Tag Archives: traveloka paylater

Pinjaman Gelap dan Ilegal Melalui Traveloka PayLater Menimbulkan Kekhawatiran atas Penyalahgunaan Data

Mengakses produk keuangan menggunakan smartphone dan platform yang diberdayakan teknologi untuk  sekarang telah menjadi kebiasaan banyak orang Asia Tenggara. Sebuah layanan serupa bank hanya melalui beberapa klik. Namun baru-baru ini keluhan tentang kemungkinan penyalahgunaan data pengguna yang disimpan oleh Traveloka mengungkap masalah serius dari praktik keamanan data yang tertinggal di balik proliferasi fitur yang mudah diakses. Saat ini, para korban harus menghadapi skor kredit pribadi yang rusak, namun masalah perlindungan data yang lebih besar belum ditangani.

Ketika Rachmat Haryanto mengajukan permohonan kartu kredit baru pada tahun 2019, ia terkejut ketika bank menolak permohonannya. Bank mengatakan dia memiliki nilai kredit atau credit scoring yang buruk, tetapi Haryanto yakin dia tidak memiliki tagihan yang tertunggak. Dia memeriksa riwayat kreditnya dan menemukan dua tagihan yang belum dibayar yang ditandai sebagai hutang kepada Caturnusa Sejahtera Finance, sebuah perusahaan yang ditugaskan oleh Traveloka untuk mengoperasikan layanan BNPL (Buy Now Pay Later).

Haryanto adalah seorang fotografer, dan dia sering bepergian untuk tugas. Seringkali, dia memesan tiket pesawat dan kamar hotel melalui Traveloka, tetapi dia tidak pernah mendaftar untuk layanan PayLater perusahaan. “Bank Indonesia memasukkan saya ke dalam daftar hitam untuk dua tagihan terutang, satu seharga Rp 8 juta (USD 561) dan satu lagi seharga Rp 10 juta (USD 710), di Traveloka PayLater,” kata Haryanto kepada KrASIA.

Siap mengajukan pengaduan, Haryanto menghubungi otoritas jasa keuangan Indonesia, OJK. Perwakilan yang berbicara dengannya menyuruhnya untuk menghubungi Traveloka secara langsung dan menyelesaikan masalah tersebut. “Bank juga menyarankan saya untuk meminta disclaimer dari perusahaan-perusahaan tersebut agar tagihan dapat dihapuskan untuk memperbaiki skor kredit saya sehingga saya dapat kembali mengajukan permohonan untuk kartu kredit,” kata Haryanto.

Ia akhirnya melakukan hal itu. Dia mengunjungi kantor Traveloka di Jakarta untuk melaporkan kesalahan tersebut dan meminta perusahaan segera memperbaiki masalah itu. “Data dalam rincian tagihan tidak sepenuhnya akurat. Sementara nama dan nomor KTP saya benar, informasi pekerjaan, alamat, dan nomor ponsel salah. Jadi ternyata, hanya butuh nama dan nomor ID untuk menyalahgunakan data,” katanya kepada KrASIA. Traveloka menyelesaikan masalah tersebut dan mengeluarkan sanggahan tertulis atas permintaan Haryanto.

Nilai kredit yang buruk, apa pun akar masalahnya, mempersulit individu untuk mengajukan kartu kredit, pinjaman, hipotek, dan layanan keuangan lain yang ditawarkan oleh bank.

Kasus Haryanto bukanlah sekedar outlier. Setelah dia menulis tentang pengalamannya dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh media lokal Detik, lebih banyak orang mengatakan bahwa mereka mengalami masalah yang sama. “Sampai hari ini, banyak orang menghubungi saya untuk berbagi pengalaman serupa.”

Pelanggan lain yang menggunakan nama “Ridu” di Twitter baru-baru ini membagikan pengalamannya melalui utas tweet. Seperti Haryanto, pengajuan kartu kredit Ridu ditolak karena kreditnya buruk. “Ternyata, saya memiliki tiga transaksi yang belum dibayar dari Mei 2019, semuanya dari Caturnusa,” katanya kepada KrASIA.

Utas Ridu menarik perhatian Traveloka, yang menjangkau pengguna dan meminta tangkapan layar laporan skor kreditnya, serta foto kartu identitasnya dan selfie untuk verifikasi. Beberapa jam setelah Ridu mengirimkan materi tersebut, Traveloka mengiriminya email untuk meminta maaf atas penyalahgunaan data pribadinya. “Utang” Ridu dihapuskan oleh perusahaan.

Tema umum dalam kasus Haryanto, “Ridu,” dan pengguna Traveloka lainnya yang skor kreditnya menukik tanpa alasan yang jelas adalah tidak satupun dari mereka yang mendaftar ke layanan Traveloka PayLater yang difasilitasi oleh Caturnusa. Juga, tidak satu pun dari pengguna ini pernah menerima faktur atau dihubungi oleh penagih utang. Mereka yang menemukan utang terutang mereka hanya mengetahui ketika mereka melihat nilai kredit mereka setelah aplikasi mereka dengan lembaga keuangan ditolak. Hal ini menimbulkan pertanyaan: siapa yang menggunakan data pelanggan Traveloka untuk merumuskan transaksi dalam catatan Caturnusa? Dan mengapa mereka melakukan ini?

Haryanto berasumsi. “Dari banyak percakapan yang saya lakukan dengan korban lain dan orang-orang yang akrab dengan perusahaan fintech dan teknologi, ada dugaan bahwa Caturnusa mengambil data dari pengguna Traveloka untuk melakukan transaksi tersebut sehingga mereka memiliki aktivitas dan siklus transaksi yang sehat di platform. Tapi sekali lagi, ini hanya spekulasi,” katanya.

“Ridu” percaya bahwa ini adalah alasan yang paling mungkin di balik “utang” yang dibawanya. “Korban lain yang menghubungi saya mengatakan bahwa transaksi mereka juga terjadi pada tahun 2019. Dan saya menemukan bahwa Traveloka tidak memerlukan verifikasi KTP dan foto saat itu [untuk layanan PayLater],” katanya.

Selain vertikal PayLater, Traveloka juga menawarkan produk asuransi kepada penggunanya dengan bermitra dengan perusahaan seperti Chubb dan Astra Life.

Traveloka belum menanggapi permintaan konfirmasi KrASIA terkait hal tersebut.

Bagaimana penyelenggara fintech mengelola data pengguna?

Yayasan Konsumen Indonesia mengatakan 33,5% pengaduan yang diterimanya pada tahun 2020 menyasar penyedia jasa keuangan, porsi terbesar berdasarkan sektor dalam volume keseluruhannya. Sebagian besar konsumen menuduh bisnis ini menyalahgunakan atau mengeksploitasi data pengguna mereka, khususnya menunjuk ke pemberi pinjaman peer-to-peer ilegal.

Perusahaan Fintech sering mengatakan bahwa mereka menggunakan data pelanggan untuk analisis risiko, deteksi penipuan, dan untuk menyesuaikan layanan berdasarkan aktivitas dan preferensi pengguna. Pada tahun 2018, OJK menetapkan peraturan tentang bagaimana perusahaan tekfin dapat memanfaatkan data nasabahnya—semua penyedia jasa keuangan harus menjaga kerahasiaan, integritas, dan aksesibilitas data pribadi, transaksi, dan keuangan nasabah sejak perusahaan tersebut memperoleh data tersebut sampai dengan titik waktu ketika itu dihapus dari server mereka. Penyedia layanan juga harus mendapatkan persetujuan dari pengguna untuk pemanfaatan data, serta menjelaskan tujuan dan batasannya dengan jelas. Selain itu, metode pengumpulan data harus menjamin kerahasiaan dan keamanan.

Semua platform fintech dengan lisensi yang valid dari OJK, seperti Traveloka PayLater, harus mematuhi peraturan tersebut. Saat ini belum jelas bagaimana rentetan pinjaman tanpa izin tersebut dikeluarkan melalui layanan Traveloka PayLater.

Indonesia berjuang dengan lemahnya perlindungan informasi pribadi di sektor publik dan swasta. Setidaknya ada tujuh pelanggaran data besar pada tahun 2020, termasuk yang melibatkan perusahaan teknologi besar seperti Tokopedia dan Bukalapak, serta Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada bulan Mei, server BPJS Kesehatan, lembaga kesehatan dan jaminan sosial negara, diduga diretas, mengakibatkan data 279 juta orang Indonesia, termasuk orang yang sudah meninggal, diposting di forum peretas.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Traveloka akan membawa layanan paylater ke Vietnam dan Thailand pada tahun ini

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com 

Petinggi Traveloka memprediksi bisnis fintech-nya segera menjadi bisnis $1 miliar tahun ini

Membaca Peluang Traveloka Sebagai Perusahaan Fintech

Dikenal sebagai unicorn di vertikal online travel, Traveloka kini sudah melanglang buana di tujuh negara. Fokus layanannya tidak hanya akomodasi dan transportasi. Bisnis perusahaan kini sudah merambah ke gaya hidup dan finansial.

Sektor yang disebut terakhir bisa dikatakan sebagai payung utama melancarkan seluruh aktivitas transaksi di Traveloka. Traveloka kini menyediakan lebih dari 40 metode pembayaran, baik online maupun offline, termasuk produk jasa keuangan paylater dan produk asuransi.

Kebutuhan melancong, menurut berbagai riset, sudah menjadi bagian hidup kalangan muda. Faktor pendukungnya sangat beragam, termasuk membaiknya infrastruktur jalan dan jaringan internet, dorongan pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan potensi ekonomi dari pariwisata, dan armada transportasi dan akomodasi yang beragam.

Dengan kata lain, memadukan pariwisata dengan ticket size yang besar dan kebutuhan finansial menjadi kunci yang tepat untuk menyediakan layanan “beli dulu bayar kemudian” ini.

Sejak diresmikan pada Juni 2018 hingga sekarang Traveloka tidak mengungkap pencapaian Traveloka PayLater, baik dari angka penyaluran, nasabah, dan kredit macetnya.

Meskipun demikian, kita bisa mendapat gambaran dari PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas) selaku mitra perdana yang mereka gandeng. Danamas sendiri berada di bawah naungan Grup Sinar Mas dan menjadi startup p2p lending pertama yang mengantongi izin penuh dari OJK sejak 2017.

Dalam wawancara sebelumnya bersama DailySocial, Presiden Direktur Danamas Dani Lihardja mengungkapkan pada tahun pertama, total penyaluran Danamas menembus angka Rp1,4 triliun secara kumulatif. Kontribusi terbesarnya datang dari Traveloka sebesar Rp1 triliun dan sisanya adalah penyaluran komersil ke pedagang pulsa.

Namun, saat ini kontribusi PayLater semakin tergerus di Danamas. Bahkan ia menyebut sudah semakin minim, meski tidak disebutkan angka persisnya. Kondisi ini terjadi karena banyak faktor. Pertama, target pengguna Traveloka PayLater kebanyakan adalah sektor pekerja non formal, tidak sejalan dengan visi misi yang diusung perusahaan yang ingin menyasar segmen informal dan produktif. Alhasil, Danamas tidak bisa perluas nasabah untuk kebutuhan pinjaman yang lebih bersifat produktif.

“Pemakai Traveloka PayLater adalah nasabah yang sudah educated dan di sini tidak jalan unsur informalnya karena kebanyakan mereka adalah white collar. Jadinya ini beda dengan visi misi kita yang mau menaikkan yang unserved jadi served,” ujarnya.

Kedua, mitra sumber dana untuk Traveloka PayLater terus bertambah. Selain Danamas, sekarang ada Caturnusa, BRI, dan BNI. Kendati demikian, Dani tidak akan menyetop kesepakatan kerja samanya dengan Traveloka. “Dari awal memang kita tidak eksklusif, kita bersedia karena ekosistemnya sama dengan kita. Peminjam tidak terima uang, kalau ekosistemnya beda, ya kita tidak mau.”

Proposisi menarik

Sebagai suatu brand, Traveloka PayLater punya eksistensi yang cukup kuat. Pun diversifikasi produk dan fungsi penggunaan dana yang luas, menarik banyak pihak untuk berbondong-bondong buat kerja sama.

Secara fungsi, limit pinjaman Traveloka PayLater kini bisa digunakan untuk membayar seluruh transaksi di dalam aplikasi, juga di gerai offline berkat realisasi kerja sama dengan BRI dalam bentuk kartu fisik. Seluruh kontrol transaksi lewat kartu akan terekam di aplikasi, pun saat membayar tagihan sudah disediakan fiturnya.

Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial
Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial

Sebelumnya, pada Oktober 2019, sempat ada wacana bahwa BRI menjajaki potensi untuk berinvestasi ke Traveloka. Hingga berita itu diturunkan, belum ada keputusan yang diumumkan ke publik.

Setelah BRI, bank BUMN lainnya berturut-turut kepincut buat kerja sama dengan Traveloka, khususnya menyasar Traveloka PayLater. Ada BNI sebagai sumber dana baru dan Bank Mandiri untuk co-brand kartu kredit tanpa dibubuhi embel-embel brand PayLater.

Fasilitas yang ditawarkan buat pengguna adalah kesempatan mengumpulkan lebih banyak poin loyalitas dari transaksi di Traveloka, diskon harian, dan penawaran lainnya dari merchant Bank Mandiri. Ini adalah co-brand pertama Traveloka dengan bank untuk merilis kartu kredit.

Traveloka PayLater berpeluang menjadi unicorn

Presiden Traveloka Group Henry Hendrawan, dalam wawancara dengan Reuters pada akhir 2019, menegaskan, “Layanan keuangan secara keseluruhan dimulai dari hampir nol awal tahun lalu dan kami berharap bahwa itu akan menjadi bisnis $1 miliar dengan mudah pada tahun depan.”

DailySocial mencoba mengelaborasi lebih jauh mengenai pernyataan Hendrawan, namun perwakilan Traveloka menolak menjawabnya.

Pernyataan Hendrawan mengindikasikan optimisme yang tinggi di bisnis fintech-nya, bahkan ada kabar berhembus perusahaan menggalang pendanaan khusus untuk lini ini saja. Bukan tidak mungkin, dengan proposisinya yang unik bisa membuat bisnis fintech Traveloka (baca: Caturnusa) ini menyandang status unicorn, menyusul induknya.

Co-Founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi / Traveloka
Co-Founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi / Traveloka

Lihat bagaimana Ovo kini sudah menjadi unicorn ke-5, bahkan tidak menutup kemungkinan Traveloka bisa menyusulnya.

Mengutip dari Fintech Report 2019, Traveloka menempati posisi keempat sebagai pemain paylater yang paling banyak digunakan responden. Posisi teratas dan secara berurutan ditempati oleh Ovo, Gojek, Shopee. Bila melihat secara awareness, Traveloka menempati posisi ketiga, posisi teratas ditempati oleh Ovo dan Gojek.

Menurut penelusuran DailySocial, di laman syarat dan ketentuan, dijelaskan peminjam dari Traveloka PayLater adalah PT Caturnusa Sejahtera Finance dan Danamas.

Caturnusa adalah rebrand dari perusahaan pembiayaan yang sebelumnya bernama PT Malacca Trust Finance. Mereka dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo Finance Tbk sebelum dijual ke PT Hermes Global Ventures PTE, LTD pada September 2018.

Batavia menjual sahamnya sebanyak 25 ribu lembar dijual ke Hermes Global dengan nominal Rp1 juta per lembar saham. Nilai transaksinya mencapai Rp27,75 miliar. Pihak Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indoneesia (APPI) Suwandi Wiratno mengonfirmasi bahwa Hermes Global adalah sister company dari Traveloka.

“Traveloka sudah buka multifinance, namanya Caturnusa, dulu dia beli dari Malacca Trust. Secara tertulisnya PT Hermes Global Ventures, PTE LTD., sister company Traveloka,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis.com, (28/1/2019).

Dengan nama barunya, Caturnusa beroperasi di lokasi area yang sama dengan kantor pusat Traveloka.

Menjadi perusahaan pembiayaan

Caturnusa, dengan dasar bisnisnya sebagai perusahaan pembiayaan, memudahkan gerak Traveloka dalam mencari sumber dana karena harus berasal dari institusi. Bila menggunakan izin sebagai perusahaan lending, ada keterbatasan dalam mencari sumber pinjaman, yakni berasal dari peminjam individu.

Tidak ada informasi yang bisa didapat dari mana saja sumber dana yang dikumpulkan oleh Caturnusa. Itu tidak menyalahi aturan karena tidak ada kewajiban untuk mempublikasikannya, kecuali ia adalah perusahaan terbuka.

Ranah bisnis Caturnusa sebagai pemberi pinjaman untuk produk Traveloka juga tidak menyalahi aturan. Dalam POJK 35 Tahun 2018, OJK menjelaskan perusahaan pembiayaan diberi keleluasaan untuk menambah variasi produk pembiayaan yakni multiguna.

Multiguna adalah jenis pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

Di dalam pembiayaan ini, OJK mewajibkan bahwa wajib dilakukan dengan cara sewa pembiayaan, pembelian dengan pembayaran secara angsuran, fasilitas dana, dan/atau pembiayaan lain setelah terlebih dahulu disetujui OJK.

Selain multiguna, pada umumnya perusahaan pembiayaan juga punya ranah produk lainnya yakni modal kerja, investasi, dan kegiatan pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Sumber dana yang bisa dimanfaatkan perusahaan pembiayaan, tidak hanya dari bank saja. Ada opsi lain yang bisa dimanfaatkan, seperti channeling, joint financing, mengeluarkan surat hutang dari MTN (medium term notes), obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO.

Karena Traveloka PayLater sudah punya model bisnis, Caturnusa tidak perlu repot mencari model bisnis yang biasa perusahaan pembiayaan konvensional lakukan. Semuanya proses bisnis dilakukan secara online. Lain ceritanya, bila ada perubahan strategi bisnis untuk diversifikasi produk.

Bermain di ranah online seharusnya bukan ladang baru buat perusahaan pembiayaan. Akulaku bisa menjadi contoh terdekat dalam menggambarkan potensi perusahaan pembiayaan yang membawa pendekatan digital di dalam proses bisnisnya.

Perusahaan ini mengantongi tiga lisensi, yaitu p2p lending (Asetku), e-commerce (Akulaku Silvrr dan Akugrosir), dan pembiayaan (Akulaku Finance). Bahkan, Akulaku juga telah menjadi salah satu pemegang saham di Bank Yudha Bhakti.

Di sini terlihat, Akulaku melakukan diversifikasi akses pendanaannya untuk disalurkan kembali melalui rangkaian produk pinjamannya. Tidak hanya pinjaman berbasis konsumer, Akulaku mengungkapkan kini menerima pinjaman untuk cicilan mobil dan modal kerja yang lebih bersifat produktif.

Secara industri, OJK melihat pemain petahana sudah mulai mengimplementasikan secara perlahan. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan melihat dari 57 perusahaan yang terdaftar, mulai menandakan progres positif yang mulai mengarah ke digital. Mengingat, transformasi digital butuh biaya dan standar minimum.

“Bertahap [perkembangannya]. Kalau modal besar ya tidak masalah, kalau yang pas-pasan akan bertahap karena ini perlu biaya dan [memenuhi] standar minimum,” terang Bambang kepada DailySocial.

Menurutnya, antara fintech lending dan pembiayaan punya perbedaan segmen konsumen, meskipun ada beberapa produk yang saling beririsan. Memiliki perusahaan pembiayaan bukan hal mudah karena ada banyak persyaratan yang harus dipatuhi, termasuk harus mampu menjaga gearing ratio, yakni rasio antara jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri. Perusahaan juga harus punya modal besar dengan ekuitas minimal Rp100 miliar.

Application Information Will Show Up Here
Perkembangan kartu kredit stagnan, perusahaan teknologi jadi kendaraan terbaik untuk menyelesaikan isu tersebut

“PayLater” Perusahaan Teknologi Dongkrak Pertumbuhan Kredit Konsumsi

Kartu kredit merupakan produk keuangan premium, namun punya eksklusivitas yang tinggi. Baru mau mengajukan saja, prosesnya sangat selektif dan memakan waktu. Hal ini wajar karena bank harus prudent dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediary.

Regulasi perbankan yang ketat menjadi alasan utama mengapa perkembangan kartu kredit di sini stagnan. Statistik dari Bank Indonesia per November 2019 memaparkan, jumlah kartu kredit yang beredar sebanyak 17,38 juta unit, naik tipis 0,65% secara year on year. Pertumbuhan volume transaksi hanya naik 4,19%, sedangkan secara nilai naik 5,32%.

Kenaikan ini tidak sedrastis dibandingkan transaksi uang elektronik. Jumlah uang elektronik sebanyak 278 juta unit kartu, naik 66,47% secara year to date. Volume transaksinya tercatat mencapai 356,4 juta unit (naik 21,93%), dengan nilai Rp127 triliun (naik 170,21%).

Ketimpangan ini membuat produk kartu kredit digital, atau kini lebih tren disebut PayLater, menjadi sesuatu yang sangat hit selama dua tahun terakhir.

Semua beramai-ramai masuk ke segmen ini, menggaet fintech lending untuk menawarkan kemudahan pengajuan yang singkat dan jargon andalan bunga 0% untuk 30 hari pinjaman semakin sering dipakai.

Traveloka dan perjalanan produk PayLater

Beberapa bulan sebelum GoPay dan Ovo merilis PayLater, Traveloka mencuri start memperkenalkan istilah ini. Premisnya sederhana: ingin mempersingkat durasi konsumen saat memutuskan rencana pembelian tiket perjalanan beserta akomodasinya, tanpa khawatir dengan ketersediaan dana. Solusi yang sebenarnya bisa dijawab oleh kartu kredit.

Dalam konferensi pers (15/1), President Traveloka Group Operations Henry Hendrawan menjelaskan sebelum merilis PayLater, 90% pengguna melakukan pembelian last minute alias kurang dari dua hari sebelum keberangkatan. Dampaknya harga yang harus mereka bayarkan jauh lebih mahal, tidak bisa memilih kursi, dan tidak mendapat akomodasi yang diinginkan.

MoU antara Traveloka dan BRI / Traveloka
MoU antara Traveloka dan BRI / Traveloka

“Saat Lebaran, kita melihat booking biasanya terjadi saat mereka sudah dapat THR. Jadi kita lihat dengan PayLater bisa menjadi alternatif untuk financial planning, merencanakan semua rencana libur dan booking dari jauh-jauh hari karena harganya pasti jauh lebih terjangkau,” ucapnya.

Menurutnya, sejak PayLater diluncurkan medio 2018, penggunaan terbesar PayLater untuk pembayaran tiket perjalanan dan akomodasi hotel. Berikutnya, untuk pembayaran tiket atraksi dan hiburan. Henry tidak bersedia merinci lebih lanjut besaran transaksi terkait hal ini.

Nominal dana yang bisa diperoleh pengguna maksimal saat pertama kali dirilis berkisar Rp2 juta sampai Rp10 juta. Kini limitnya ditingkatkan hingga Rp50 juta dengan tenor sampai 12 bulan. Bunganya dimulai dari 2,14%-4,78% flat per bulan. Hampir seluruh layanan di Traveloka bisa memakai PayLater untuk opsi pembayarannya.

Mitra pertama fintech lending yang digaet Traveloka untuk menyediakan dana pinjaman adalah Danamas. Di situsnya dijelaskan ada tambahan mitra, yakni Caturnusa Sejahtera Finance, yang bertindak sebagai pemberi pinjaman (lender) di Danamas. Bisa diasumsikan dana PayLater yang diberikan ke pengguna Traveloka bersumber dari situ.

Caturnusa yang berlisensi sebagai perusahaan p2p lending juga terafiliasi dengan Danamas, alias masuk ke dalam naungan Sinar Mas Group.

Tepat pada Rabu (15/1), Traveloka menambah mitra lending. Kali ini adalah BNI. Bersama BNI perusahaan berambisi menyalurkan dana pinjaman hingga Rp6 triliun sepanjang tahun ini untuk satu juta pengguna Traveloka.

“Harapannya, [pinjaman PayLater] itu bisa disalurkan kepada sejuta pengguna PayLater pada tahun ini,” ujar Henry.

Direktur Bisnis Konsumer BNI Anggoro Eko Cahyo menjelaskan. melalui kerja sama ini, Traveloka PayLater terhubung dengan produk KTA milik BNI, yakni BNI Fleksi. Otomatis setiap pengguna PayLater akan menjadi nasabah BNI.

“Melalui kerja sama ini diharapkan terjadi peningkatan ekspansi kredit konsumer BNI sekaligus memberikan kemudahan kepada masyarakat luas, termasuk pengguna Traveloka PayLater yang pada akhirnya berpotensi menjadi nasabah BNI,” katanya.

Kembali ke asal sebagai kartu kredit fisik

Sepak terjang BNI dalam menggaet Traveloka menjadi contoh menarik bagaimana perbankan memanfaatkan perusahaan teknologi sebagai “kendaraan” untuk meningkatkan bisnisnya. Anggoro menerangkan keputusan BNI masuk sebagai pemberi pinjaman di Traveloka karena dia melihat adanya kesamaan target konsumen.

Strategi ini juga dilatarbelakangi keinginan perseroan memacu kinerja kredit konsumer di BNI karena Traveloka PayLater ini juga terhubung dengan BNI Fleksi. Ini adalah produk KTA untuk kebutuhan konsumsi bagi pegawai aktif yang punya penghasilan tetap dan gajinya di-payroll oleh BNI.

Pengguna Traveloka yang lolos verifikasi untuk pinjaman PayLater ini, menurut pengakuan Henry, mayoritas belum pernah memiliki kartu kredit. Proses KYC dalam setiap pengajuan aplikasi tergolong simpel. Traveloka membaca kebiasaan transaksi pengguna yang terekam di sistem.

“Lebih sering pakai Traveloka, maka kita akan lebih mudah mengerti pengguna dan mungkin kita akan lebih comfortable kasih limit-nya karena kita tahu siapa penggunanya.”

Anggoro mengungkapkan, sebelum kolaborasi ini dimulai, tentunya pihak BNI melakukan penilaian risiko kredit di dalam sistem Traveloka. Bagaimana mereka KYC, menentukan skoring kredit, dan lain-lain. “Kami sudah pastikan sesuai standar [perbankan].”

“Ini [hasil penilaian] memperlihatkan performa kami secara teknis dalam KYC,” tambah Henry.

Historis transaksi nasabah yang terkumpul di Traveloka, menjadi bank data yang sangat berharga untuk membangun sistem kredit skoring sendiri. Seluruh upaya Traveloka untuk membangun pembiayaan yang berkualitas akhirnya terbayar sudah ketika bank sekelas BNI masuk.

Sebelum BNI masuk, BRI juga menandatangani MoU dengan Traveloka untuk menyediakan PayLater Card. Fasilitas ini ditawarkan untuk pengguna terpilih Traveloka. Kebetulan, DailySocial termasuk salah satunya.

Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial
Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial

Kartu PayLater tidak jauh berbeda dengan kartu kredit yang diterbitkan bank pada umumnya. Fasilitas yang bisa dinikmati pengguna adalah bebas biaya tahunan selamanya, pengguna akan menerima notifikasi dari Traveloka setiap ada transaksi dengan kartu kredit untuk mempermudah pemantauan.

Seperti kartu kredit kebanyakan, limit dapat digunakan untuk transaksi online dan offline di luar ekosistem Traveloka, termasuk belanja di luar negeri terutama yang sudah terhubung dengan Visa. Bunga yang diberikan adalah 2,25% per bulan dan tagihan dapat dibayar melalui aplikasi Traveloka.

Ada kenaikan limit kredit yang diterima pengguna ketika meng-upgrade ke kartu fisik. Besarannya tergantung penilaian profil risiko.

Manfaat kemitraan Traveloka antara BRI dan BNI memberi nilai tambah bahwa secara sistem, kualitas perusahaan teknologi dalam penilaian risiko sudah sesuai standar perbankan. Bank pun tidak perlu khawatir.

Di tengah ketatnya regulasi di perbankan, perusahaan teknologi bisa menjadi “kendaraan” mengatasi stagnannya pertumbuhan kartu kredit. Akan ada saatnya penetrasi kartu kredit meningkat dengan cara yang prudent.

Tren cobranding kartu kredit di luar negeri

Apa yang dilakukan Traveloka dengan BRI bukan barang baru bila melihat benchmark di luar negeri. Di Singapura, Grab bersama MasterCard membuat GrabPay Card. Di India, ada Amazon dan perusahaan OTA MakeMyTrip yang menggaet ICICI Bank. Lebih jauh, di Amerika Serikat ada Uber bersama Visa dan Apple bersama Goldman Sachs.

Tren ini diprediksi akan terus berlanjut. Sempat beredar kabar Visa dan Gojek sedang berkongsi untuk merilis PayLater.

Patut dipahami, di Indonesia kebiasaan menggunakan kartu kredit belum terbentuk. Kondisi yang sama juga terjadi di Tiongkok. Di sana kartu kredit kurang peminat, karena ada Alipay dan WeChat Pay yang lebih ramah buat mereka.

Hal ini  berbeda dengan Amerika Serikat dan Singapura. Penetrasi kartu kredit di sana sudah signifikan, sehingga strategi perusahaan teknologi untuk membuat kartu kredit jadi lebih masuk akal.

Menurut laporan PwC, strategi cobranding kartu kredit merupakan strategi win win, baik buat perusahaan dan issuer (bank penerbit). Dari sisi issuer, mereka akan mendapat akses ke basis pelanggan tersegmen, kenaikan rata-rata transaksi, menurunkan tingkat akun dorman, dan meningkatkan “stickiness” dengan konsumen.

Untuk mitra, mereka mendapatkan visibilitas brand yang lebih baik, kontribusi top dan bottom line lewat pendapatan bersama, dan meningkatkan loyalitas konsumen. Sementara untuk pemegang kartu, mereka mendapat penawaran khusus semacam diskon atau voucher, benefit film gratis, perjalanan, menginap, dan manfaat tambahan untuk asuransi, akses lounge, dan lain sebagainya.

Application Information Will Show Up Here