Tag Archives: travel marketplace

Strategi PergiUmroh Kuatkan Potensi Bisnis

Potensi wisata umroh yang kian digandrungi masyarakat Indonesia membuat marketplace niche PergiUmroh bakal perbanyak sisi suplai, seperti mitra pembayaran, biro travel, dan pembiayaan. Selain itu pihaknya berencana meluncurkan aplikasi mobile dalam waktu dekat.

Menurut CEO PergiUmroh M. Faried Ismunandar, dengan meningkatkan sisi suplai maka lambat laun akan menggiring pengguna baru berdatangan. Pasalnya, kemudahan merupakan unsur utama yang diusung olehnya saat pertama kali mendirikan PergiUmroh.

“PergiUmroh didirikan salah satunya karena pengalaman pribadi yang kesulitan mencari jasa perjalanan umroh. Maka dari itu, PergiUmroh kami desain supaya orang bisa dengan mudah menentukan pilihan umroh mereka berdasarkan budget, rute, jadwalnya dan cara pembayaran,” terang Faried, kemarin (26/7).

Pangsa pasar wisata umroh di Indonesia, sambungnya, diprediksi akan terus meningkat. Indonesia disebut sebagai negara ketiga terbesar yang banyak mengirim jemaah umroh.

Kementerian Agama memprediksi pada tahun ini jumlah jemaah umroh bakal mencapai 1 juta orang, padahal dua tahun tahun sebelumnya sekitar 700 ribu jemaah. Kenaikan disebabkan peminat wisata religi yang meningkat terutama di kalangan anak muda.

PergiUmroh menyediakan pilihan 150 paket wisata umroh dengan 5 ribu kuota, hasil kerja sama dengan 13 biro travel umroh. Pengguna dapat memilih berdasarkan keinginan mereka dengan berbagai metode pembayaran.

Perusahaan telah bekerja sama dengan payment gateway untuk variasi kanal pembayaran, termasuk menggunakan kartu kredit. Pengguna juga bisa memilih metode dengan angsuran melalui Bank Permata Syariah dan KreditPro untuk percepat rencana umroh.

Biro travel umroh yang bermitra dengan PergiUmroh juga dikurasi sebelumnya. Hanya mereka yang berizin resmi PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) dari Kementerian Agama, memiliki rekam jejak dan prestasi baik, tim profesional dan berdedikasi tinggi.

Kurasi ini diharapkan bisa memfilter kekhawatiran pengguna yang baru pertama kali umroh, sekaligus menjaga kenyamanan pengguna terhadap layanan PergiUmroh.

“Kami utamakan informasi yang transparan, lengkap, dan bisa diakses. Pengguna bisa mencari berdasarkan harga, tujuan, maskapai, hotel, waktu keberangkatan, dan kota keberangkatannya.”

Rencana bisnis

COO PergiUmroh Abul A’la Almaujudy menambahkan saat ini perusahaan tengah persiapkan aplikasi agar pengguna semakin mudah menjangkau layanan PergiUmroh. Menurutnya, nantinya aplikasi tersebut tidak hanya berisi fitur transaksi, tapi ada juga fitur yang dapat digunakan setiap hari.

“Sekarang masih proses pengembangan, rencananya sebelum tutup tahun 2018 sudah bisa diresmikan,” ucap Abul.

Meski saat ini masih melayani wisata umroh, Abul tidak menutup kemungkinan akan membuka layanan di luar itu. Bisa jadi haji atau lainnya.

“Tahap sekarang kami fokus di penyediaan produk umroh terlebih dulu. Karena secara kebutuhan dan pasokan, umroh punya kuota yang lebih masif. Tidak menutup kemungkinan kami akan bergerak ke produk lainnya termasuk haji dan lainnya,” pungkas dia.

Untuk operasional PergiUmroh, perusahaan masih mengandalkan dana dari kantong sendiri (bootstrapping).

Arie Nasution (TREYA's CEO), Asoka Remadja (Travel Blogger), Hiramsyah Thaib (Head of Accelerated Development of Priority Tourism Destination), Schode Ilham (Travel Blogger), Duwi Satrio (TREYA's Chief Marketing Officer) / TREYA

Open Trip Marketplace Treya Connects Travelers with Local Guides

Indonesia has many tourism objects but still lack of contribution to the country’s foreign exchange compared to neighboring countries, like Thailand and Malaysia. According to the Ministry of Tourism, foreign reserve from the tourism sector last year only accounted at US$ 16.8 billion from 17 million foreign tourists in total.

The slow realization of this tourism potential encourages Treya’s establishment since October 2017. Until now, Treya still relies on its own pocket (bootstrap) for business operations.

As the open trip has become new trend, there are many people who still have difficulties in choosing and comparing the travel organizers (TO), in terms of price, time, and destinations. Treya offers to provide various options while promoting unrecognized tourism objects.

“We started Treya to improve Indonesia’s tourism industry, either for international or local tourists,” Hardwi Pinandityo, Treya’s CMO, said to DailySocial.

He said the challenge in open trip is to convince public that Treya’s partners are credible and capable to provide good services. Therefore, they partner only with professional and credible TOs.

The way to check its credibility is through recommendations from other TOs and local residents with frequent interaction in gathering guests. Treya also tracks the digital records and netizen discussion of the TO in travel and social media forums.

“It would have been better if the TO comes from a business entity but it doesn’t matter for individuals with a good reputation. Currently, from 100 TO partners, only 10%-15% becomes a business entity.

Business Plan

Arie Nasution (TREYA's CEO), Asoka Remadja (Travel Blogger), Hiramsyah Thaib (Head of Accelerated Development of Priority Tourism Destination), Schode Ilham (Travel Blogger), Duwi Satrio (TREYA's Chief Marketing Officer) / TREYA
Arie Nasution (TREYA’s CEO), Asoka Remadja (Travel Blogger), Hiramsyah Thaib (Head of Accelerated Development of Priority Tourism Destination), Schode Ilham (Travel Blogger), Duwi Satrio (TREYA’s Chief Marketing Officer) / TREYA

In running the business, Treya is using the profit-sharing business model by quoting 10%-15% for each transaction through the platform. Pinandityo claimed, since founded for two months, they have sent more than 100 people through the open trip.

The next plan is to increase supply side first. It is expected to add over 100 destinations to bring more options for users.

Treya is claimed to have 100 TO partners for 50 tourist destinations, such as Bangka Island, Belitong Island, Thousand Island, Yogyakarta, Ijen, Alor Island, Komodo Island, Derawan, and many more. Aside of open trip, Treya also provides the private trip for 2 people.

Currently, Treya is available for Android, soon will be followed by iOS version. Treya has over 400 members since its first establishment.

“We think, by having a strong supply, users will come by themselves,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

“Marketplace Open Trip” Treya Pertemukan Pelancong dan Pemandu Lokal

Indonesia memiliki destinasi wisata yang melimpah, namun sumbangsihnya terhadap devisa negara masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia. Menurut laporan Kementerian Pariwisata, devisa dari sektor pariwisata pada tahun lalu baru mencapai US$16,8 miliar dari total 17 juta wisatawan mancanegara.

Masih belum gencarnya realisasi potensi wisata ini mendorong didirikannya marketplace open trip Treya sejak bulan Oktober 2017. Sampai saat ini Treya masih mengandalkan dana dari kantong sendiri (bootstrap) untuk operasional bisnisnya.

Meski istilah open trip sudah menjadi tren, masih banyak masyarakat yang kesulitan memilih dan membandingkan trip organizer (TO) yang sesuai, baik dari segi harga, waktu, maupun destinasi wisata. Treya hadir untuk memberikan berbagai pilihan sesuai kebutuhan masing-masing sekaligus mempromosikan tempat wisata yang belum dijangkau oleh masyarakat luas.

“Kami memulai Treya dengan harapan dapat membantu mendongkrak industri pariwisata Indonesia, baik untuk turis lokal dan asing,” ucap CMO Treya Hardwi Pinandityo kepada DailySocial.

Menurutnya, tantangan bermain di open trip adalah meyakinkan masyarakat bahwa penyedia open trip yang telah bermitra dengan Treya sudah terjamin aman dan dapat memberikan pelayanan yang baik. Untuk itu pihaknya hanya bermitra dengan TO yang profesional dan memiliki kredibilitas baik.

Caranya memeriksa kredibilitas adalah lewat rekomendasi dari TO lain dan warga lokal yang sering berinteraksi di lapangan saat membawa tamu. Treya juga melacak jejak digitalnya hingga pembicaraan netizen tentang TO tersebut di forum travel dan media sosial.

“Sebenarnya akan lebih baik bila mitra TO berasal dari badan usaha, tapi untuk perorangan juga bisa asalkan reputasinya baik. Saat ini dari 100 mitra TO, baru sekitar 10%-15% yang sudah berbadan usaha.”

Rencana bisnis

Arie Nasution (CEO TREYA), Asoka Remadja (Travel Blogger), Hiramsyah Thaib (Ketua Tim Percepatan Pembanguna Destinasi Pariwisata Prioritas), Schode Ilham (Travel Blogger), Duwi Satrio (Chief Marketing Officer TREYA) / TREYA
Arie Nasution (CEO TREYA), Asoka Remadja (Travel Blogger), Hiramsyah Thaib (Ketua Tim Percepatan Pembanguna Destinasi Pariwisata Prioritas), Schode Ilham (Travel Blogger), Duwi Satrio (Chief Marketing Officer TREYA) / TREYA

Dalam menjalankan bisnisnya, Treya menganut model bisnis pembagian hasil dengan mengutip 10%-15% untuk setiap transaksi yang dilakukan melalui platform. Hardwi mengklaim sejak dua bulan diluncurkan, pihaknya telah memberangkatkan lebih dari 100 orang melalui paket-paket open trip.

Rencana berikutnya, dia ingin memperbanyak sisi suplai sebelum ke sisi pengguna. Diharapkan sampai akhir tahun ini bisa menambah hingga 100 destinasi, agar pengguna punya banyak pilihan menentukan destinasi.

Diklaim Treya telah menggandeng 100 mitra TO untuk ke 50 destinasi wisata, seperti Pulau Bangka, Pulau Belitung, Kepulauan Seribu, Yogyakarta, Ijen, Pulau Alor, Pulau Komodo, Derawan, dan masih banyak lagi. Tidak hanya open trip, Treya juga menyediakan private trip untuk kapasitas dua orang.

Saat ini Treya tersedia untuk versi Android, sementara untuk iOS akan menyusul dalam waktu mendatang. Adapun pengguna Treya sejak pertama diluncurkan sudah lebih dari 400 orang.

“Kami rasa apabila sudah memiliki supply yang kuat, maka pengguna akan bisa datang dengan sendirinya,” ujar Hardwi.

Application Information Will Show Up Here

 

Strategi Startup Perjalanan Wisata dan Aktivitas Lokal, Belajar dari Penutupan Tripvisto

Ditutupnya salah satu layanan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata Tripvisto sekitar bulan Oktober lalu menyisakan sebuah pertanyaan besar. Ada apa dengan bisnis ini yang memiliki potensi cerah dengan target pasar yang menggiurkan, terutama kalangan millennial.

Tripvisto merupakan startup yang fokus dengan bisnis ini sejak tahun 2014 dan telah menerima pendanaan dalam jumlah relatif besar ($1 juta di putaran pendanaan terakhirnya) dan didukung investor ternama (East Ventures, Gobi Partners).

Didirikan Bernardus Sumartok, yang sebelumnya juga sempat menutup bisnis serupa, Flamingo, Tripvisto sendiri sempat mengalami pertumbuhan bisnis yang positif dengan merekrut anggota tim yang cukup banyak, pindah ke kantor yang lebih besar, hingga menghadirkan ribuan perjalanan wisata lokal hingga mancanegara.

Kerasnya bisnis di sektor ini akhirnya mendorong Tripvisto untuk tidak meneruskan bisnisnya. DailySocial sendiri belum memperoleh konfirmasi langsung dengan Sumartok, namun pandangannya soal sektor marketplace perjalanan wisata bisa disimak di video liputan DScussion #59 kami.

Sektor yang terlalu fragmented

Di Indonesia sendiri saat ini cukup banyak startup serupa yang mencoba menghadirkan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata lokal hingga asing.

Salah satu startup yang baru saja meluncurkan layanan serupa adalah Triprockets. Startup ini menerapkan cara yang sama dilakukan Airbnb, yaitu sharing economy atau ekonomi berbagi antar pengguna. Triprockets disebutkan didirikan demi memberikan alternatif pilihan kegiatan wisata yang unik baik di Indonesia maupun negara lainnya.

Terkait dengan kegagalan yang dialami layanan serupa, CMO Triprockets Raymond Iskandar mengungkapkan hal tersebut cukup mengejutkan namun menyadari bahwa sektor tours and activities mungkin bisa dikatakan sebagai satu-satunya ladang hijau di dalam industri pariwisata.

“Tapi namanya sebuah ladang yang hijau, itu juga berarti banyak hal yang masih harus dilakukan. Jadi bukannya tidak mungkin dalam 5 tahun ke depan kita masih membangun blok pondasi dasar buat bisnis kita.”

Raymond melanjutkan sektor ini terbilang masih sangat fragmented. Ada ribuan perusahaan operator kecil menengah yang tersebar di seluruh dunia. Hal tersebut yang menyulitkan bisnis untuk dapat bertindak sebagai agregator dalam satu website. Berbeda halnya dengan industri lain di segmen ini, seperti hotel atau penerbangan (OTA). Saat ini menjual produk mereka relatif lebih mudah secara online dengan data yang telah tersedia.

“Sedangkan dalam kategori tour dan aktivitas tidak semudah itu, karena mencakup segala hal-hal kecil mulai dari multi-day tour, tour harian, tour jalan kaki, bersepeda, kelas memasak hingga harga tiket masuk taman hiburan. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membuat mereka terhubung dan ‘berbicara dalam bahasa yang sama’, mengkategorikan mereka dalam satu kategori yang konsisten saja sudah merupakan tantangan tersendiri,” kata Raymond.

Model bisnis yang terlalu “luas”

Sementara bagi Traventure, marketplace yang mencoba menemukan para kreator wisata dengan para pencari kreasi wisata baru di Indonesia, melihat fenomena yang terjadi untuk Tripvisto adalah karena terlalu luasnya layanan yang dihadirkan. Tripvisto dianggap kesulitan untuk fokus menjual paket.

“Sedangkan Traventure berangkat sebagai antitesisnya, kami berangkat dengan visi mengumpulkan dan mengaktifkan setiap orang di indonesia untuk bisa membuat dan menampilkan paket trip kreasi mereka sendiri. Kami menyebutnya bottom-up approach. Kami ingin koleksi kami mirip dengan Tripvisto, kaya dan beragam. Tapi juga dimiliki oleh banyak pihak (marketplace) dan koleksinya alternatif,” kata Co-Founder Traventure Bondan Sentanu Mintardjo kepada DailySocial.

Kendala lain yang masih dihadapi bisnis ini adalah sulitnya mengkuantifikasi harapan market (online) akan produk yang abstrak seperti experience dan activity yang menjadi komoditas di sini.

“Pergeseran gaya hidup (yang berhubungan dengan gap generasi) juga harus dipelajari secara detil untuk memastikan dengan jelas demografi market yang mau disasar, karena sifat dan kebutuhannya beda satu dengan lainnya,” kata Bondan.

Ciptakan mindset survive, kreatif dan beradaptasi

Baik Triprockets dan Traventure hingga kini masih berusaha untuk menemukan momentum yang tepat agar bisnis bisa tumbuh dengan cepat. Untuk itu salah satu kunci kesuksesan yang mereka yakini adalah bertahan dan lebih kreatif. Keduanya melihat segmen bisnis ini menjadi sangat ideal dan sudah sangat tepat diluncurkan saat ini menargetkan kalangan millennial yang menggemari kegiatan wisata unik dan menarik.

“Sebetulnya menurut saya, saat ini adalah saat yang paling baik untuk sektor ini di mana dengan menurunnya generasi baby boomers yang sebelumnya mendominasi pasar travel dunia, akan semakin memudahkan kita untuk penetrasi pasar oleh generasi yang lebih muda,” kata Raymond.

Sementara menurut Bondan, agar bisnis bisa survive, idealnya startup yang berencana untuk menjalankan bisnis serupa bisa tampil lebih kreatif, Jangan mendikte market dengan koleksi trip “usang”.

“Bisnis wisata adalah bisnis kreatif dan sustainable, maka hargai nature bisnis ini dengan cara yang sama. Traventure sendiri masih dalam perjalanan menuju ke arah tersebut, jalan terjal dan berliku masih harus ditempuh, dan meminjam semangat traveling, di situ letak keseruannya,” kata Bondan.

Hal lain yang digarisbawahi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan menghindari untuk terlalu “mencintai” model bisnis yang dimiliki. Mereka juga harus fokus ke tujuan akhir startup, yaitu memberi pelanggan apa yang mereka inginkan terlepas dari model bisnis yang dimiliki.

“Bahkan sebuah perusahaan raksasa saja akan gagal kalau kita tidak mampu berubah dan beradaptasi. Triprockets dulu memulainya dengan menjual tiket atraksi, aktivitas dan tours dengan pola two-sided B2C marketplace yang saya rasa sama persis dengan konsep Tripvisto. Tapi di perjalanan it just turned out this peer-to-peer marketplace was the best way to serve great activity experiences untuk pelanggan kami. If this hadn’t worked out then keep adapt your business model,” kata Raymond.

Hal senada diutarakan Bondan dengan bisnis paket wisata unik yang dijalankannya. Meskipun masih berusia belia, namun Bondan dan tim percaya bisnis ini akan mengalami pertumbuhan yang positif nantinya.

“Hipotesis yang kita percaya, dan selama berjalannya Traventure ini masih konsisten, adalah bagaimana memberikan “rasa manusia” kepada platform aplikasi kita, bukan sekedar etalase kaku. Karena kembali lagi, yang kita jual adalah experience yang hubungannya dengan pemenuhan rasa/spritualitas pembeli,” kata Bondan.

Koolva Ingin Jadi Marketplace Wisata Lokal Favorit Wisatawan Mancanegara

Bertujuan untuk menghadirkan paket wisata yang lengkap dan terpercaya di Indonesia, marketplace Koolva didirikan Founder dan CEO Benny Batara. Koolva mengklaim telah berhasil menjadi salah satu platform favorit bagi wisatawan mancanegara yang melakukan kunjungan wisata ke Indonesia. Masih kurangnya layanan paket wisata yang aman dan terpercaya di Indonesia merupakan alasan utama pada akhirnya Benny mendirikan Koolva.

“Koolva didirikan berdasarkan kepercayaan kami bahwa setiap wisatawan mancanegara berhak untuk mendapatkan pengalaman berpetualang di Indonesia, secara aman, terjangkau dan menyenangkan. Hari ini, Koolva secara aktif terus menggali kerja sama dengan penggerak pariwisata lokal, untuk terus mengembangkan dunia pariwisata Indonesia dan membawanya ke pentas dunia,” kata Benny.

Dengan pilihan harga yang terjangkau dan paket wisata yang terpercaya, Koolva ingin memberikan pengalaman terbaik kepada wisatawan asing yang semakin banyak mengunjungi Indonesia. Koolva mengklaim hingga kini pengguna Koolva sudah hampir mencapai 1 juta orang dengan demografi pengguna dari english speaking countries mencapai 45% (Amerika Serikat, Britania Raya, dan Australia), 30% dari Russia dan Eropa, lalu sisanya sekitar 25% berasal dari Asia Pasifik (Vietnam, Jepang, Singapore, Malaysia).

Koolva adalah sebuah platform pengalaman dimana turis asing dapat melakukan transaksi pembelian paket wisata yang diinginkannya. Setiap transaksi yang dilakukan melalui payment gateway koolva akan mendapatkan perlindungan 100% moneyback guarantee, sehingga turis asing juga dapat merasa aman dan terjamin dari aksi penipuan,” kata Benny.

Proses kurasi seller

Untuk memastikan seller, dalam hal ini adalah adalah para pelaku usaha pariwisata di Indonesia (Hotel, Tour Guide, Travel Agent, Yacht Operator, Dive Center), Koolva melakukan proses kurasi yang cukup ketat. Untuk bergabung menjadi seller syaratnya adalah pelaku usaha sudah berpengalaman menjalankan tour untuk orang asing, mampu berbahasa asing, dan lolos seleksi oleh tim kurasi koolva. Keuntungan terbesar menjadi seller koolva diantaranya adalah mendapatkan akses secara global.

“Koolva menerima pembayaran dari 201 negara di dunia mulai dari mata uang negara Albania sampai Zimbabwe. Jadi buyer tidak usah repot mencari Money Changer dan seller juga tidak usah pusing menerima pembayaran, karena nanti mereka akan otomatis menerima transfer dalam bentuk rupiah,” kata Benny.

Menjadi seller di Koolva tidak dipungut biaya apapun, namun setiap transaksinya baru akan dikenakan biaya administrasi senilai 10% dari transaksi yang terjadi. Biaya 10% tersebut baru akan dipotong bila ada produk yang terjual, dan sudah all-inclusive yaitu sudah termasuk biaya perbankan dan lainnya (Mastercard, Visa, JCB, American Express).  Saat ini sudah lebih dari 1300 mitra koolva baik dari dalam dan luar negeri.

Melancarkan kemitraan dengan AirBnB dan Uber

Selain melancarkan kemitraan dengan mitra lokal, Koolva juga secara aktif gencar menjalin kemitraan dengan perusahaan asing seperti AirBnB dan Uber. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memudahkan wisatawan asing yang telah terbiasa menggunakan aplikasi tersebut di negara asal dan tentunya Indonesia.

“Kita tahu AirBnb menyediakan kamar bagi wisatawan dunia, dan Uber menyediakan moda transportasi. Maka, kami berfikir mengapa tidak mengkombinasikannya saja, jadi misalkan nginapnya cari di AirBnB, jalan-jalannya dengan Koolva, perginya naik Uber As simple as that. Jadi seller Koolva mendapatkan exposure lebih banyak,” kata Benny.

Dalam waktu dekat Koolva juga rencananya akan melancarkan kerja sama dengan market leader dari Tiongkok yaitu Alibaba dan Wanda. Hal tersebut dilakukan karena Koolva mau mencoba masuk dengan bentuk kerja sama agar setiap seller yang terdaftar di Koolva akan otomatis terdaftar juga di portal pariwisata milik Alibaba dan Wanda Group.

Disinggung tentang siapa investor Koolva saat ini, Benny enggan untuk menyebutkan, secara khusus Benny menegaskan sepanjang kemitraan dengan para investor bisa menghasilkan kolaborasi yang positif, Koolva akan menerima dengan baik penawaran dari investor. Benny menambahkan hingga kini Koolva telah menolak sedikitnya dua investor asing yang tertarik untuk menjadi investor Koolva.

“Kami hanya mau melakukan kerja sama bila itu dapat memberikan keuntungan dan nilai tambah bagi para Seller Koolva. Deal yang mungkin paling dekat akan kami lakukan adalah investasi dari perusahaan telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara,” kata Benny.

Diharapkan hingga akhir tahun 2017 mendatang Koolva menargetkan bisa melayani lebih dari 5 juta wisatawan asing dan Koolva juga tersedia dalam Bahasa Jepang dan Rusia.

Pemerintah Siapkan Marketplace Khusus Industri Pariwisata

Kementerian Pariwisata berencana untuk mendirikan marketplace pariwisata dengan nama Travel Exchange Indonesia (TXI). Inisiasi ini merupakan upaya dorongan dari pemerintah dalam mengadopsi sistem pemasaran ke digital seiring dengan geliat perkembangan era digital.

Arief Yahya, Menteri Pariwisata, menjelaskan bursa perdagangan pariwisata tersebut nantinya akan menjadi pertemuan antara online travel agent (OTA) dengan calon pelancong. Produk yang akan dijual bervariasi, mulai dari tiket pesawat domestik maupun internasional, hotel, restoran, transportasi untuk taksi, penyewaan kendaraan, atraksi, pertunjukan, hingga paket wisata.

Semangat pemerintah dalam membentuk platform ini adalah untuk menyokong pelaku usaha pariwisata yang masih berskala UKM, sehingga sulit bersaing dengan OTA skala besar. “Bulan Oktober akan selesai dan segera kita setup. Travel agent konvensional akan kita ‘paksa’ ikut, nanti mereka akan kami ajari,” ujar Arief.

Menurutnya, pelaku usaha yang tidak menerapkan digital marketing tourism akan cenderung lebih sulit bersaing, lambat laun akan ditinggalkan konsumen. Pasalnya, saat ini pelancong sudah lebih sering mencari, memesan, dan membeli paket perjalanan secara online tanpa perlu datang ke travel agent konvensional.

Kementerian mencatat sudah menggandeng sejumlah perusahaan di bidang pencarian seperti Google, Baidu, dan Tripadvisor, maupun dengan perusahaan pemesanan seperti Traveloka, Alitrip, C-Trip, dan lainnya. Menurut Arief, dari segi biaya promosi di digital empat kali lipat lebih efektif dan efisien.

Arief berharap kerja sama ini sekaligus dapat membantu mempromosikan Wonderful Indonesia secara global. Jadi, pelancong yang masuk ke situs tersebut akan dihubungkan dengan TXI agar dapat melakukan transaksi dengan travel agent nasional.

“Nanti yang akan lakukan selling adalah para pelaku travel agent. Pemerintah menyediakan promosi lewat Tripadvisor, jadinya materi yang mau dipromosikan dapat ditaruh ke dalam platform itu.”

Pemerintah menentukan 10 daerah yang menjadi destinasi utama, yaitu Jakarta, Batam dan Kepri, Wakatobi-Bunaken-Raja Ampat, Makassar, Medan, Lombok, Bandung, Banyuwangi, Joglosemar (Yogyakarta, Solo, Semarang), dan Pulau Bali.

Promosi akan digencarkan ke 16 negara yang menjadi pasar wisatawan mancanegara ke tanah air, seperti Singapura, Tiongkok, Malaysia, Australia, Jepang, dan Korea.

Mengenal Triponyu, Marketplace Wisata Asal Solo yang Menawarkan Solusi Lokal

Sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, industri priwisata di Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang besar. Pemerintah saja tahun lalu menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk mempromosikan sektor pariwisata di Indonesia. Sekarang sektor ini akan lebih ramai dengan kehadiran startup digital baru asal Solo yang menawarkan solusi lokal untuk para traveler, Triponyu.

Mengenal Triponyu dan bisnisnya

Meskipun memiliki nama yang sangat mirip dengan sebuah platform hiburan, Triponyu fokus tidak memiliki afiliasi dengan Cliponyu. Triponyu digawangi oleh empat orang anak muda asal solo, yaitu Agustinus Adhitya Pramono (CEO), Onny Sumantri (COO), Samuel Joshep (CTO), dan Alfonsus Aditya Prabowo (CFO & CBDO). Startup yang pada Jumat minggu lalu baru melakukan soft launch secara resmi ini juga masih berada dalam fase beta.

Alfonsus Aditya Prabowo (Adit) menjelaskan bahwa pada dasarnya Triponyu adalah platform bisnis yang memberikan akses bagi traveler dan local guides untuk saling terhubung. Local guides adalah masyarakat umum di sekitar tujuan wisata yang memiliki ide-ide kreatif untuk ditawarkan melalui Triponyu sebagai paket-paket wisata. Adit berharap melalui platform yang dibangunnya dapat tercipta perjalanan wisata yang unik dan menarik bagi setiap traveler dan local guides.

Adit mengatakan, “Local guides dapat menjadi traveler dan traveler dapat menjadi local guides [di Triponyu]. […] Local guides ini adalah Host yang berada di suatu daerah [wisata] yang mampu memberikan paket-paket wisata menarik dan jauh dari kesan konvensional. Mereka [local guides] akan menyusun paket wisata yang disertai price dari mereka sendiri, kemudian dicantumkan di Triponyu. […] Untuk menjadi host ini nantinya akan dilakukan proses verifikasi data dan pengecekan terhadap paket wisata ditawarkan sehingga memberikan kepastian, keamanan, dan kenyamanan bagi para traveler.”

Visi yang diusung Triponyu menurut Adit adalah connecting people and happiness. Artinya, dengan adanya triponyu diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menambah persahabatan dan menciptakan perjalanan wisata yang tidak terlupakan.

Sementara itu misi yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan potensi daerah, membantu meningkatkan usaha kecil masyarakat, mampu menciptakan lapangan pekerjaan mandiri, dan meningkatkan kesadaran akan beragamnya budaya dan keindahan alam Indonesia.

“Yang membuat kami berbeda adalah karena kami startup pertama yang mengusung konsep feel the experience with locals. Selama ini paket pariwisata yang ditawarkan sudah sangat umum, […] sehingga kami rasa tidak menemukan sisi menarik, seru, dan menyenangkan,” kata Adit.

Adit melanjutkan, “Nah, yang akan membuat berbeda [di Triponyu] adalah orang lokal yang lebih tahu daerah dan tempat menarik di wilayah masing-masing. Sehingga esensi eksplorasi wilayah atau berwisata yang lebih menarik bisa tercipta [dan] dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. […] Di Triponyu, setiap orang bisa menjadi local guides dan kembali lagi bahwa fakta kreativitas menjadi penentu untuk menciptakan program pariwisata yang unik.”

Rencana dan target Triponyu di tahun-tahun mendatang

Triponyu menawarkan solusi lokal untuk para traveler yang menginginkan pengalaman baru dalam berwisata / DailySocial
Triponyu menawarkan solusi lokal untuk para traveler yang menginginkan pengalaman baru dalam berwisata / DailySocial

Saat ini Triponyu berjalan dengan mengandalkan dana internal atau bootstrap. Pun begitu, rencana dan target dalam beberapa tahun ke depan sudah ada dalam pipeline mereka. Selain mencari investasi dari luar dan peluang kerja sama dengan pihak lain, Triponyu juga menargetkan untuk bisa tumbuh secara signifikan dari tahun ke tahun.

Adit mengungkapkan, “Tidak dipungkiri kami membutuhkan investasi untuk membangun infrastruktur dan rencana kami berikutnya adalah menawarkan ide kami ini ke beberapa investor untuk melihat peluang yang dapat kami peroleh di kemudian hari. Capex sebagian besar akan kami titik beratkan di sisi pengembangan infrastruktur dan akan kami bagi […] sesuai dengan kebutuhan perkembangan Triponyu ke depannya. Selain itu kami juga akan melihat beberapa potensi untuk bekerja sama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan service kami.”

“Dari sisi finansial, kami menargetkan pertumbuhan bisnis yang signifikan dari tahun ke tahun dan menjaga kemampuan finansial kami dengan pertumbuhan bisnis di tahun pertama [2016-2017] sebesar 5% dari jumlah kunjungan wisatawan di tahun 2015 dan akan mencapai pertumbuhan sebesar 17% di tahun kelima [base assumption 2015]. Kami juga menargetkan pencapaian gross profit di level 27% hingga 30% setiap tahunnya,” tandas Alfonsus Aditya.