Tag Archives: Tumbasin

Startup e-grocery Tumbasin mengumumkan tutup, berhenti beroperasi sejak 2 Mei 2023 sudah berdiri sejak 2017 di Semarang

Startup E-grocery Tumbasin Berhenti Beroperasi

Startup e-grocery Tumbasin mengumumkan tutup, berhenti beroperasi sejak 2 Mei 2023. Kabar ini pertama kali diumumkan melalui akun media sosialnya.

“Terima kasih sudah bersama menggerakkan pasar tradisional dengan memilih belanja melalui Tumbasin. Kini saatnya Tumbasin pamit dan berharap semoga seluruh pelanggan setia Tumbasin tetap melestarikan budaya belanja dari pasar tradisional,” tulis perusahaan.

Bersamaan dengan itu, perusahaan menyampaikan seluruh operasional Tumbasin, termasuk situs dan aplikasi akan berhenti beroperasi.

Lebih lanjut mengutip dari unggahan CEO Tumbasin Bayu Saubig di LinkedIn, ia menyampaikan, “Saya ingin berbagi beberapa berita yang sulit dan disesalkan. Setelah perjuangan panjang, perusahaan kami menghadapi tantangan keuangan yang tidak dapat diatasi. Dengan berat hati, kami harus mengumumkan bahwa perusahaan kami akan mengajukan kebangkrutan.”

Dia melanjutkan, “Di saat-saat seperti ini, sangat menantang untuk menemukan kata yang tepat. Namun, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak eksternal yang telah bekerja dengan perusahaan kami selama ini.”

Tumbasin yang berbasis di Semarang ini sudah hadir sejak 2017. Konsep yang diusung adalah menghubungkan pedagang pasar tradisional dan menjualkan barang dagangan mereka kepada pengguna lewat aplikasi. Nantinya kurir Tumbasin, yang akan mengantarkan pesanan kepada konsumen.

Dalam wawancara terakhir di 2020, Tumbasin telah hadir di Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Makassar. Model sejenis juga ditawarkan oleh Titipku yang kini masih beroperasi dan masuk ke B2B dengan menyasar ke segmen horeka karena dianggap lebih stabil prospeknya.

Dirikan koperasi

Setahun sebelum mengumumkan kabar tersebut, para pendiri Tumbasin sebelumnya mendirikan koperasi simpan pinjam (KSP) di kota yang sama pada Februari 2022, bernama KSP Sitrama (Sinergi Mitra Bersama).

Dalam situsnya, M. Fuad Hasbi, Bayu Saubig, dan Triasworo Mituhu Subekti bergabung sebagai pengurus dan pengawas di koperasi tersebut.

KSP Sitrama itu sendiri adalah koperasi yang berfokus pada penyediaan dana bagi pedagang pasar dan UMKM dengan sistem ekonomi bersama. Dipaparkan, telah merangkul 73 anggota, dana simpanan Rp1,2 miliar sepanjang 2021-2022, dan menyalurkan pendanaan kepada pedagang sebesar Rp820 juta dalam kurun waktu yang sama.

Ada tiga produk keuangan yang ditawarkan. Pertama, pinjaman bagi hasil dengan limit Rp10 juta untuk pedagang dengan sistem bagi hasil harian selama 100-180 hari. Kedua, pinjaman modal usaha dengan limit yang sama dengan pembagian keuntungan bulanan dan pembayaran pokok di akhir selama 3 bulan-12 bulan.

Terakhir, simpanan berjangka dengan jangka waktu 6, 12, 18 bulan dengan imbal hasil 12%-18% flat per tahun. Besaran simpanan pokok sebesar Rp100 ribu, sementara simpanan wajib sebesar Rp30 ribu.

Menurut cerita beberapa startup daerah yang tidak berbasis di Jakarta, kehadiran di ibukota menjadi penting untuk menjangkau lebih banyak pengguna

Sekelumit Cerita Startup Daerah: Dampak Pandemi dan Pentingnya Merantau Ke Jakarta

Pandemi memberikan efek berbeda bagi setiap startup. Ada yang mendulang keuntungan, ada juga yang kehabisan bahan bakar hingga akhirnya harus menutup layanannya. Saya mencoba menggali cerita dengan lima startup yang berdomisili di luar Jabodetabek tentang bagaimana bisnis mereka terdampak pandemi, dan urgensi memasuki Jabodetabek sebagai pusat ekosistem startup di Indonesia.

SimpliDots, startup asal Medan yang menyediakan solusi berbasis cloud untuk pengelolaan distributor dan retailer, mengaku meski terdampak mereka tetap bisa menjalankan operasi dengan melakukan beberapa penyesuaian operasional, termasuk kebijakan work from home.

CEO SimpliDots Jowan Kosasih menceritakan, bisnis mereka mengalami peningkatan. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan jumlah pengusaha yang mulai melek terhadap implementasi teknologi digital.

“Pertama, sejak pandemi melanda, kami menyusun beberapa skenario dari yang terbaik sampai yang terburuk, dan bagaimana kita tetap bisa berekspansi tapi juga tetap menjaga runway minimal 18 bulan selama pandemi ini. Kedua, kami melakukan evaluasi dan penyesuaian untuk produk kita, dan mencari peluang baru dengan adanya perubahan perilaku karena pandemi ini. Ketiga, tim kami yang sebelumnya agak skeptis terhadap kerja remote, sekarang menyadari bahwa bekerja secara remote juga banyak dampak positifnya,” cerita Jowan. 

Sementara itu dari segi bisnis, banyak yang cenderung wait and see. SimpliDots juga menjadi lebih hati-hati dalam hal spending. Menurut Jowan, fund raising relatif lebih sulit sekarang ini.

Selain itu juga karena pandemi ini pengembangan tim field sales jadi terhambat karena kita tidak bisa melakukan travel dan tidak bisa berjumpa langsung dengan client,” imbuh Jowan. 

Sementara itu, startup asal Yogyakarta, Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), cukup merasakan dampak pandemi dan mulai mencoba membuka lini bisnis baru. Startup yang menawarkan solusi IoT untuk pertanian dan perikanan ini praktis tidak melakukan pemasangan sensor di lokasi-lokasi baru.

Beberapa kegiatan untuk proyek di daerah dengan kementerian dan lembaga juga terhenti, pelatihan penggunaan teknolgi dan aplikasi dengan penyuluh pertanian, petugas lapangan dan petani pun harus disesuaikan dan diselenggarakan secara online.

“Baru mulai kembali minggu ini dengan Bank Indonesia kami memasang dua sensor di Tegal dan Nganjuk untuk klaster bawang merah dan bawang putih, dan akan ada 8 lokasi baru lagi yang akan menjadi lokasi tujuan pemasangan sensor,” terang Chief Marketing Officer MSMB Ari Aji Cahyono.

Kendati demikian, melalui produk RiTxMarket, MSMB berusaha membuka perluang baru dengan menjual komoditas hasil tani. RiTxMarket yang semula hanya disiapkan untuk konsumen B2B mulai dibuka untuk pengguna rumahan sehingga bisa menjangkau lebih banyak pengguna.

“Jadi, kami menyuplai kebutuhan bahan baku untuk rumah makan, catering, dan sebagainya. Namun, karena pandemi, mulai pertengahan Maret kami juga menyasar hingga konsumen rumah tangga. Meski hanya beroperasi di wilayah Yogyakarta, ternyata permintaan cukup tinggi untuk penjualan paket-paket sayuran dan komoditas lainnya. Bahkan, kami pun jadi memperluas wilayah dan membuka cabang di Solo untuk komoditas buah-buahan,” jelas Ari.

Situasi pandemi juga membawa efek positif bagi bisnis Tumbasin. Startup yang bermarkas di Semarang itu mengklaim berhasil mendapatkan pertumbuhan bisnis yang cukup signifikan dengan 1000 pengguna harian dengan 14.000 pengguna aktif.

Startup yang mulai dirintis sejak tahun 2017 ini memang sejak awal berfokus pada menghubungkan pengguna dengan pasar tradisional. Di tengah himbauan jaga jarak dan pembatasan kerumunan model bisnis Tumbasin mulai menemukan potensi pengguna yang cukup besar.

“‌Sejak pandemi kami mengalami pertumbuhan hingga 6 kali lipat,” jelas Co-founder Tumbasin Muhammad.

Kondisi saat ini juga tak menghalangi startup Surabaya Riliv untuk terus berinovasi. Co-founder Riliv Audrey Maximillian Herli menceritakan bahwa mereka meluncurkan Riliv Hening, sebuah layanan meditasi online yang diharapkan mampu mencegah stres dan membuat pengguna lebih mindful.

Sementara itu, model bisnis (Software as a Services) SaaS berbasis chatbot membawa Botika mendapatkan peningkatkan permintaan. Startup yang lahir di Yogyakarta ini mengklaim mendapatkan permintaan yang semakin naik dan berlipat setelah pandemi, karena digitalisasi perusahaan juga semakin lazim.

Botika saat ini tengah fokus pada pengembangan teknologi kecerdasan buatan yang diaplikasikan pada komunikasi antara manusia dan mesin, baik secara tekstual maupun suara, terutama untuk Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan bahasa lainnya.

“Setelah meluncurkan smart speaker Bahasa Indonesia pertama bersama Widya, Botika dalam waktu dekat akan meluncurkan produk voicebot yang terhubung dengan saluran telepon, sehingga perusahaan dapat menerima dan melakukan panggilan suara melalui telepon secara otomatis untuk keperluan customer service, informasi, reminder dan penagihan,” terang Erikuncoro.

Pentingnya merantau ke Jabodetabek

Foto Jakarta / Pixabay
Foto Jakarta / Pixabay

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan Startup Gnome, Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan ekosistem terbaik, hanyak kalah dari Mumbai, India. Jakarta beserta kota-kota yang berada di sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi episentrum ekosistem startup di Indonesia.

Dua startup berbasis SaaS di luar Jabodetabek yang saya hubungi, SimpliDots dan Botika, sepakat bahwa semua tergantung produk dan model bisnis. “Merantau” ke kota besar di Jabodetabek merupakan salah satu bagian dari strategi bisnis, tapi juga harus diperhitungkan dengan matang.

“Pada dasarnya, bisnis model SaaS  terbagi dua yaitu low touch (tidak membutuhkan banyak service dan support) dan high touch (sebaliknya). Untuk yang low touch sebenarnya tidak terlalu membutuhkan kantor fisik yang dekat dengan clients sepanjang users bisa self sign-up, self on-boarding dengan mudah.[…] Perusahaan juga sebenarnya masih cenderung untuk lebih memilih provider yang lebih dekat karena lebih mudah apabila memerlukan on-site support. Ekspansi ke Jakarta tentunya juga sangat penting bagi kami atas dasar beberapa pertimbangan tersebut,” jelas Jowan.

Sementara itu Co-Founder & CMO Botika Erikuncoro menjelaskan bahwa ekspansi ke Jabodetabek itu tergantung produk dan target pasarnya. Botika, misalnya, banyak memiliki potensi pengguna di Jakarta. Mau tidak mau mereka harus hadir di Jakarta meski tidak sepenuhnya. Mereka membuka kantor di Cohive Menara Prima sejak tahun 2019.

“Dan kalau melihat Botika, kami tidak memindahkan semua tim ke Jakarta walaupun klien kami sebagian besar berada di sana. Cukup beberapa [anggota] tim business development dan marketing aja yang berada di sana untuk kemudahan koordinasi dan komunikasi dengan klien,” papar Erikuncoro.

Kondisi tak jauh berbeda dialami MSMB dan juga Tumbasin. Meski kantor pusat dan operasionalnya ada di Yogyakarta, perusahaan tetap hadir di Jakarta dalam wujud tim marketing dan business development.

“Tak bisa dipungkiri, karena pusat pemerintahan, lembaga dan sektor swasta lainnya kebanyakan berpusat di Jakarta, dan mereka adalah client kami. Untuk itulah kenapa perlu kami menempatkan tim di Jakarta,” jelas Ari.

Sementara Tumbasin akhirnya memutuskan masuk ke Jakarta untuk menjemput pengguna yang lebih banyak. Hadir ke pasar tradisional Jakarta adalah keputusan yang diambil setelah apa yang mereka lakukan di Semarang diterima dengan baik oleh pengguna. Tumbasin juga membuka kantor operasional di lokasi yang dekat dengan tiap-tiap pasar. Saat ini mereka berharap menggalang dana baru untuk memperkuat operasionalnya di 10 kota.

“Kami sudah melakukan ekspansi ke Jabodetabek. Sudah [hadir di] 10 pasar tradisional untuk wilayah Jabodetabek. Kuncinya di kepuasan pelanggan yang kami jaga. Market Jabodetabek [memiliki] populasi penduduk sangat besar dengan penduduk yang bermacam-macam. Harapannya paling tidak Tumbasin bisa menyelesaikan masalah 10% total rumah tangga yang ada di Jabodetabek untuk memudahkan belanja di pasar tradisional,” terang Fuad.

Maxi berpendapat serupa. Menurutnya, secara operasional dan pengembangan produk startup tidak harus berada di Jabodetabek, namun dalam rangka untuk melakukan pemasaran, networking, dan business development, berada di Jabodetabek akan lebih memudahkan karena banyak partner dan klien yang berada di sana.

Di mana pun memulainya, Jakarta atau Jabodetabek pasti akan menjadi masuk dalam radar. Pusat perekonomian, masyarakat yang mayoritas melek teknologi, dan akses ke banyak perusahaan tentu menjadi godaan startup untuk hadir di sana.

Aplikasi Tumbasin

Aplikasi Tumbasin Klaim Pertumbuhan Bisnis, Bantu Pedagang Pasar Jual Produk secara Online

Memasuki pertengahan tahun 2020, platform yang menghubungkan langsung konsumen dengan pasar tradisional memanfaatkan aplikasi, Tumbasin, mengklaim telah mengalami pertumbuhan bisnis signifikan. Perusahaan saat ini mengaku telah memiliki 1000 pengguna harian dengan 14 ribu pengguna aktif.

Aplikasi Tumbasin selama 6 bulan terakhir juga mengalami peningkatan jumlah unduhan sekitar 40 ribu kali. Selama pandemi berlangsung peningkatan tersebut makin terlihat dengan pembelian produk yang menjadi favorit yaitu kategori sayuran hijau.

Kepada DailySocial Co-founder Tumbasin Muhammad Fuad Hasbi menyebutkan, layanannya membantu pedagang pasar tradisional untuk bisa berjualan online. Model kerja aplikasi tersebut menjadikan pasar tradisional sebagai pusat pengambilan barang jadi, sehingga tidak memerlukan gudang yang luas dalam melakukan ekspansi operasional.

“Yang kami lakukan adalah memberdayakan pedagang pasar tradisional memanfaatkan teknologi. Saat ini Tumbasin sudah hadir di 8 kota (Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Semarang, Jogja, Malang, dan Makassar). Target kami bisa mencapai 30 kota, sehingga bisa mencapai 500 pasar yang tergabung di aplikasi pada kuartal 3 dan 4 tahun 2021 mendatang,” kata Fuad.

Saat ini sudah Tumbasin telah menjalin kemitraan dengan 22 pasar tradisional. Disinggung apa yang menjadi keunggulan dari Tumbasin dibandingkan dengan platform serupa lainnya, Fuad menegaskan layanannya memiliki tiga hal utama yang menjadi prinsip utama dalam menjalankan operasional.

“Kami menjaga agar para pedagang yang bekerja sama dengan kami, merupakan para pedagang yang kompeten, baik dari ketersediaan barang maupun kualitas produk, dan mengukur tingkat loyalitas konsumen terhadap aplikasi Tumbasin,” kata Fuad.

Fokus penggunaan aplikasi

Saat ini dalam platform Tumbasin memiliki sekitar 500 jenis produk di setiap pasar, dari 700 pedagang yang telah bergabung. Dengan pilihan yang cukup beragam diharapkan bisa menambah jumlah pengguna aplikasi.

Untuk menarik perhatian lebih banyak konsumen baru, Tumbasin juga memberikan pengiriman gratis dengan minimum belanja Rp100 ribu dan garansi jika ada produk yang rusak. Tumbasin juga hadir memberikan pilihan pasar yang sekaligus mendatangkan pemesanan ke pedagang pasar yang telah bekerja sama, dengan jaminan kualitas produk yang diantarkan.

“Untuk pengantaran kita telah bekerja sama dengan pihak ketiga, sehingga perusahaan fokus untuk menjaga kualitas produk yang dipesan ke pedagang,” kata CEO Tumbasin Bayu Mahendra Saubiq.

Tahun 2020 ini Tumbasin juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, jika menemukan investor yang cocok dan memiliki passion serta visi dan misi yang sama dengan perusahaan.

“Secara model bisnis kami sudah terbukti, karena sejak awal hingga saat ini beroperasi di 8 kota kami tidak ada menggunakan modal dari luar dan sepenuhnya melancarkan bisnis secara bootstrap,” kata Fuad.

Application Information Will Show Up Here

Tumbasin Coba Hubungkan Pedagang Tradisional dan Pembeli Melalui Aplikasi

Banyak jalan untuk merintis bisnis startup digital. Untuk startup asal Semarang, Tumbasin, mereka berawal dari program Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Tumbasin yang merupakan sebuah aplikasi yang bisa menghubungkan pengguna dan pedagang tradisional dirancang untuk memberikan kemudahan bagi ibu-ibu muda untuk berbelanja di pasar tradisional. Tentu kemudahan yang ditawarkan menggunakan pendekatan teknologi, yaitu sebuah aplikasi mobile.

Dari informasi yang diterima DailySocialTumbasin resmi beroperasi pada awal bulan ini, April 2017. Meski demikian menurut data internal pihak Tumbasin per hari ini (25/4) telah berhasil mendapatkan 339 pengguna dan berhasil melayani 120 transaksi yang sudah terjadi.

“Untuk saat ini komuditas yang paling tinggi ada di bawang merah, bawang putih, daging ayam, dan sayur mayur,” terang Fuad Habsi, salah satu anggota tim Tumbasin.

Konsep yang diusung Tumbasin adalah dengan membantu menghubungkan pedagang pasar tradisional menjualkan barang dagangan mereka kepada pengguna yang terdaftar dalam aplikasi Tumbasin. Selanjutnya kurir, yang juga menjadi bagian bisnis Tumbasin, akan mengantarkan barang ke pembeli secara langsung. Saat ini Tumbasin masih mencoba menjalin kerja sama dengan banyak pedagang di Semarang untuk mendongkrak transaksi di layanan Tumbasin.

“Kami yakin akan diterima di Semarang, karena memang kebutuhan akan pelayanan tersebut sangat dibutuhkan oleh para ibu-ibu muda dan wanita karier. Terbukti sejak aplikasi kami di-launch masyarakat kota Semarang sudah mulai merasakan kemudahan yang kami berikan,” terang Fuad optimis.

Persaingan dan tantangan di tahap awal

Karena konsepnya yang lebih ke arah pedagang tradisional, Fuad optimis Tumbasin masih memiliki beberapa keunggulan. Salah satunya harga yang relatif lebih murah dan tentu saja membantu pedagang di pasar.

Apa yang disajikan Tumbasin sebenarnya tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Groceria. Sebuah layanan yang memudahkan proses jual beli kebutuhan sehari-hari. Hanya saja Groceria beroperasi di Surabaya sedangkan Tumbasin di Semarang.

Tantangan selanjutnya adalah penggunaan teknologi untuk pedagang tradisional. Hal ini diakui Fuad masih menjadi salah satu proses awal yang tengah diupayakan. Untuk mengakselerasi hal tersebut, Fuad menjelaskan pihaknya telah menempatkan shopper khusus untuk membelanjakan barang dagangan di tiap-tiap pasar tradisional.

“Proses pemahaman teknologi ke pedagang pasar perlu memang perlu proses. untuk di awal ini kita menyiasati dengan memberikan shopper khusus di tiap-tiap pasar tradisional untuk membelanjakan barang dagangan yang dijual pedagang pasar. Dengan adanya staf khusus yang berlangganan maka lambat laun kami mampu melakukan pendekatan untuk sosialisasi untuk penggunaan teknologi dalam bermitra dengan Tumbasin,” lanjut Fuad.

Di tahun pertamanya ini, Fuad mengaku pihaknya masih mencoba mendapatkan lebih banyak pengguna. Sambil terus berusaha menjajaki kemungkinan mengembangkan bisnis ini untuk seluruh wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Application Information Will Show Up Here