Tag Archives: undang-undang

UU Melihat HP Orang Lain

Apakah Melihat HP Orang Lain Tanpa Izin, Bisa Dihukum?

Walaupun sebenarnya melihat HP orang lain terbilang sepele, tetapi terkadang tidak sengaja melihat isi atau data filenya yang seharusnya menjadi privasi pemilik HP. Tentu saja perbuatan tersebut bisa menimbulkan ketidaknyamanan pemilik HP.

File atau data yang berada di dalam ponsel sifatnya pribadi dan tidak boleh diketahui oleh orang lain. meskipun tidak ada undang-undang khusus privasi HP tapi ada pasal di UU ITE yang bisa menjerat orang yang mengakses HP orang lain tanpa izin.

Hukum melihat HP orang lain pun tercantum dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik atau ITE. Negara memberikan jaminan berupa perlindungan kepada warga negaranya untuk melindungi data pribadi yang tercantum dalam pasal 28G UUD 1945. Berikut artikel mengenai Undang Undang Privasi HP.

Hukum Melihat HP Orang Lain Tanpa Izin

HP merupakan salah satu perangkat elektronik yang paling sering digunakan. Bahkan, hampir semua orang memiliki HP mengingat HP bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk melakukan komunikasi. Di dalam HP, biasanya berisi foto, data atau dokumen pribadi pemiliknya. Walaupun melihat HP orang lain terdengar biasa saja, namun tindakan tersebut tidak boleh dibenarkan mengingat ada hal yang menjadi privasi pemiliknya.

Pasal 30 ayat 1 UU ITE bisa menjerat hukum melihat HP orang lain tanpa izin. Pasal tersebut berisi penjelasan seseorang yang mengakses komputer atau sistem elektronik orang lain tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun. Singkatnya, melihat HP orang lain tanpa izin termasuk ke dalam tindakan secara sengaja tanpa hak atau melawan hukum dengan mengakses komputer.

Pada pelaksanaannya, hukum melihat HP orang lain tanpa izin masih terdengar tabu di Indonesia. Memperkarakan orang yang melihat HP tanpa izin pun bahkan dianggap berlebihan. Namun, kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk diproses lebih lanjut.

Berdasarkan dengan pasal 46 ayat 1 undang-undang ITE, Seseorang yang melakukan pelanggaran sesuai dengan pasal 30 ayat 1 bisa dikenakan hukuman penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal 600 juta.

Aturan Hukum Melihat HP Orang Lain Tanpa Izin

Melihat HP orang lain tanpa izin merupakan tindakan melawan hukum yang tidak bisa dibenarkan. Berdasarkan Pasal 30 ayat 1 UU ITE, aturan hukum melihat HP orang lain tanpa izin bisa menyebabkan orang tersebut dipenjarakan atau diberikan sanksi sesuai dengan perbuatannya.

Maka untuk menghindari kejadian tersebut, kamu bisa memberikan keamanan pada HP dengan menguncinya. Gunakan kata sandi yang sulit dan hanya kamu saja yang tahu. Sebisa mungkin, kamu juga menghargai privasi orang lain dengan tidak melihat HP orang lain tanpa izin.

Berikut artikel mengenai UU privasi HP. Pastikan kamu mampu menjaga privasi HP sendiri dan menghargai privasi orang lain. Semoga artikel di atas bermanfaat, ya!

Dapatkan Berita dan Artikel lain di Google News

Dampak Positif dan Negatif Gugatan RCTI tentang UU Penyiaran ke Industri Game dan Esports

Beberapa hari yang lalu, jagat dunia lelembut, eh, maya dihebohkan dengan gugatan RCTI dan iNEWS ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memasukkan setiap tayangan video di media sosial diatur dalam undang-undang penyiaran.

Jujur saja dari awal saya katakan bahwa saya sendiri juga tidak setuju jika gugatan ini dikabulkan. Meski begitu, saya percaya betul bahwa orang yang kritis adalah mereka yang mampu melihat setiap fenomena dalam perspektif berbeda yang bertentangan.

Makanya, saya ingin menuliskan dampak positif dan negatif yang mungkin bisa didapatkan jika gugatan tadi disetujui.

Sebelum kita masuk ke pembahasannya, ada dua hal yang ingin saya sampaikan sebelumnya. Pertama, Hybrid memang media game dan esports namun pembahasan kali ini mungkin tak akan spesifik di ranah ini karena memang dampaknya akan dirasakan di semua industri.

Kedua, artikel ini juga sebagian besar adalah pendapat saya, berdasarkan dari pengalaman saya berkarier di industri media sejak tahun 2008 — saat saya mengawali karier saya di media cetak.

 

Dampak Positif dari Masuknya Tayangan di Internet ke Undang-Undang Penyiaran

Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, meski saya tidak setuju bukan berarti saya tidak bisa melihat sisi positifnya. Saya kira hal ini penting disadari karena saya tahu bahwa kebanyakan orang memang terjebak dengan yang namanya bias kognitif.

Sisi positif pertama yang bisa saya lihat adalah soal penerimaan pajak dari para pembuat konten di dunia maya… Saya tahu mungkin pajak tak bisa dipandang sebagai hal yang positif buat kaum bebal… Wakwkakwkkakwa… Namun, semakin besar pajak sebuah industri, lebih besar juga kemungkinan industri tersebut mendapatkan leverage dalam hal kebijakan negara. Selain soal bertambahnya pendapatan negara dari sektor pajak.

Jika gugatan RCTI tadi dikabulkan, pihak-pihak yang diperbolehkan melakukan penyiaran di platform media sosial harus berupa lembaga penyiaran yang memiliki izin. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Katanya, dikutip dari Kompas.com, “definisi perluasan penyiaran kan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.”

Dengan berubahnya setiap pembuat konten di dunia maya menjadi lembaga penyiaran yang berizin, harusnya, pengawasan soal perpajakan dari lembaga-lembaga tersebut jadi lebih mudah.

Saat ini, jujur saja, saya tidak yakin ada banyak kreator konten dari Indonesia di Facebook, Instagram, YouTube, dan kawan-kawannya yang membayar pajak meski mereka mendapatkan keuntungan/pendapatan dari sana. Jika semuanya diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang berizin, mereka bisa dipaksa untuk memberikan laporan bukti pajak untuk bisa terus melakukan penyiaran.

Sisi positif yang kedua adalah soal kredibilitas dan akuntabilitas. Media-media ‘tradisional’ seperti media cetak, radio, ataupun televisi memang bisa dibilang lebih unggul dalam hal kredibilitas dan akuntabilitas — umumnya — ketimbang mereka-mereka yang mengungah konten di platform media sosial. Padahal, faktanya, faktor anonimitas adalah salah satu faktor terbesar di jejaring dunia maya yang bisa disalahgunakan untuk menghindar dari konsekuensi perilaku negatif. Contoh paling mudah adalah soal faktor anonimitas yang membuat banyak gamer jadi toxic saat bermain online.

Meski demikian, hal ini juga bisa diperdebatkan karena kegaduhan di dunia maya belakangan ini juga datang dari figur publik — bukan dari akun media sosial yang tak jelas siapa saja orang-orang yang berada di belakangnya. Misalnya seperti soal teori konspirasi pandemi ataupun soal mendatangkan narasumber yang bahkan tak jelas kredibilitasnya.

Berbicara soal kredibilitas/akuntabilitas dan aturan yang lebih ketat juga, harusnya, juga bisa berarti lebih memberikan penekanan pada konten-konten yang memang memiliki manfaat ketimbang yang sekadar mencari sensasi dan membuang-buang waktu. Sayangnya, menurut saya, lagi-lagi hal ini juga bisa didebat…

Izinkan saya bertanya, apakah semua konten di media-media ‘tradisional’ (TV, radio, media cetak) saat ini juga sudah bisa dibilang sepenuhnya berfaedah? Apakah tidak ada satupun konten di media-media yang berizin itu yang hanya sekadar mencari sensasi atau berupa konten picisan? Atau, apakah ada media-media tradisional yang digunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu? Saya hanya bertanya ya… Silakan dijawab sendiri… Awawkoakoakwaokaowa… 

Jujur saja, setelah 2 hari 2 malam saya mencari sisi positif dari dikabulkannya gugatan itu, saya hanya bisa menemukan soal penerimaan pajak yang (menurut saya) sepenuhnya positif. Meski begitu, menurut saya, harusnya ada cara yang lebih bijak dalam meningkatkan penerimaan pajak dari kreator konten.

Jika Anda bisa menemukan argumentasi lain yang mendukung gugatan ini, kita bisa berdiskusi lebih lanjut soal itu.

 

Dampak Negatif dari Masuknya Tayangan di Internet ke Undang-Undang Penyiaran

Saya masih ingat betul ketika saya masih menangani sebuah majalah cetak dulu. Kala itu, media memang menjadi salah satu dari segelintir pihak yang bisa mengatur arus informasi.

Sebagai seorang penulis, saya tahu betul betapa berharganya informasi itu. Pemilik bisnis juga tahu betul bahwa informasi memang mahal harganya. Karenanya, anggaran belanja iklan itu biasanya juga tidak kecil buat mereka-mereka yang ingin cepat dikenal masyarakat luas.

Sekarang, semua orang bisa menyebarkan informasi (baik yang positif ataupun negatif, baik yang benar ataupun yang salah) lewat platform apapun yang diinginkan. Ada beberapa orang yang menyebutkannya dengan istilah demokratisasi informasi. Selain semua orang bisa menjadi sumber atau penyebar informasi, masyarakat luas juga jadi penentu informasi seperti apa yang lebih nyaring terdengar…

Memang, nyatanya, demokrasi itu juga punya kekurangan besar — setidaknya menurut Socrates. Popularity contest itu juga tidak selalu lebih positif ketimbang curator-based contents. Salah satu contohnya adalah seperti soal drama di seputar komunitas esports dan game jadi lebih ramai ketimbang hal-hal yang bermanfaat — karena memang sebagian besar orang nyatanya lebih suka dengan hal-hal yang banal. Hal ini jugalah yang membuat internet sepertinya lebih banyak menawarkan konten negatif ketimbang yang positif.

Namun demikian, saya tahu tidak sedikit juga para kreator konten yang memang memiliki keinginan untuk menyebarkan hal-hal positif ataupun yang bermanfaat ketimbang yang hanya sekadar sensasional ataupun mencari keuntungan materiil. Karena itu, sekarang, keputusan untuk mencari konten positif ataupun negatif — konten bermanfaat ataupun konten sampah — ada di tangan Anda sebagai konsumen. Saya, misalnya, jadi bisa memilih untuk menghabiskan waktu menonton video-video dari Wisecrack, The Royal Institution, Economics Explained, Kurzgesagt, dan kawan-kawannya.

Jika kita kembali ke zaman dulu, saat arus informasi dikuasai oleh segelintir orang tadi, kita sebagai konsumen tak lagi bisa jadi penentu konten seperti apa yang ingin kita konsumsi.

Sekali lagi, saya juga tidak menyangkal bahwa ada buanyaaaaaaaaaaak sekali konten negatif di dunia maya dan media sosial. Namun, saat ini, saya sendiri yang bisa memilih apakah saya ingin menggunakan waktu luang saya dengan tontonan bermanfaat atau membodohi diri sendiri. Pilihan itu ada di tangan saya, bukan di segelintir orang yang tentunya punya agenda ataupun tujuannya masing-masing (meski bisa positif ataupun negatif juga)…

Dampak negatif yang kedua adalah soal keruwetan yang bisa diakibatkan dari keharusan masuknya kreator konten di media sosial menjadi lembaga penyiaran yang berizin. Misalnya saja seperti ini, jika memang semua kreator konten asal Indonesia di media sosial diharuskan berizin, bagaimana dengan kreator konten dari luar Indonesia?

Apakah mereka juga harus mengantongi izin? Dari data 2019, ada lebih dari 31 juta kanal yang tersedia di YouTube. Saya tidak tahu ada berapa persen dari semua kanal tersebut yang kreator kontennya berasal dari Indonesia. Namun saya tidak yakin jumlahnya sampai 10% dari total jumlah keseluruhan. Apakah puluhan juta kanal lainnya juga harus mengantongi izin penyiaran? Jika mereka tidak memiliki izin, apa yang terjadi?

Angka tadi masih menghitung jumlah kanal dari YouTube… Belum Facebook, Instagram, TikTok, NimoTV, ataupun yang lainnya. Selain keruwetan yang harus dijalani untuk mengurus itu semua, waktu yang dibutuhkan juga pasti tidak sedikit. Apalagi jika kita melihat tak sedikit lembaga negara yang lebih fokus mengurus soal moral ketimbang hal-hal praktis, mungkin tidak ada waktu lagi yang tersisa untuk mengurus izin penyiaran ataupun izin pendirian lembaga yang berbadan hukum.

Selain itu, dampak negatif terakhir adalah soal industri-industri baru yang akan tersandung dan terhambat dengan adanya aturan baru ini seperti misalnya industri esports. Bagaimanapun juga tayangan pertandingan adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari industri esports. Dengan berlakunya aturan main tersebut, akan ada banyak sekali pihak yang jadi kesulitan untuk menayangkannya. Misalnya pun sejumlah perusahaan mungkin bisa mendapatkan izinnya, tentu saja proses tersebut akan memakan waktu… Apakah semua kompetisi jadi harus tertunda sementara proses perizinan sedang berjalan?

Saya yakin hal ini juga akan menghambat industri-industri lain di luar game dan esports. Faktanya, Indonesia saat ini juga sudah tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain dalam hal industri kreatif. Apakah terhambatnya industri kreatif tanah air memang layak dikorbankan demi memuaskan segelintir orang?

 

Akhir kata…

Akhirnya, saya tahu saya juga tidak mungkin menuliskan semua kemungkinan positif dan negatif yang bisa terjadi. Seperti misalnya matinya ruang berkreasi, meski hal tersebut sebenarnya juga tercakup dalam konsep demokratisasi konten/informasi — ketika setiap orang bisa menyuguhkan sekaligus memilih konten untuk dikonsumsi.

Di sisi lain, saya yang sudah bekerja di media dari 2008 juga tahu betul jika demokratisasi konten ini membuat media juga kehilangan banyak pengaruh dan juga pendapatan. Media tradisional tak hanya harus bersaing untuk mendapatkan anggaran belanja iklan dengan Google dan Facebook, tetapi juga dengan para konten kreator (baik siapapun atau apapun bentuknya).

Namun demikian, saya juga tahu bahwa menerima kenyataan dan beradaptasi dengan perubahan zaman itu sebenarnya lebih mudah dan menguntungkan ketimbang tak mampu beranjak dari masa lalu…

Feat Image: via Medium

Arief Wicaksono (Vice Chairman Lawble), Charya Rabindra Lukman (Founder & CEO Lawble), Terrence Teong Chee Hooi (Executive Chairman Lawble), Eric Wishnu Saputra (Chief Technology Officer Lawble) / Lawble

Permudah Masyarakat Pahami Istilah Hukum, Aplikasi LawblePedia Diluncurkan

Setelah meresmikan kehadirannya akhir tahun 2017 lalu, startup yang menyasar regulatory technology (regtech) Lawble, meluncurkan aplikasi yang memuat informasi dan peraturan umum bernama LawblePedia. Masih rendahnya pengetahuan dari masyarakat saat ini terkait dengan peraturan dan undang-undang yang ada, merupakan salah satu alasan mengapa Lawble meluncurkan aplikasi ini.

“Bukan hanya persoalan hukum untuk perbankan saja masih banyak istilah atau peraturan yang kurang saya pahami. Dengan adanya aplikasi ini diharapkan bisa memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Executive Chairman Lawble Terrence Teong Chee Hooi.

Menargetkan korporasi hingga kalangan mahasiswa, diharapkan LawblePedia bisa menjembatani kebutuhan tersebut terkait dengan peraturan dan undang-undang saat ini, agar lebih mudah dipahami terutama soal istilah hukum secara valid yang ingin diketahui.

Fitur khusus Lawblepedia

Saat ini aplikasi Lawblepedia bisa diunduh secara gratis di Play Store dan Apps Store. Ada beberapa fitur unggulan yang dimiliki oleh LawblePedia, di antaranya adalah Open Search, Know More dan Bookmark. Untuk fitur Know More terkoneksi langsung dengan situs Lawble, bertujuan memberikan pemahaman hukum secara holistik bagi pengguna.

LawblePedia juga memiliki fitur Directory berdasarkan alphabetical order dan juga word of the day guna memastikan pengguna belajar hal baru setiap harinya. Sementara itu untuk memastikan undang-undang dan peraturan yang ada selalu relevan, LawblePedia juga akan selalu memperbarui definisi beserta dasar hukum yang disajikannya.

“LawblePedia juga dilengkapi dengan definisi yang selalu didukung oleh dasar hukum yang berlaku sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan,” kata CEO Lawble Charya Rabindra Lukman.

Saat ini Lawblepedia telah memiliki sekitar 10 ribu peraturan yang beragam. Jumlah tersebut masih akan ditambah secara berkala, termasuk di dalamnya peraturan daerah hingga kabupaten.

“Lawble memahami pentingnya hukum untuk dimengerti oleh masyarakat secara luas. Melalui sosialisasi #IndonesiaMelekHukum, kami bertujuan untuk mengedukasi masyarakat secara umum untuk mengerti hukum, karena hukum adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan dihindari dari kehidupan sehari-hari”, pungkas Charya.

Application Information Will Show Up Here

Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing

Menjelang akhir Februari lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) memastikan bahwa kementeriannya akan mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban pembentukan bentuk usaha tetap bagi para pelaku usaha asing yang menyediakan konten aplikasi internet yang populer (over-the-top atau OTT) dan beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, WhatsApp, dan Netflix. Tujuan utama dari peraturan ini adalah penertiban para pengusaha OTT asing yang meraih keuntungan dari kegiatan usahanya di Indonesia, khususnya penertiban di bidang pemasukan pajak dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

Penjelasan peraturan Pajak Penghasilan (PPh)

Kerangka pajak penghasilan (“PPh”) sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPh”).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Dalam penjelasan pasal di atas dijelaskan bahwa bentuk usaha tetap menandakan adanya suatu tempat usaha bagi usaha orang atau badan luar negeri tersebut. Tempat usaha ini tidak melulu terpatok pada bangunan, tapi juga berbagai fasilitas terkait yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha, seperti peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui Internet sebagaimana relevan dalam pembahasan artikel ini.

Singkat kata, bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, objek pajak penghasilan bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh, seperti dividen, royalti, dan imbalan jasa, yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]

Sekilas, objek pajak penghasilan yang disebutkan pada huruf b dan c di atas adalah serupa. Namun, contoh berikut diharapkan dapat memudahkan pemahaman atas perbedaan kedua jenis objek pajak penghasilan tersebut.

Contoh untuk penghasilan yang dimaksud dalam huruf (b) adalah:

Sebuah bank asing di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, namun bank tersebut memberikan pinjaman secara langsung kepada perusahaan di Indonesia, langsung dari banknya yang berdomisili asing, bukan melalui bentuk usaha tetap yang ada di Indonesia, padahal pinjaman tersebut merupakan salah satu produk yang juga disediakan oleh bentuk usaha tetap dari bank asing yang bersangkutan.

Sedangkan untuk contoh penghasilan pada huruf (c) adalah:

Perusahaan asing A mengadakan perjanjian lisensi merek dengan perusahaan asing B dan bentuk usaha tetap dari perusahaan asing A membantu perusahaan asing B dalam memasarkan produk dari merek yang dilisensikan perusahaan A tersebut.

Penjelasan peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Selain pajak penghasilan, pemerintah juga berharap untuk dapat menertibkan pemasukan dari pajak pertambahan nilai terkait pengusaha OTT asing. Kerangka peraturan pajak pertambahan nilai (“PPN”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPN”).

Pada dasarnya, objek pajak pertambahan nilai dari bentuk usaha tetap adalah setiap barang dan/atau jasa kena pajak yang diserahkan ataupun dimanfaatkan oleh bentuk usaha tetap di wilayah Indonesia. Sebagai tambahan informasi, kebocoran pemasukan dari pajak pertambahan nilai inilah yang menjadi salah satu pendorong kuat wacana Menkominfo untuk mewajibkan pengusaha OTT asing sebagai wajib pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap. Pasalnya, nilai usaha iklan digital para pengusaha OTT asing tersebut bisa mencapai nilai ratusan juta Dolar Amerika Serikat dan pemerintah tidak mendapatkan apapun dari jumlah tersebut.

Terkait dengan obyek pajaknya, UU PPN tidak menjelaskan secara khusus untuk setiap barang dan/atau jasa yang dapat dikenai pajak, namun Pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN justru memberikan patokan barang dan/atau jasa yang tidak dapat dikenai pajak pertambahan nilai.

Barang-barang yang tidak dapat dikenai pajak, meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, serta makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering) dan barang berupa uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai meliputi jasa-jasa yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti jasa-jasa di bidang pelayanan kesehatan, sosial, keuangan, asuransi, pengiriman surat dengan perangko, pendidikan, keagamaan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, kesenian dan hiburan, jasa penyediaan tempat parkir, dan lainnya.

Selanjutnya mengenai status bentuk usaha tetap, Pasal 2 ayat (2) UU PPh mengatur bahwa perlakuan pajak bagi subjek pajak bentuk usaha tetap dipersamakan dengan perlakuan terhadap wajib pajak badan dan oleh karenanya prosedur perolehan status sebagai bentuk usaha tetap pun dipersamakan dengan prosedur perolehan status sebagai wajib pajak badan, sebagaimana diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah beberapa kali dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa wacana untuk mewajibkan pengusaha OTT asing membuka bentuk usaha tetap di Indonesia memang didasari oleh tujuan yang sangat ideal.

Namun, pemerintah jelas wajib melakukan lebih banyak diskusi yang melibatkan seluruh stakeholder mengenai baik buruknya pemberlakuan kewajiban bentuk usaha tetap ini dalam rangka menghindari dampak negatif berupa turunnya minat para pengusaha OTT asing untuk beroperasi di Indonesia. Selanjutnya, hasil diskusi tersebut juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ketentuan pelaksanaan atas peraturan Menkominfo tersebut kelak, mengingat bidang usaha ini merupakan bidang yang masih baru dan sulit untuk ditentukan standarnya karena cakupannya yang tak terbatas.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Melanggar Undang-Undang, Penggunaan Bitcoin di Indonesia Belum Tamat

Bank Indonesia (BI) sebagai regulator sistem pembayaran di wilayah Republik Indonesia menyatakan bahwa penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran melanggar undang-undang. Meskipun demikian, sebenarnya Bank Indonesia tidak sepenuhnya melarang penggunaan mata uang virtual ini karena tidak ada sanksi yang diberlakukan jika ada sekelompok masyarakat yang menggunakannya.

Continue reading Melanggar Undang-Undang, Penggunaan Bitcoin di Indonesia Belum Tamat

4 Hal Yang Kita Butuhkan Dari Pemerintah

Seiring meningkatnya aktivitas di industri teknologi di Indonesia, saya pikir pemerintah mulai harus lebih serius mendukung dan juga menanggapi permasalahan yang mungkin muncul nantinya. Beberapa minggu ini saya belajar banyak dari para pemimpin industri teknologi dan belajar bagaimana peranan pemerintah dalam memupuk inovasi, mendukung industri dan juga melindungi pemain dan konsumennya.

Saya pun keluar dengan beberapa hal yang menurut saya krusial untuk segera dilaksanakan demi mendukung dan melindungi industri teknologi Indonesia yang masih awal, rapuh dan butuh dukungan. Bapak Tifatul Sembiring yang terhormat, coba ini mungkin saja bisa menjadi masukan 😉

Continue reading 4 Hal Yang Kita Butuhkan Dari Pemerintah

Judicial Review UU-ITE Ditolak!

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Salah satu isi dari UU-ITE yang dinilai memberatkan para pemilik web dan membingungkan pengguna internet itu memang beberapa bulan ini menjadi bulan-bulanan para blogger dan pemilik web. Melalui Tim Advokasi Untuk Kemerdekaan Berekspresi Indonesia, para blogger dan pemilik web mengajukan permohonan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi karena menilai pasal tersebut bertentangan dengan asas Kebebasan Berpendapat.

Menurut para pemohon uji materi tersebut, Pasal 27 ayat (3) No. 11 Tahun 2008 UU ITE bertentangan dengan sejumlah pasal di UUD 1945, yakni Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), pasal 28 F serta pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, UU ITE juga dinilai cenderung memberatkan dan membingungkan para pengguna media elektronik. – dikutip dari DetikInet

Hari ini, permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang. Tentu saja beberapa blogger-pun kecewa, terutama rekan-rekan blogger yang memang memperjuangkan kemerdekaan berekspresi di ranah daring.

Beberapa rekan blogger yang saya mintai pendapatnya cukup bervariasi terhadap keputusan MK ini.

Pertama, dituduh menghina di jalan lebih ringan daripada menghina di internet. ini aneh kan, kenapa tempat menjadi penentu berat tidaknya hukuman. Kedua, UU baru ini tidak memberi kepastian hukum bagi blogger, tidak memberi batasan yang jelas, kapan dibilang menghina, kapan dibilang kritis. Herman Saksono

Kalo buat saya sendiri sih, sebagai blogger, pastinya kita harus hati2 kalo ngomongin orang lain. buat saya UU ITE ga bermasalah kok, soalnya saya emang ga mau nulis sesuatu yang kira2 bakal ngomongin jelek2nya orang. Dan supaya aman, kayanya blogger juga harus menahan diri buat nggak ngomongin orang deh. Ilman Akbar

Soal kekhawatiran sih pasti ada ya, pencemaran nama baik itu tricky. Aku gk ngerti hukum ini dibuat dengan pijkan yang mana? kembali jadi alat pengaman pemegang uang dan kekuasaan atau memang untuk melindungi hak warganegara? Akhmad Fathonih

Bagaimana dengan anda? Setujukah anda diberlakukannya UU-ITE?

Atau UU-ITE harus bisa lebih fleksibel dan mendukung untuk berfikir kritis di dunia maya, dan tentunya mendukung kebebasan berpendapat sesuai dengan UUD 45?