Tag Archives: tjufoo

Bisnis Brand Aggregator

Thrasio Kolaps, Resiliensi Startup Roll-up E-commerce Lokal Dipertanyakan

Pengembang layanan roll-up e-commerce atau brand aggregator Thrasio beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat startup. Perusahaan yang telah mendapatkan $3,4 miliar funding dari 18 investor tersebut dikabarkan tengah melakukan restrukturisasi — bahkan pemberitaan WSJ, mengatakan mereka tengah bersiap untuk menyatakan kebangkrutan.

Isu utamanya karena masalah keuangan internal yang diakibatkan penurunan pesat penjualan pasca-pandemi.

Menjalankan model bisnis roll-up sejak 2018, Thrasio bekerja mengakuisisi brand dari bisnis pihak ketiga yang rata-rata sukses melakukan penjualan di Amazon. Saat ini ada sekitar 150 brand yang sudah diakuisisi dan diakselerasi oleh tim Thrasio. Dengan pendanaan terbarunya yang membawa perusahaan di valuasi lebih dari $5 miliar, mereka ingin menggandakan pendapatan tersebut 10x lipat.

Namun nasib kurang baik melanda startup yang didirikan Joshua Silberstein dan Carlos Cashman ini. Setelah krisis akibat Covid-19, terjadi penurunan pembelian online di platform Amazon. Di sisi lain, ada tren perubahan pola konsumen yang tadinya meningkatkan pembelanjaan online, lalu kembali ke mode offline seperti sebelum pandemi.

Efisiensi bisnis pun sempat dilakukan Thrasio, tahun lalu 20% tenaga kerja telah dirumahkan.

Performa penjualan Amazon sempat menurut setelah pandemi / FT
Performa penjualan Amazon sempat menurut setelah pandemi / FT

Sebenarnya ini bukan cerita kegagalan pertama dari platform roll-up e-commerce. Sebelumnya Benitago Group, agregator Amazon lainnya, mengajukan kebangkrutan dua tahun setelah mengumpulkan pendanaan sebesar $325 juta. Kondisi ini turut mempengaruhi iklim investasi di sektor ini mencapai 88% pada tahun 2022.

Pandangan pemain lokal

Bisnis roll-up e-commerce turut dikembangkan di Indonesia. Saat ini ada sejumlah pemain di vertikal ini, dua di antaranya adalah Hypefast dan Tjufoo. Keduanya berkembang cukup pesat dalam dua tahun terakhir dan mendapatkan dukungan dana ekuitas dari investor.

Untuk menggali pandangan para pelaku industri terkait fenomena yang terjadi dengan Thrasio, DailySocial.id berkesempatan untuk diskusi dengan Founder sekaligus CEO dari kedua startup tersebut, yakni Achmad Alkatiri (Mad) dan TJ Tham.

Mad berpendapat, berbagai platform roll-up e-commerce punya strategi masing-masing. Namun jika melihat apa yang terjadi dengan Thrasio, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran.

Pertama, akuisisi brand yang dilakukan terlalu  banyak dan terlalu cepat. Menurut Mad, ini mengakibatkan proses onboarding dari brand tersebut tidak begitu maksimal, karena untuk tak jarang tantangan yang cukup menantang muncul dalam pengelolaan portofolio, mengingat masing-masing brand kadang perlu perlakukan khusus. Pada akhirnya ini berdampak langsung pada growth yang kurang baik—karena tanpa sinergi dan optimasi biaya.

Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad) / Hypefast
Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad) / Hypefast

Faktor kedua, Thrasio dinilai lebih condong mengakuisisi “hero product“, bukan “hero brand“. Ini membuat tantangan yang semakin berat ketika ada pemain lain yang muncul menawarkan varian produk yang sama dan dihargai lebih murah, seperti Amazon Basics. Di sana tidak ada loyalitas, karean tidak ada proses “brand building“.

Faktor berikutnya terkait dengan keputusan founder menggalang terlalu banyak utang. Mad mengatakan, “Too much debt raised when the capital was cheap, and with that, paid too high multiples on brand acquistion because of assets competition on acquistion.”

Misalnya per tahun 2021, Thrasio telah mengumpulkan pendanaan debt senilai $650 juta. Dalihnya dengan dana utang tersebut, founder meyakini Thrasio akan memiliki fleksibilitas dan likuiditas tambahan seiring dengan targetnya mengakuisisi lebih banyak merek di lintas negara. Faktanya suku bunga yang terus naik tanpa diimbangi peningkatan penjualan membuat perusahaan kesulitan untuk melakukan pembayaran debt yang dimiliki.

Faktor terakhir, Thrasio terlalu fokus berjualan di Amazon—kontribusi penjualan di sana bisa sampai 95%. Dengan menempatkan revenue utamanya di satu keranjang, dinilai berpotensi mendapatkan turbulensi kencang ketika pemilik platform merilis kebijakan baru (misal terkait algoritma atau produk) yang berdampak langsung pada brand terkait.

Selain poin yang diungkapkan Mad di atas, TJ juga menambahkan “Brand aggregator atau D2C apa pun tidak hanya dapat dipertahankan tetapi juga berkembang jika ada fokus pada profitabilitas berkelanjutan, distribusi omnichannel, dan pengembangan ekuitas merek jangka panjang, bukan sekadar mengejar pendapatan.”

Yang membuat roll-up e-commerce lokal berbeda

Pemain lokal seperti Tjufoo dan Hypefast memiliki pendekatan berbeda dengan Thrasio. Dan menurut TJ, secara pasar juga memiliki karakteristik berbeda. Di Indonesia dan Asia Tenggara, ekosistem e-commerce terfragmentasi yang memaksa setiap brand untuk melakukan diversifikasi saluran penjualan. Belum lagi jika berbicara di Indonesia, ritel 90% lebih masih didominasi offline.

“Di sinilah Tjufoo sejak awal berdirinya memiliki pendekatan distribusi omnichannel, 70% penjualan dihasilkan secara offline,” ujar TJ.

Seperti baru-baru ini Dapur Coklat, salah satu portofolio Tjufoo, mengumumkan pembukaan outlet baru. Didirikan sejak 2001, kini Dapur Cokelat telah memiliki 32  gerai dan 56  titik pengiriman di sejumlah kota besar di Indonesia.

Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham (tengah) bersama dua pendiri brand yang diakuisisi Heri Hertanto (ACMIC) dan Andre Susilo (Cypruz) / Tjufoo
Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham (tengah) bersama dua pendiri brand yang diakuisisi Heri Hertanto (ACMIC) dan Andre Susilo (Cypruz) / Tjufoo

Untuk mendesain bisnis yang berkelanjutan, sejumlah strategi juga digencarkan oleh pemain lokal. TJ merangkum strategi tersebut ke dalam tiga poin utama. Pertama, fokus membangun merek dan menjual produk. Kedua, bermitra dengan para pendiri brand dan meningkatkan keterampilan mereka.

Dan yang ketiga, menyuplai dengan talenta berkualitas di berbagai lini operasional untuk mendorong lebih dalam penetrasi bisnis mereka.

Tjufoo sendiri mengklaim sudah profitabel sejak awal tahun 2023 ini dengan 5 merek dengan pengalaman gabungan lebih dari 46 tahun. Untuk mengakselerasi bisnisnya lebih lanjut, perusahaan juga tengah melakukan finalisasi ronde pendanaan berikutnya  — dikatakan penutupan pendanaan ini tidak akan lama lagi.

Pengelolaan terpadu

Sementara menurut yang keterangan Mad, Hypefast menghasilkan pendapatan bersih sebesar $43 juta pada 2022, hampir 2x lipat pendapatan mereka pada tahun 2021 ($22 juta), tanpa akuisisi merek baru dan murni dari pertumbuhan organik merek yang sudah ada. Hypefast juga sudah dalam kondisi profitabel.

Dalam wawancara sebelumnya Mad bercerita, meskipun Hypefast beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal.

Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Proses operasionalnya tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.

Cross border facility kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat investasi ke brand, kami ini upgradingtheir business fundamental.”

Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.

Kerja sama mendalam dengan e-commerce lokal juga dipertajam. Hypefast belum lama ini menandatangani kerja sama Joint Business Plan (JBP) bersama Lazada Indonesia. Kerja sama ini akan membantu brand portofolionya melalui berbagai kegiatan kolaboratif seperti exclusive launch products, joint event, marketing barter, training and development, hingga inovasi lainnya.

DStour berkunjung ke kantor Tjufoo

[Video] Berkunjung ke Kantor Tjufoo | DSTOUR 2023

Brand aggregator Tjufoo menyediakan ruang kerja fleksibel untuk pegawai. Selain berfungsi sebagai workspace, Tjufoo memberikan ruang bagi brand untuk melakukan kegiatan promosi secara online.

Dengan kantor yang berisi lebih dari 10 ruangan meeting, Tjufoo memberi nama ruang dengan nama-nama tokoh di film series “Money Heist”.

Dipandu CEO Tjufoo TJ Tham, berikut office tour di kantor Tjufoo.

Untuk video menarik lainnya seputar program jalan-jalan ke kantor startup Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DStour.

Founder & CEO Tjufoo TJ Tham / Tjufoo

Tjufoo Paparkan Peran Brand Aggregator dalam Mengakselerasi UMKM

Sebagai salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, Indonesia menawarkan peluang yang besar bagi brand aggregator untuk berperan penting dalam membentuk lanskap ritel. Salah satu platform yang berkecimpung dalam lanskap tersebut adalah Tjufoo. Menargetkan pelaku UMKM, Tjufoo memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan hingga akselerasi bisnis.

Perkuat infrastruktur

Baik Amerika Serikat dan Tiongkok telah menyaksikan pertumbuhan yang pesat dalam layanan e-commerce selama bertahun-tahun. Perusahaan seperti Amazon dan Alibaba telah mendominasi pasar, yang secara signifikan memengaruhi perilaku konsumen dan dinamika pasar.

Di Indonesia, layanan e-commerce terus berkembang pesat, namun masih menghadapi tantangan seperti penetrasi internet yang terbatas di daerah pedesaan dan kendala infrastruktur logistik, menghambat penetrasi e-commerce secara penuh.

“Sampai kita bisa berada di posisi negara-negara tersebut, brand aggregator yang menyasar D2C saat ini harus membangun infrastruktur. Terutama untuk distribusi online dan offline, yang menurut saya saat ini masih susah untuk bisa mengelola kedua hal tersebut. Dan kami di Tjufoo sudah melakukan proses tersebut cukup baik, namun kami merasa bisa bekerja lebih baik lagi,” kata Founder & CEO Tjufoo TJ Tham.

Distribusi lokal juga berperan penting dalam membantu UMKM mengatasi berbagai tantangan dan membuka peluang pertumbuhan. UMKM sering menghadapi kendala sumber daya dan logistik, sehingga menyulitkan mereka untuk menjangkau basis pelanggan yang lebih luas dan memperluas pasar mereka. Dengan memanfaatkan keahlian dan jaringan distributor lokal, UMKM dapat fokus pada kekuatan inti mereka sekaligus mendapatkan wawasan pasar yang lebih baik.

“Menurut saya jika ingin melakukan scale-up untuk menjadi brand nasional masih sulit dan akan membutuhkan waktu agar infrastruktur lebih matang. Karena alasan itulah kebanyakan brand lebih memilih untuk bekerja sama dengan brand aggregator seperti Tjufoo, karena kami menyediakan infrastruktur tersebut dan keahlian khusus,” imbuh TJ.

Dalam perjalanan bisnisnya yang baru berusia satu tahun, Tjufoo mengklaim telah mencapai profitabilitas dan telah berinvestasi kepada 6 brand. Di antaranya ACMIC, Granova, Cypruz, Dew It, Muscle First, dan Dapur Cokelat. Perusahaan juga berencana untuk menambah sekitar 2 sampai 3 brand baru untuk diinvestasikan dan bergabung ke dalam ekosistem Tjufoo tahun ini.

Pengaruh tech winter

CEO Tjufoo TJ Tham bersama dua mitra brand / Tjufoo

Menurut TJ, brand aggregator dinilai dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi pasar, menjaga hubungan yang kuat dengan brand mereka, dan terus memberikan nilai kepada konsumen selama masa-masa sulit. Faktor tersebut menjadi salah satu alasan mengapa kondisi tech winter, tidak terlalu terpengaruh kepada mereka.

Kebanyakan kondisi tersebut sangat berpengaruh kepada perusahaan yang masih melakukan kegiatan bakar uang dan memiliki runway terbatas. Sementara Tjufoo sejak awal sudah fokus untuk profitable. Selanjutnya fokus mereka membuat bisnis yang sustainable dan terus tumbuh.

Serupa dengan bisnis lainnya, menjaga stabilitas keuangan, mendiversifikasi sumber pendapatan, dan menerapkan praktik manajemen risiko yang baik menjadi penting untuk mengurangi dampak potensial dari fluktuasi ekonomi. Bagi brand aggregator yang fokus pada kategori niche atau menawarkan nilai unik kepada konsumen, berada pada posisi yang diuntungkan saat menghadapi tech winter atau krisis finansial.

“Secara teknikal seperti venture capital dan private equity, apa yang mereka inginkan dari portofolio mereka adalah certain return. Menurut saya memiliki startup yang sudah profitable, apakah itu brand aggregator atau industri lainnya, bisa memberikan value ke stakeholder terutama bagi investor menjadi diversifikasi yang baik dari portofolio mereka,” kata TJ.

Jika dulunya valuasi ditentukan oleh investasi senilai satu miliar dolar, menurut TJ kini memiliki portofolio startup yang sudah mencapai profitabilitas menjadi lebih berharga, dibandingkan dengan penilaian valuasi.

Dalam dunia bisnis, profitabilitas dan valuasi satu miliar dolar merupakan dua metrik penting yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan minat investor. Meskipun valuasi tinggi dapat membuka pintu bagi peluang pertumbuhan, namun hal tersebut tidak boleh mengesampingkan pentingnya profitabilitas. Menemukan keseimbangan antara profitabilitas dan valuasi merupakan kunci bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dan kesuksesan secara jangka panjang.

Dalam perjalanan penggalangan dana yang telah dilakukan, tahun 2022 lalu Tjufoo telah mengantongi pendanaan pra seri A dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura dan dan Venturra Discovery. Tahun ini perusahaan berencana untuk bisa mendapatkan dana segar tahap seri A.

Dorong lebih banyak brand aggregator

Agar UMKM lebih banyak mendapat bantuan dan membangun infrastruktur yang lebih solid, kehadiran lebih banyak brand aggregator bisa mempercepat proses tersebut. Ketika ada beberapa brand aggregator yang beroperasi di pasar, hal tersebut akan mengarah pada peningkatan persaingan, yang dapat menguntungkan berbagai stakeholder, termasuk brand, konsumen, dan platform aggregator itu sendiri.

“Karena pengalaman saya sebelumnya di Grab bekerja secara dekat dengan orang lapangan (mitra pengemudi dan merchant) saya merasa ingin membantu mereka, dan saya belajar banyak dari mereka. Saya ingin membantu mereka scale-up. Menurut saya menjadi ideal untuk berinvestasi kepada UMKM, karena semakin banyak uang yang diberikan kepada mereka semakin besar potensi mereka untuk tumbuh,” kata TJ.

TJ berharap akan lebih banyak lagi pemain serupa. Dalam hal ini tidak harus menjadi kompetitor karena masih sangat luasnya potensi pasar terutama di ritel. Selain perusahaan ritel besar, ke depannya diprediksi akan lebih banyak lagi pelaku UMKM yang bakal hadir. Hal tersebut menurut TJ menjadi ideal bagi brand aggregator untuk berinvestasi kepada D2C brand agar bisa membesarkan industri bersama.

Saat ini selain Tjufoo, pemain yang sudah hadir di Indonesia menargetkan bisnis D2C dan menawarkan layanan serupa di antaranya adalah, Una Brands, Evo Commerce , USS Networks dan Hypefast.

Bisnis Tjufoo 2023

Klaim Capai Profitabilitas, Tjufoo Akan Berinvestasi ke Tiga Brand Baru Tahun Ini

Startup brand aggregator membentuk kemitraan strategis dengan beberapa brand pilihan, dengan tujuan membangun hubungan yang kuat dan kolaboratif. Kemitraan ini turut memberikan dukungan permodalan, sumber daya, dan panduan tentang pemasaran dan operasional.

Salah satu brand aggregator yang meluncur saat pandemi dan mengklaim hingga saat ini terus mengalami pertumbuhan yang positif adalah Tjufoo. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham mengungkapkan rencana perusahaan melakukan penggalangan dana tahun ini dan menambah beberapa brand untuk didanai.

Klaim sudah profitable

Meluncur awal tahun 2022, startup yang didirikan oleh mantan pegawai Grab tersebut ingin menjadi brand aggregator dengan konsep “House of Brands”. Yakni membantu brand lokal meningkatkan performa melalui rangkaian teknologi digital, platform data, kecerdasan buatan, dan tim yang berpengalaman.

Dalam perjalanan bisnisnya yang baru berusia satu tahun, Tjufoo mengklaim telah mencapai profitabilitas dan telah berinvestasi kepada 6 brand. Di antaranya ACMIC, Granova, Cypruz, Dew It, Muscle First, dan Dapur Cokelat. Perusahaan juga berencana untuk menambah sekitar 2 sampai 3 brand baru untuk diinvestasikan dan bergabung ke dalam ekosistem Tjufoo tahun ini.

“Kami memilih untuk tidak memiliki jumlah brand yang terlalu banyak, dengan demikian kami bisa membantu mereka mengembangkan bisnis. Target Tjufoo adalah ingin terus mengembangkan brand yang saat ini sudah diinvestasikan,” kata Tham.

Tjufoo juga memiliki rencana untuk menambah jumlah gudang mereka, menyesuaikan kebutuhan. Selain di Jabodetabek, perusahaan juga ingin menambah di wilayah lain seperti Jawa Tengah dan lainnya. Perusahaan juga telah memiliki sekitar ratusan pegawai yang membantu mengembangkan bisnis Tjufoo.

Disinggung apakah perusahaan ingin melakukan penggalangan dana tahun ini, Tham menegaskan kegiatan penggalangan dana terus mereka lancarkan. Meskipun dirinya menyadari, saat ini semakin sulit bagi startup seperti Tjufoo untuk melakukan penggalangan dana.

Tahun 2022 lalu Tjufoo telah mengantongi pendanaan pra seri A dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura dan dan Venturra Discovery. Tahun ini perusahaan berencana untuk bisa mendapatkan dana segar tahap seri A.

Fokus pada brand lokal

Secara khusus brand aggregator bukan hanya menjadi fasilitator saja, namun mereka juga merupakan investor aktif dalam brand yang mereka investasikan. Hubungan yang saling menguntungkan ini memungkinkan brand untuk tumbuh, berkembang, dan mencapai target pengguna yang lebih luas.

Tjufoo juga ingin menjadi mitra bagi brand, yang bukan hanya memberikan investasi saja sekitar 51%, namun juga ingin menjadi mitra yang membantu brand mengelola bisnis hingga membantu mereka merekrut talenta digital yang terbaik.

Selain mendapatkan pendanaan dari Tjufoo, tercatat kebanyakan brand lokal yang bersedia untuk menjadi bagian dari Tjufoo adalah agar mereka bisa mengembangkan bisnis mereka. Brand tersebut juga melihat kemitraan dengan Tjufoo bisa membantu mereka mengembangkan konsep omnichannel, yang ternyata menjadi fokus dari Tjufoo.

Operasional yang efisien dan logistik yang dapat diandalkan sangat penting untuk kesuksesan brand. Dalam hal ini, brand aggregator berinvestasi dalam mengoptimalkan rantai pasokan, sistem manajemen inventaris, dan proses pemenuhan untuk memastikan operasi yang lancar bagi merek mitra mereka. Dengan memberikan dukungan dalam bidang ini, aggregator memungkinkan brand untuk fokus pada kompetensi inti mereka, yang berujung pada peningkatan kepuasan pelanggan dan peningkatan penjualan.

“Dengan bergabung bersama kami, brand lokal potensial dapat fokus mengembangkan bisnis dari sisi produk, sementara kami membantu memberikan sudut pandang strategi bisnis dengan mempertimbangkan landscape nasional, regional, maupun global. Sinergi ini membuat brand lokal dapat lebih objektif dalam menyusun strategi, termasuk dengan mengoptimalkan strategi online-to-offline (O2O) di momen kebangkitan ritel demi menguatkan brand presence dan diversifikasi saluran penjualan,” ungkap Tham.

Startup brand agregator Tjufoo kini memiliki enam brand yang sudah diakuisisi, ACMIC, Granova, Cypruz, Dew It, Muscle First, Dapur Cokelat

Tjufoo Kejar Kualitas daripada Kuantitas Saat Akuisisi Brand

Startup brand agregator Tjufoo mengungkapkan perusahaan akan terus menjaga kualitas brand lokal yang telah diakuisisi untuk tumbuh bersama, ketimbang mengejar kuantitas. Mengejar pertumbuhan brand menuju scalable growth menjadi fokus perusahaan yang dirintis oleh Tj Tham ini.

“Kita enggak mau terlalu banyak [akuisisi], bantu yang existing saja tapi harus high quality [bisnisnya]. Sekarang ada enam brand, akan ada lagi. Totalnya enggak penting, yang penting mereka bisa bangun bersama dengan kami,” terang Co-founder dan CEO Tjufoo Tj Tham saat Buka Bersama Media pada pekan lalu, (6/4).

Tj menekankan bahwa pihaknya mengincar brand secara agnostik alias tidak terpaku pada satu industri tertentu saja. Terhitung, saat ini Tjufoo sudah mengakuisisi enam brand lokal, yakni:

  1. ACMIC: brand untuk produk mobile accessories,
  2. Granova: brand cemilan sehat,
  3. Cypruz : produk wajan anti gores untuk ibu muda,
  4. Dew It : brand skin care berbahan dasar vegan,
  5. Muscle First: brand untuk suplemen fitness,
  6. Dapur Cokelat: brand kue dan cokelat yang memiliki beragam menu signature.

Menariknya, keputusan Dapur Cokelat untuk bergabung dilatarbelangi oleh pertimbangan manajemen yang turut dipengaruhi oleh pandemi yang berlangsung pada dua tahun lalu. CEO Dapur Cokelat Silvano Christian yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan, expertise dan ekosistem yang kuat menjadi alasan utama Dapur Cokelat bergabung dengan Tjufoo.

Menurut dia, pandemi ‘sukses’ memaksa perusahaan untuk lebih agile dan membuka mata bahwa Dapur Cokelat butuh dukungan dari partner eksternal agar dapat terus bertumbuh. “Harapannya brand Dapur Cokelat dapat awareness lebih tinggi, bisa stay strong dan bisa ke seluruh Indonesia,” ujar Silvano.

Dapur Cokelat sudah beroperasi sejak 2001 dengan toko pertamanya berlokasi di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta. Kini tokonya sudah tersebar di 32 titik dan 56 delivery points. Delivery points adalah proyek yang dirintis perusahaan saat pandemi, memanfaatkan potensi dari cloud kitchen untuk mendekatkan diri ke konsumen di area perumahan dan perkantoran.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Founder Muscle First Sally Varsly. Menurutnya, ia dan tim memiliki pengalaman yang mendalam sebelum menyeriusi bisnis suplemen untuk fitness, bisa mengembangkan produk dan tahu apa yang disukai pasar. Akan tetapi untuk menjadikan Muscle First sebagai bisnis yang berkelanjutan secara jangka panjang, butuh orang yang berpengalaman di bidangnya.

“Muscle First ini baru 2017. Tapi kami sudah berjualan sejak 2012 sebagai suplemen impor, kami belajar market di sini sukanya apa, hingga akhirnya tercetus ide untuk buat brand sendiri. Sekarang kami butuh partner yang jago di bidangnya untuk buat Muscle First berkembang lebih besar lagi,” jelas Sally.

TJ menjelaskan proses dari setiap brand yang diakuisisi, biasanya mereka akan mendapat investasi tak cuma dalam bentuk ekuitas, juga ada bantuan kapital untuk pengembangan bisnis, misalnya berbentuk inventory financing. “Karena mereka kini bagian dari grup besar, jadinya ini safe cost ketimbang ambil pinjaman dari bank atau p2p lending.”

Karena akuisisi, bisa menjadi sarana bagi founder untuk exit. Kendati begitu sebelum dialihkan, TJ ingin memastikan bagaimana Tjufoo bisa tetap melanjutkan warisan dari founder lama dengan baik. Mengingat bisnis yang diambil alih ini sudah dirintis founder dari hari pertama, seperti merawat bayinya sendiri.

Dukungan Tjufoo

TJ melanjutkan passion untuk membangun brand-brand lokal berawal dari tiga kendala yang ia temukan sering menimpa brand. Pertama, brand seringkali tidak investasi dengan merekrut tim berpengalaman untuk menumbuhkan bisnisnya. Kedua, brand seringkali tidak investasi di biaya operasional karena short-term mindset yang tidak berfokus pada sustainability bisnis jangka panjang.

Terakhir, brand kerap kali belum banyak menggunakan data untuk membuat keputusan bisnis untuk hasil yang efektif. Hadirnya Tjudoo berperan sebagai house of brands dengan membangun ekosistem yang tepat untuk brand bisa naik kelas. Mulai dari tim yang berpengalaman dengan hyper-local market, corporate governance, dukungan operasional bisnis, serta keahlian dalam mengolah data dan menggunakannya sebagai bagian dari strategi.

Diklaim dengan dukungan finansial dan tim Tjufoo, sejumlah brand di bawah Tjufoo sukses membuat mereka naik kelas. Contohnya, ACMIC kini memiliki 500 titik penjualan offline semenjak bergabung dari sebelumnya hanya mengandalkan penjualan online. Berikutnya, Granova memiliki 400 titik penjualan offline di berbagai mitra dan toko serba ada, serta meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar.

Selanjutnya, Cypruz yang sebelumnya mengandalkan distribusi penjualan offline kini berhasil meningkatkan online sales hingga 7 kali lipat dan memberikan kapasitas produksi untuk distribusi ke seluruh Indonesia. Adapun untuk Dew It, Tjufoo memberikan dukungan strategi pemasaran dan pendanaan, mengembangkan inventaris hingga berhasil meningkatkan volume penjualan hingga 3 kali lipat dalam enam bulan.

Diklaim, Tjufoo berkomitmen untuk menyalurkan investasi kepada UMKM di Indonesia senilai Rp1,8 triliun. TJ tidak bersedia merinci lebih lanjut mengenai angka tersebut dan kapan target tersebut akan dirampungkan. Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, TJ mengatakan Rp1,8 triliun untuk UMKM masih terbilang kecil. Namun di Indonesia, Rp 1,8 triliun adalah angka yang besar untuk UMKM.

“Tapi ini sangat besar kalau kita bandingkan pendanaan khusus untuk UMKM. Banyak negara lain enggak dapat pendanaan khusus sebesar ini untuk UMKM, tapi pendanaan ke bidang teknologi atau startup,” pungkas dia.

Startup brand agregator Tjufoo mengumumkan raihan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura, VC asal Singapura

Startup Brand Agregator “Tjufoo” Umumkan Pendanaan Awal dari TNB Aura

Startup brand agregator Tjufoo hari ini (13/7) mengumumkan raihan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura, VC asal Singapura. Modal segar ini akan dimanfaatkan Tjufoo mengakselerasi bisnisnya melalui pengembangan direct-to-consumer (D2C) brands di tanah air.

“Tjuffo fokus pada offline brand asli Indonesia, menyediakan modal pertumbuhan utama, dan menyediakan tim yang luar biasa yang dipimpin oleh para co-founder, TJ dan Aldrian Foo, yang membedakan mereka dari yang lain. Kami berharap dapat mendukung digitalisasi gelombang UMKM berikutnya di Indonesia,” ucap Founding Partner TNB Aura Vicknesh R Pillay dalam keterangan resmi.

Sejak berdiri pada awal tahun ini, Tjufoo hadir untuk mendukung kemajuan Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan, dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, dengan menyediakan akses di dalam ekosistem Tjufoo sesuai kebutuhan brand, meliputi saluran distribusi, riset, platform dana dan analitik, hingga optimalisasi infrastruktur dan rantai pasok. Perusahaan juga bekerja sama dengan pemilik brand untuk memberikan berbagai pilihan exit strategy dan menghasilkan uang dari strategi tersebut.

“Kami juga menghubungkan para brand dengan sosok-sosok ahli dan berpengalaman dari berbagai perusahaan kenamaan di Indonesia yang dapat memberi masukan strategis hingga kesempatan kerja sama untuk tumbuh bersama-sama. Kami pun berkomitmen dalam menciptakan industri yang lebih inklusif dalam mendukung pemberdayaan perempuan di dunia bisnis,” kata Co-founder dan CEO Tjufoo TJ Tham.

Sejauh ini, perusahaan lokal yang sudah dibantu oleh Tjufoo cukup beragam. Mereka adalah ACMIC, Cypruz, Granova, dan Dew It. Keseluruhan brand ini diklaim dapat tumbuh dua kali lipat dalam waktu kurang dari satu tahun, penjualan online naik 4x lipat dalam waktu kurang dari satu kuartal, menambah lebih dari 1.000 sales points baru, dan membuka akses kepada lebih dari 5 juta pengguna baru.

TJ menuturkan, pada tahun ini perusahaan menargetkan akan mengakuisisi lebih banyak brand potensial, baik dari dalam dan luar negeri. Untuk brand D2C dari luar negeri yang ingin ekspansi ke tanah air, Tjufoo akan menjadi mitra yang tidak hanya memberi investasi, namun juga keahlian menyeluruh akan strategi bisnis, mulai dari akuisisi, manajemen sumber daya manusia, sampai brand tersebut meluncur di Indonesia.

Inisiasi dukung pemberdayaan perempuan

Dalam kesempatan yang sama, TJ juga mengumumkan kolaborasi dengan Stellar Women, platform berbasis komunitas dari, oleh, dan untuk perempuan guna mencapai potensi diri secara personal dan profesional. Kolaborasi ini dinamakan AKSI Perempuan (Akselerasi Bisnis Perempuan), program inkubasi bagi bisnis yang dirintis perempuan.

Peserta program akan mengikuti pelatihan selama 3-6 bulan dari para praktisi berpengalaman. Di akhir program, akan dipilih hingga 10 bisnis yang akan mendapatkan pendampingan lebih lanjut dari Tjufoo untuk membawa bisnisnya ke level yang lebih tinggi.

“Kami memahami bahwa perempuan menghadapi banyak hambatan dalam menjalankan bisnis. Selain modal, perempuan juga dihadapkan dengan peran di keluarga, stigma, tekanan sosial, hingga minimnya akses terhadap informasi dan jejaring yang dibutuhkan. [..] Kami harap inisiatif ini dapat menginspirasi banyak perempuan untuk lebih berani dalam memulai bisnis,” tambah Co-founder dan CEO Stellar Women Samira Shihab yang juga menjadi Co-founder dan CEO Tinkerlust.