersebut tampaknya akan terus berlanjut.”
Terkait game dan esports, Indonesia punya beberapa kesamaan dengan Tiongkok. Meskipun begitu, Darang menyebutkan, saat ini, Indonesia dan negara-negara tetangga menetapkan aturan yang lebih terbuka di industri game dan esports. “Sepertinya, kemungkinan bagi negara-negara ASEAN untuk meniru langkah Tiongkok agak kecil karena hal itu bisa berdampak negatif pada industri game dan esports yang baru saja berkembang di Asia Tenggara,” ujarnya.
Esports di Asian Games 2022 Hangzhou
Di satu sisi, pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait game — yang pasti juga akan berdampak pada industri esports. Di sisi lain, mereka masih menunjukkan dukungan pada pelaku industri esports. Salah satu buktinya adalah dengan mendukung atlet dan organisasi esports yang akan bertanding di Asian Games 2022. Darang mengungkap, salah satu bentuk dukungan yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok — baik di tingkat nasional maupun provinsi — pada tim dan pemain esports lokal adalah dengan memberikan bantuan finansial. Selain itu, pemerintah juga turun tangan dalam membangun stadion esports.
Tidak heran jika pemerintah Tiongkok ingin membantu atlet dan organisasi esports. Alasannya, esports menjadi salah satu cabang olahraga bermedali di Asian Games 2022. Karena cabang esports mengadu 8 game, maka hal itu berarti, ada 24 medali yang bisa dimenangkan. Sebelum menjadi cabang olahraga bermedali, esports sudah menjadi cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta.
Berikut delapan game yang akan diadu di Asian Games 2022:
Arena of Valor Asian Games version
Dota 2
Dream Three Kingdoms 2
EA Sports FIFA
Hearthstone
League of Legends
PUBG Mobile Asian Games version
Street Fighter V
Selain delapan game itu, akan ada dua game lagi yang menjadi cabang olahraga eksibisi, yaitu Robot Masters dan VR Sports. Sementara yang dimaksud dengan “versi Asia” dari Arena of Valor dan PUBG Mobile adalah versi Tiongkok dari kedua game tersebut: Honor of Kings dan Peacekeeper Elite. Olympic Council of Asia (OCA) mengungkap bahwa Asian Electronic Sports Federation (AESF) akan menjadi penanggung jawab atas penyelenggaraan kompetisi cabang olahraga esports di Asia Games.
“Kami harap, pengumuman ini akan memberikan waktu yang cukup bagi semua tim yang ikut serta untuk mempersiapkan diri mereka sebelum babak kualifikasi,” kata Director General of OCA, Husain Al-Musallam, seperti dikutip dari Dot Esports. “Saya percaya, kami sudah memastikan agar pertandingan esports bisa menampilkan kompetisi panas, menawarkan tontotan yang menarik, baik bagi para esports enthusiasts ataupun penonton kasual.”
Minggu lalu, Insomniac Games mengumumkan bahwa Spider-Man 2 akan diluncurkan pada 2023. Game tersebut akan tersedia eksklusif untuk PlayStation 5. Pada minggu yang sama, pemerintah Tiongkok meminta bantuan dari perusahaan game, seperti Tencent dan NetEase, untuk mengurangi waktu bermain game dari gamers di bawah umur. Sementara itu, Epic Games mengungkap bahwa mereka akan menutup platform Houseparty.
Beijing Memperlambat Proses Persetujuan Peluncuran Game Baru
Game yang akan diluncurkan di Tiongkok harus melalui proses persetujuan dari pemerintah. Dan minggu lalu, pemerintah Tiongkok mengumumkan, mereka akan memperlambat proses persetujuan game baru yang akan diluncurkan. Sebelum mengumumkan hal tersebut, pemerintah Tiongkok memanggil eksekutif dari Tencent dan NetEase, dua perusahaan game besar di Tiongkok. Dikabarkan, pemerintah Tiongkok meminta kedua perusahaan itu agar tidak hanya fokus pada keuntungan perusahaan. Pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan game membantu usaha mereka dalam mencegah anak di bawah umur untuk menghabiskan waktu terlalu banyak untuk bermain game.
“Pemerintah memerintahkan perusahaan dan platform game untuk memperketat proses penyaringan konten di game mereka,” tulis Xinhua News Agency, media resmi pemerintah Tiongkok, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Konten tidak senonoh atau konten yang mengandung kekerasan, serta konten yang menciptakan kebiasaan tidak sehat, seperti menuhankan uang, semua konten itu harus dihapus.”
Spider-Man 2 Bakal Rilis 2023, Eksklusif untuk PS5
Dalam PlayStation Showcase Event, Insomniac Games mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan Spider-Man 2. Game tersebut akan diluncurkan pada 2023, eksklusif untuk PlayStation 5. Insomniac mengungkap, Spider-Man 2 akan melanjutkan cerita dari Peter Parker dan Miles Morales. Selain itu, Venom juga akan tampil di game tersebut.
Spider-Man 2 akan digarap oleh orang-orang yang mengembangkan game Spider-Man pertama, termasuk Creative Director, Bryann Intihar dan Game Director Ryan Smith. Selain itu, Yuri Lowenthal juga akan kembali menjadi pengisi suara Peter Parker dan Nadji Jeter mengisi suara untuk Miles Morales.
“Membuat game yang bisa menunjukkan kemampuan PlayStation 5 memang menantang. Tapi, kami juga tertarik untuk membuat kisah baru tentang Peter Parker dan Miles Morales di game ini,” kata Ryan Schneider, Chief Brand Officer, Insomniac Games, seperti dikutip dari IGN. “Sama seperti game Spider-Man kami sebelumnya, kami tidak hanya ingin menampilkan cerita tentang seorang super hero di Spider-Man 2. Melalui game itu, kami juga menunjukkan sisi manusiawi di balik topeng para pahlawan.”
Epic Games Bakal Tutup Aplikasi Houseparty
Epic Games mengumumkan bahwa mereka akan memberhentikan aplikasi video chatting Houseparty pada bulan depan. Saat ini, aplikasi itu sudah tidak lagi tersedia di toko aplikasi digital. Namun, bagi orang-orang yang telah mengunduh Houseparty, mereka masih menggunakan aplikasi itu hingga Oktober 2021. Setelah Houseparty ditutup, tim yang mengembangkan aplikasi itu akan dipindahkan ke divisi lain di Epic untuk mengembangkan metaverse.
“Sejak bergabung dengan Epic, teknologi dan visi dari Houseparty telah digunakan untuk mengembangkan berbagai fitur baru di Fortnite, yang dimainkan oleh ratusan juta orang, serta dimanfaatkan oleh para developer game,” tulis Houseparty, menurut laporan GamesIndustry. “Karena itu, kami tidak bisa memberikan perhatian yang seharusnya pada komunitas kami.”
Platform Matchmaking Kohai Dirilis di Malaysia
Minggu lalu, platform matchmaking Kohai diluncurkan di Malaysia. Melalui Kohai, para gamers di Malaysia akan bisa mencari pelatih untuk mobile game, seperti PUBG Mobile dan Mobile Legends, secara gratis. Platform ini ditujukan untuk gamers amatir yang ingin bisa menjadi pemain profesional atau sekadar ingin bisa meningkatkan ranking mereka di game.
Versi beta dari platform Kohai telah diluncurkan pada Mei 2021. Dan platform itu cukup diminati. Buktinya, ada lebih dari 43 ribu orang yang mendaftarkan diri. Menurut laporan IGN, saat ini, Kohai hanya menawarkan pelatihan untuk dua mobile game, yaitu Mobile Legends dan PUBG Mobile. Namun, ke depan, mereka berencana untuk menambah judul game yang tersedia.
Berlaku Rasis Saat Siaran, Streamer Terkena Protes
Sejak diluncurkan pada tahun lalu, Genshin Impact berhasil membangun fanbase yang cukup besar. Hal ini menarik sejumlah streamers untuk membuat konten tentang game tersebut. Salah satunya adalah Tenha, seorang kreator konten asal Korea Selatan. Biasanya, dia membuat video guide mengenai Genshin Impact. Salah satunya adalah video tentang Keqing, yang dia unggah pada 5 September 2021. Video tersebut memulai perdebatan antara Tenha dengan Kylorren_Lol, streamer asal Argentina yang biasa membuat konten League of Legends dalam bahasa Spanyol.
Racism should not be tolerated in Genshin, let alone anywhere.
It’s incredibly worrying that there are communities that encourage racist behaviour so openly to harrass other content creators.
Belakangan, Kylorren mulai membuat konten tentang Genshin Impact. Dan dia ingin membuat video tentang reaksinya akan video Keqing buatan Tenha. Namun, Tenha menyebutkan bahwa dia tidak memberikan izin pada Kylorren untuk menggunakan video yang dia buat. Tak lama setelah itu, Kylorren mengadakan siaran langsung, seperti yang disebutkan oleh Kotaku.
Dalam siaran itu, Kylorren berkata, “Orang-orang Asia memang seperti itu. Saya pernah bekerja untuk warga Tiongkok dan mereka sangat tidak menyenangkan. Mereka adalah orang-orang paling tidak baik di dunia.” Siaran berbau rasis tersebut menuai protes, termasuk dari para kreator konten. Tak hanya itu, video tersebut juga mendorong diskusi tentang rasisme pada orang-orang Asia di komunitas Genshin. Kylorren lalu membuat video permintaan maaf pada Tenha. Hanya saja, dalam video tersebut, dia terus menyebut Tenha sebagai warga Tiongkok. Padahal, Tenha berasal dari Korea Selatan.
Dengan jumlah warga negara sebanyak 1,4 miliar orang, Tiongkok merupakan negara dengan populasi terbesar dunia. Hal ini membuat negara itu menjadi pasar yang menarik banyak perusahaan dari berbagai sektor. Menyadari hal ini, pemerintah Tiongkok membuat peraturan yang cukup ketat terkait perusahaan asing yang ingin menjajakan produk mereka ke warga Tiongkok.
Sektor game pun tak lepas dari campur tangan pemerintah. Faktanya, penjualan konsol sempat dilarang oleh pemerintah Tiongkok. Konsol baru mulai dijual secara resmi di Tiongkok pada 2015. Karena itu, jangan heran jika segmen game konsol di Tiongkok jauh lebih kecil daripada industri mobile game dan game PC. Namun, hal itu bukan berarti segmen game PC dan mobile bebas dari campur tangan pemerintah. Sebaliknya, Beijing punya peraturan yang ketat terkait game PC dan mobile yang bisa diluncurkan di Tiongkok. Peraturan itu mencakup banyak hal, mulai dari bahasa yang digunakan dalam game sampai animasi ketika seorang karakter mati, seperti yang pernah dibahas oleh Niko Partners.
Tak hanya developer dan publisher game, pemerintah Tiongkok juga punya peraturan untuk para gamers. Salah satunya adalah pembatasan waktu bermain bagi anak dan remaja di bawah umur. Pada 2019, pemerintah Tiongkok mengeluarkan peraturan yang membatasi waktu bermain gamers di bawah umur menjadi 1,5 jam pada hari kerja dan 3 jam pada akhir pekan serta hari libur. Belum lama ini, mereka memperketat peraturan tersebut. Per 30 Agustus 2021, gamers di bawah umur 18 tahun hanya boleh bermain game selama 3 jam dalam seminggu.
Apa Tujuan Pemerintah Tiongkok Memperketat Regulasi Waktu Main Remaja?
Ada beberapa alasan mengapa pemerintah Tiongkok memperketat peraturan terkait durasi waktu bermain gamers di bawah remaja. Salah satunya adalah karena banyaknya anak dan remaja di bawah umur yang mengalami rabun jauh. Menurut laporan pemerintah, lebih dari setengah anak di Tiongkok mengidap rabun jauh.
Namun, menurut Senior Analyst, Niko Partners, Daniel Ahmad, jumlah anak yang memiliki rabun jauh justru lebih banyak dari itu. Pada 2010, persentase anak di Tiongkok yang mengalami rabuh jauh hanya mencapai 50%. Angka ini naik menjadi 72% pada 2018. Diduga, alasan mengapa jumlah anak yang mengidap rabun jauh meningkat pesat adalah karena sekarang, anak-anak semakin jarang menghabiskan waktunya untuk bermain di luar ruanga. Sebagai gantinya, mereka lebih sering menghabiskan waktunya di hadapan layar, baik di depan layar TV, PC, ataupun smartphone.
Pemerintah Tiongkok sebenarnya telah mulai memperketat regulasi terkait gaming sejak beberapa tahun lalu. Pada Maret 2018, pemerintah Tiongkok sempat melarang peluncuran game-game baru. Ketika itu, tujuan mereka melarang publisher game meluncurkan game-game baru adalah karena mereka ingin mencegah peluncuran game-game ilegal yang mengandung konten pornografi, kekerasan, judi, atau konten lain yang dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya negara Tiongkok. Pemerintah Tiongkok baru mulai kembali meninjau game-game yang hendak diluncurkan pada Desember 2018.
Alasan lain mengapa pemerintah Tiongkok membatasi waktu bermain anak adalah untuk mencegah anak dan remaja menjadi kecanduan bermain game. Dalam dokumen resmi, pemerintah Tiongkok menyebutkan bahwa kecanduan game merupakan salah satu hal yang dikhawatirkan oleh banyak orang. Selain itu, mereka juga mengklaim, banyak orang tua yang setuju dengan keputusan mereka untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur.
Tak hanya game, pemerintah Tiongkok juga memperketat peraturan terkait segmen lain dari dunia hiburan, seperti online fan clubs dan fan culture dari para artis. Mereka juga memperketat regulasi di bidang teknologi. Para analis bahkan memperkirakan, di masa depan, pemerintah Tiongkok akan membuat peraturan tentang aplikasi video dan streaming yang lebih ketat. Memang, pada Agustus 2021, pemerintah Tiongkok juga telah melarang Tencent untuk melakukan merger dari Huya dan Douyu, dua perusahaan streaming game terbesar di Tiongkok. Pada akhirnya, tujuan pemerintah Tiongkok memperketat peraturan terkait dunia hiburan adalah karena mereka tidak ingin generasi muda menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mengonsumsi konten hiburan, lapor WIRED.
Dampak ke Industri Game dan Esports
Jumlah gamers di Tiongkok mencapai 743,5 juta orang. Sekitar 110 juta orang merupakan anak dan remaja di bawah umur 18 tahun. Para gamers di bawah umur itu akan menjadi pihak yang merasakan dampak paling besar dari regulasi baru yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok. Namun, regulasi itu juga akan mempengaruhi industri game secara keseluruhan. Pasalnya, pemerintah membebankan tanggung jawab untuk memastikan gamers di bawah umur tidak bermain di luar waktu yang telah ditentukan pada perusahaan game.
Memang, sejak awal, gamers Tiongkok perlu menggunakan identitas diri di dunia nyata untuk bisa bermain game. Dengan begitu, perusahaan game bisa mengetahui umur dari para gamers yang memainkan game mereka. Ketika seorang gamer yang sedang bermain merupakan anak di bawah umur, maka game akan secara otomatis mencatat lama waktu bermain. Saat anak sudah melewati batas waktu yang ditetapkan, game akan menampilkan popup, memaksa sang anak untuk berhenti bermain game.
“Regulasi dari pemerintah sudah cukup ketat,” kata Zhu Jingtong, manager di sebuah publisher game asal Shanghai, pada WIRED. Regulasi yang Zhu maksud adalah peraturan yang pemerintah tetapkan pada 2019. Peraturan tersebut membatasi durasi bermain anak di bawah umur menjadi 1,5 jam per hari kerja dan 3 jam setiap akhir pekan atau hari libur. “Keputusan pemerintah untuk memperketat peraturan ini tidak terduga. Dan hal ini akan punya dampak besar pada industri game,” ujar Zhu. Regulasi baru terkait jam main anak di bawah umur diberlakukan beberapa hari setelah ia diumumkan. Hal ini membuat perusahaan game terburu-buru untuk mengubah sistem game mereka, memastikan game mereka mengakomodasi regulasi baru tersebut.
Kabar baiknya, saham perusahaan game tidak mendadak turun drastis setelah pemerintah Tiongkok mengumumkan regulasi baru terkait lama waktu main anak di bawah umur. Hal ini tidak aneh, mengingat daya beli anak di bawah umur memang belum besar. Jadi, pemain di bawah umur memang tidak memberikan kontribusi besar pada total pemasukan perusahaan game. Namun, para analis khawatir, peraturan baru dari pemerintah Tiongkok ini akan punya dampak jangka panjang ke industri game.
Chenyu Cui, Senior Games Analyst, Omdia, perusahaan riset pasar yang fokus pada teknologi menjelaskan bahwa dampak dari keputusan pemerintah Tiongkok untuk melarang penjualan konsol masih dirasakan sampai saat ini. Padahal, larangan untuk menjual konsol di Tiongkok telah dihapus sejak 2015. Meskipun begitu, sampai sekarang, segmen game konsol masih menjadi pasar niche jika dibandingkan dengan pasar game PC dan mobile.
“Anak-anak di zaman ini yang waktu mainnya dibatasi ini akan tumbuh dewasa. Dan ketika mereka sudah dewasa, kemungkinan, waktu yang mereka habiskan untuk bermain game akan berkurang. Hal itu berarti, industri hiburan — khususnya mobile game — bisa menyusut dalam waktu 10 sampai 15 tahun ke depan,” ujar Chenyu.
Industri game bukan satu-satunya industri yang akan terkena dampak dari keputusan pemerintah Tiongkok untuk membatasi waktu main anak di bawah umur. Industri esports juga akan merasakan dampaknya. Kemungkinan, dampak dari regulasi ini akan menghantam industri esports dengan lebih cepat.
Pasalnya, kebanyakan pemain esports memulai karirnya ketika mereka masih berumur belasan tahun. Tidak sedikit pemain profesional yang berhenti berkarir saat mereka masih berumur 20-an. Contohnya adalah Jason “f0rsakeN” Susanto, yang memulai karirnya sebagai pemain profesional ketika dia masih berumur 13 tahun. Menjadi pemain esports profesional pun tidak mudah. Para atlet esports bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berlatih setiap harinya. Zhang Kaifeng, pemain Arena of Valor dari TIongkok mengungkap, dia menghabiskan waktu setidaknya 15 jam untuk berlatih.
“Dengan adanya regulasi baru dari pemerintah, kesempatan anak muda untuk menjadi pemain profesional kini hampir nol,” kata Chen Jiang, Associate Professor di Peking University’s School of Electronics Engineering and Computer Science, seperti dikutip dari Reuters. Senada dengan Chen, seorang eksekutif dari klub esports asal Tiongkok mengungkap, regulasi baru dari pemerintah bisa membuat talenta muda kehilangan kesempatan untuk ditemukan oleh tim profesional.
“Pemain top biasanya memang punya bakat dan tidak selalu harus berlatih terus-terusan sebelum mereka diajak bergabung oleh tim profesional,” kata sang eksekutif yang enggan untuk disebutkan namanya. “Namun, sebagian pemain berbakat perlu latihan keras sebelum mereka bisa menjadi pemain profesional.”
Pembatasan Waktu Main di Korea Selatan
Tiongkok bukan satu-satunya negara yang pernah membatasi waktu bermain anak di bawah umur. Pada 2011, Korea Selatan mengeluarkan Shutdown Law, yang melarang anak di bawah umur 16 tahun untuk bermain game pada pukul 12 malam hingga 6 pagi. Regulasi itu mulai diberlakukan pada November 2011.
Pemerintah Korea Selatan membuat regulasi itu dengan tujuan agar anak di bawah umur bisa mendapatkan tidur yang cukup dan tidak menggunakan waktu tidurnya untuk bermain game. Saat itu, segmen gaming yang menjadi target regulasi tersebut adalah game PC. Namun, cabang Sony di Korea Selatan memutuskan untuk mematuhi peraturan tersebut. Pemerintah Korea Selatan juga cukup tegas soal pembatasan waktu bermain anak di bawah umur. Perusahaan yang melanggar peraturan itu akan dikenakan denda sebesar hingga KRW10 juta (sekitar Rp121,8 juta). Sementara individu yang melanggar bisa dikenakan hukuman penjara, hingga 2 tahun.
Bulan lalu, Korea Selatan memutuskan untuk menghapus Shutdown Law. Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata serta Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga menyebutkan, mereka menghapus regulasi itu karena mereka ingin menghargai hak dari anak-anak muda.
“Bagi anak muda, game adalah hobi dan alat komunikasi yang penting,” kata Menteri Budaya Korea Selatan, Hwang Hee, menurut laporan Kotaku. “Saya harap, dengan perubahan ini, pemerintah dapat menjunjung hak generasi muda dan menciptakan lingkungan keluarga yang sehat.” Sebagai ganti dari Shutdown Law, pemerintah Korea Selatan menetapkan “Choice System”. Melalui sistem ini, gamers di bawah umur bisa meminta izin pada orang tua atau wali mereka untuk bermain di jam-jam tertentu.
Keputusan pemerintah Korea Selatan untuk menghapus Shutdown Law didukung oleh Korea Association of Game Industry. Dalam pernyataan resmi, dikutip dari PC Gamer, asosiasi itu berkata, “Shutdown Law telah menghambat pertumbuhan industri game nasional sejak lama. Padahal, regulasi itu mendapat banyak kritik. Regulasi tersebut tidak hanya tidak efektif, tapi juga melanggar hak anak serta melemahkan kemampuan kita untuk bersaing di industri game. Kami akan berusaha untuk memberikan edukasi pada orang tua akan sistem perlindungan untuk anak yang sudah ada di setiap game.”
Seperti yang disebutkan oleh Korea Association of Game Industry, regulasi dari pemerintah Korea Selatan untuk membatasi waktu main anak di bawah umur tidak efektif. Dan tampaknya, peraturan dari pemerintah Tiongkok juga masih punya celah. Salah satu celah itu adalah pengunaan booster, yang juga dikenal dengan nama accelerator. Aplikasi booster berfungsi layaknya VPN, memungkinkan gamers untuk mengakses server di luar Tiongkok. Hal ini memungkinkan gamers untuk memainkan game-game yang tidak diluncurkan secara resmi di Tiongkok. Banyak gamers muda yang menggunakan aplikasi boosters tersebut dan sampai saat ini, pemerintah Tiongkok menutup mata akan penggunaan aplikasi tersebut.
Steven Jiang, gamer berumur 16 tahun yang tinggal di Beijing, merupakan salah satu gamer yang menggunakan aplikasi booster. Dia mengaku, dia dan teman-temannya memang menggunakan aplikasi tersebut. Terkait regulasi baru dari pemerintah Tiongkok, dia menganggap, peraturan itu terlalu ketat. Menurutnya, tidak semua gamer di bawah umur tidak bisa mengatur waktu saat bermain game. Dia merasa, pemerintah seharusnya memberikan kebebasan pada anak dan remaja untuk mengatur waktu mereka sendiri.
“Bermain game membuat saya lebih santai,” kata Jiang. “Dan gaming adalah cara yang efektif untuk bersosialisasi, bermain dengan teman. Tahun depan, kami harus menghadapi tes masuk kuliah dan kami semua berusaha untuk berhenti bermain game. Kami tetaplah manusia. Kebanyakan teman saya senang bermain game. Tapi, bagi kami, belajar tetaplah prioritas pertama kami.”
Daniel Ahmad dari Niko Partners juga percaya, gamers di bawah umur di Tiongkok tidak akan serta-merta mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. “Anak-anak akan selalu mencari celah dalam regulasi,” ujarnya. “Regulasi baru ini tidak akan menjadi akhir dari industri gaming. Ke depan, pemerintah masih akan membuat regulasi baru. Namun, industri masih akan tetap tumbuh.”
Sebenarnya, pemerintah memang punya hak untuk membatasi pergerakan warganya. Pemerintah bisa membuat Curfew Laws untuk yang membatasi pergerakan warga di tempat umum. Misalnya, dengan melarang warga untuk melakukan kegiatan tertentu atau menentukan jam malam. Menurut Find Law, Curfew Laws bisa ditetapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Secara garis besar, ada tiga jenis Curfew Laws: Emergency Curfew Law, Business Curfew Laws, dan Juvenile Curfew Laws.
Emergency Curfew Laws biasanya diberlakukan ketika negara tengah mengalami krisis, mulai dari bencana alam, krisis kesehatan, sampai krisis yang disebabkan oleh manusia, seperti tawuran atau ancaman teroris. Biasanya, Emergency Curfew Laws bersifat sementara. Peraturan itu hanya berlaku ketika krisis terjadi. Pemerintah Indonesia juga menggunakan Emergency Curfew Laws, yaitu ketika mereka memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal pandemi.
Jenis kedua dari Curfew Laws adalah Business Curfew Laws. Peraturan ini menargetkan para pelaku usaha. Sama seperti Emergency Curfew Laws, tujuan Business Curfew laws adalah untuk menjami keamanan dan kesehatan warga saat krisis terjadi. Melalui Business Curfew Laws, pemerintah bisa menetapkan waktu operasional dari pelaku bisnis. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) adalah contoh dari Business Curfew Laws. Dalam PPKM Level 3, salah satu aturan yang ditetapkan adalah supermarket, pasar tradisional, pasar swalayan, dan toko kelontongan hanya boleh beroperasi sampai dengan pukul 9 malam, seperti yang disebutkan oleh Kompas.
Kategori terakhir dari Curfew Laws adalah Juvenile Curfew Laws. Sesuai namanya, peraturan ini menargetkan anak dan remaja. Biasanya, Juvenile Curfew Laws melarang anak dan remaja di bawah umur 18 tahun untuk mengakses tempat umum pada jam-jam tertentu. Misalnya, dari pukul 11 malam sampai 6 pagi. Tujuan dari Juvenile Curfew Laws adalah untuk mencegah kegiatan kriminal oleh anak dan remaja di bawah umur. Namun, peraturan ini menyebabkan kontroversi. Alasannya, karena Juvenile Curfew Laws dianggap sebagai diskriminasi berdasarkan umur.
Bias Terhadap Game dan Teknologi
Gaming disorder ditetapkan sebagai gangguan kejiwaan oleh World Health Organizatin (WHO) pada 2018. Meskipun begitu, hal ini bukan berarti gamers yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game serta-merta bisa dicap mengidap kecanduan game. Salah satu gejala yang dialami oleh seseorang pengidap gaming disorder adalah dia mementingkan bermain game di atas segalanya, termasuk kewajibannya, seperti sekolah atau bekerja. Selain itu, orang yang mengidap gaming disorder juga terus bermain game walau hal itu mengganggu kehidupan mereka, termasuk merusak hubungan mereka dengan kolega, teman, dan keluarga. Sebelum seseorang bisa didiagnosa mengidap gaming disorder, dia harus mengalami semua gejala dari gangguan tersebut selama setidaknya 12 bulan.
Selain game, sebenarnya ada banyak hal lain yang menyebabkan kecanduan. Dan biasanya, substansi yang bisa menyebabkan kecanduan sebenarnya punya fungsi lain. Misalnya, zat psikotropika — yang masuk dalam kategori narkoba — sebenarnya bisa digunakan untuk membius pasien saat hendak operasi. Substansi tersebut baru menyebabkan masalah ketika ia digunakan tidak sesuai dosis dan kegunaan aslinya. Contoh lainnya adalah media sosial. Sejatinya, media sosial berfungsi untuk memudahkan penggunanya berkomunikasi dengan teman dan keluarga mereka atau untuk mencari komunitas baru. Namun, jika salah digunakan, media sosial justru menjadi sumber berbagai masalah, seperti cyber-bullying, harassment, dan juga pembajakan konten.
Pertanyaannya, kenapa game jadi salah satu hal yang diperhatikan oleh pemerintah Tiongkok? Menurut Chungdi Zhang, analis dari Ampere Analysis, keputusan pemerintah Tiongkok untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur membuktikan bahwa banyak masyarakat Tiongkok yang masih percaya akan stigma buruk akan game.
“Saya rasa, regulasi baru dari pemerintah Tiongkok menunjukkan bahwa masih ada banyak warga Tiongkok yang punya persepsi buruk akan game. Selain itu, orang tua cenderung menyalahkan game untuk masalah yang muncul dalam masa tumbuh kembang anak mereka. Hal ini yang mendorong pemerintah untuk memperketat peraturan terkait industri game,” ujar Chungdi. Padahal, seharusnya, orang tua punya peran besar dalam membentuk kebiasaan bermain game dari anak-anaknya.
Tak hanya game, pemerintah Tiongkok juga mulai memperketat regulasi di industri teknologi. Pada November 2020, pemerintah Tiongkok bahkan menghentikan rencana Ant Group — perusahaan induk dari Alipay dan perusahaan afiliasi dari Alibaba — untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Dalam wawancara dengan CNBC, Charles Mok mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok telah memperketat regulasi terkait anti-trust serta keamanan data dan keamanan siber sejak beberapa tahun lalu. Mok adalah pemilik usaha internet asal Hong Kong dan pendiri Tech for Good Asia, grup advokat yang mempromosikan penggunaan teknologi yang baik dan adil.
Mok juga menyebutkan, pemerintah Tiongkok sebenarnya tidak menargetkan industri teknologi secara khusus. Mereka memang memperketat regulasi terkait sektor yang dikuasai oleh sedikit perusahaan saja. Karena, semakin sedikit perusahaan yang menguasai sebuah industri, semakin besar pula kuasa — dan kekayaan — yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
“Pemerintah Tiongkok khawatir karena sektor swasta menjadi semakin berkuasa,” ujar Mok. Karena itu, mereka berusaha untuk memperketat regulasi agar kuasa kembali ke tangan pemerintah. Bagi perusahaan-perusahaan teknologi, selain masalah kuasa dan uang, pemerintah juga khawatir akan banyaknya data yang diketahui oleh para perusahaan. Memang, perusahaan teknologi yang membuat game dan aplikasi online biasanya akan mengumpulkan data dari para penggunanya. Sebagai ilustrasi, Alipay punya 900 juta pengguna di Tiongkok.
Pemerintah Tiongkok khawatir, data warga akan disalahgunakan oleh perusahaan. Dalam kasus Ant Group — yang hendak melakukan IPO di Shanghai dan Hong Kong — pemerintah Tiongkok khawatir, perusahaan akan didesak oleh pemerintah negara asing untuk menyerahkan data yang mereka punya.
Penutup
Pada 2018, Indonesia pernah memblokir Tumblr. Padahal, saat itu, saya sedang getol-getolnya main Tumblr. Setelah mendengar berita itu, hal pertama yang saya lakukan adalah memasang aplikasi VPN di smartphone saya. Kemudian, saya mulai menggunakan browser Opera, yang sudah dilengkapi dengan fitur VPN. Pemerintah Indonesia juga terus-menerus menggaungkan program Internet Sehat mereka. Meskipun begitu, keberadaan program itu tidak menghentikan orang-orang yang memang ingin mencari konten yang memang dilarang.
Contoh di atas membuktikan kebenaran dari pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Keputusan pemerintah Tiongkok untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur memang sah-sah saja. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa para gamers muda akan mencari celah untuk mengakali regulasi tersebut. Apalagi karena saat ini, bermain game sudah tidak hanya menjadi hobi, tapi juga alat komunikasi dengan teman dan keluarga.
Tiongkok telah mulai pulih dari pandemi virus corona. Karena itu, event offline, seperti China Digital Entertainment Expo & Conference alias ChinaJoy, sudah bisa digelar. Bertema Create Dreams with Technology and Win the Future with Fun, ChinaJoy diadakan pada 30 Juli-2 Agustus 2021. Walau event offline sudah bisa diadakan, penyelenggara ChinaJoy memutuskan untuk memperketat protokol kesehatan karena munculnya kasus varian delta di Nanjing dan Yangzhou.
Menurut laporan Niko Partners, sehari sebelum ChinaJoy diadakan, pengunjung dan perusahaan exhibitor dikabarkan bahwa mereka harus memberikan bukti tes negatif COVID-19 dalam satu minggu terakhir. Tak berhenti sampai di situ, pada pukul 3 pagi, pihak penyelenggara membuat pengumuman baru: hasil tes COVID-19 hanya berlaku jika tes dilakukan dalam 48 jam terakhir. Karena pengetatan protokol kesehatan ini, ada beberapa acara dari ChinaJoy yang harus dibatalkan. Penjualan tiket pun menurun. Orang-orang yang sudah terlanjur membeli tiket tapi tidak bisa menunjukkan bukti tes negatif COVID-19 diperbolehkan untuk melakukan refund.
Perusahaan-Perusahaan yang Hadir di ChinaJoy
ChinaJoy dihadiri oleh lebih dari 500 perusahaan sebagai exhibitor. Produk yang dipamerkan ratusan perusahaan itu beragam, mulai dari hardware, game, sampai solusi cloud gaming. Dari ratusan perusahaan yang hadir di ChinaJoy, sekitar 30% merupakan perusahaan dari luar Tiongkok. Beberapa perusahaan itu antara lain, Sony, Ubisoft, Banda Namco, dan DeNA.
Di ChinaJoy, Ubisoft memperkenalkan Rabbids: Adventure Party di booth mereka. Game tersebut memasukkan elemen cerita Journey to the West pada franchise Rabbids. Game itu diluncurkan secara eksklusif di Tiongkok untuk Nintendo Switch. Sementara itu, Sony memamerkan konsol baru mereka, PlayStation 5, di booth mereka. Di sana para pengunjung juga bisa memainkan demo dari Tales of Arise dan Dynasty Warriors 9: Empires. Selain itu, mereka juga bisa mencoba versi konsol dari Naraka Bladepoint.
Pada ChinaJoy tahun ini, Sony membuat booth yang jauh lebih besar dari tahun -tahun sebelumnya. Keputusan Sony itu menjadi salah satu bukti bahwa pada tahun 2021, perusahaan-perusahaan game PC dan konsol menjadi semakin serius untuk menarik hati pengunjung ChinaJoy. Meskipun begitu, mobile game tetaplah mendominasi ChinaJoy pada tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain untuk memamerkan game atau konsol baru, ChinaJoy juga digunakan oleh para perusahaan game untuk mengumumkan rencana mereka di masa depan.
Misalnya, Riot Games — yang ada di bawah Tencent — mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di Shanghai. Untuk itu, mereka akan merekrut ratusan pegawai baru. Studio Riot di Shanghai akan bertugas untuk mengembangkan game berdasarkan IP lama dan baru Riot. Dengan membuat studio di Shanghai, Riot berharap, mereka akan bisa lebih fokus untuk memenuhi keinginan gamers Tiongkok. Riot bukan perusahaan game pertama yang melakukan hal itu. Sebelum ini, Supercell dan Garena juga telah membuat markas baru di Shanghai. Hal ini tidak aneh, mengingat Tiongkok memang merupakan pasar game terbesar di dunia.
Di ChinaJoy, perusahaan-perusahaan game asal Tiongkok — seperti Tencent, NetEase, dan miHoYo — juga menunjukkan game-game baru mereka. Dari semua game yang dipamerkan di ChinaJoy, ada cukup banyak game yang masuk dalam kategori anime/comic/games/novels (ACGN). Selain itu, juga ada cukup banyak game yang ditujukan untuk gamers perempuan. Hal ini menjadi bukti lain bahwa sekarang, semakin banyak perempuan yang senang bermain game.
Sementara itu, perusahaan induk TikTok, ByteDance memutuskan untuk fokus menampilkan merek Ohayoo, yang mengkhususkan diri pada game kasual, di ChinaJoy. Namun, Nuverse — merek ByteDance yang fokus pada core gaming — justru tidak menampakkan batang hidungnya. Padahal, belum lama ini, mereka telah mengakuisisi Moonton Games, kreator Mobile Legends, dan C4 Games.
Di ChinaJoy, ByteDance fokus pada merek Ohayoo mereka.Pada tahun 2021, developer dan publisher game bukan satu-satunya perusahaan yang membuka booth di ChinaJoy. Dalam event itu, kini juga tersedia area eksibisi baru untuk menampilkan teknologi VR/AR, Sci-Fi Con, Digital Human AI, dan koleksi model figur. Selain itu, keberadaan perusahaan esports dan live streaming pun semakin terasa. Hal ini terlihat dari booth perusahaan-perusahaan itu yang semakin besar. Bahkan, perusahaan-perusahaan otomotif juga membuka booth di ChinaJoy. Salah satu contohnya adalah BYD. Alasan mereka membuka booth di ChinaJoy adalah karena mereka bekerja sama dengan sejumlah IP game populer untuk memperkenalkan mobil terbaru mereka.
Empat Topik Populer di ChinaJoy
Dalam ChinaJoy, ada empat kategori yang menjadi topik pembicaraan hangat, yaitu esports, cloud gaming, metaverse, dan rencana kreator game Tiongkok untuk melakukan ekspansi global.
Pada awalnya, ChinaJoy akan mengadakan 200 pertandingan esports secara live. Hanya saja, karena pihak penyelenggara harus mengetatkan protokol kesehatan secara mendadak, sebagian besar pertandingan esports di ChinaJoy harus ditiadakan. Kabar baiknya, para publisher game esports — seperti Tencent dengan Honor of Kings atau NetEase dengan Overwatch — masih tetap bisa memamerkan game-game mereka.
Tidak heran jika esports menjadi salah satu kategori yang populer di ChinaJoy. Menurut laporan 2021 Esports in Asia dari Niko Partners, Tiongkok memiliki 400 juta fans esports, menjadikannya sebagai pasar esports terbesar di dunia. Selain itu, pemerintah Tiongkok juga cukup mendukung industri esports. Salah satu hal yang Beijing lakukan adalah mengakui esports sebagai profesi resmi. Sementara itu, di tingkat provinsi, pemerintah Shangkai menyatakan rencana mereka untuk menjadikan kotanya sebagai ibukota esports di dunia.
Selain publisher game, perusahaan-perusahaan live streaming dan platform video singkat juga ikut berkontribusi untuk meramaikan segmen esports dalam ChinaJoy. Bahkan JD.com, perusahaan e-commerce asal Tiongkok, pun punya andil. Di ChinaJoy, mereka membuat booth seluas 3.000 meter kuadrat untuk mempromosikan produk-produk terkait esports, seperti aksesori PC. Memang, selama ini, JD.com cukup aktif di dunia esports. Buktinya, mereka punya tim yang berlaga di Honor of Kings dan League of Legends.
Kategori lain yang menjadi sorotan di ChinaJoy adalah cloud gaming. Saat ini, segmen cloud gaming tidak hanya menarik perhatian perusahaan, tapi juga pemerintah. Meskipun begitu, kebanyakan platform gaming yang tersedia di Tiongkok saat ini masih dalam tahap percobaan. Biasanya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di teknologi cloud gaming menjadikan ChinaJoy sebagai tempat untuk mengumumkan update terbaru. Contohnya, divisi Migu milik China Mobile — perusahaan telekomunikasi Tiongkok — memutuskan untuk bekerja sama dengan Kingsoft Cloud dan Xiaomi untuk mencari cara baru dalam mendistribusikan cloud game via jaringan 5G.
Selain cloud gaming dan esports, hal lain yang menjadi topik pembicaraan di ChinaJoy adalah metaverse. Saat ini, metaverse diartikan sebagai penggabungan dunia nyata dengan dunia virtual atau augmented secara online. Di tingkat global, ada beberapa perusahaan game dan teknologi besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse. Sebut saja Epic Games, Roblox, Facebook, dan Microsoft. Empat perusahaan itu telah mengungkap bahwa mereka ingin mengembangkan metaverse. Jadi, tidak heran jika Tencent, publisher game terbesar di dunia, juga tertarik dengan metaverse.
Vice President, Tencent, Liu Ming mengungkap bahwa Tencent percaya, dengan teknologi yang ada saat ini, mereka akan bisa membuat hyper digital reality, menggabungkan dunia nyata dan digital. Untuk itu, mereka akan memanfaatkan teknologi milik Epic Games, yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh Tencent. Selain itu, Tencent juga telah mengadakan kerja sama strategis dengan Roblox Corp. Dalam 10 tahun ke depan, Tencent berencana untuk membuat sekitar 8-10 game yang menggunakan konsep metaverse.
Terakhir, topik yang diangkat di ChinaJoy adalah rencana kreator game Tiongkok untuk melebarkan sayapnya ke luar negeri. Rencana ini didorong oleh kesuksesan game-game buatan Tiongkok, seperti Genshin Impact dan AfK Arena, di pasar luar Tiongkok. Dalam ChinaJoy International Game Business Conference, beberapa juru bicara perusahaan game menyebutkan, dua hal yang membuat mereka sukses di pasar luar Tiongkok adalah game yang berkualitas serta tim pelokalan yang baik.
Sejauh ini, kebanyakan game Tiongkok yang sukses di luar negara itu adalah mobile game. Meskipun begitu, game-game konsol dan PC buatan developer Tiongkok juga mulai diminati oleh gamers global. Biasanya, game-game tersebut dibuat oleh developer kecil atau sedang.
Kejutan datang dari salah satu organisasi esports legendaris asal Swedia Ninjas in Pyjamas yang dilaporkan telah melakukan merger dengan sebuah entitas Tiongkok. Merger ini akan menghasilkan sebuah entitas baru dalam usaha mereka go-public di Amerika Serikat pada akhir tahun ini.
Ninjas in Pyjamas, atau yang sering disingkat NiP, merupakan salah satu organisasi esports terbesar dunia yang dikenal dengan tim Counter-Strike: Global Offensive-nya. Mereka dilaporkan telah teken kontrak dengan entitas Tiongkok bernama ESV5. Entitas tersebut adalah perusahaan patungan milik dua organisasi esports besar Tiongkok, eStar Gaming dan Victory Five.
Pertama dilaporkan oleh Reuters, merger ini akan menghasilkan penghasilan gabungan sebesar RMB400 miliar, atau mendekati angka Rp900 triliun. Mereka juga akan memiliki agenda untuk membentuk perusahaan publik di Amerika Serikat pada akhir tahun ini.
ESV5 adalah perusahaan patungan dari organisasi esports Tiongkok eStar Gaming (ES) dan Victory Five (V5) yang berbasis di Wuhan. KPL Wuhan merupakan home venue dari eStar Gaming sedangkan LPL Shenzhen adalah home venue milik Victory Five.
eStar Gaming berkompetisi di LPL dari 2019-2020. Pada tahun 2020, Nenking Group, pemilik tim Liga Overwatch Guangzhou Charge, mengakuisisi waralaba eStar Gaming LPL dan berganti nama menjadi Ultra Prime (UP).
Seperti yang kita tahu, Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia hingga saat ini, dan rumah bagi perusahaan video game top dunia seperti Tencent dan NetEase. Negara ini memiliki 388 juta penonton esports pada akhir 2020, naik 21,3 persen dari tahun sebelumnya, menurut Niko Partners, sebuah konsultan video game.
Hingga saat ini, kedua belah pihak belum melakukan pengumuman resminya. Namun diperkirakan mereka akan segera mengumumkan merger ini dalam waktu dekat.
Industri game di kawasan Greater Southeast Asia — mencakup Asia Tenggara dan Taiwan — diperkirakan akan bernilai US$8,3 miliar pada 2023. Salah satu faktor pertumbuhan industri game di GSEA adalah esports. Tidak heran, mengingat kebanyakan gamers di Asia memang juga tertarik dengan esports. Menurut data dari Niko Partners, di Asia, sekitar 95% dari gamer PC dan 90% pemain mobile aktif di dunia esports. Hal ini menunjukkan, industri game dan esports punya dampak besar pada satu sama lain. Sebelum ini, kami telah membahas tentang keadaan industri gaming di GSEA pada 2020. Kali ini, kami akan membahas tentang industri esports di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Jumlah Penonton dan Pemain Esports di Asia Tenggara
Menurut data dari Niko Partners, jumlah penonton esports di Asia Timur dan Asia Tenggara mencapai 510 juta orang. Dari keseluruhan jumlah penonton, sekitar 350 juta fans esports berasal dari Tiongkok dan 160 juta orang sisanya berada di Asia Tenggara, Jepang, dan Korea Selatan.
“Kurang lebih, terdapat sekitar 100 juta penonton esports di seluruh Asia Tenggara. Dengan jumlah penonton dan pemain terbanyak kurang lebih mengikuti jumlah penduduk dan konektivitas internet di masing-masing negara,” kata Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners. “Indonesia memiliki jumlah penonton dan pemain esports terbanyak, diikuti oleh Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.” Jika Anda ingin mengetahui jumlah penonton esports di masing-masing negara Asia Tenggara, Anda bisa menemukan informasi itu di laporan premium dari Niko Partners.
Dari segi populasi, lima negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Sementara dari segi kecepatan internet, Singapura merupakan negara jaringan fixed broadband paling cepat, tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di dunia. Menurut data Speedtest, kecepatan jaringan fixed broadband di Singapura mencapai 245,5 Mbps. Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, walau Indonesia memiliki populasi paling besar, kualitas jaringan internet Tanah Air masih kalah cepat jika dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara Asia Tenggara.
Sementara itu, menilik dari segi prestasi, Filipina menjadi negara di Asia Tenggara dengan prestasi esports terbaik. Salah satu buktinya adalah Filipina berhasil membawa pulang medali paling banyak dari cabang olahraga esports di SEA Games 2019. Ketika itu, Filipina berhasil mendapatkan tiga medali emas, satu medali perak, dan satu medali perunggu di cabang esports. Sebagai perbandingan, tim Indonesia hanya berhasil menyabet dua medali silver.
Filipina berhasil memenangkan tiga medali emas di tiga game yang berbeda, yaitu Dota 2, StarCraft II, dan Mobile Legends: Bang Bang. Belum lama ini, tim asal Filipina, Bren Esports juga berhasil memenangkan M2 World Championship. Sementara itu, pemain StarCraft II yang berhasil membawa pulang medali emas untuk Filipina adalah Caviar “EnDerr” Acampado. Dia telah menjadi pemain StarCraft II profesional sejak 2011. Sampai saat ini, dia masih aktif di skena esports StarCraft II. Pada 2021, dia sudah memenangkan dua turnamen minor, yaitu PSISTORM StarCraft League – Season 1 dan Season 2. Sementara pada 2020, dia berhasil menjadi juara dari turnamen major, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.
Filipina juga punya tim Dota 2 yang mumpuni. Selain berhasil membawa pulang medali emas di SEA Games 2019, Filipina juga punya tim profesional yang tangguh, yaitu TNC Predator. Tim tersebut memenangkan Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. Pada 2020, mereka juga membawa pulang piala BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia dan ESL One Thailand 2020: Asia. Mereka juga memenangkan MDL Chengdu Major dan ESL One Hamburg pada 2019. Tak hanya itu, mereka juga berhasil masuk ke The International selama empat tahun berturut-turut, dari 2016 sampai 2019.
Di Tekken, Filipina juga punya Alexandre “AK” Laverez, pemain Tekken profesional yang memenangkan medali perak di SEA Games 2019. AK sendiri telah dikenal di skena esports Tekken global sejak 2013. Ketika itu, dia berhasil menjadi juara tiga di Tekken Tag Tournamen 2 Global Championship walau dia masih berumur 13 tahun. Selain itu, dia juga berhasil meraih posisi runner up di WEGL Super Fight Invitational dan EVO Japan 2019.
Namun, tim-tim esports Indonesia juga punya keunggulan tersendiri. Jika dibandingkan dengan organisasi esports di negara-negara Asia Tenggara lainnya, tim esports Indonesia sangat populer. Faktanya, tiga tim esports paling populer di Asia Tenggara berasal dari Indonesia, yaitu EVOS Esports, Aura Esports, dan RRQ.
Ekosistem Turnamen Esports di Asia Tenggara
Jumlah pemain dan penonton esports di sebuah kawasan hanya bisa tumbuh jika ekosistemnya memang memadai. Kabar baiknya, industri esports di Asia Tenggara memang punya potensi besar. Lisa Cosmas Hanson, Managing Partner, Niko Partners bahkan menyebutkan, Asia Tenggara berpotensi untuk menjadi pusat esports global. Salah satu buktinya adalah banyaknya turnamen esports yang digelar di Asia Tenggara.
“Pada tahun 2020, kami mencatat lebih dari 350 major tournaments digelar di wilayah Asia Tenggara. Angka tersebut tidak termasuk turnamen-turnamen amatir dan kecil,” kata Darang.
Total hadiah dari turnamen-turnamen esports yang diadakan di Asia Tenggara juga cukup besar. Free Fire World Series (FFWS) 2021 menjadi turnamen esports dengan total hadiah terbesar, mencapai US$2 juta. Tak hanya itu, kompetisi itu juga memecahkan rekor jumlah peak viewers. Pada puncaknya, jumlah penonton dari FFWS 2021 mencapai 5,4 juta orang. Sebagai perbandingan, League of Legends World Championship 2019 — pemegang gelar turnamen esports dengan peak viewers tertinggi sebelumnya — hanya memiliki peak viewers sebanyak 3,9 juta orang.
Selain FFWS 2021, di tahun ini, turnamen esports lain yang menawarkan hadiah besar adalah ONE Esports Singapore Major. Turnamen Dota 2 itu menawarkan total hadiah US$1 juta. Pada 2018, juga ada Dota 2 Kuala Lumpur Major, yang menawarkan total hadiah yang sama, yaitu US$1 juta.
Saat ini, di Asia Tenggara, juga telah ada liga esports yang menggunakan model franchise, yang dipercaya akan menjadi tren di masa depan. Salah satunya adalah Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). Selain itu, MPL Phillipines juga dikabarkan akan mengadopsi model franchise pada Season 8. Free Fire Master League juga sudah menggunakan sistem liga yang mirip dengan sistem franchise. Setiap tim diharuskan membayar sejumlah uang jika mereka ingin berpartisipasi dalam liga tersebut. Hanya saja, sebuah organisasi esports boleh menyertakan lebih dari tim untuk ikut serta di FFML. Dan durasi kontrak antara tim dengan penyelenggara hanya berlangsung selama satu season.
Setiap negara punya budaya gaming yang berbeda-beda. Misalnya, kebanyakan warga Indonesia mengenal internet pertama kali berkat smartphone. Jadi, sebagian besar gamer di Tanah Air adalah mobile gamer. Karena itu, untuk memaksimalkan pendapatan, developer bisa memasang fitur yang disukai oleh gamers yang menjadi target mereka. Contohnya, bagi gamer Tiongkok, bermain game merupakan salah satu cara untuk bersosialisasi dengan teman. Alhasil, gamers Tiongkok menganggap fitur co-op dan PvP penting.
Untuk mengetahui fitur di mobile game yang membuat para gamer rela menghabiskan uang, GameRefinery menganlisa 200 game iOS paling populer di Tiongkok dan Amerika Serikat. Berikut lima fitur pada mobile game yang membuatnya menjadi populer di pasar AS dan Tiongkok, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat.
1. Gacha di Game RPG
Gacha alias loot box adalah salah satu fitur yang biasa ditemukan di mobile game, khususnya game RPG. Biasanya, game yang memiliki fitur gacha menawarkan banyak karakter yang bisa dikoleksi. Game-game RPG populer biasanya punya lebih dari satu tipe gacha, seperti gacha untuk karakter, pet, senjata, dan lain sebagainya. Salah satu tipe gacha yang sering diterapkan oleh developer adalah gacha eksklusif dengan batasan waktu. Jadi, pemain hanya bisa mendapatkan karakter/senjata/pet khusus selama periode waktu tertentu saja. Memang, eksklusivitas item menjadi salah satu alasan mengapa seorang gamer rela membeli item dalam game.
Cara lain yang developer gunakan untuk mendorong para pemain membeli loot box adalah dengan menawarkan bonus. Contohnya, jika Anda membeli 100 orbs/gems untuk gacha, Anda akan mendapatkan potongan harga atau orbs/gems ekstra. Contoh game RPG populer yang menggunakan model gacha adalah Fire Emblem Heroes dan Genshin Impact. Pada awalnya, sistem gacha dipopulerkan oleh developer Asia. Namun, belakangan, game gacha juga semakin populer di kalangan gamers Barat.
2. Item Kosmetik: Skin dan Aksesori
Jika model gacha dipopulerkan oleh developer Asia, item kosmetik menjadi populer berkat game-game buatan developer Barat. Pada awalnya, item kosmetik banyak ditemukan di game shooters. Sekarang, item kosmetik juga ada di banyak mobile game, bahkan game kasual sekalipun. Rupa item kosmetik beragam, mulai dari kostum untuk karakter, stiker, sampai emote. Sesuai namanya, item kosmetik hanya berfungsi untuk mempercantik tampilan karakter dalam game. Namun, para gamers tetap rela mengeluarkan uang untuk membeli item kosmetik karena item-item itu memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri mereka. Sama seperti model gacha, developer juga bisa menawarkan skin/item kosmetik khusus dalam jangka waktu tertentu untuk mendorong pemain membeli item tersebut.
3. Guild
Sekarang, fitur guild punya peran penting dalam mempertahankan para mobile gamers untuk terus bermain. Fitur guild sendiri bisa diimplementasikan ke mobile game dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, guild bisa digunakan untuk membuat para pemain saling bekerja sama dengan satu sama lain. Sebaliknya, guild juga bisa digunakan untuk mengadu para pemain. Menariknya, saat ini, fitur guild tidak hanya digunakan pada game-game RPG, tapi juga game kasual seperti Homescapes. Game seperti Cookie Run pun punya sistem guild.
Saat pertama kali diluncurkan, fitur guild pada Homescapes sangat sederhana. Fitur itu hanya memungkinkan para pemain untuk saling mengobrol dan saling memberikan lives. Seiring dengan waktu, fitur guild di game itu terus berkembang. Sekarang, fitur guild di Homescapes juga memungkinkan para anggota untuk membantu satu sama lain demi mendapatkan hadiah tertentu. Tak hanya itu, developer Playrix juga menambahkan Team Tournament event, yang merupakan perlombaan antar guild.
Uniknya, game-game dari Tiongkok punya sistem “double guild“. Jadi, selain sistem guild standar, game Tiongkok juga punya “guild” yang lebih kecil. Jumlah anggota yang lebih sedikit memungkinkan pemain untuk menjalin hubungan yang lebih akrab. Salah satu game yang menggunakan model double guild adalah Honor of Kings.
4. Battle Pass
Dalam satu tahun terakhir, battle pass jadi salah satu fitur yang paling banyak diadopsi oleh developer mobile game. Setelah Fortnite mempopulerkan penggunaan battle pass, banyak developer mobile game lain yang mengikuti jejak Epic Games. Playrix menjadi salah satu developer yang memasang fitur battle pass pada puzzle game kasual mereka. Di Homescapes, battle pass akan memberikan berbagai boosters untuk para pemain. Sementara itu, di Tiongkok, game PvP, Battle of Balls juga meluncurkan fitur battle pass. Satu hal yang menarik, seorang pemain bisa memilih seorang temannya untuk berkontribusi pada progression dari battle pass itu.
5. Event Kolaborasi dengan Game Lain
Membuat event kolaborasi menjadi salah satu cara developer mobile game untuk meningkatkan engagement dan spending dari para pemainnya. Biasanya, event ini hanya akan dilangsungkan dalam jangka waktu tertentu. Untuk game yang menawarkan banyak opsi playable characters, developer juga bisa memperkenalkan karakter baru saat event.
Salah satu contoh game yang mengadakan event kolaborasi adalah Dragalia Lost dari Nintendo. Pada April 2019, game itu menyelenggarakan event khusus bersama franchise Fire Emblem. Event tersebut menampilkan PvE campaign yang fokus pada narasi dan juga karakter eksklusif, seperti Alfonse dan Marth. Setelah itu, Dragalia Lost juga mengadakan event kolaborasi dengan Megaman. Dalam event itu, pemain bisa mendapatkan Megaman dan equipment eksklusif lain. Belum lama ini, mereka juga mengadakan kolaborasi dengan Monster Hunter.
Indonesia dan Tiongkok punya beberapa kesamaan, seperti jumlah populasi yang besar. Tiongkok merupakan negara dengan populasi terbesar pertama sementara Indonesia duduk di peringkat empat. Dari segi geografis, Indonesia dan Tiongkok juga cukup dekat. Hal ini memudahkan pertukaran budaya antara kedua negara. Jadi, tidak heran jika gaya kepemimpinan pemerintah Indonesia punya kesamaan dengan pemerintah Tiongkok. Tapi tenang, kesamaan antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok bukan berarti Partai Komunis Indonesia kembali bangkit.
Kali ini, saya akan menjelaskan kesamaan regulasi pemerintah Indonesia dan Tiongkok di bidang game dan esports. Setelah itu, saya akan membandingkan pendekatan pemerintah Indonesia dan Tiongkok di beberapa sektor lain, seperti infrastruktur internet, smartphone, dan BUMN. Tujuannya adalah untuk melihat apakah regulasi yang pemerintah Indonesia dan Tiongkok tetapkan di industri game dan esports muncul akibat hukum di bidang lain yang terkait.
Berikut pembahasannya.
Industri Game
Menjunjung nasionalisme merupakan salah satu kesaamaan antara Indonesia dan Tiongkok di industri game. Di Indonesia, masih ada game-game yang dipasarkan dengan menggunakan sentimen “game buatan anak negeri!” Tak bisa dipungkiri, memang ada orang-orang yang tertarik dengan game-game tersebut. Hanya saja, strategi marketing itu bisa menjadi bumerang jika game tidak dilengkapi dengan gameplay yang menarik. Pada akhirnya, seseorang bermain game demi mendapatkan kepuasan bermain dan bukannya untuk mendukung kedaulatan negara. Satu hal yang harus diingat, developer bisa menjadikan budaya lokal dalam gamesebagai daya tarik jika mereka memang bisa menempatkan konten lokal dengan porsi yang pas.
Rasa nasionalisme juga dijunjung tinggi di Tiongkok. Beijing bahkan turun tangan secara langsung untuk memastikan semua game yang dirilis di Tiongkok tidak mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara. Hal ini juga berlaku untuk para publisher asing yang hendak merilis game-nya di Tiongkok. Nasionalisme di Tiongkok begitu dijunjung hingga semua teks dalam game harus berupa Simplified Chienese. Menurut laporan Niko Partners, bahkan ada game yang dilarang rilis karena menampilkan kata seperti “Winner” atau “Attack” dalam bahasa Inggris dan bukannya Simplified Chinese.
Di Tiongkok, jumlah game yang dirilis setiap tahun juga dibatasi. Game yang mempromosikan budaya atau sejarah Tiongkok juga akan diprioritaskan. Hal ini menjadi bukti lain bagaimana nasionalisme menjadi poin penting dalam industri game Tiongkok. Tujuan pemerintah memprioritaskan game yang menunjukkan budaya dan sejarah Tiongkok adalah untuk meningkatkan kualitas game dan memperluas audiens yang bisa dijangkau oleh sebuah game. Dengan membatasi game buatan asing yang dirilis di Tiongkok, secara tidak langsung, pemerintah melindungi developer game lokal dengan membatasi persaingan.
Di Indonesia, pemerintah tidak membatasi jumlah game yang bisa dirilis atau menyaring game-game yang akan diluncurkan. Bentuk dukungan pemerintah pada developer lokal bukan dalam bentuk membatasi jumlah game asing yang beredar. Salah satu bentuk dukungan pemerintah Indonesia adalah dengan mengadakan event bagi developer lokal untuk unjuk gigi, seperti Game Prime. Selain itu, mereka juga berusaha untuk memfasilitasi developer lokal agar bisa mendapatkan investasi serta mempromosikan game lokal, seperti Lokapala.
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Norman Marcioano sempat berkunjung ke markas Anantarupa Studios — developer Lokapala — pada Desember 2020. Ketika itu, dia menyatakan keinginannya agar KONI ikut mempromosikan Lokapala sebagai game esports nasional, seperti dikutip dari Kompas. Caranya, dengan memasukkan mobile game itu ke Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Selain itu, Lokapala juga pernah diadu di Piala Menpora.
Selain sama-sama menjunjung nasionalisme, Indonesia dan Tiongkok juga punya kesamaan lain, yaitu kecenderungan untuk memblokir game. Pada 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat memblokir game berjudul Fight of Gods. Alasannya, game itu menampilkan karakter berupa tokoh agama atau dewa dari berbagai negara, seperti Yesus, Buddha, Zeus, dan Anubis. Saat itu, Kominfo menjelaskan tujuan mereka memblokir game itu adalah demi mencegah terjadinya pertengkaran antara penganut agama.
Selain itu, di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa haram akan PUBG Mobile. Hal ini mendorong Aceh untuk mengharamkan PUBG Mobile dan game-game serupa lainnya. Pertimbangan MUI adalah karena PUBG dan game serupa dianggap bisa mengubah perilaku pemainnya dan mengganggu kesehatan, menurut laporan CNBC Indonesia. Hal ini memicu rumor bahwa Kominfo juga akan memblokir PUBG Mobile. Dan memang, pada Maret 2019, Kominfo mengaku siap untuk memblokir PUBG jika MUI menganggap pemblokiran memang perlu dilakukan. Meskipun begitu, pada akhirnya, Kominfo mengklaim bahwa kabar tentang pemblokiran PUBG Mobile tidak lebih dari hoaks.
Lucunya, PUBG Mobile juga diblokir di Tiongkok. Padahal, game itu dirilis di bawah bendera Tencent Games. Alasan pemerintah melakukan hal itu adalah karena PUBG Mobile dianggap menampilkan kekerasan eksplisit. Alhasil, pada Mei 2019, Tencent menarik PUBG Mobile. Sebagai gantinya, mereka meluncurkan Game for Peace alias Peacekeeper Elite. Game itu punya gameplay yang sama persis dengan PUBG Mobile. Hanya saja, tema yang diusung dalam game itu adalah perang melawan terorisme dan bukannya saling membunuh demi bisa bertahan hidup.
Industri Esports
Tak hanya di industri game, keputusan pemerintah Indonesia dan Tiongkok terkait industri esports juga punya kesamaan. Keduanya sama-sama mendukung esports. Hanya saja, lagi-lagi, dukungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan Tiongkok pada pelaku industri esports berbeda.
Di Tiongkok, salah satu dukungan pemerintah pusat pada pelaku industri esports adalah dengan menyatakan pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Semantara itu, pemerintah lokal justru tidak segan untuk mengucurkan dana demi mengembangkan fasilitas esports. Shanghai menjadi salah satu kota yang peduli akan ekosistem esports. Pada 2019, pemerintah lokal Shanghai bahkan menyatakan keinginan mereka untuk menjadikan Shanghai sebagai “ibukota esports“. Mereka berharap untuk merealisasikan rencana itu dalam waktu 3-5 tahun ke depan.
Shanghai bukan satu-satunya kota yang peduli akan industri esports. Pemerintah Huangzhou juga menunjukkan ketertarikan untuk menjadikan kota turis itu sebagai pusat esports. Untuk itu, pemerintah Huangzhou menyiapkan US$280 juta untuk membangun komplekesports seluas 360 ribu meter persegi. Keputusan pemerintah Huangzhou ini mendorong LGD Gaming dan Allied Gaming untuk membuka kantor di komplek tersebut. LGD Gaming merupakan organisasi esports yang punya beberapa tim sukses, termasuk tim League of Legends. Sementara Allied Gaming mengoperasikan jaringan esports di Tiongkok. Hal ini menunjukkan sinergi antara pemerintah dengan pelaku swasta dari industri esports, bagaimana pemerintah bisa menunjukkan dukungan secara nyata pada pelaku esports.
Pada Januari 2021, pemerintah Shanghai memamerkan desain dari esports hub yang hendak mereka bangun. Esports hub yang dinamai Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center ini akan dibuka pada 2024. Untuk membangun fasilitas seluas 500 ribu meter persegi ini, pemerintah Shanghai menggelontorkan uang sebanyak US$900 juta. Salah satu fungsi esports hub itu adalah untuk menjadi tempat diselenggarakannya turnamen esports. Memang, esports hub tersebut dapat menampung penonton hingga enam ribu orang. Setelah esports hub ini jadi, ia akan menjadi salah satu stadion esports terbesar di dunia. Sejauh ini, kebanyakan stadion khusus esports punya kapasitas kurang dari enam ribu orang. Sebagai perbandingan, Esports Stadium Arlington, stadion esports terbesar di Amerika Utara, hanya memiliki kapasitas 2,5 ribu penonton.
Dua fasilitas tadi bukan stadion khusus esports pertama yang dibangun di Tiongkok. Pada 2018, di Tiongkok, telah dibangun Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium, yang memiliki kapasitas 7 ribu orang. Stadion ini juga dilengkapi dengan plaza di bagian luar yang bisa menampung hingga 13 ribu orang. Para penonton yang ada di luar akan bisa menonton jalannya pertandingan melalui layar LED raksasa yang terpasang pada dinding luar stadion.
Sementara di Indonesia, salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah dengan membentuk organisasi yang memayungi esports, yaitu Pengurus Besar Esports alias PB Esports, yang dipimpin oleh Jendral Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan. Hanya saja, sebelum PB Esports dibentuk pada Januari 2020, telah ada beberapa organisasi yang menaungi para pelaku dunia game dan esports, seperti Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) yang dibentuk pada Juli 2019 atau Federasi Esports Indonesia (FEI), yang didirikan pada Oktober 2019.
Pada pelantikan anggota PB Esports, Budi Gunawan menjelaskan, pemerintah ingin menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pelaku industri esports melalui PB Esports, mulai dari regulasi sampai training center. Tempat yang dipilih untuk menjadi pusat pelatihan esports adalah Sentul, Bogor. Sayangnya, sampai saat ini, saya tidak lagi mendengar kabar tentang proses pembangunan training center tersebut.
Bentuk dukungan lain dari pemerintah Indonesia adalah dengan menyatakan esports sebagai olahraga berprestasi pada Agustus 2020. Ketika itu, perwakilan PB Esports mengungkap, salah satu langkah konkret yang mereka lakukan untuk mengembangkan ekosistem esports adalah dengan menjaring bibit unggul. Mereka akan mencari para pemain berbakat di tingkat provinsi sebelum mengadu para bibit unggul itu di tingkat nasional. Selain itu, PB Esports juga hendak melakukan pembinaan pada para atlet unggul tersebut.
Berkaca dari akun Instagram resmi PB Esports, mereka telah mengadakan berbagai kompetisi esports di tingkat provinsi dengan game yang beragam, termasuk PUBG Mobile, Mobile Legends, dan PES. Tak hanya itu, mereka juga mengadakan berbagai turnamen esports tingkat nasional, seperti Piala Pelajar yang menawarkan total hadiah hingga Rp500 juta dan Piala KONI yang memiliki total hadiah sebesar Rp200 juta.
Dari segi budaya game dan esports, Indonesia juga punya kemiripan dengan Tiongkok. Baik di Indonesia maupun Tiongkok, mobile esports berkembang pesat. Di Tiongkok, hal ini terjadi karena Beijing memang sempat melarang penjualan konsol. Mereka baru mengizinkan penjualan konsol pada 2015. Alhasil, industri game yang berkembang di sana adalah game PC dan mobile game.
Sementara di Indonesia, mobile game dan esports tumbuh karena kebanyakan orang Indonesia memang mengenal internet pertama kali melalui smartphone. Tidak heran, mengingat harga smartphone jauh lebih murah dari PC atau konsol. Selain itu, kebanyakan mobile game bisa diunduh dan dimainkan gratis. Karenanya, jumlah pemain mobile game bisa lebih banyak dari game PC atau konsol. Dan hal ini memudahkan ekosistem mobile esports tumbuh dan berkembang. Psst, kami juga pernah menjelaskan mengapa game esports yang populer adalah game gratis di sini.
Infrastruktur Internet dan Bisnis Smartphone
Suka atau tidak, industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan pertumbuhan dua industri ini sangat tergantung pada industri lain, seperti industri smartphone. Selain itu, infrastruktur internet juga memengaruhi perkembangan industri game dan esports. Tidak peduli sejago apa seseorang, dia tetap tidak akan bisa bermain game online atau bertanding di kompetisi esports jika dia tidak mendapatkan akses ke internet yang memadai. Jaringan internet yang buruk bahkan bisa memaksa tim mundur dari turnamen. Hal ini terjadi pada tim nasional Dota 2 dalam babak kualifikasi IESF World Championship 2020 untuk wilayah Asia Tenggara.
Indonesia dan Tiongkok sama-sama negara berkembang. Meskipun begitu, dari segi kecepatan internet, apalagi internet mobile, Tiongkok sudah jauh lebih baik. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile di Tiongkok mencapai 113,35 Mbps, hanya kalah dari Korea Selatan yang memiliki internet mobile dengan kecepatan 121 Mbps. Sementara kecepatan internet mobile di Indonesia hanya mencapai 16,7 Mbps. Kecepatan internet broadband di Tanah Air juga tidak jauh lebih baik, hanya mencapai 22,35 Mbps. Sementara di Tiongkok, kecepatan internet broadband sudah mencapai 138,66 Mbps. Sebagai perbandingan, Singapura — yang menjadi negara dengan kecepatan broadband tertinggi — memiliki kecepatan internet hingga 226,6 Mbps.
Namun, pemerintah Indonesia dan Tiongkok punya pendekatan yang sama soal internet: keduanya sama-sama peduli akan penyensoran. Tiongkok tidak hanya dikenal dengan Tembok Besar mereka, tapi juga dengan The Great Firewall of China. Memang, begitu Anda memasuki kawasan Tiongkok, akses internet Anda akan dibatasi. Bahkan perusahaan sekelas Facebook dan Google pun dilarang beroperasi di sana.
Secara garis besar, ada tiga alasan mengapa Beijing menyensor internet. Pertama, untuk mengendalikan massa. Media sosial dan internet bisa digunakan untuk mengumpulkan massa demi memprotes pemerintah. Memang, hashtag yang menjadi trending di jagat Twitter tidak melulu berakhir dengan tindakan di dunia nyata. Meskipun begitu, tidak sedikit kasus yang menunjukkan the power of netizens. Seminggu lalu, akun Instagram dari All England sempat hilang karena serbuan netizen Indonesia. Pasalnya, skuad Indonesia dianggap dicurangi, dilarang untuk bertanding karena ada kasus positif corona dalam pesawat yang mereka naiki.
Alasan lain pemerintah Tiongkok membatasi akses ke internet adalah untuk mengendalikan informasi sensitif. Dengan membatasi akses masyarakat akan internet, Beijing membatasi informasi yang bisa mereka terima atau bagikan. Jadi, secara teori, pemerintah bisa mengendalikan informasi yang sampai ke tangan masyarakat, khususnya terkait topik sensitif, seperti protes di Hong Kong. Alasan terakhir mengapa Tiongkok menyensor internet adalah untuk melindungi industri lokal. Pemerintah Tiongkok melarang perusahaan asing raksasa seperti Google dan Facebook karena mereka lebih suka untuk menggunakan jasa perusahaan lokal, seperti Baidu, yang menawarkan jasa seperti Google dan dan Weibo, platform media sosial serupa Twitter.
Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga melakukan penyensoran pada internet. Hanya saja, di sini, alasan pemerintah membatasi akses internet adalah untuk menyensor konten “negatif”, seperti pornografi. Untuk itu, Kominfo bahkan rela menyiapkan Rp194 miliar untuk mendapatkan mesin pengais (crawling). Meskipun begitu, saya cukup yakin saya masih melihat konten pornografi berseliweran di internet. Pada Maret 2018, Kominfo juga pernah memblokir Tumblr. Pemblokiran itu bisa diakali menggunakan VPN. Dua hal ini menunjukkan betapa (tidak) efektifnya penyensoran internet di Tanah Air tercinta.
Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga tidak hanya menyensor pornografi, tapi juga konten sensitif. Misalnya, pada Agustus 2019, pemerintah melakukan throttling kecepatan internet di Papua sebelum memblokir akses internet sama sekali. Alasannya, pemerintah mengklaim, adalah untuk “menangkal hoaks” yang muncul setelah masyarakat Papua melakukan protes besar-besaran akibat perlakuan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya, seperti dikutip dari Tirto.
Sekarang, mari kita melirik industri smartphone. Selama ini, Tiongkok dikenal karena punya banyak pabrik, termasuk pabrik smartphone. Sementara Indonesia mulai membahas tentang ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada 2015. Komponen lokal yang bisa dimasukkan ke dalam smartphone berupa hardware, software, atau investasi. Untuk memenuhi TKDN, perusahaan smartphone terkadang bekerja sama dengan pabrik lokal atau bahkan membuat pabrik sendiri. Namun, alasan pembuatan pabrik smartphone di Indonesia dan Tiongkok agak berbeda. Indonesia menerapkan TKDN dengan harapan untuk memajukan industri komponen lokal.
Sementara itu, kebanyakan perusahaan smartphone memang memilih untuk memproduksi ponsel mereka di Tiongkok. Salah satu alasannya adalah karena di Tiongkok, gaji pegawai relatif lebih rendah daripada Amerika Serikat. Selain itu, Tiongkok juga punya banyak pekerja. Dan kebanyakan dari mereka tidak keberatan untuk tinggal di asrama yang dekat dengan pabrik demi memangkas waktu pulang-pergi. Selain dari sisi sumber daya manusia, Tiongkok juga menawarkan keuntungan secara geografis. Pasalnya, lokasi Tiongkok lebih dekat dengan negara-negara pemasok bahan baku untuk membuat smartphone. Jarak yang lebih pendek berarti waktu pengiriman bahan baku yang lebih singkat, yang akan berujung pada waktu produksi yang lebih juga lebih pendek.
Tak terbatas pada infrastruktur internet dan bisnis smartphone, Indonesia dan Tiongkok punya kesamaan di sektor lain, seperti BUMN. Seperti namanya, BUMN alias Badan Usaha Milik Negara merupakan perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh pemerintah. Di sebagian BUMN, pemerintah menguasai keseluruhan saham perusahaan, sementara di sebagian BUMN yang lain, pemerintah hanya menguasai setidaknya 51% saham perusahaan. Secara garis besar ada dua jenis BUMN, yaitu BUMN yang berorientasi pada keuntungan — seperti PT Telekomunikasi Indonesia alias Telkom dan PT Garuda Indonesia — dan BUMN yang fokus pada menyediakan barang atau layanan berkualitas pada masyarakat dengan harga terjangkau, seperti Perum Damri, Perum Perumnas, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga berlaku di Tiongkok.
Sementara itu, di sektor keuangan, Jakarta dan Beijing juga membuat peraturan yang ketat. Mengingat uang memang masalah yang sensitif, tidak heran jika sektor finansial menjadi sektor yang diregulasi secara ketat. Di Indonesia, salah satu bentuk nyata campur tangan pemerintah adalah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada startup fintech. Pada September 2018, OJK mengeluarkan 9 pokok peraturan baru soal fintech, termasuk pemantauan dan pengawasan startup fintech.
Di Tiongkok, regulasi di sektor keuangan malah lebih ketat lagi. Beijing bahkan tidak membiarkan investor asing untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok begitu saja. Jika investor asing ingin menanamkan modal, mereka harus memenuhi setidaknya satu kriteria dari daftar persyaratan yang diberikan oleh Beijing, seperti tinggal di Tiongkok, bekerja di perusahaan ternama asal Tiongkok, atau punya tempat tinggal di Tiongkok. Dan jika seorang investor memang memenuhi kriteria itu, maka pemerintah akan melakukan background check yang ketat sebelum mengizinkan sang investor membeli saham perusahaan Tiongkok. Saham yang bisa dibeli sang investor pun hanyalah saham non-voting. Dengan kata lain, investor asing tidak akan bisa menentukan arah perusahaan, termasuk keputusan untuk melakukan merger atau penunjukan anggota dewan direksi.
Pada Januari 2021, pemerintah Indonesia berencana untuk membatasi investor asing sehingga mereka hanya bisa menanamkan modal di Indonesia dengan nilai di atas Rp10 miliar. Tak hanya itu, menurut CNN Indonesia, investor asing juga harus membuka PT jika mereka ingin melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Namun, peraturan ini tidak berlaku untuk startup teknologi yang ingin berinvestasi di kawasan ekonomi khusus. Walau peraturan terkait investasi asing Indonesia tidak seketat Tiongkok, BUMN biasanya masih mendominasi pasar. Buktinya, IndiHome masih menjadi penyedia layanan internet dengan jangkauan terluas dan pelanggan terbanyak walau sering mendapatkan keluhan.
Kesimpulan
Pemerintah Tiongkok tidak segan-segan untuk membatasi akses masyarakat akan internet. Alasan mereka adalah untuk mencegah protes dan melindungi perusahaan lokal dari persaingan global. Hal ini tercermin dalam keputusan yang pemerintah buat di industri game dan esports. Beijing tak segan-segan untuk melarang peluncuran sebuah game buatan developer asing jika game itu tidak sesuai dengan peraturan yang mereka buat atau mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara.
Sementara itu, pemerintah Tiongkok juga tidak ragu untuk mendukung para pelaku industri esports, termasuk dalam mengeluarkan uang ratusan juta dollar demi membangun fasilitas esports. Keputusan pemerintah Tiongkok untuk melarang penjualan konsol juga memengaruhi ekosistem esports yang tumbuh. Di Tiongkok, ekosistem esports yang berkembang pesat adalah mobile esports dan PC.
Berbagai keputusan yang diambil Beijing membuat mereka dianggap sebagai pemerintahan yang opresif. Meskipun begitu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ash Center, masyarakat Tiongkok merasa puas dengan kinerja pemerintah pusat. Pada 2016, sebanyak 95,5% responden mengaku “cukup puas” atau “sangat puas” akan kinerja pemerintah pusat. Menariknya, tingkat kepuasan masyarakat akan pemerintah lokal justru sangat rendah. Hanya 11,3% responden yang mengatakan bahwa mereka “sangat puas” dengan kinerja pemerintah lokal, seperti yang disebutkan oleh Harvard Gazette.
Walau pemerintah Indonesia punya banyak kemiripan dengan pemerintah Tiongkok, ada juga beberapa perbedaan antara keduanya. Salah satunya adalah konsistensi. Pemerintah Tiongkok lebih konsisten dalam menegakkan peraturan yang mereka tetapkan. Mereka juga tidak segan-segan untuk memblokir perusahaan sekelas Google atau Facebook. Bahkan Apple dan NBA pun harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Beijing jika mereka ingin berbisnis di Tiongkok.