Tag Archives: Tri Indonesia

Hutchison 3 Indonesia menambah data center dan meluncurkan digital vending machine 3DigiBox sebagai salah satu bentuk transformasi digital / Hutchison 3 Indonesia

Transformasi Digital Hutchison 3 Indonesia di Masa Pandemi

PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) telah melakukan transformasi jaringan untuk bersiap menggelar 5G. Operator berlambang angka “3” ini juga secara paralel melakukan transformasi jaringan lainnya sebagai langkah antisipasi di masa pandemi Covid-19.

Melanjutkan wawancara sebelumnya dengan DailySocial, pada bagian kedua ini, Chief Technical Officer H3I Desmond Cheung kembali memaparkan tentang upaya perusahaan dalam mengimplementasikan solusi inovatif selama masa krisis kesehatan global ini.

Antisipasi lonjakan lalu lintas internet pada empat area utama

Di catatannya, H3I mengalami kenaikan trafik di jaringannya hingga 60% pada masa Ramadan dibandingkan hari normal. Sementara, mengutip data di 2020, trafik Tri melonjak 25% saat Lebaran dibandingkan awal pandemi di Februari. Kenaikan ini terutama terjadi pada lalu lintas internet mengingat 95% pelanggan Tri adalah pengguna smartphone. Faktor utamanya adalah karena kegiatan perkantoran dan belajar-mengajar dirumahkan sejak Maret tahun lalu.

Kenaikan signifikan trafik data banyak disumbang dari penggunaan aplikasi  sejak awal pandemi, seperti video conference untuk kerja dan sekolah dari rumah, aplikasi streaming untuk hiburan, dan media sosial.

Desmond menyadari adanya perubahan perilaku pengguna seluler mengingat lalu lintas trafik data mulai tersentralisasi di area residensial akibat pembatasan sosial. Dengan pola baru ini, pihaknya mengaku melakukan sejumlah langkah mitigasi untuk memastikan pengguna dapat terlayani dengan baik.

“Untuk memastikan kami dapat deliver layanan baik, kami terus melakukan inovasi sehingga dapat menyediakan kecepatan tinggi dan kapasitas lebih kepada pengguna yang kerja dan sekolah dari rumah,” ungkap Desmond.

Ada empat langkah transformasi digital yang menjadi fokus utama perusahaan. Pertama, Tri fokus untuk meningkatkan customer experience pengguna dengan mengadopsi arsitektur jaringan terdistribusi yang 5G-ready. Tujuannya adalah mendorong network intelligence dan kekuatan komputasi jaringan sedekat mungkin dengan pengguna Tri.

Pihaknya menambah data center baru di Malang pada akhir 2020 sebagai tambahan dari lebih dari 25 data center yang sudah beroperasi di seluruh Indonesia. Dengan tambahan ini, jaringan Tri dapat merespon lonjakan permintaan layanan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara lebih cepat.

Kedua, Tri memastikan untuk membuat jaringan mobile lebih stabil. Menurut Desmond, baru-baru ini pihaknya meluncurkan Digital Network Operation Center (DNOC) di Jakarta yang berfungsi untuk meningkatkan kestabilan jaringan. Fasilitas ini dibangun dengan sistem daya redundan dan standar reliablitas tinggi yang beroperasi selama 24/7.

Selain itu, DNOC juga diperkuat dengan solusi berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML) untuk memonitor, mengontrol, dan mengoperasikan jaringan di sejumlah area di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Ketiga, kami fokus menghadirkan cakupan jaringan yang luas dan ke wilayah pedalaman. Meski kami sudah meningkatkan pembangunan jaringan 4G hingga dua kali lipat sejak 2019, kami terus menambah cakupan jaringan selama pandemi. Beberapa di antaranya adalah pembangunan Cell on Wheels (COW) di sejumlah fasilitas Covid-19, termasuk rumah sakit dan Wisma Atlet,” jelasnya.

Keempat, perusahaan juga melakukan digitalisasi pada sejumlah customer touch point. Tri meluncurkan digital vending machine 3DigiBox untuk mempermudah customer membeli produk-produknya tanpa kontak fisik. Saat ini, 3DigiBox terdapat di 41 lokasi strategis termasuk bandara, mal, dan kampus.

Lebih lanjut, Tri juga mendistribusikan beberapa teknologi baru pada jaringannya, yaitu Dual-Band Massive MIMO untuk meningkatkan efisiensi penggunaan spektrum dan mendorong user experience dan Compact Active Antenna (CAA) untuk memperluas kapasitas jaringan.

“Teknologi ini ditempatkan terutama di wilayah perkotaan yang padat di mana trafik tinggi menjadi tantangan besar ketika kapasitas spektrum terbatas. Solusi ini menambah kapasitas jaringan kami hingga 25% dengan konsumsi lebih rendah 40% dibandingkan solusi yang sudah kami terapkan sebelumnya,” papar Desmond.

Terakhir, Tri juga memperluas kemampuan akses layanan bagi pengguna yang tinggal wilayah terpencil di Indonesia dengan membangun LTE Base Station melalui solusi Public Backhaul, seperti di area pertambangan besar di Morowali, Sulawesi Tengah.

Mendorong segmen korporat

Di luar pembangunan jaringan dan penambahan kapasitas untuk pengguna retail, Desmond juga menyoroti fokus lainnya di segmen korporat (B2B). Ia menyebut akan memperkuat bisnis solusi untuk SME dan perusahaan berskala besar.

Selama beberapa tahun terakhir, Tri mulai gencar menawarkan solusi 3Business bagi pengguna korporat yang ingin bertransformasi digital dan mencapai efisiensi bisnis. 3Business menawarkan solusi TIK bagi sektor retail yang ingin meningkatkan produktivitas dan menjaga efisiensi biaya operasional.

Tahun lalu, Tri telah berkolaborasi dengan platform penyedia solusi IoT untuk menunjang sektor bisnis dan profesional. Kemudian, Tri juga bermitra dengan layanan manajemen IoT terintegrasi yang berfungsi untuk mengontrol dan melacak perangkat IoT dan aset secara real-time.

Desmond juga menyebut, pihaknya juga menyediakan solusi SD-WAN-based solution untuk FamilyMart di mana mitranya dapat menyederhanakan dan mengotomatisasi manajemen jaringan WAN dan operasional. Dengan solusi ini, FamilyMart disebut dapat memperluas gerai tokonya dalam hitungan hari dibandingkan sebelumnya yang membutuhkan waktu berminggu-minggu.

“Saat ini, kami menjadi mobile network ketiga terbesar di Indonesia. Kontribusi pendapatan H3I dari korporat juga naik dua kali lipat. Kemudian, jaringan kami sekarang semakin kuat dan lebih luas sehingga kami sekarang dapat meningkatkan jumlah pengguna kami dari consumer ke corporate.

Chief Technical Officer Hutchison 3 Indonesia Desmond Cheung / H3I

Agresif Ekspansi dan Transformasi Jaringan, Hutchison 3 Indonesia Bersiap Gelar 5G

Di paparan studi ITB tahun lalu, layanan 5G diperkirakan komersial secara penuh paling cepat pada akhir 2021. Salah satu operator memang telah meluncurkan layanan 5G baru-baru ini, tetapi penggunaannya masih terbatas pada cakupan kota dan perangkat tertentu.

Pemerintah juga sebetulnya masih memiliki banyak PR untuk mengakomodasi kebutuhan operator telekomunikasi dalam menggelar 5G. Sembari menanti hal ini terealisasi, operator sudah mulai mempersiapkan infrastruktur jaringannya untuk menyambut teknologi telekomunikasi generasi kelima tersebut.

Di antaranya adalah PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) yang tengah mentransformasikan jaringannya selama beberapa tahun terakhir. Chief Technical Officer H3I Desmond Cheung memamparkan rencana ekspansi jaringan dan pandangan lebih dalam terkait 5G secara eksklusif dengan DailySocial.

Ekspansi jaringan berkelanjutan

Meski telah komersial sejak 2014, penetrasi 4G baru mencapai 73% pada 2019 sebagaimana dilaporkan Katadata. Kondisi geografis Indonesia masih menjadi salah satu tantangan terbesar. Namun, operator telekomunikasi harus dapat memenuhi kebutuhan jaringan seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna smartphone. Kemkominfo mencatat penetrasi smartphone mencapai 89% atau 167 juta dari total populasi Indonesia.

Desmond mengungkapkan, sejak 2019 pihaknya telah menambah jaringan 4G hingga dua kali lipat. Penambahan ini sudah termasuk perluasan cakupan jaringan ke wilayah luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah. Bahkan baru-baru ini, H3I juga menambah lebih dari 200 hotspot di Jabodetabek, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara.

Awal tahun ini, ungkapnya, H3I telah mengomersialisasikan jaringan seluler di Sulawesi Tengah yang disebut dapat menjangkau sebanyak 1,5 juta populasi di lima kota dan kabupaten, seperti Palu, Sigi, Donggala, Parigi, Moutong, dan Poso. Saat ini, pihaknya tengah fokus menyelesaikan rollout jaringan 4G di 70 desa pada akhir Oktober.

H3I telah menjangkau sebanyak 80% dari total populasi Indonesia. Per Desember 2020, H3I tercatat sudah membangun lebih dari 44.000 BTS 4G di seluruh Indonesia. Sementara, per Maret 2021 H3I telah memiliki sebanyak 39,8 juta pengguna.

“Kami terus mengembangkan BTS 4G untuk menyediakan konektivitas broadband di daerah terpencil dan kepulauan Indonesia. Ini adalah salah satu komitmen kami mendukung program pemerintah untuk mengakselerasi transformasi digital di daerah 3T. Kami akan terus memperkuat kapasitas jaringan kami di daerah dense dan yang memiliki trafik tinggi,” jelasnya.

Transformasi jaringan untuk kesiapan 5G

Meski belum ada ketok palu mengenai penetapan frekuensi 5G dan aturan turunannya, operator sudah mulai melakukan mentransformasikan infrastruktur jaringannya. Desmond mengungkap bahwa H3I juga telah melakukan transformasi besar-besaran sembari menanti komersialisasi 5G secara serentak.

“Kami melakukan peningkatan jaringan pada Core, lalu mentransformasikan jaringan PS Core ke Control and User Plane Separation (CUPS) pada arsitektur jaringan terdistribusi kami. Transformasi ini dilakukan untuk lebih jauh memperpendek latensi 5G,” jelasnya.

Selain itu, pihaknya juga melakukan transformasi pada jaringan Transport dengan Segment Routing IPv6. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan jaringan protokol, mengotomatisasi ketersediaan layanan, hingga meningkatkan konsistensi jaringan sehingga dapat memenuhi permintaan kapasitas tinggi di 5G sebagai Ultra-Reliable Low Latency Services (URLLC).

Menurut Desmond, pihaknya berupaya secara efisien untuk melayani permintaan layanan data dengan ketersediaan spektrum saat ini. Pihaknya mengoptimalkan spektrum yang ada untuk meningkatkan kapasitas jaringan. Desmond mengklaim H3I sebagai operator seluler yang memiliki tingkat efisiensi penggunaan spektrum tertinggi dibanding operator seluler lainnya di Indonesia.

Hanya saja, spektrum yang ada belum cukup untuk menggelar 5G. Untuk dapat memberikan kecepatan data 5G, teknologi ini membutuhkan bandwith lebih besar dari spektrum baru. Maka itu, ketersediaan spektrum 5G baru, terutama di 3.500MHz yang dipilih sebagai frekuensi emas, sangat penting untuk mempercepat pengembangan 5G di Indonesia

“Sebelum frekuensi emas ini mendapatkan lisensi resmi untuk 5G, kami akan terus mentransformasikan jaringan kami untuk kesiapan 5G sehingga nantinya akan menjadi salah satu operator yang lebih dulu memimpin penyelenggaraan 5G,” papar Desmond.

Dukungan pemerintah pada penyelenggaraan 5G

Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, 5G diyakini dapat mentransformasikan berbagai aspek kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari, bisnis, hingga cara industri beroperasi. Hal ini karena teknologi 5G mampu menghubungkan jutaan perangkat dengan kecepatan tinggi dan latensi rendah yang dimilikinya.

Desmond menilai operator seluler punya peluang untuk menghadirkan Enhanced Mobile Broadband (eMBB) untuk pasar consumer. Bentuk pemanfaatannya, misalnya, adalah layanan VR/AR dan video streaming 8K. Dengan berbagai use case ini, operator dapat menghasilkan sumber pendapatan baru dari segmen pasar baru, yaitu korporat dan industrial.

“5G akan menjadi enabler bagi sektor manufaktur, kesehatan, agrikultur, atau pendidikan. Tak hanya itu, 5G dapat dimanfaatkan untuk mengadopsi smart city di ranah transportasi, keamanan publik, dan pelayanan publik. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, jarak menjadi tantangan besar dan 5G bisa mengatasi tantangan itu,” jelasnya.

Kendati demikian, dari segala asas manfaat yang diberikan, tak dimungkiri implementasi 5G membutuhkan banyak pertimbangan. Pertama, soal besarnya investasi yang dikeluarkan. Menurutnya, banyak infrastruktur jaringan yang harus dibangun dan beberapa elemen jaringan harus di-upgrade. Maka itu, menurunkan elemen pada biaya pembangunan akan membantu operator telekomunikasi untuk mengakselerasi pembangunan 5G.

“Pemerintah punya peran besar untuk mengatasi isu ini. Melalui UU Cipta Kerja, dan ini adalah regulasi turunan, pemerintah telah memberikan dukungan untuk menciptakan efisiensi di industri telekomunikasi. Regulasi ini dapat mengizinkan berbagi jaringan di antara operator seluler, termasuk berbagi infrastruktur pasif dan aktif, serta transfer spektrum,” ujar Desmond.

Selain UU Cipta Kerja, Desmond juga menilai bahwa pemerintah sebetulnya dapat membantu lebih banyak memfasilitasi operator seluler dan industri dalam memahami kebutuhan pasar 5G. Menurutnya, upaya ini akan sangat dibutuhkan alih-alih cenderung banyak mempromosikan 5G dengan berbagai use case bermanfaat, seperti telemedicine atau smart farming.

“Demi membantu industri seluler melakukan kick start di 5G, pemerintah mungkin dapat mempertimbangkan untuk menurunkan biaya spektrum 5G. Hal ini terutama pada tahap awal selama beberapa tahun ke depan ketika demand 5G belum besar. 5G akan membutuhkan peningkatan signifikan pada kapasitas transport dan aspek infrastruktur jaringan lainnya. Artinya, license fee mungkin dapat diubah tanpa membebankan industri,” tambahnya.

Belum lagi bicara kesiapan kesiapan ekosistem yang menjadi kunci utama untuk membuat 5G lebih accessible untuk siapapun, baik consumer maupun enterprise. Ekosistem 5G akan selalu dikaitkan pada ketersediaan perangkat dan aplikasi untuk penggunaan berbagai macam use case. Desmond menekankan pentingnya kerja sama dari para pemangku kepentingan di berbagai level dan lintas industri untuk mengawal pengembangan ekosistem 5G dari awal.

“Tak cuma operator dan dukungan pemerintah, pengembangan 5G butuh kerja sama yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pabrik manufaktur perangkat, pengembang software, hingga penyedia konten. Pemerintah sudah meletakkan pondasi yang bagus untuk mengakselerasi pengembangan infrastruktur broadband. Kami yakin ini dapat menekan gap digital dan konektivitas di Indonesia.”

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Korporasi ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital dengan strategi beragam

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

Kantor Tri Indonesia menerapkan gaya "casual working" dan "open collaboration"

DStour #72: Berkunjung ke Kantor Tri Indonesia

Menempati kantor di gedung Menara Mulia sejak tahun 2006, kantor Tri Indonesia menempati enam lantai dan mengedepankan konsep open collaboration dan casual working.

Tidak menempatkan banyak play room dan lounge room, manajemen Tri Indonesia membebaskan pegawai untuk menuangkan hobi musik, kuliner, olah raga dan masih banyak lagi memanfaatkan fasilitas kantor. Dipandu Directoor Human Resources Tri Indonesia Wahyudin Adikusumah, berikut liputan #DStour selengkapnya.

Tri management board in the launching of Keep On / DailySocial

Tri Indonesia Discontinues E-Money Development

Following the submission of an application for e-money license to Bank Indonesia, Tri Indonesia decides to stop pursuing its development. The decision is corroborated by Dolly Susanto, Tri Indonesia’s Chief Commercial Officer, in the grand launching of “Keep On” internet plan in Jakarta.

“Previously, we’ve prepared to launch e-money service, but since the issuance of Bank Indonesia’s new regulation three weeks ago which requires 51% license owned by the local company, the plan should be discontinued.”

Tri is majority owned (65%) by Hutchison Whampoa and the rest belongs to PT Tiga Telekomunikasi as the local investor.

The e-money platform that was going to be developed by Tri is part of business expansion to enhance &Co marketplace and Bima+ platform. Using e-money based scheme, Tri expects to develop that payment option.

“Although the plan is discontinued, it’s still possible for Tri to collaborate with relevant partners and, of course, already owned a license,” he said.

Carrier billing

Tri also announces partnerships with a popular music and video streaming app in Indonesia. They are JOOX, Spotify, Viu, HOOQ, Mobile Legends, Deezer, and Google Play. As additional options for users, Tri also provides carrier billing.

“Indeed, we previously announce partnerships with Keep On (internet plan) of Tri. All those options are [still] all available for Tri users,” he added.

According to the data compilation, 70% of Tri’s internet consumption are for video streaming, and 30% are for music streaming.

“We also record the increase of mobile games using Tri’s network. Aside from using Bima+, users can also buy games directly from Google Play,” Susanto mentioned.

Tri claims currently has 33 million users, 80% of those are millennials.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Under New Management, Here’s Deezer Strategy in Indonesia

Deezer has announced a strategic partnership with Tri Indonesia in January. This is following several other collaboration between on-demand music service and telco providers, like Spotify with Indosat Ooredoo, JOOX and Telkomsel, or Yonder Music with XL Axiata.

Deezer was first to set foot in Indonesia in 2012 and debuted in 2014. Unfortunately, the France-based music provider is not having a significant penetration. However, under the new management, Deezer is convinced to compete with the existing players and has prepared various strategies to be applied in Indonesia.

“New management, new approach. Indonesia has many music lovers with unique taste. The new management has seen the successful expansion of Deezer’s local approach in Latin America and wanted to follow its step in Asia Pacific. Indonesia is the first attempt in Asia Pacific using local approach strategy with Jakarta-based staffs,” Deezer Indonesia’s Business Development Manager Salman Aditya said to DailySocial.

To attract user’s attention, Salman explained that the new Deezer comes with unique selling point like FLOW feature. It is a combination of Human Curated Playlist and Machine Learning Mechanism that allows users to enjoy Deezer with layback experience fit to their favorite genre. With just one click, users will get music recommendation matching their favorite genres.

“Deezer as an old newcomer in Indonesia needs distinction from similar competitors. Besides the above feature, Deezer also has music library with the best quality and access to 44 million songs. In addition, Deezer also partners with FC Barcelona and Manchester United allowing users to enjoy playlist of the match or the players’,” Salman said.

Another feature differs Deezer from others is SongCatcher and will be fully integrated in this year’s first quarter. For the sound quality, Deezer claims to be the only player having tier quality equal to CD in FLAC Lossless Quality format with packaging called Deezer HiFi.

“Deezer Indonesia is keen to develop Indonesia’s local content globally. The team is currently on the move to put more of local content on the platform. Any local content we have in mind is still off the record due to the agreement finishing,” Aditya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Strategi Deezer di Indonesia dengan Manajemen Baru

Akhir Januari lalu Deezer mengumumkan kemitraan strategisnya dengan Tri Indonesia. Kerja sama seperti ini bukan hal baru. Penyedia layanan musik on-demand dengan provider telekomunikasi lain terlebih dulu melakukan debut tersebut, seperti Spotify dengan Indosat Ooredoo, JOOX dengan Telkomsel, atau Yonder Music dengan XL Axiata.

Sebenarnya Deezer sendiri sudah lama menginjakkan kaki di Indonesia, tepatnya sejak tahun 2012 lalu dan meresmikan debutnya di tahun 2014. Sayangnya, penetrasi layanan musik asal Prancis tersebut hingga kini belum signifikan. Kendati demikian, dengan manajemen baru saat ini, pihak Deezer yakin dapat bersaing dengan pemain yang sudah ada dan tengah menyiapkan beragam strategi untuk diaplikasikan di Indonesia.

“Manajemen baru, pendekatan yang baru pula. Indonesia memiliki masyarakat penikmat musik yang unik dengan jumlah yang sangat besar. Manajemen baru melihat kesuksesan ekspansi pendekatan lokal Deezer di Amerika Latin dan ingin mereplikasi kesuksesan ini di Asia Pasifik. Indonesia adalah pintu pertama di kawasan Asia Pasifik dengan strategi pendekatan lokal menggunakan tenaga tim lokal yang berbasis di Jakarta,” ujar Business Development Manager Deezer Indonesia Salman Aditya kepada DailySocial.

Untuk mendapatkan perhatian konsumen, Salman menjelaskan bahwa Deezer yang baru hadir dengan sebuah unique selling point, yakni berupa fitur FLOW. Fitur ini adalah gabungan Human Curated Playlist dan Machine Learning Mechanism yang memungkinkan pengguna menikmati Deezer dengan lay back experience, sesuai dengan genre kesukaan mereka. Hanya dengan satu kali klik, pengguna akan mendapatkan rekomendasi musik sesuai dengan genre kesukaan mereka.

“Deezer sebagai pemain lama tapi baru di Indonesia tentunya perlu memiliki diferensiasi dari aplikasi kompetitor sejenis di Indonesia. Selain fitur tadi, Deezer juga memiliki library musik dengan kualitas terbaik dan terbesar dibanding kompetitor yaitu sejumlah 44 juta lagu. Selain itu Deezer memiliki kerja sama dengan FC Barcelona dan Manchester United yang memungkinkan user menikmati playlist pertandingan dan playlist dari para pemain FC Barcelona dan Manchester United,” imbuh Salman.

Diferensiasi lainnya, fitur SongCatcher akan terintegrasi secara penuh dengan Deezer pada akhir kuartal pertama tahun ini. Dari segi kualitas suara, Deezer juga mengklaim menjadi satu-satunya pemain di Indonesia yang memiliki produk tier kualitas setara CD dengan format FLAC Lossless Quality dengan packaging bernama Deezer HiFi.

“Tim Deezer Indonesia juga berkeinginan untuk mengembangkan konten lokal Indonesia ke dunia internasional. Saat ini tim Deezer di Indonesia sedang bergerak untuk mendapatkan lebih banyak konten lokal untuk dapat dinikmati di platform Deezer. Konten lokal seperti apa yang kami maksud? Masih off the record karena sedang tahap finalisasi agreement,” pungkas Salman.

Application Information Will Show Up Here

Siasat Tri Masuk ke Bisnis Digital Lewat Aplikasi Bima+

Dalam berbisnis, selalu ada pemain yang memilih langkah mundur atau terus maju. Operator GSM Hutchison 3 Indonesia (Tri) bisa dikatakan sebagai pemain termuda yang terjun ke bisnis digital dibandingkan operator lainnya.

Tri menandakan partisipasinya di bisnis digital pada tahun lalu saat menggelar Festival Ambisiku, yang sifatnya lebih ke arah offline. Kemudian, meresmikan kehadirannya pada bulan lalu lewat peluncuran aplikasi Bima+.

Langkah Tri tidak bisa dikatakan terlambat, sebab bisa menjadi keuntungan bagi perusahaan untuk mempelajari keadaan pasar agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Semuanya kembali ke strategi yang dilakukan tiap perusahaan. Seolah tidak ingin ikut “nyemplung” ke kolam yang sama, Tri memilih strategi yang sedikit “berbelok” dalam implementasinya di bisnis digital.

Dikutip dari DetikInet, aplikasi Bima+ diklaim sudah diunduh lebih dari 250 ribu kali pada dua minggu setelah peluncuran di Mei 2017. Dari angka tersebut, 75% diantaranya adalah pengguna aktif. Sementara ini, Bima+ baru bisa dipakai oleh pengguna Android.

[Baca juga: XL Axiata Pasang “Rambu Kuning” untuk Bisnis Digital dan Indosat Ooredoo Pilih Kembali ke Khitah, Divisi Bisnis Digital Dikurangi]

Saat ditemui DailySocial, perwakilan Tri, Sudheer Chawla (Head of VAS & Digital Services) dan Fahroni Arifin (Head of Brand Communication), banyak membeberkan bagaimana tingkat persaingan bisnis digital diantara pemain operator dan keseriusan komitmen perusahaan terjun di divisi ini untuk jangka waktu panjang.

Sudheer mengatakan pendekatan tahap awal yang dilakukan Tri saat terjun ke bisnis digital ini bukan langsung menjual produk, melainkan showcasing. Milenial dapat menggunakan Bima+ untuk menunjukkan keahlian atau produk kreatifnya ke seluruh pengguna Tri dan non Tri yang mengunduh aplikasi.

Dari situ dapat menggiring terjadinya kolaborasi, tidak hanya sekadar proses transaksi jual beli. Pihaknya lebih menyukai penyebutan Bima+ sebagai panggung digital dan creative hub, tidak seperti marketplace atau layanan e-commerce pada umumnya.

“Kami tidak mau mengikuti apa yang orang lain lakukan. Pendekatan kami ambil lebih berbeda. Sebab mereka [operator lainnya] adalah pemain besar yang sudah memiliki pangsa pasar. Kami pikir untuk terjun ke kolam yang sama bukanlah hal terbaik untuk dilakukan pada saat ini,” katanya.

Dia melanjutkan, “Lagipula, waktu sekarang sudah berubah sehingga mempengaruhi demand, suplai, dan ekspektasi. Pada akhirnya, kami mungkin akan melakukan yang sama yakni transaksi jual beli. Tapi kami lebih menginginkan milenial untuk tampil, menunjukkan kemampuan mereka, bantu kami [beri masukan], dan kami akan bantu mereka [beri panggung di Bima+].”

Mendukung pernyataan Sudheer, Fahroni mengungkapkan sejauh ini Tri belum melihat bisnis digital sebagai alat bisnis yang memperhitungkan untung rugi. Perusahaan lebih mengejar bagaimana melayani pengguna dengan service terbaik.

“Kami spirit-nya berbeda. Meski pada akhirnya ini adalah bisnis, ketika niat awalnya berbeda maka apa yang dilakukan ke depannya juga akan berbeda,” katanya.

Dia mengklaim sebulan pasca aplikasi ini diluncurkan sudah menciptakan pendapatan meski belum besar bagi perusahaan. Konten berbayar yang paling laku terjual di antaranya musik, film, dan aplikasi. Konten ini dapat dibeli dengan potong pulsa khusus untuk pengguna Tri. Sementara untuk pengguna non Tri dapat memakai alternatif pembayaran seperti internet banking dan kartu kredit.

Konten lainnya yang terdapat di aplikasi dan dapat diakses non pengguna Tri adalah &Co, sebuah creative hub yang menampilkan produk kreatif terkurasi. Adapun total brand lokal yang terpampang di &Co diklaim mencapai lebih dari 400 brand.

&Co belum menyediakan fasilitas transaksi jual beli yang terintegrasi. Untuk membeli produk, pengguna sementara ini akan dibawa ke situs masing-masing produk atau media sosial dan melakukan pembelian secara manual.

“Saat ini untuk &Co masih fokus untuk showcasing. Kami belum sediakan jual beli di dalamnya. Yang terpenting bagaimana mereka bisa ada di dalam terlebih dulu, lalu menunjukkan kualitasnya untuk jangkau calon konsumen. Ini terlihat kan bagaimana treatment awal kami, tidak langsung berjualan untuk mendapat pendapatan.”

Inisiatif baru

Tidak berhenti di sini, Tri akan terus mengembangkan peningkatan layanan Bima+ berikutnya. Targetnya Tri ingin mengintegrasikan seluruh layanannya di dalam Bima+, seperti sistem pembayarannya atau lainnya. Hanya saja, Fahroni enggan membeberkan lebih detil akan seperti apa realisasinya dan kapan akan diluncurkan.

Menurutnya perusahaan harus berhati-hati dalam meluncurkan suatu inisiatif baru agar fungsinya tidak seperti layanan e-commerce pada umumnya. Di tambah inisiasi Bima+ dan &Co adalah kali pertamanya dilakukan Tri Indonesia dan belum pernah diterapkan Tri lainnya di seluruh dunia.

“Sebab tujuan yang ingin dipahami oleh pasar adalah Tri empower anak muda, bukan Tri buat e-commerce. Semoga bentuk integrasi yang kami maksud, tidak lama lagi meluncur. Yang terpenting, bagaimana mewujudkan solusi dari masalah yang dihadapi milenial.”

Untuk menjaring lebih banyak produk kreatif dan berkualitas di dalam &Co, perusahaan juga melakukan gerilya ke berbagai pelosok Indonesia. Pengusaha yang diajak Tri pun bukanlah distributor yang menjadi perpanjangan tangan dari produsen. Produk yang dihasilkan adalah hasil kreativitas sendiri dan orisinal.

Terkait investasi dan realisasi kucuran dana yang sudah dikucurkan Tri untuk Bima+, Fahroni enggan membeberkannya.

“Kami akan pastikan produk terkurasi dengan baik, yang terpenting adalah kualitas produk bukan kuantitasnya. Kami ingin jadikan &Co sebagai tempat orang-orang mencari produk terbaik, yang selama ini sulit ditemukan ketika harus mencari di platform media sosial lainnya,” pungkas Fahroni.

Application Information Will Show Up Here

Tri Luncurkan Aplikasi bima+ sebagai “Creative Hub” Pelaku Industri Kreatif

Industri kreatif Indonesia sekarang mulai banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Tri Indonesia. Dalam rangka mendukung pemberdayaan generasi muda, perusahaan pengusung operator seluler tersebut menghadirkan sebuah aplikasi digital bima+ sebagai panggung digital dan creative hub untuk berkarya.

“Kami percaya Indonesia memiliki  sumber daya yang luar biasa, yaitu kreativitas anak bangsa yang tidak akan habis nilainya. Mereka kreatif, berbakat dan mempunyai keinginan kuat untuk menunjukkan karya mereka hingga ke tingkat global,” ujar Presiden Direktur Tri Indonesia Randeep Singh Sekhon.

Kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Triawan Munaf yang turut hadir dalam acara peluncurannya aplikasi mengungkapkan apresiasinya terhadap Tri yang telah menyediakan wadah baru untuk mempromosikan produk kreatif anak bangsa.

“Apresiasi kami untuk Tri yang telah menyediakan wadah baru untuk mempromosikan produk kreatif anak bangsa. Wadah promosi sangat diperlukan bagi para pelaku industri kreatif. Kami juga mengajak banyak korporasi untuk mendukung pertumbuhan industri kreatif Indonesia, salah satu nya seperti yang dilakukan Tri saat ini,” ujar Triawan .

Tri melalui peluncuran aplikasi creative hub ini mengajak semua masyarakat Indonesia yang memiliki talenta dan kreasi di industri kreatif mulai dari musik, film, game, fesyen, desain, dan ragam produk kreatif lainnya untuk bergabung di bima+ untuk terhubung dengan 56,8 juta pelanggan Tri dan pengguna operator seluler lainnya di seluruh Indonesia.

“Pelanggan Tri mayoritas millennial dan konsumen data, baik 3G maupun 4G.  Mereka menggemari berbagai konten streaming termasuk juga belanja online.  Kami berharap bima+ bisa menghubungkan seluruh anak muda di Indonesia dengan semua karya anak bangsa,” ujar Chief Commercial Officer Tri Indonesia Dolly Susanto.

Dolly juga menambahkan melalui aplikasi bima+ masyarakat bisa menemukan keseruan dalam menikmati streaming beragam jenis film, musik dan game yang telah terkurasi, juga beragam konten lainnya lengkap dengan layanan chat room yang telah disediakan.

“Hadirnya bima+ diharapkan dapat menjadi satu wadah buat seluruh anak bangsa untuk  semakin terhubung dalam satu creative hub di satu virtual mall.  Sehingga jutaan ambisi anak bangsa, dapat terus terwujud. Ini adalah komitmen kami untuk mewujudkannya,” tutup Dolly.

Application Information Will Show Up Here