Tag Archives: uu-ite

Buzzer: Pengertian, Peran, Fungsi dan Gajinya

Kamu mungkin sering mendengar istilah buzzer ketika berbicara tentang dunia media sosial.  Istilah buzzer akan muncul ketika berbicara tentang topik viral dan populer di media sosial. Buzzer itu sendiri dianggap memiliki pengaruh, yang menyebabkan perubahan opini publik.

Di Indonesia, istilah buzzer sudah sangat populer di kalangan masyarakat umum karena berperan penting dalam trending berbagai topik di media sosial. Buzzer adalah individu atau kelompok yang berbagi pendapat yang sama tentang masalah media sosial.

Berikut lebih jelasnya mengenai buzzer, sebuah kelompok yang memenuhi ruang media sosial.

Pengertian Buzzer

Buzzer adalah orang yang bertindak sebagai suara atau untuk menyatakan masalah atau perhatian. Buzzer itu sendiri dapat berupa individu atau kelompok yang merasakan dorongan untuk berbagi pendapat yang sama, atau orang-orang yang diatur untuk berbagi masalah.

Buzzer dapat menggunakan berbagai jenis media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook untuk mengekspresikan topik yang mereka minati. Buzzer ini dapat menggunakan identitas aslinya atau identitas palsu untuk mengekspresikan minatnya di media sosial.

Dengan kata lain, buzzer dapat digambarkan sebagai profesi di mana seseorang dibayar untuk mengatakan, menjelaskan, mempromosikan, atau membela sesuatu. Sebuah penelitian bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation menyatakan bahwa Buzzer adalah seorang cybertrooper.

Buzzer berarti alat yang digunakan oleh anggota pemerintah atau partai politik untuk memanipulasi opini publik menggunakan media sosial.

Sejak pemilihan umum 2019, kata buzzer sendiri sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Selama pemilu 2019, banyak buzzer yang menyatakan dukungan, kampanye, dan mencoba mempengaruhi opini publik melalui media sosial.

Peran dan Fungsi Buzzer

Dapat dilihat buzzer merupakan individu atau kelompok yang mendukung, mengekspresikan, atau mempromosikan masalah, pendapat, atau topik yang sama di media sosial dengan tujuan yang telah ditentukan. Berdengung dapat dilakukan secara pribadi atau sebagai pekerjaan.

Buzzer menggunakan platform media sosial populer seperti Instagram, Facebook dan Twitter untuk menyuarakan pendapat mereka secara virtual atau online. Dengan hanya pengetahuan dasar tentang cara menggunakan media sosial, buzzer sebagai profesi bisa menjadi pilihan paruh waktu yang fleksibel.

Buzzer masuk ke dalam kategori berbeda berdasarkan variasi cara kerjanya. menciptakan misinformasi atau manipulasi di media; secara kolektif atau massal melaporkan konten atau akun; taktik berbasis data, trolling, doxing, atau pengalihan; dan pembuatan konten dan media online yang kuat.

Layanan Buzzer dapat digunakan di banyak bidang seperti bisnis (pemasaran buzz), politik, kepentingan kelompok atau individu. Buzzer umumnya bekerja sama, menggunakan platform media sosial untuk menyuarakan pendapat yang sama dengan tujuan untuk mendorong opini publik atau mempengaruhi opini dan perilaku audiens media sosial.

Buzzer dapat memberikan dampak positif bagi mereka yang menjalankan profesi Buzzer dan dapat membawa berbagai manfaat bagi mereka yang menggunakan layanan Buzzer. Namun, jika layanan buzzer digunakan untuk tujuan negatif dan informasi yang disebarluaskan oleh buzzer tidak berdasar dan salah, buzzer juga dapat memiliki efek yang merugikan.

Pergeseran Peranan Buzzer Bagi Negara

Saat ini, audiens sasaran Buzzer telah berubah, dengan awalnya menjual barang dagangan kepada tokoh masyarakat yang mencalonkan diri untuk posisi kepemimpinan di lembaga pemerintah dari perusahaan. Buzzer ditugaskan untuk mendapatkan dukungan umum untuk calon dari pemimpin yang berpartisipasi dalam kampanye.

Perselisihan politik Indonesia menjadikan media sosial sebagai salah satu media yang berperan penting dalam melakukan kampanye politik. Jika akun memiliki banyak pengikut dan berpartisipasi dalam kampanye politik dengan menyebarkan berbagai laporan palsu dan ujaran kebencian (Mustika, 2019; Syahputra, 2017).

Peran buzzer dalam meningkatkan kesadaran publik selama kampanye politik
mendapatkan perhatian dunia. Bradshaw & Howard (2019) menerbitkan
studi tentang penggunaan buzzer di berbagai negara. Penggunaan
buzzer dalam konteks politik terjadi di hampir semua wilayah di dunia.

Sebanyak 89% dari 70 negara yang disurvei dalam surveinya menggunakan
buzzer untuk menyerang lawan politik. Di Indonesia, politisi dan partai politik menggunakan buzzer untuk membangun opini publik dan mendukung calon pemimpin mereka.

Tren Buzzer Indonesia adalah membuat topik menggunakan akun palsu yang sangat dikontrol baik oleh manusia maupun robot untuk membuat konten disinformasi dan misinformasi. Pesan besar yang dibuat oleh buzzer menghasilkan topik pembicaraan menjadi trending topic di media sosial.

Gaji Buzzer di Indonesia

Sebenarnya gaji dan pendapatan buzzer di indonesia sangat beragam. buzzer produk yang sudah kerjasama dengan agency bisa mencapai belasan juta rupiah setiap bulannya. tergantung peran yang dijalankan. tapi ada juga buzzer politik yang bisa mendapatkan pendapatan per project.

dalam konteks umum, buzzer sebenarnya tidak masalah dan bisa bermakna positif, mereka seperti orang yang dibayar brand atau individu atau organisasi untuk mempromosikan produk atau jasanya. tapi sayang sekali di indonesia nama buzzer justru seperrti tercorengan karena kegiatan politik praktis yang menjadikan beberapa buzzer sarana menyebar hoax.

Dalam konteks Indonesia, buzzer telah digunakan oleh tokoh masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan. Regulasi dirancang sebagai senjata pertahanan terhadap gempuran fitnah. Undang-Undang Transaksi Informasi Elektronik (UU ITE) dipandang sebagai langkah pembelaan diri bagi pemerintah untuk mengalahkan buzzer lawan politik.

Bahkan lembaga negara pun kerap menghadapi permasalahan dengan undang-undang ITE tentang pencemaran nama baik. Dari sudut pandang kritis, situasi ini dilihat tidak hanya sebagai akibat dari munculnya media sosial, tetapi juga adanya aktor yang terhubung untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.

Dapatkan Berita dan Artikel lain di Google News

Urgensi Perombakan Pasal 27 UU ITE

Perbincangan tentang risiko penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah bergulir sejak lama, bahkan sejak regulasi itu mencuat ke publik. Setidaknya ada 45 pasal yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 (sebagai pembaruan dari UU No. 11 Tahun 2008) tersebut, sejauh ini Pasal 27 tentang “perbuatan yang dilarang”, seputar konten bermuatan pencemaran nama baik kerap kali dijadikan amunisi untuk menyerang kebebasan berpendapat yang dituangkan dalam jejaring sosial.

Poin-poin pada Pasal 27 UU ITE
Poin-poin pada Pasal 27 UU ITE

Pembaruan regulasi yang disahkan pada 27 Oktober 2016 mengusung beberapa perubahan. Spesifik pada Pasal 27, pembaruan dilakukan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan yang tercantum pada Ayat 3, sehingga merilis beberapa penegasan di antaranya:

  • Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”.
  • Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
  • Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Di luar Pasal tersebut, sesuai dengan pertimbangan yang dilansir, urgensinya memang sangat perlu untuk memastikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam berbagai aspek berjalan sesuai ketentuan. Sebut saja Pasal 9 pada Bab III yang menjelaskan tentang ketentuan pelaku usaha yang menawarkan produk dan jasanya melalui sistem elektronik (digital) harus menyediakan kelengkapan informasi. Dilanjutkan pada pasal selanjutnya tentang sertifikasi usaha dan produk yang menjadi standardisasi, tak lain untuk memberikan rasa nyaman bagi konsumen secara umum.

Termasuk untuk sterelisasi informasi di internet, yang tersaji pada Pasal 28, mengatur tentang larangan penyebaran berita bohong dan informasi yang menimbulkan kebencian. Tentu ini menjadi bagian penting untuk melandasi keragaman yang ada di Indonesia, menghindarkan dari berbagai tindakan provokasi melalui sistem elektronik yang ujungnya memecah-belah bangsa. Menariknya, saat ini masih saja mudah ditemui ujaran kebencian dan sejenisnya di media sosial –yang cenderung banyak dibiarkan.

Detil aturan yang masih multitafsir

Jika berbicara misi perlindungan yang ingin ditegakkan, tidak ada yang salah sama sekali. Konsentrasinya justru ada pada detail, sering kali membuat poin-poin yang tertera disalah artikan. Misalnya pada Pasal 27 Ayat 3, seputar penyebaran informasi yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Revisi di UU ITE terakhir memberikan penjelasan bahwa sebuah informasi dikatakan menghina atau mencemarkan nama baik indikasinya merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) –khususnya pada Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP.

Sejatinya di sana sudah tertera dengan sangat jelas, misalnya tentang tindakan pencemaran nama baik.  Secara umum tindakan tersebut meliputi penistaan, penistaan dengan surat, fitnah, penghinaan ringan, dan pengaduan palsu. Namun masih saja daftar tersebut sering disalah gunakan. Dari kasus yang sudah ada, masalah utamanya adalah sulitnya untuk membedakan mana kritik, mana koreksi dan mana tindakan pencemaran.

Contoh kasusnya sudah banyak sekali, mulai dari kritik surel seorang ibu rumah tangga terhadap sebuah institusi kesehatan yang dikirimkan melalui email, hingga yang terakhir ramai dibincangkan netizen, tentang dikuaknya beberapa klaim sepihak atas prestasi seorang motivator oleh seorang melalui media sosial. Dari banyak kasus yang ada –terakhir yang juga dialami seorang standup comedian yang mengungkapkan keburukan pengembang apartemen—pelapor dalam hal ini pengunggah informasi tersebut menyertakan bukti yang menurutnya valid.

Namun dengan kekuasaan pihak yang merasa dirugikan, justru serangan balik yang lebih kencang dilontarkan, dengan dalih penegakan hukum. Kerap kali netizen geram, yang akhirnya meluluhkan serangan tersebut. Pembuktian atas informasi yang disampaikan –yang dianggap merugikan pihak pelapor—justru bukan menjadi misi utama di awal. Apakah karena proses hukum tindakan yang diambil untuk menutupi?

Urgensi membuat proses hukum lebih akuntabel

Salah satu indikasi efektivitas sebuah aturan adalah ketegasan. Sebaliknya, kegagalannya jika aturan tersebut menjadi sebuah “pasal karet”, bisa elastis mengikuti kepentingan. Kasus yang terjadi di atas, sangat dimungkinkan pangkalnya pada pasal yang masih elastis tersebut. Dari pola kasus yang ada, elastisitas tersebut cenderung mudah dimanfaatkan pihak berkuasa –salah satunya membungkam kebebasan berpendapat, khususnya dalam mengungkap sebuah kekeliruan.

Jadi dalam hal ini tegas mengatakan, bahwa ada urgensi untuk mengulas kembali untuk memberikan sebuah ketegasan dan prosedur yang jelas atas poin-poin yang memiliki kemungkinan untuk disalahartikan.

Pemerintah Blokir Situs Telegram (UPDATED)

Sore ini pengguna internet Indonesia dikejutkan oleh diblokirnya situs layanan messaging Telegram oleh berbagai ISP atas perintah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sejauh ini belum ada penjelasan resmi di balik pemblokiran situs Telegram, tetapi disinyalir dikaitkan dengan konten ilegal. Komunikasi menggunakan aplikasi Telegram, baik di mobile maupun desktop, belum mengalami masalah.

Telegram didirikan oleh Nikolai dan Pavel Durov di tahun 2013 dan diklaim menggunakan teknologi yang lebih aman untuk kebutuhan percakapan online, meskipun tidak semua pihak sependapat. Di tahun 2016 Telegram telah memiliki lebih dari 100 juta pengguna.

Di Indonesia penggunaan Telegram belum seluas WhatsApp, LINE, atau BBM, tetapi jumlah penggunanya cenderung bertambah karena sejumlah fitur menarik, seperti secret chat, koleksi stiker yang lebih bervariasi, dan penggunaan memori ponsel yang lebih efisien dibanding layanan serupa.

Tampilan situs Telegram yang diblokir ketika diakses melalui jaringan internet First Media / DailySocial
Tampilan situs Telegram yang diblokir ketika diakses melalui jaringan internet First Media / DailySocial

Menurut informasi yang kami terima, secara total ada 11 situs terkait Telegram yang diblokir Kominfo yang dianggap melanggar UU ITE. Mereka adalah:

t.me
telegram.me
telegram.org
core.telegram.org
desktop.telegram.org
macos.telegram.org
web.telegram.org
venus.web.telegram.org
pluto.web.telegram.org
flora.web.telegram.org
flora-1.web.telegram.org

Bulan April lalu, Pavel Durov membuat tulisan tentang mengapa layanan voice call Telegram diblokir di sejumlah negara, khususnya di Tiongkok dan negara-negara Timur Tengah. Ia mengklaim Telegram dipersulit di banyak negara karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintah demi menjaga privasi penggunanya.

Telegram has historically had problems with regulators in some parts of the world because, unlike other services, we consistently defended our users’ privacy and have never made any deals with governments. In three and a half years of existence to date, Telegram disclosed exactly zero bytes of users’ data to any third-party.

Pemblokiran situs Telegram mengikuti jejak Reddit dan Vimeo yang diblokir karena alasan memiliki konten pornografi (meskipun sebenarnya tidak semua isinya berbau pornografi). Sebelumnya Tumblr juga pernah diblokir sesaat di bulan Februari 2016 karena alasan konten pornografi, meskipun akhirnya dicabut kembali.

Update: Pemerintah akan mengumumkan secara resmi alasan pemblokiran Telegram pada Senin (17/7) mendatang. Di sisi lain, pemerintah mendukung penggunaan layanan LINE yang merupakan kompetitornya.

Application Information Will Show Up Here

Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan

Internet adalah tempat yang bebas bagi publik untuk menyimpan data dan mengabarkan peristiwa. Meskipun terdapat berbagai peraturan yang berusaha untuk mengelola dan membatasi kebebasan tersebut, pada kenyataannya, teknologi internet berkembang relatif lebih cepat daripada ketentuan hukum dapat mengimbanginya.

Informasi yang terdapat di internet bisa dalam bentuk data yang kita unggah sendiri atau diunggah oleh orang lain. Foto memalukan yang kita post sendiri bisa kita hapus dengan mudah. Namun, bagaimana jika foto tersebut di-copy oleh orang lain, atau bahkan menjadi viral atau meme, dan sulit bagi kita untuk meminta orang-orang tersebut untuk menghapusnya satu-persatu. Bagaimana jika foto memalukan tersebut memberikan kita ketenaran yang tidak diinginkan atau bahkan sampai mengganggu karier? Pertanyaan yang sama berlaku bagi jenis-jenis informasi lainnya, seperti tweet, status update, maupun laporan berita.

Setiap orang memiliki masa lalu dan mungkin kejadian-kejadian tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan kita sekarang. Internet dan teknologi cloud membuat kita sulit untuk mengubur masa lalu itu. Maka, munculnya ‘hak untuk dilupakan’ adalah perkembangan hukum yang wajar dalam era digital ini.

Apa itu ‘hak untuk dilupakan’?

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak tahun 2006. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, hak untuk dilupakan berangkat dari keinginan individual untuk menentukan sendiri arah pengembangan hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu yang mereka lakukan di masa lalu.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi hutang tersebut. Ia menggugat Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral. Namun Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, penghapusan tautan hanya dilakukan di search engine, sementara tautannya sendiri masih bisa ditemukan di situs berita yang bersangkutan. Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Perdebatan soal hak untuk dilupakan sesungguhnya mendasar secara konsep dan filsafat hukum. Ketika diturunkan menjadi diskursus antara hak untuk dilupakan versus hak kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dapat menjadi pedang bermata dua. Kedua hak tersebut merupakan hak asasi manusia. Tidak sedikit yang mengkritik hak untuk dilupakan sebagai suatu bentuk penyensoran dan penulisan ulang sejarah.

Hak untuk dilupakan vs hak atas informasi

Hak untuk dilupakan tidak sama dengan hak privasi. Hak privasi adalah hak atas informasi-informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seorang individu dan berpotensi membahayakan keselamatan individu tersebut, seperti alamat, nomor telepon, catatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan hak untuk dilupakan berhubungan dengan informasi akan seorang subyek di internet pada periode waktu tertentu.

Terlepas dari kontroversinya, hak untuk dilupakan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal baik. Korban dari revenge porn atau perbuatan asusila dapat menggunakan hak ini untuk menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di internet. Remaja Gen Z atau bayi-bayi yang sudah punya akun Instagram sendiri karena orang tuanya, yang menyesali keberadaan konten digital dirinya, juga dapat memanfaatkan hak yang sama untuk menghapus konten tersebut.

Namun, bagaimana dengan seorang dokter yang pernah melakukan malpraktik atau pengobatan yang sempat menjadi sorotan? Dokter itu bisa saja menggunakan hak untuk dilupakan demi mengubur informasi soal malpraktiknya di masa lalu. Kerugian terbesar tentunya adalah bagi konsumen yang perlu mengambil keputusan dengan informasi menyeluruh.

Pada skala lebih kecil, jika kita pernah diberitakan melakukan tindakan kriminal atau memiliki konten memalukan di akun atau situs publik, dan kita tidak mau informasi tersebut mempersulit kita mencari kerja, pantaskah hak untuk dilupakan digunakan dalam hal ini? Apakah pemberi kerja berhak untuk mengetahui informasi ini, meskipun kita merasa informasi tersebut sudah tidak relevan?

Hak untuk dilupakan ini sudah dimanfaatkan oleh Dejan Lazic, pianis dari Uni Eropa, untuk menghapus resensi jelek soal musiknya di internet. Penerapan hak untuk dilupakan sangat nyata dalam kehidupan publik di internet dan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan akan informasi masyarakat.

Bagaimana pengaturan Hak Untuk Dilupakan dalam Perubahan UU ITE?

Oktober lalu, DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu perubahan itu adalah penambahan ketentuan Pasal 26 soal perlindungan data pribadi di internet. Berdasarkan pemberitaan Kominfo, penambahan Pasal 26 adalah:
(a) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan; dan
(b) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Hingga saat ini, saya belum berhasil mendapatkan teks asli Perubahan UU ITE, sehingga saya hanya mengandalkan pemberitaan Kominfo. Ada beberapa hal yang dapat ditanggapi:

(a) Definisi ‘tidak relevan’ terlalu rancu. Informasi apa yang masih relevan dan tidak relevan? Apakah Perubahan UU ITE akan menjelaskan ukuran dari ‘tidak relevan’? Belajar dari perkembangannya di Uni Eropa, perlu ada pengecualian terhadap informasi yang diunggah sehubungan dengan kegiatan jurnalistik dan resensi karya seni, supaya hak-hak warganegara akan informasi tetap terjamin. Pengadilan Uni Eropa secara eksplisit mengklarifikasi bahwa hak untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan hak-hak fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi. Pemberitaan Kominfo tidak memperlihatkan pengecualian tersebut.

(b) Siapa yang dimaksud dengan ‘Penyelenggara Sistem Elektronik’? Berdasarkan definisinya di UU ITE, penyelenggara yang dimaksud akan meliputi seluruh pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi. Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan kewajiban OTT untuk memiliki badan hukum di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan terhadap OTT asing.

(c) Apa yang dimaksud dengan ‘menghapus’? Apakah menghapus berarti meniadakan tautannya saja, atau menghapus laman yang bersangkutan sekaligus?

(d) Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya. Sisi positifnya adalah Penyelenggara Sistem Elektronik tidak bisa mengelak. Penetapan pengadilan juga memastikan hak untuk dilupakan tidak dapat digunakan begitu saja. Di sisi lain, jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Hakim sebagai penentu apa yang ‘relevan’ jadi memiliki beban baru untuk memahami internet, termasuk soal integritas dan distribusi informasi di internet, serta hubungannya dengan konteks sosial dari informasi tersebut. Ketiadaan preseden juga berpotensi mengakibatkan penetapan hakim berbeda dari kasus ke kasus, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

(e) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?

(f) Bagaimana jika Penyelenggara Sistem Elektronik menolak untuk menghapuskan Informasi Elektronik yang bersangkutan? Apakah mereka dapat dikenakan denda atau upaya hukum lainnya? Pemberitaan Kominfo tidak menggambarkan sanksi tersebut.

Saya turut menekankan perlu ada mekanisme tambahan supaya hak untuk dilupakan tidak disalahgunakan oleh pemangku kepentingan. Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan pencemaran nama baik di internet cenderung dapat disalahgunakan oleh pejabat dalam melawan kritik terhadap pemerintah. Ketentuan hak untuk dilupakan berpotensi untuk disalahgunakan dalam konteks yang serupa.

Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu mengimbangi kekhawatiran tersebut dengan menentukan koridor-koridor yang jelas dalam penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi keamanan dan kenyamanan berinternet.


Disclosure: Fallissa Putri, S.H. adalah konsultan hukum dan advokat dari Klikonsul, konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com

Mampukah UU ITE Menjawab Tantangan Perkembangan E-Commerce di Indonesia?

Bukan informasi baru bahwa Indonesia memiliki pangsa pasar yang besar, termasuk pasar bagi kegiatan perdagangan elektronik, atau yang lumrah disebut e-commerce. Hingga akhir tahun 2015 kemarin, Kementerian Komunikasi dan Informatika (“Kominfo”) mencatat bahwa terdapat 93,4 juta pengguna internet di Indonesia dan 7,4 juta di antaranya adalah konsumen online shop dengan total nilai transaksi e-commerce sebesar $3,5 milliar. Kominfo memperkirakan jumlah online shopper akan meningkat menjadi 8,4 juta orang dengan nilai transaksi hingga $4,89 miliar di sepanjang tahun 2016 ini.

Sayangnya, potensi besar tersebut belum didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai karena belum ada peraturan yang secara khusus diterbitkan untuk mengatur sektor e-commerce. Hingga saat ini, hanya terdapat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang E-Commerce (“RPP E-Commerce”) sebagai calon peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU Perdagangan”). Selama rancangan peraturan tersebut belum disahkan, maka kerangka utama peraturan perundang-undangan terkait kegiatan e-commerce masih berpusat pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (“UU ITE”).

Salah satu tujuan diterbitkannya UU ITE memang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku di sektor e-commerce. Namun, banyak anggapan bahwa undang-undang ini belum mampu mewujudkan tujuannya tersebut, sebagaimana akan dibahas dalam artikel ini.

Pembahasan mengenai ketidakmampuan tersebut dapat dimulai dari fakta bahwa tidak adanya definisi khusus untuk e-commerce dalam kerangka UU ITE, sebab kegiatan perdagangan yang dilakukan secara elektronik tersebut dipahami sebagai “transaksi elektronik”. Padahal, definisi “transaksi elektronik” yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) UU ITE begitu luas, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya.

Sebagai perbandingan, UU Perdagangan memahami e-commerce sebagai “perdagangan melalui sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik (Pasal 1 nomor 24 UU Perdagangan).

Selain itu, banyak ketentuan dalam UU ITE yang masih “kosong” dan oleh karenanya memerlukan peraturan pelaksana. Beberapa di antaranya sangat berkaitan dengan perkembangan kegiatan e-commerce, seperti:

1. Ketentuan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik

Terlepas dari adanya ketentuan-ketentuan lain tentang transaksi elektronik dalam Bab V, UU ITE tetap mengamanatkan diterbitkannya peraturan pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan transaksi elektronik dalam ringkup publik ataupun privat. Walau demikian, UU ITE tidak menjelaskan cakupan ketentuan penyelenggaraan yang dapat diatur dalam peraturan pemerintah tersebut (Pasal 17 dan penjelasannya dalam UU ITE).

2. Ketentuan mengenai lembaga sertifikasi keandalan dan penyelenggara sertifikasi elektronik

UU ITE mengatur bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan. Lembaga tersebut merupakan lembaga independen yang dibentuk oleh para profesional untuk mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik, di mana kegiatannya harus disahkan dan diawasi oleh pemerintah (Pasal 10 UU ITE).

Sertifikat keandalan adalah bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak melakukan usahanya tersebut, setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang (penjelasan Pasal 10 UU ITE). Keberadaan lembaga sertifikat keandalan jelas penting untuk memberikan ukuran kelayakan pelaku usaha di bidang e-commerce dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam bertransaksi melalui sistem elektronik.

Sejalan dengan ketentuan di atas, UU ITE juga mengamanatkan penerbitan peraturan pemerintah mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik, yaitu badan hukum yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik. Sertifikat ini memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik. Sama halnya dengan sertifikat keandalan, sertifikat elektronik juga penting untuk meningkatkan kepastian dalam melakukan transaksi e-commerce dan mencegah penyalahgunaan data dari para pelaku dalam kegiatan perdagangan elektronik.

Sayangnya, kedua peraturan pelaksana tersebut tak kunjung diterbitkan. Padahal, UU ITE telah mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU ITE wajib diterbitkan dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun sejak UU ITE diundangkan (Pasal 54 ayat (2) UU ITE).

Selain kekurangan yang dijelaskan di atas, perlu juga dilakukan sosialisasi yang lebih mendalam mengenai ketentuan-ketentuan dalam UU ITE sehingga masyarakat lebih memahami hak dan kewajibannya dalam bertransaksi sebagaimana yang sudah diatur dalam UU ITE. Misalnya, hak mengajukan gugatan atas kerugian yang dialami atas penggunaan suatu sistem elektronik. Bukan sedikit kasus penipuan yang terjadi di bidang e-commerce, tapi tidak banyak konsumen yang menindaklanjuti hal tersebut sehingga tidak banyak yang mengetahui celah-celah penipuan yang dapat terjadi, apalagi cara mengatasinya.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa memang UU ITE perlu ditinjau kembali. Tidak hanya memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dijelaskan sebelumnya, peninjauan kembali tersebut juga diaharapkan dapat mengakomodir berbagai perkembangan di sektor e-commerce yang telah terjadi selama tujuh tahun keberlakuan UU ITE dan perlu diakomodir agar pelaksanaan e-commerce di Indonesia dapat lebih optimal.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

UU ITE batal disahkan tahun ini / Shutterstock

Revisi UU ITE Dipastikan Batal Disahkan Tahun ini (UPDATED)

Draft revisi UU ITE dikabarkan telah selesai. Ada beberapa perubahan yang menunggu disahkan. Sayangnya, revisi UU ITE resmi batal disahkan tahun ini. Tentu banyak pihak yang kecewa akan hal ini. Harapan selanjutnya adalah revisi UU ITE ini masuk dalam Prolegnas 2016 dan dapat segera disahkan tahun depan. Continue reading Revisi UU ITE Dipastikan Batal Disahkan Tahun ini (UPDATED)

Draf Revisi UU ITE selesai / Shutterstock

Draft Perbaikan UU ITE Selesai, Masih Tunggu Keputusan DPR

Menurut pemberitaan The Jakarta Post, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengabarkan bahwa draft pasal 27 UU ITE telah selesai direvisi. Dalam revisi tersebut salah satu poinnya adalah perubahan tuntutan penjara bagi mereka yang terlibat pencemaran nama baik di dunia maya yang semula enam tahun menjadi tiga tahun. Continue reading Draft Perbaikan UU ITE Selesai, Masih Tunggu Keputusan DPR

Kebebasan Akses Internet di Indonesia Duduki Peringkat ke-33 di Dunia

shutterstock_281519555

Dalam laporan Freedom on The Net 2015, Indonesia menduduki urutan ke-33 sebagai negara yang memiliki kebebasan mengakses Internet dengan skor total 42. Metriks penilaian berkisar di seputar hambatan mengakses Internet itu sendiri, pembatasan konten, dan pelanggaran hak pengguna.

Continue reading Kebebasan Akses Internet di Indonesia Duduki Peringkat ke-33 di Dunia

Sudahkah UU ITE Tepat Guna?

shutterstock_140931481

Untuk kesekian kalinya, kisah hukum pemidanaan yang terjadi dari ranah teknologi informasi dan internet kembali menjadi sorotan. Dari kisah seorang warga yang hampir masuk bui karena ulah penghinaan terhadap presiden di jejaring sosial Facebook, sampai polemik hukum mantan dirut IM2 yang kontroversial mendatangkan tanda tanya bahwa sebenarnya apakah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah tepat guna? Continue reading Sudahkah UU ITE Tepat Guna?

Penipuan Dalam Jual Beli Online Dapat Dihukum Penjara 12 Tahun

Fenomena e-commerce yang sedang booming saat ini dibarengi oleh maraknya sebuah ekses: penipuan online. Dikhawatirkan, jika tidak segera diatasi, praktik penipuan online ini juga akan berdampak buruk bagi kemajuan e-commerce Indonesia, karena bisa membuat para pelanggan menjadi takut belanja online. Sekarang kita punya beberapa Undang-Undang yang bisa menjerat para penipu online dengan hukuman penjara hingga 12 tahun serta denda hingga 12 miliar rupiah.

Continue reading Penipuan Dalam Jual Beli Online Dapat Dihukum Penjara 12 Tahun