Tag Archives: Topremit

Ekonomi digital terus berputar deras di Jawa. Faktor SDM jadi salah satu faktor penentu. Sejumlah startup di luar Jawa bertekad memotong ketertinggalannya.

Bagaimana Startup di Luar Jawa Mengejar Ketertinggalan SDM

Sumber daya manusia merupakan faktor penting, jika bukan yang terpenting, dalam sebuah startup. Tanpa ada talenta yang mumpuni, sebuah perusahaan rintisan tidak akan bisa bergerak cepat dan berdampak sebagaimana karakter startup pada umumnya.

Beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan akan SDM, khususnya di bidang teknologi dan informasi, terus meningkat. Kebutuhan tersebut mungkin relatif tidak terlalu menjadi masalah bagi startup-startup di kota besar, terutama di Jakarta tempat kebanyakan mereka bermukim.

Namun bagaimana dengan mereka yang di luar Pulau Jawa? Bagaimana pandemi memengaruhi aspek SDM startup di sana? Kami berbicara dengan tiga pemimpin startup yang beroperasi di Medan, Makassar, dan Batam.

Jauh tertinggal

CEO Topremit Hermanto Wie mengakui keberadaan talenta di sektor digital di Sumatera Utara masih minim jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Kurangnya SDM di sektor ini merupakan buah dari banyak variabel. Hermanto menyebut salah satu yang paling berkontribusi ialah minimnya startup digital di sana.

“Bisa dibilang berbanding lurus dengan jumlah demand, yaitu jumlah startup di Sumut ini masih berkembang,” cetus Hermanto.

Menurut Hermanto usaha berbasis digital memang belum menjamur. Sekalipun ada talenta unggulan, keberadaan startup belum begitu dilirik. Manufaktur, perbankan, logistik, masih menjadi pilihan utama SDM di sana. Ia menilai hal itu terjadi karena pengetahuan akan kerja startup di tempatnya belum diketahui banyak orang, sehingga tidak mencerminkan sebagai salah satu destinasi tempat kerja yang menarik.

Keadaan serupa dialami Roro Mega Cahyani. Roro adalah CEO & Co-Founder Zeal Indonesia, startup yang beroperasi di Batam, Kepulauan Riau. Minimnya pengetahuan masyarakat akan peluang kerja di startup menjadi tantangan. Keberadaan Nongsa Digital Park (NDP) yang dibuat pemerintah sebagai kawasan ekonomi khusus sedikit lebih menguntungkan Roro dan pelaku startup digital di sana. Menurutnya, tak sedikit yang berkeinginan mengadu nasib di Singapura dan Malaysia dengan bekal keahlian digital.

Mindset mereka sudah mengerti kalau kuliah doang enggak cukup. Kerjanya nanti mungkin di Singapura atau Malaysia. Tapi yang jadi kendala butuh waktu untuk belajar. Kadang kendalanya finansial,” ujarnya.

Jika faktor informasi mengenai pekerjaan startup yang masih sedikit di Batam dan Sumatera Utara menjadi faktor dominan, di Makassar kondisinya berbeda. CEO Mallsampah Saifullah Adi menjelaskan, ekosistem startup di Makassar memang sudah terbentuk. Hanya saja pertumbuhannya tergolong stagnan.

Ekosistem startup berarti institusi-institusi yang biasa mendukung perkembangan startup termasuk inkubator dan akselerator. Menurut Adi, jumlah keduanya di Makassar dan Kawasan Timur Indonesia secara umum masih terlampau sedikit untuk mengangkat pertumbuhan startup di sana.

“Salah satu penyebab mungkin ekosistem yang belum cukup baik. Inisiatif pemerintah dan swasta belum cukup besar dalam memantik ekosistem tumbuh. Bisa dihitung jari berapa inkubator, komunitas, atau akselerator di Indonesia Timur,” tutur Adi.

Mengakali keadaan

Keberadaan SDM krusial bagi perjalanan hidup startup. Tanpa kemewahan yang dinikmati kolega mereka di Pulau Jawa, pelakon startup di luar Pulau Jawa mengakali hal ini dengan berbagai cara. Adi memilih menjalin hubungan erat dengan sejumlah komunitas. Komunitas itu bisa ada di dalam atau luar kampus. Dengan begitu, Adi mengaku bisa sedikit lebih mudah mencari bakat-bakat yang diperlukan.

Di situasi pandemi ini, kebutuhan transformasi digital jadi jauh lebih cepat. Keberadaan talenta yang tepat, lagi-lagi, jadi kebutuhan yang wajib dipenuhi.

“Kami menggunakan bantuan komunitas-komunitas di sekitar kami, misal komunitas tech di luar atau dalam kampus,” imbuhnya.

Sementara Hermanto menilai sosialisasi tentang dunia startup perlu lebih gencar menyasar talenta muda di sana. Sosialisasi itu bisa berbentuk sesi berbagi informasi untuk pelajar di bangku kuliah dan sekolah. Startup yang sudah ada di sana, menurutnya, juga harus membuka kesempatan lebih lebar kepada lulusan baru. Selain diserap ke industri lain, ada kalanya Hermanto melihat SDM unggulan di wilayahnya justru hijrah ke ibu kota.

Untuk itu Hermanto memilih memberi keleluasaan bagi karyawan Topremit mengeksplorasi keahlian dan mendukungnya dengan sejumlah fasilitas mumpuni untuk pengembangan diri.

“Kami melakukan employer branding dan memperlihatkan suasana kerja yang fun, tim yang solid, dan tempat untuk belajar dan berkembang,” lengkap Hermanto.

Data Digital Competitive Index 2020 dari East Ventures memperlihatkan masih ada jurang besar antara suplai talenta digital di Jawa dan luar Jawa. Namun itu tidak menjadi alasan bagi tiga startup tersebut untuk tidak berkembang.

Hermanto menyebut pihaknya berencana mempekerjakan SDM yang berada di zona waktu berbeda untuk mengantisipasi permintaan pelanggan setiap saat. Dengan sumber daya yang mereka miliki, ketertinggalan SDM di wilayahnya bisa ditutup dengan merekrut SDM di negara lain.

“Kita ingin hire employee di timezone yg berbeda sehingga permintaan customer tetap bisa terpenuhi 24/7 dan team saya dpt belajar tentang culture dari nationality lain,” pungkas Hermanto.

Sementara Adi berpendapat kebutuhan SDM yang tepat dan unggul sangat krusial untuk startupnya yang bergerak di bidang lingkungan. Kebutuhan itu menguat seiring kesadaran masyarakat tentang lingkungan terus meningkat selama masa pandemi ini sehingga permintaan untuk layanan mereka otomatis juga terangkat.

Sadar akan ketertinggalan ekosistem digital di wilayahnya, Adi memperkirakan perkembangannya akan lebih lambat dibanding kolega mereka di Pulau Jawa.

Supply and demand yang ada tentu tidak sebesar di Pulau Jawa. Ini salah satu yang membuat ekosistem mungkin tidak berkembang dengan cukup baik,” ujar Adi.

Sedikit optimis, Roro melihat perkembangan ekosistem digital di Batam yang diinisiasi pemerintah sebagai kesempatan besar. Keberadaan NDP, menurutnya, akan jadi faktor pembeda bagi ekosistem digital di Batam dan lingkunp Sumatera pada umumnya, sekaligus mempercepat daya saing talenta digital di sana.

“Makanya enggak heran ada talenta dari Jawa yang pindah ke Batam,” pungkas Roro.

Wabah Covid-19 tak menghalangi pemain remitansi tetap bersinar. Kabar pendanaan, perluasan layanan, serta kehadiran pemain baru jadi indikator positif.

Pandemi Tidak Halangi Sinar Bisnis Remitansi di Indonesia

Wabah Covid-19 menjadi alasan utama banyak sektor ekonomi melesu di seluruh dunia. Momen-momen seperti ini selalu memunculkan suatu sektor atau pemain industri yang justru bersinar. Bisnis remitansi adalah salah satunya. Pandemi ternyata tidak menghalangi sinar potensi pasar pengiriman uang khususnya di Indonesia.

Selama masa pandemi ini, kami mencatat ada sejumlah sinyal positif dari pasar yang menunjukkan performa bisnis remitansi tetap kinclong. Kemunculan pemain baru, kabar pendanaan, hingga ekspansi pasar menjadi catatan-catatan menggembirakan dari bisnis ini.

Mendulang momen di kala pandemi

Kami berbicara dengan dua pemain lokal remitansi untuk melihat catatan positif vertikal ini, Transfez dan Topremit. Transfez, yang awal tahun ini telah menjangkau 37 negara, kini jejaknya sudah ada di 47 negara di 5 benua berbeda. Hal ini menunjukkan komitmen mereka menjangkau total 80 negara tahun ini tidak goyah.

Di aspek kecepatan pun, Transfez berhasil meningkatkan kualitas layanannya. Beberapa negara tujuan populer, seperti Singapura, bahkan hanya butuh beberapa detik untuk memperoleh kiriman uang dari pengguna di Indonesia. Negara lain yang punya kecepatan serupa adalah Inggris, Australia, Hong Kong, Filipina, Vietnam, India, Nigeria, Meksiko, hingga Ghana.

“Penambahan negara jangkauan serta peningkatan kecepatan pengiriman tersebut berkontribusi terhadap penambahan jumlah pengguna Transfez. Sejak pandemi COVID-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%,” terang Head of Marketing & Communication Transfez Diandra Bernadin.

Performa baik juga dialami Topremit. Startup asal Medan ini memperluas jangkauan pasarnya selama pandemi menjadi 55 negara tujuan. Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Eropa menjadi tambahan tujuan baru bagi pengguna mereka.

Kecepatan memang jadi faktor penting kualitas layanan remitansi. Topremit mengamini aspek tersebut. Hal ini terlihat dari durasi pengiriman uang dari pengguna di Indonesia ke Korea Selatan, Singapura, dan Inggris Raya yang hanya membutuhkan hitungan menit.

“Kemarin di akhir 2019, kami berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16.000 user yang mendaftar dan dalam 6 bulan terakhir ini. Transaksi [saat ini] sudah mencapai lebih dari Rp612 miliar dengan 35.000 user,” tukas CEO & Co-Founder Topremit Hermanto Wie.

Faktor pendorong pertumbuhan

Cerahnya perkembangan bisnis remitansi tidak hanya terjadi di Transfez dan Topremit. Beberapa kabar positif datang dari pemain lain. Misalnya pendanaan yang berhasil diperoleh Wallex Technologies awal bulan ini. Wallex, yang mengantongi izin transfer dana dari Bank Indonesia sejak 2018, sukses menggaet pendanaan Seri A dari BAce Capital, SMDV, dan Skystar Capital.

Suntikan dana juga diperoleh Nium, pemain remitansi asal Singapura yang beroperasi di Indonesia. BRI Ventures dan VISA menjadi dua nama yang berpartisipasi memberi pendanaan kepada Nium. Hingga kuartal pertama 2020, Nium dilaporkan sudah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Pemain baru yang ikut menjajaki peruntungan bisnis remitansi adalah OY! Indonesia. OY! Indonesia, yang notabene adalah platform wallet aggregator, meluncurkan layanan remitansi pada awal Maret. Saat ini layanan anyar mereka sudah menjangkau Singapura, Malaysia, India, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Transfez menjelaskan, situasi pandemi yang menuntut segala hal serba praktis dan beraktivitas dari rumah saja justru mempertebal posisi pemain remitansi digital seperti mereka. Selama ini pasar remitansi Indonesia didominasi bank dan pemain konvensional yang memerlukan kehadiran fisik di kantor cabang atau agen terdekat untuk mengirim uang.

“Bagi kami, krisis menyimpan kesempatan. Dan ini adalah waktu dan kesempatan yang tepat bagi kami untuk memperkenalkan Transfez secara luas,” jelas Edo Windratno, CEO & Co-Founder Transfez.

Sementara Hermanto menjelaskan, kondisi wabah memang mewajibkan pemain remitansi untuk lebih cepat dan lebih luas memberikan layanannya. Situasi karantina wilayah di banyak negara banyak membuat pengguna jasa remitansi berpaling ke platform online seperti mereka.

“Selama pandemi ini, banyak sekali orang yang ingin mengirimkan uang kepada keluarga tercinta di luar negeri karena situasi yang prihatin saat ini. User dan transaksi kami justru meningkat karena tidak nyaman bagi mereka untuk keluar rumah dan melakukan transaksi offline seperti sebelumnya,” imbuh Hermanto.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

“Dengan fakta itu menurut saya jadi dorongan bagi para pemberi dana untuk menyuntikkan dana ke pemain remitansi,” jelas Yusuf.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan pondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Meskipun demikian, pemain remitansi lokal masih punya pekerjaan rumah besar, yakni memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke dalam negeri. Sesuatu yang belum bisa dilakukan pemain lokal hingga saat ini. Seperti yang dicatat World Bank (2018), uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai $11 miliar atau sekitar Rp150 triliun, sedangkan remitansi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun.