Tag Archives: urun dana

ALUDI

Mengenal Lebih Dekat ALUDI, Asosiasi Pelaku Equity Crowdfunding

Bicara tentang equity crowdfunding (ECF) –formalnya dikenal urun dana melalui penawaran saham– adalah bicara tentang kepatuhan yang tinggi terhadap regulasi. Sebagai salah satu model bisnis dengan inovasi anyar, regulator di Indonesia cukup ketat mengawasi bisnis urun dana ini. Ini juga yang jadi salah satu alasan berdirinya Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).

ALUDI ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawasan Pasar Modal sebagai asosiasi resmi urun dana sejak pertengahan Desember 2020 melalui surat OJK No.S-153/PM.22/2020. Perusahaan rintisan yang terdaftar meliputi Santara, Bizhare, dan CrowdDana; tercatat sebagai pendiri asosiasi ini, sementara posisi ketua diduduki oleh CEO Santara Reza Avesena. Ketiga startup tadi merupakan penyelenggara bisnis urun dana melalui penawaran saham berizin pertama di Indonesia.

Reza bercerita, ALUDI berdiri untuk membesarkan potensi pasar urun dana di tanah air. Sebagai bisnis yang tergolong baru, Reza menilai kehadiran pemain baru yang kuat dibutuhkan untuk membesarkan pasar sekaligus memperkenalkan produk urun dana ke publik lebih luas.

“Dalam hal platform kita kompetisi, dalam hal komunitas kita kolaborasi dalam bentuk membesarkan market, saling beri benefit, dan dengan asosiasi ini ketika penyelenggara-penyelenggara lain masuk bisa kita jagain,” ucap Reza.

Menjaga kepatuhan

Yang dimaksud “menjaga” oleh Reza adalah memastikan kepatuhan pemain baru ECF terhadap regulasi yang berlaku. Reza bersama Santara merasakan betul pentingnya kepatuhan akan regulasi itu. Pada masa awal beroperasi, Santara kena semprit OJK karena regulasi yang mengatur ECF belum ada. Imbasnya Santara harus berhenti beroperasi sementara.

Reza tidak ingin pengalaman pahit dialami oleh para koleganya. Selain bisa berimbas buruk terhadap kelangsungan bisnis, melanggar regulasi juga dapat menodai kepercayaan publik yang tengah dipupuk industri ini.

Asosiasi juga direncanakan mengambil peran dalam menyaring pemain-pemain baru. Reza menilai kemungkinan suatu penyelenggara mengalami default tetap ada. Jika skenario terburuk itu terjadi tak hanya akan mencoreng reputasi industri saja, tapi juga mengganggu kelancaran UKM yang melantai di bursa.

“Dengan adanya ALUDI, semua penyelenggara yang dapat izin kita jaga banget jangan sampai ada penyelenggara-penyelenggara bodong yang justru bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat.”

Total sudah ada 22 anggota di ALUDI, 4 sudah berizin dan 17 lainnya masih berproses di OJK untuk menjadi penyelenggara ECF. LandX jadi nama paling akhir mengantongi izin OJK.

Perluasan izin

Belum lama asosiasi juga mendapat kabar baik menyusul terbitnya POJK Nomor 57 Tahun 2020 yang mengatur securities crowdfunding (SCF) — secara formal disebut penawaran efek melalui urun dana. SCF merupakan perluasan bisnis dari ECF. Bedanya dengan ECF, badan usaha yang bisa melakukan urun dana tidak hanya perseroan terbatas atau koperasi. Itu artinya badan usaha seperti CV, NV, firma, dan lainnya boleh ikut melakukan urun dana di pasar modal.

Pemerintah resmi meluncurkan SCF pada pembukaan perdagangan bursa pekan lalu. Hadirnya SCF menambah alternatif pembiayaan untuk UKM dan startup. Menyambut hal itu, penyelenggara ECF tengah berlomba memperluas izin mereka untuk bisa menawarkan produk SCF ke publik.

“Saat ini penyelenggara ECF yang sudah memiliki izin sedang melakukan perluasan izin untuk bisa comply dengan POJK 57/2020,” tutur Reza.

Potensi pasar ECF dan SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan UKM, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menjaga kepercayaan publik, dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan.

If the Equity Crowdfunding has been issued, it can be an alternative for startup to acquire funding

OJK Prepares “Equity Crowdfunding” Policy Draft

The Financial Services Authority (OJK) is preparing a policy draft regarding public fundraising through equity crowdfunding. OJK calls it “Layanan Urun Dana”. The regulator is said to wait for responses from related industry and community regarding the draft.

“The target is to finish it soon,” Sekar Putih Djarot, OJK’s spokesperson explained, quoted from Kontan.

She mentioned that the Layanan Urun Dana is different from the initial public offering (IPO) in IDX. As seen from the scale of the stock offering, the value is lower. The offering process will be all electronic as determined by the operator.

“This could be an alternate funding for SMEs and startups. It also helps the development of startups in Indonesia.”

Inarno Djayadi, IDX’s President Director, gave a positive response regarding OJK’s plan. “It’s good for SMEs,” he said.

Kiswoyo Adi Joe, Narada Asset Management’s Head of Research added, this step brings out the positive impact on the domestic capital market, in fact, it’ll increase product diversity in the local market.

He assumed the online stock sale will not stand in the way with BEI step in making opportunities for the small-asset value companies to conduct initial public offering through a stock exchange.

“The implementation is awaited, whether it’s supporting each other or only add a different variant of products,” Joe explained.

Equity crowdfunding regulation draft

In the equity crowdfunding regulation draft, OJK determines the operator may be a PT in the form of securities firm with OJK approval to be an operator; coop; and having a minimum capital of Rp2.5 billion.

In terms of publishers, OJK confirms it has to be a PT; not having a complex structure in finance or commercial; not a public company; and not a company with a value over Rp10 billion, excluding land and buildings.

In terms of investors, OJK set the income rate under Rp500 million per year to be able to purchase stock up to 5% of its income per year; investors with an income over Rp500 million per year can purchase stock up to 10% of its income per year.

It was mentioned in the draft that the maximum limit of stock offering is Rp6 billion per year; offering can be made more than once in a year; publishers can set a minimum target for fundraising; if it doesn’t meet the amount, stock offering is cancelled and investor’s fund must be returned within two days.

Thus, the offering period must be no longer than 30 days; the operator may hold the secondary market but the trade will only available between registered investors; if there’s any secondary market, the operator shall provide a reasonable price as the reference.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Equity crowdfunding, jika aturannya disahkan, bisa menjadi alternatif startup mencari pendanaan

OJK Siapkan Beleid “Equity Crowdfunding”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan beleid mengenai pengumpulan dana masyarakat melalui penawaran saham berbasis teknologi (equity crowdfunding). OJK menyebut istilah tersebut dengan “Layanan Urun Dana.” Diungkapkan regulator sedang meminta tanggapan kepada pelaku industri dan masyarakat terkait beleid tersebut.

“Targetnya aturan selesai segera,” terang Jurubicara OJK Sekar Putih Djarot dikutip dari Kontan.

Menurut Sekar, Layanan Urun Dana ini berbeda dengan initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bila dilihat dari skala penawaran saham, nilainya lebih kecil. Proses penawaran sahamnya pun akan dilakukan secara elektronik yang ditentukan penyelenggara.

“Ini dapat jadi alternatif sumber dana bagi pelaku usaha kecil menengah dan startup. Sekaligus membantu perkembangan perusahaan rintisan di Indonesia.”

Direktur Utama BEI Inarno Djayadi memberikan respons positif terkait rencana OJK tersebut. “Ini bagus untuk UMKM,” katanya.

Kepala Riset Narada Aset Manajemen Kiswoyo Adi Joe menambahkan, langkah OJK ini memberikan dampak positif untuk pasar modal dalam negeri, Pasalnya akan menambah keberagaman produk di pasar modal lokal.

Menurutnya, penjualan saham perusahaan secara online diyakini tidak akan berbenturan dengan langkah BEI dalam membuka peluang bagi perusahaan dengan nilai aset kecil melakukan penawaran saham perdana melalui bursa efek.

“Perlu ditunggu implementasi aturan tersebut, apakah saling dukung atau justru menambah variasi produk yang berbeda,” terang Kiswoyo.

Rancangan aturan equity crowdfunding

Dalam draft rancangan aturan equity crowdfunding, OJK menentukan penyelenggara dapat berupa PT berbentuk perusahaan efek yang telah memperoleh persetujuan OJK menjadi penyelenggara; koperasi; dan memiliki modal minimal Rp2,5 miliar.

Untuk ketentuan penerbit, OJK menentukan mereka harus berbentuk PT; tidak memiliki struktur kompleks secara keuangan atau komersial; bukan perusahaan terbuka atau anak usaha perusahaan terbuka; dan bukan perusahaan dengan kekayaan lebih dari Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan.

Ketentuan investornya, OJK tetapkan mereka memiliki penghasilan sampai Rp500 juta per tahun boleh membeli saham paling banyak 5% dari penghasilan per tahun; investor dengan penghasilan lebih dari Rp500 juta per tahun boleh membeli saham paling banyak 10% dari penghasilan per tahun.

Aturan mengenai penawaran saham, dalam rancangan disebutkan batas maksimal nilai penawaran saham Rp6 miliar per tahun; penawaran bisa dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun; penerbit bisa mematok target minimal penjaringan dana; jika jumlah tidak terpenuhi, penawaran saham batal demi hukum dan dana investor wajib dikembalikan dalam waktu dua hari.

Kemudian, lama masa penawaran paling lama 30 hari; penyelenggara dapat menyelenggarakan pasar sekunder, tapi perdagangan cuma bisa dilakukan antar investor yang telah tercatat; bila ada pasar sekunder, penyelenggara wajib menyediakan harga wajar sebagai referensi.