AC Ventures (ACV) menutup putaran akhir dana kelolaan kelimanya ACV V L.P (ACV Fund V) dengan total $210 juta (sekitar Rp3,28 triliun). Nilai tersebut sudah termasuk dana co-investasi.
ACV Fund V didukung oleh sejumlah Limited Partner (LP) global, melibatkan IFC dan lembaga keuangan terkemuka dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Utara. Dari total nilai ini, 50% dana terkumpul berasal dari investor terdahulu, dan 90% dana berasal dari modal institusional.
Putaran pertamanya ditutup pada 2022 senilai Rp2,4 triliun. Berdasarkan data yang dirangkum DailySocial.id di sepanjang 2023, ACV telah menggulirkan investasi ke sejumlah startup Indonesia, termasuk ALAMI, BRIK, Broom, Maka Motors, dan Rosé All Day Cosmetics.
“Indonesia menjadi pusat investasi yang dinamis, berkembang pesat di tengah pergeseran ekonomi global. Pertumbuhan ini didorong oleh populasi yang muda, peningkatan kesejahteraan, dan pemerintahan yang stabil dan pro-investasi. Indonesia berada di jalur untuk menjadi satu dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia dalam dekade mendatang,” ujar Founding Partner ACV Pandu Sjahrir.
Lebih lanjut, ACV mengungkap komitmennya pada dampak berkelanjutan sejalan dengan pencapaian kinerja keuangan yang positif, tak hanya penciptaan nilai ekonomi saja.
Pihaknya menyebut dana kelolaan III menyentuh rasio dampak bersih sebesar 37% oleh The Upright Project, sebuah model berbasis AI buatan Finlandia untuk mengukur dampak bersih perusahaan dan dana kelolaan. Capaian ini disebut telah menempatkan ACV dan portofolionya di atas rata-rata Nasdaq Small Cap Index (NQUSS) sebesar 29%.
“Fokus kami pada keseimbangan hasil finansial dan keberlanjutan, tidak hanya mencerminkan respons pasar saat ini. Hal ini adalah prinsip dasar filosofi investasi jangka panjang kami untuk menciptakan nilai yang substansial bagi semua pemangku kepentingan, dengan pendekatan strategis serta menekankan dampak berkelanjutan dan tata kelola keuangan yang bertanggung jawab,” tutur Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.
Dalam memberikan nilai tambah portofolionya, ACV memiliki tim penciptaan nilai (value creation) yang mendampingi startup meraih pertumbuhan, inovasi, dan sukses berkelanjutan. Tim juga memiliki keahlian khusus dalam pemasaran, pertumbuhan, humas, dan panduan ESG.
Ekonomi digital Indonesia diperkirakan masih tumbuh dalam beberapa tahun mendatang dengan proyeksi total GMV sebesar $110 miliar pada 2025. Kendati begitu, iklim investasi startup Indonesia pada tahun ini diprediksi masih akan sulit, dipicu oleh ketidakpastian ekonomi global.
Menurut sejumlah investor, tahun 2024 masih akan menjadi momentum startup teknologi dan digital untuk membenahi fundamental bisnisnya. Startup perlu meraih profitabilitas untuk mengembalikan kepercayaan investor terhadap bisnisnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 25 Tahun 2023 yang akan mengatur lebih lanjut terkait penyelenggaraan perusahaan modal ventura di Indonesia.
POJK ini diamanatkan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) guna mendukung perkembangan industri dan kebutuhan hukum perusahaan ventura saat ini.
Perusahaan modal ventura memiliki peran penting dalam satu dekade terakhir dalam mendorong industri startup di Indonesia melalui fasilitas pendanaan yang selama ini tidak dapat diakomodasi oleh lembaga keuangan, seperti bank. Startup juga berperan terhadap pembukaan lapangan kerja baru.
“Salah satu pokok pengaturan dalam POJK ini adalah adanya pengkategorian perusahaan modal ventura dan perusahaan modal ventura syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya,” demikian OJK dalam keterangan resminya.
Ringkasan pasal pokok
Berikut rangkuman beberapa pasal pokok terkait kategori perusahaan dan kegiatan usaha dan dalam POJK ini.
Pasal 9 Ayat 1a menyatakan perusahaan berbentuk venture capitalcorporation wajib menjalankan kegiatan usaha sesuai kategori:
Perusahaan Modal Ventura (PMV): perusahaan yang fokus pada kegiatan penyertaan modal dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi.
Perusahaan Modal Ventura Syariah (PMV) dan Unit Usaha Syariah (UUS): perusahaan yang fokus pada kegiatan penyertaan modal dan/atau penyertaan melalui pembelian sukuk konversi.
Ketiga kategori ini dapat mengelola dana ventura.
Sementara, Pasal 9 Ayat 1b menyatakan perusahaan berbentuk venture debt corporation wajib menjalankan kegiatan usaha sesuai kategori:
PMV: pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal dan/atau pengembangan usaha.
PMVS dan UUS: pembiayaan melalui pembelian sukuk yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal dan/atau pengembangan usaha pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil.
Adapun, Pasal 13 Ayat 2 merincikan sejumlah kegiatan usaha pada modal ventura dan modal ventura syariah dengan tujuan pengembangan pada penemuan baru, usaha perseorangan yang mengalami kesulitan dana, UMKM dan korporasi, pengambilalihan usaha yang sedang berkembang atau alami kemunduran, proyek penelitian, teknologi baru, hingga pengalihan kepemilikan.
Selain itu, dalam keterangannya, OJK juga menyampaikan beberapa penguatan regulasi pada POJK Nomor 25 Tahun 2023, yakni terkait:
Prudensial: mengatur kewajiban PMV dan PMVS untuk memelihara dan/atau meningkatkan tingkat kesehatan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam menjalankan kegiatan usaha
Pengelolaan Dana Ventura POJK: mengatur lebih lengkap terkait permohonan izin pengelolaan dana ventura hingga pembubaran dana ventura. Poin ini juga mengatur persyaratan SDM dan struktur organisasi PMV dan PMVS yang akan mengelola dana ventura, termasuk penggunaan nama dana ventura, hingga penempatan dana ventura.
Kinerja modal ventura
Sebelumnya, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) sempat memberikan sejumlah usulan kepada OJK agar merombak pada kebijakan pada penyelenggaraan modal ventura. Hal ini guna mendorong kontribusi industri terkait ke Indonesia, misalnya soal insentif dan kolaborasi.
Mengutip Bisnis.com, OJK melalui data Statistik Lembaga Pembiayaan edisi Juni 2023 mencatat total aset yang dimiliki perusahaan modal ventura sebesar Rp27,3 triliun pada semester pertama 2023, naik 14% dari Rp23,9 triliun pada periode sama tahun sebelumnya.
Total pendapatannya tercatat tumbuh 20,1% (YoY)menjadi Rp2,37 triliun. Namun, laporan mengungkap bahwa perusahaan modal ventura mengalami penurunan laba bersih hingga 19,7% (YoY) menjadi Rp176 miliar pada semester I 2023.
Di tahun 2023, pendanaan startup Indonesia kembali mengalami penurunan. Tren ini sudah terjadi dalam dua tahun terakhir pasca-pandemi — setelah sebelumnya pada tahun 2021 sempat terjadi peningkatan signifikan (bahkan dibilang bisa menjadi salah satu tahun terbaik dalam hal perolehan investasi).
Bersumber dari pengumuman resmi dan input data regulator, DailySocial.id mencatat tahun 2023 ini startup Indonesia membukukan total pendanaan $2,85 miliar (dari 73 transaksi yang menyebutkan nilainya). Adapun total transaksi investasi yang berhasil dicatatkan sebanyak 139x.
Perolehan ini menunjukkan penurunan pertumbuhan year-over-year (yoy) -33,19% dibandingkan dengan periode 2022. Sekaligus menjadi penurunan kedua pasca-pandemi. Perlu dicatat, sejak tahun 2015 perolehan pendanaan startup Indonesia selalu menunjukkan pertumbuhan, bahkan ketika periode awal pandemi.
Ketika berbincang dengan stakeholder, penurunan ini disinyalir disebabkan sejumlah hal. Salah satunya karena adanya penyesuaian pasar atas dinamika ekonomi global, berdampak langsung pada penurunan minat investor ke sektor high-risk seperti venture capital.
“Tech-winter utamanya disebabkan kenaikan suku bunga Bank Sentral yang membuat obligasi negara lebih menarik untuk diinvestasi dibandingkan modal ventura. Implikasinya, pasokan modal yang lebih kecil menghasilkan tingkat investasi yang lebih rendah. Efek domino lain dari kenaikan suku bunga adalah penilaian yang lebih rendah, karena sebagian besar investor startup menggunakan model DCF (Discounted Cash Flow) untuk menilai bisnis, dalam model DCF jika suku bunga naik, penilaian turun,” jelas Head of Investment MDI Ventures Gani Putra Lie dalam sebuah wawancara.
Di sisi lain, startup mulai memikirkan strategi untuk mencapai titik profitabilitas lebih cepat. Di tengah proses fundraising yang semakin sulit, bahan bakar dioptimalkan untuk membuka peluang pertumbuhan bisnis. Sebagian termasuk mulai mengupayakan konsolidasi, efisiensi operasional, dan inovasi untuk mempertahankan runway bisnisnya.
Tren pendanaan 2023
Dari data pendanaan sepanjang tahun 2023 turut ditemukan sejumlah fakta menarik. Pendanaan tahap awal (seed funding) masih mendapati porsi tertinggi secara jumlah transaksi. Kendati demikian, jumlah pendanaan lanjutan (seri A atau di atasnya) juga terlihat tidak sedikit.
Tingginya jumlah putaran pendanaan awal mengindikasikan kepercayaan investor yang masih terjaga untuk generasi founder selanjutnya atas inovasi-inovasi baru yang dilahirkan. Sementara untuk pendanaan lanjutan juga memperlihatkan komitmen investor melakukan follow-on funding guna mendukung portofolio startup yang telah dimiliki sebelumnya.
Sejumlah investor memang sempat membeberkan bahwa di situasi tech-winter mereka memilih melakukan “portofolio mode”. Alih-alih mengeksplorasi peluang investor baru, mereka memilih fokus untuk membantu founder di portofolionya mengakselerasi bisnis.
Lalu jika ditinjau dari vertikal industrinya, fintech masih mendominasi perolehan investasi terbanyak. Tren ini masih berlanjut sejak lima tahun terakhir. Dilanjutkan sektor SaaS dan healthtech. Kendati demikian berbagai vertikal industri juga mendapatkan perhatian investor (pada grafik di bawah, kategori ‘lainnya’ terdiri dari 24 sektor bisnis yang berbeda).
Dari pendanaan yang ada, didapat 10 putaran dengan nilai terbesar. Tokopedia mendapat investasi dari induk TikTok menjelang akhir tahun 2023 kemarin, sebagai upaya perusahaan untuk menggabungkan kekuatan bisnis dan mengembalikan operasional TikTok Shop di Indonesia.
Sektor lain yang banyak menempati top 10 adalah kendaraan listrik — mereka adalah startup lokal yang bergerak di bidang manufaktur kendaraan listrik dan infrastruktur pendukungnya. Diketahui, memang diperlukan investasi besar untuk mengawali bisnis ini.
Startup
Industri
Putaran
Nilai Pendanaan
Tokopedia
Marketplace
Venture Round
$ 1.500.000.000,00
Kredivo Holdings
Fintech
Series D
$ 270.000.000,00
Investree
Fintech
Series D
$ 234.000.000,00
eFishery
Aquatech
Series D
$ 200.000.000,00
Halodoc
Healthtech
Series D
$ 100.000.000,00
ALVA
Electric Vehicle
Series B
$ 50.000.000,00
Charged Asia
Electric Vehicle
Venture Round
$ 40.000.000,00
MAKA Motors
Electric Vehicle
Seed Funding
$ 37.600.000,00
Evermos
Social Commerce
Series B
$ 30.000.000,00
Swap Enegry
Electric Vehicle
Series A
$ 22.000.000,00
Dana kelolaan pemodal ventura
Kendati terjadi perlambatan investasi di tahun 2023, bukan berarti ekosistem startup Indonesia di ambang pesimistis. Karena sepanjang tahun lalu, belasan pemodal ventura mengumumkan dana kelolaan baru yang siap untuk berinvestasi ke startup Indonesia di tahun ini. Dana kelolaan ini memiliki fokus yang cukup beragam, menyasar berbagai tahapan startup.
Dana Kelolaan
VC
Nilai Kelolaan
Fokus Investasi
Fokus Sektor
NSV I
Northstar Group
$140.000.000,00
Early Stage
Consumer, Fintech, Enterprise Solution
BTN Fund
Bank Tabungan Negara, Mandiri Capital Indonesia
$25.000.000,00
Multi Stage
Proptech, Mortgage Tech, Fintech, Embedded Finance, Construction Tech, Open Finance, SaaS
Telkomsel Ventures 2
Telkomsel
Undisclosed
Multi Stage
Internet Solution, AI, SME, E-Commerce, Digital Content
Fund 1
Kopital Ventures
$12.000.000,00
Early Stage
Sector Agnostic
Healthcare Fund
East Ventures
$30.000.000,00
Early Stage
Healthtech
East Ventures South Korea Fund in Partnership with SV Investment
East Ventures, SV Investment
$100.000.000,00
Multi Stage
Biotech, Heakthtech, EV, Celantech, Online Media
Ascent Fund 3
Ascent Venture Group
$200.000.000,00
Multi Stage
Sector Agnostic
Fund V
Vertex Ventures SEA dan India (VVSEAI)
$541.000.000,00
Multi Stage
Sector Agnostic
500 SEA III
500 Global
$143.000.000,00
Early Stage
Sector Agnostic
Merah Putih Fund
CVC BUMN
$300.000.000,00
Growth Stage
Sector Agnostic
Energi Fund
Pertamina
Undisclosed
Multi Stage
Energy
Argor Fund
Argor
$240.000.000,00
Multi Stage
Sector Agnostic
Peak XV Fund
Sequoia Capital
$2.000.000.000,00
Multi Stage
Sector Agnostic
Growth Plus
East Ventures
$250.000.000,00
Growth Stage
Sector Agnostic
Growth Fund III
B Capital
$2.100.000.000,00
Growth Stage
Sector Agnostic
Fund 1
Creative Gorilla Capital
$19.200.000,00
Early Stage
D2C
NSV I
Northstar Group
$90.000.000,00
Early Stage
Consumer, Fintech, Enterprise Solution
“Secara singkat, kami melihat tahun 2023 masih melambat, tahun 2024 akan ada pemulihan secara bertahap. Oleh sebab itu, saran dari kami, startup harus dapat bertahan (mempunyai runway) hingga tahun 2025 […] East Ventures tidak pernah berhenti berinvestasi. Kami tidak peduli apakah hari ini cerah atau hujan, kami akan tetap berinvestasi pada founder yang bagus dan berhenti berinvestasi jika tidak ada lagi founder yang bagus untuk diinvestasikan. Kami telah melihat peningkatan kualitas para founder dari waktu ke waktu,” ujar Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.
Mandiri Capital Indonesia (MCI), CVC dari Bank Mandiri, mulai membidik posisi sebagai fund manager, seperti model bisnis VC kebanyakan, agar bisa mengelola fund dari LP di luar Mandiri Group. Ambisi tersebut dilancarkan terhitung sejak akhir tahun lalu, ada dua fund yang akan segera aktif pada tahun ini, yakni BTN Fund dan Merah Putih Fund.
CEO Mandiri Capital Indonesia Ronald Simorangkir menyampaikan, dengan mengelola uang investor di luar Bank Mandiri, harapannya MCI dapat lebih mandiri (self-sustain) untuk memenuhi operasionalnya sendiri. “Kita mulai bangun setahap demi setahap, sehingga 1-2 tahun mendatang jadi fund manager yang mandiri bisa self-sustain,” ujarnya saat Media Outlook 2024 di Jakarta, Rabu (17/1).
BTN Fund dengan target dana kelolaan $20 juta (sekitar Rp312 miliar) ditargetkan dapat segera beroperasi setelah pertama kali diumumkan pada awal Desember 2023. MCI akan memperoleh komisi dari pengelolaan dana tersebut. Sementara itu, Merah Putih Fund telah mengumpulkan dana sebesar $300 juta. Dana ini dikelola secara bersama oleh CVC pelat merah lainnya, yakni BRI Ventures, MDI Ventures, Telkomsel Ventures, dan BNI Ventures.
Saat ini MCI mengelola dua fund yang telah aktif digunakan untuk berinvestasi: balance sheet fund dari Mandiri Group sebesar $250 juta dan Global Climate Tech Fund yang saat ini masih dalam proses penggalangan dengan target dana sebesar $150 juta.
Dari keduanya terdapat 23 startup aktif yang telah didanai berasal dari 14 vertikal bisnis, mulai dari lending, B2B value chain, dan fintech & payment enablers. MCI juga sudah exit di tujuh startup (tiga full exit dan empat partial exit), seperti: MOKA, Cashlez, dan DamCorp.
Bila dipisah berdasarkan tiap dana kelolaan, walau Global Climate Tech Fund masih dalam penggalangan dana, sudah ada sejumlah startup yang telah didanai, yakni: Greenhope, Cakap, Delos, dan FishLog. Hal ini dikarenakan dana kelolaan tersebut merupakan kelanjutan dari mandat Indonesia Impact Fund (IIF) yang sudah diluncurkan sejak 2021.
Strategi investasi tahun ini
Ronald melanjutkan, MCI sebagai CVC memiliki mandat untuk terus mendukung strategi Bank Mandiri dengan menciptakan value creation demi mencapai bisnis yang inovatif dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui implementasi program XYZ, meliputi:
Program Xponent untuk business matchmaking startup dengan Mandiri Group;
Program Xchange dengan melakukan innovation benchmark terhadap beberapa innovation lab yang ada di Singapura;
Y-Axis yang mewadahi para startup untuk memperluas jejaring terhadap tech-community, investor, dan korporasi;
Program Zenith Accelerator yang ditujukan untuk pengembangan bisnis dan kolaborasi bersama ekosistem Mandiri Group.
“Kami membina berbagai startup sebelum akhirnya diinvestasi. Ada yang sudah berjalan. Jadi kita benar-benar beri pekerjaan, bentuknya MoU atau piloting, bukan workshop, jadi ada produk yang siap digunakan oleh Mandiri Group,” imbuh Ronald.
Direktur Investasi Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha menambahkan menyeimbangkan keuntungan jangka pendek dengan keberlanjutan jangka panjang dan memanfaatkan sinergi adalah tujuan dari value creation. Penyelarasan strategis ini tidak hanya meningkatkan kesehatan keuangan masing-masing unit bisnis, namun juga memposisikan seluruh portofolio untuk beradaptasi dan berkembang dalam lingkungan pasar yang dinamis, sehingga mendorong kesuksesan yang bertahan lama.
“Kita lihat sesuatu itu secara jangka panjang, makanya bantu startup menumbuhkan bisnisnya. Makanya kita juga enggak ikut FOMO (fear of missing out), enggak ikut ke Web3 atau wealthtech seperti saat pandemi kemarin,” kata Dennis.
CFO Mandiri Capital Indonesia Wisnu Setiadi menyampaikan, karena MCI fokus bangun fundamental bisnis startup sendiri, maka saat likuiditas di pasar sedang kering, valuasi startup akan dinilai dari fundamental yang sudah mereka punya. Jadi angkanya lebih nyata dan terukur secara logis.
“Saat likuiditas kembali normal, dengan inflasi terkontrol dan global tension mendingin. Di situ kita bisa realized-kan gain-gain tersebut dengan aktif divestasi dan lihat potensi baru untuk diinvestasikan,” tambahnya.
Pada tahun ini, sektor yang dinilai MCI menarik dilirik adalah rantai pasok yang masih banyak aspek konvensional dalam proses bisnisnya. Kemudian, sustainable green business juga turut dilirik, sejalan dengan inisiatif dari Global Climate Tech Fund. MCI akan membidik startup dari global untuk membawa teknologinya masuk ke Indonesia.
“Climate tech masih sangat baru di Indonesia. Maka untuk memulainya harus bangun ekosistemnya di sini, undang dari luar untuk bawa knowledge-nya yang berguna untuk Indonesia,” pungkas Dennis.
Meski ekonomi digital diproyeksikan tetap tumbuh dalam beberapa tahun mendatang, ekosistem startup Indonesia masih mengalami masa sulit sejak dua tahun terakhir. Beberapa indikasinya seperti PHK massal dan penutupan bisnis masih berlangsung mengawali tahun 2024. Situasi ini juga memicu penurunan iklim investasi di sepanjang tahun 2023.
Dalam sesi diskusi “Navigating the Future: Investment Outlook 2024” yang digelar oleh Aspire dan Trihill Capital, sejumlah perwakilan VC membagikan proyeksinya terkait tren pendanaan dan beberapa catatan penting bagi ekosistem startup Indonesia.
Penggalangan dana masih sulit
Menurut Partner Trihill Capital Anthony Tjajadi, likuiditas dari investor dalam negeri sebetulnya masih terbilang baik. Banyak VC masih mampu mengumpulkan dana dalam jumlah besar dari berbagai investor. Namun, ketika tech winter terjadi, sejumlah investor mulai berhati-hati untuk mengucurkan modalnya.
“Masa sulit dalam penggalangan dana masih akan terjadi dibandingkan tahun 2020, 2021, hingga awal 2022. Saya rasa investor masih menanti situasi new normal terbentuk sepenuhnya, karena mereka masih mencari tahu standar baru pada industri ini, misalnya metrik valuasinya,” paparnya.
Jika mengacu laporan AC Ventures dan Bain & Company, jumlah transaksi investasi pada paruh pertama 2023 hanya mencapai 110 kesepakatan, dibandingkan paruh kedua 2022 yang sebanyak 344. Pertumbuhan transaksi pendanaan masih didorong oleh tahap awal, sedangkan pendanaan seri B menurun.
Sementara Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menyoroti tentang tren penurunan ticket size pendanaan di beberapa tahapan. Nilai pendanaan seri A tercatat merosot signifikan dari rata-rata $10 juta menjadi $5,8 juta yang membuat nilai valuasi startup ikut turun.
Menurutnya, para founder mungkin menghadapi dilusi yang lebih tinggi. Mereka harus menyerahkan persentase kepemilikan saham lebih besar kepada investor. Namun, bagi startup awal tingginya porsi kepemilikan investor sangat krusial mengingat tahap ini cenderung belum punya hasil yang pasti sehingga potensi return menjadi lebih rendah.
“Mungkin ada total sekitar 125 kesepakatan pendanaan di Indonesia, dan kita telah melihat penurunan pada putaran di berbagai tahap. Valuasinya juga ikut turun. Artinya, dilusi [saham] yang dikorbankan oleh founder kini jadi jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Saya pikir kepemilikan sangat penting pada pendanaan tahap awal karena potensi exit tidak akan setinggi sebelumnya,” tutur Patrick.
Perusahaan teknologi besar perlu buktikan profitabilitas
Managing Partner Skystar Capital Abraham Hidayat memberikan pendapat lain perihal profitabilitas yang belum mampu diraih perusahaan teknologi Indonesia yang sudah melantai di bursa saham. Hal ini menimbulkan keraguan pasar terhadap potensi perusahaan teknologi di masa depan.
Setidaknya hingga kuartal III 2023, di sektor besar e-commerce dan on-demand, sejumlah perusahaan, seperti GoTo, BliBli, dan Bukalapak, belum ada yang mencetak keuntungan.
“Kita perlu melihat mereka meraih keuntungan terlebih dulu sebelum pasar mau mengubah persepsi mereka tentang [bisnis] teknologi di Asia Tenggara. Bagi startup tahap awal, ini menjadi momentum untuk membangun fondasi bisnis yang tepat. Dan ketika pasar membaik, [generasi selanjutnya] startup tahap awal yang dibangun dengan baik akan berkembang,” jelas Abraham.
Ia memproyeksikan 2024 sebagai tahun bearish bagi sektor teknologi. Menurutnya, berbagai kesepakatan pendanaan yang terjadi di sepanjang tahun 2020, 2021, dan 2022 banyak mengalir ke startup yang belum siap, baik dari model bisnis maupun produk. Konsekuensinya, mereka tidak bisa meraup margin. Karena model bisnis dan produknya.
“Namun, saya melihat akan ada banyak inovasi yang terjadi di segmen grassroot. VC akan terus berinvestasi, terutama pada tahap awal,” tambahnya.
Sektor potensial maupun yang alami kemerosotan
Baik Anthony dan Patrick sepakat bahwa bisnis tradisional dan B2B akan menjadi sektor yang potensial bagi investor. Sektor yang kini banyak dipenuhi oleh pemain D2C atau ritel ini disebut menawarkan potensi keuntungan yang lebih besar dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi biaya dan produktivitas.
Sementara bicara sektor lain, “Periode 2020-2021 adalah tahun yang baik bagi fintech. Namun, tahun lalu fintech mengalami penurunan. Pasar banyak bicara jumlah pengguna atau GTV, tetapi apakah mereka fokus pada keuntungan atau benar-benar sudah mendapat keuntungan dari penggunanya? Saya pikir pasar mulai sadar [fintech] punya banyak pengguna, tetapi tidak ada keuntungan di dalamnya. Lalu, apa untungnya bagi kami [investor]?” tambah Anthony.
Kendati begitu, sanggah Abraham, penurunan minat investor terhadap fintech tak berarti membuat sektor ini gagal. Ia berpendapat, kegagalan gelombang pertama fintech tidak berarti tidak memiliki peluang di masa depan.
Northstar Group menutup penggalangan akhir Northstar Ventures I, L.P (NSV I) sebesar $140 juta (sekitar Rp2,1 triliun), dana kelolaan tahap awal yang difokuskan pada startup yang berbasis atau memiliki operasional signifikan di Indonesia dan Asia Tenggara.
Sebelumnya, Northstar Group telah menutup putaran pertama dana NSV I sebesar $90 juta (sekitar Rp1,4 triliun) pada Januari 2023. Investasi NSV I telah mengalir ke 10 startup di Asia Tenggara, termasuk Maka Motors, produsen EV asal Indonesia.
“Dengan kapitalisasi ekosistem Northstar pada portofolio, mitra strategis, dan founder di regional, NSV I punya posisi kuat untuk memberikan channel dengan pertumbuhan, ekspertis di bidang keuangan, serta wawasan industri bagi calon portofolio. Kami ingin akselerasi pertumbuhan portofolio tahap awal dengan jaringan lebih luas dan kemampuan investasi multi tahap,” tutur Carlson Lau, Managing Director Northstar Ventures, dalam keterangan resminya.
Fokus pendanaan NSV I adalah sektor consumer, fintech, dan solusi enterprise yang diproyeksi dapat menghasilkan pertumbuhan jangka panjang di Asia Tenggara. Situasi pasar saat ini disebut memberikan peluang investasi tahap awal yang menarik, khususnya bagi pasar Indonesia.
NSV I didukung oleh berbagai grup investor global, termasuk sovereign wealth fund, investor institusional, kantor keluarga, dan individu dengan kekayaan bersih yang tinggi.
“Asia Tenggara adalah kawasan dengan pengguna internet terbesar ketiga di dunia. Meningkatnya tingkat kesejahteraan, populasi generasi muda melek teknologi, dan digitalisasi menghadirkan peluang besar bagi startup teknologi,” tambah CIO Northstar Group Chee-Yann Wong.
Sebagai informasi, Northstar Group adalah VC dan private equity berbasis di Singapura di mana telah mengelola dana sebesar $2,6 miliar. Indonesia adalah salah satu tujuan utama investasinya di Asia Tenggara, dengan fokus pada sektor keuangan, retail, manufaktur, telekomunikasi, teknologi, hingga agrikultur.
Secara agregat, Northstar telah menyuntik investasi sebesar $4 miliar dengan co-investor di kawasan Asia Tenggara. Beberapa portofolionya di Indonesia antara lain PrimaKu (parenting), Bang Jamin (insurtech), dan Una Brands (agregator e-commerce).
Laporan terbaru Indonesia Venture Capital Report 2023 menyebutkan tren investasi tahap awal dengan ticket size tak lebih dari $10 juta masih menunjukkan pertumbuhan sehat sejak 2021. Hal terlihat dari jumlah transaksi di bawah $10 juta mendominasi total investasi startup di Indonesia pada 2023 (year-to-date).
Tingginya transaksi investasi tahap awal menunjukkan adanya faktor resiliensi startup-startup yang baru berdiri. Selain itu, posisi startup generasi awal yang telah berkembang signifikan hingga saat ini menjadi indikator terhadap optimisme investor di Indonesia.
Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial, pendanaan startup di Indonesia di sepanjang semester I 2023 mencapai $707 juta, turun drastis 74% dari periode sama tahun sebelumnya, dengan 73 transaksi pendanaan yang diumumkan.
Laporan Intellecap bertajuk “Impact Investing in Southeast Asia 2020-2022” merangkum aktivitas investasi ke sektor berdampak di kawasan tersebut. Dari data yang dihimpun, nilai investasi yang berhasil dibukukan sebagai berikut:
Jenis Investor
Nilai Investasi
Jumlah Transaksi
Jumlah Investor Aktif
Private Impact Investors (PII)
$625 juta
226
66
Development Finance Institutions (DFI)
$6,04 miliar
147
11
DFI x PII
$197,5 juta
6
n/a
Untuk PII, nilai pendanaan terbesar diberikan kepada sektor keuangan, sementara transaksi terbanyak ada di sektor teknologi informasi. Lalu untuk DFI, mayoritas disalurkan ke sektor keuangan — termasuk beberapa di dalamnya fintech yang beroperasi di Indonesia.
Investasi berdampak ditujukan tidak hanya membantu suatu bisnis untuk terakselerasi, namun juga memberikan dampak sosial seluas-luasnya untuk segmen pasar yang ditargetkan.
Sejumlah startup di Indonesia telah menerima investasi ini –salah satunya dari lembaga seperti International Finance Corporation—memberikan dukungan pendanaan (dalam bentuk ekuitas dan debt) kepada GoTo (ride hailing dan e-commerce), Amartha (fintech lending), AnterAja (logistik), Evermos (social commerce), Kitabisa (crowdfunding), dan PasarPolis (insurtech).
Melihat dampak positif yang terus digapai, pendanaan di bisnis berdampak terus diperluas melalui unit investasi yang lebih beragam. Salah satunya SEEDS Capital, salah satu lengan ventura di bawah Enterprise Singapore (bagian dari inisiatif Kementerian Perdagangan dan Perindustrian Singapura).
DailySocial.id berkesempatan berbincang secara virtual dengan General Manager SEEDS Capital Kaixin Tan, membahas bagaimana hipotesis yang mendasari para pemodal ventura di sektor berdampak.
Hipotesis investasi
Mengawali perbincangan, Tan mengatakan bahwa mandat SEEDS Capital adalah mendorong investasi cerdas ke dalam startup inovatif (berbasis) di Singapura yang memiliki konten intelektual kuat dan potensi menembus pasar global. Pendekatan utamanya dengan melakukan co-investment dengan VC dan CVC di kawasan regional.
“Dengan memberikan leverage investasi dan mengambil risiko bersama private investor, kami menyediakan modal yang dibutuhkan startup untuk menutup putaran awal mereka dan melanjutkan pertumbuhan mereka. Kami cenderung berinvestasi lebih awal pada putaran seed sampai seri A, ketika startup masih melakukan penelitian dan pengembangan atau dalam tahap komersialisasi awal,” ujar Tan.
Berikut ini sejumlah startup portofolio SEEDS yang saat ini punya kehadiran di Indonesia dan/atau turut diinvestasi oleh pemodal ventura yang punya basis di Indonesia:
Startup
Sektor
Co-Investor (basis Indonesia)
6Estates
AI
GDP Venture
Aevice Health
Healthtech
East Ventures
AMILI
Biotech
East Ventures
CROWDO
Fintech
Gobi Partners
Ematic Solution
Martech
AC Ventures
ION Mobility
Electric Vehicle
GDP Venture
Mesh Bio
Biotech
East Ventures
Style Theory
Fashion
Alpha JWC Ventures
Workmate
Job Marketplace
AC Ventures
Zenyum
Healthtech
TNB Aura
ZUZU Hospitality
Hospitality
AC Ventures, Alpha JWC Ventures
Tan melanjutkan, “Kami exit bersama mitra investor ketika ada peluang yang sesuai. Namun, kami juga dapat bertindak sebagai pemodal yang lebih ‘sabar’ jika beberapa startup memerlukan periode pengembangan yang lebih lama untuk mengomersialkan teknologi tersebut,” ujar Tan.
Lebih dari 40 Mitra investasi
Saat ini SEEDS telah bekerja sama dengan lebih dari 40 mitra VC di seluruh vertikal bisnis yang menjadi domain investasi. Ada lebih dari 150 startup yang telah diinvestasi, yang telah melayani pasar di Singapura dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya. Beberapa startup seperti ION Mobility dan CROWDO memiliki fokus di pasar Indonesia dalam debutnya — kendati mereka memiliki kantor pusat di Singapura.
“Kami bekerja sama dengan mitra investasi yang kami yakini mampu menambah nilai strategis yang kuat bagi startup, tidak hanya dalam hal pendanaan, namun juga mampu membantu startup untuk berkembang dengan pengalaman, keahlian, dan jaringan mereka di pasar-pasar utama yang diminati,” imbuh Tan.
Ia mencontohkan, kemitraan SEEDS dengan Real Tech Holdings (RTH), sebuah VC deep tech asal Jepang, memungkinkan startup mereka memanfaatkan jaringan RTH yang luas di Negeri Sakura, termasuk melalui perusahaan dan LP mereka. Secara khusus, RTH membantu startup deep tech portofolio SEEDS mengakses pasar Jepang melalui kemitraan strategis atau proyek percontohan.
Di bidang perawatan kesehatan, SEEDS bermitra dengan Coronet Ventures, sebuah lengan investasi Cedars-Sinai Medical Centre, salah satu grup rumah sakit swasta terkemuka di Amerika Serikat. Kemitraan ini memungkinkan portofolio mereka memanfaatkan sumber daya klinis pusat medis tersebut. seperti paparan infrastruktur penelitian dan sumber daya uji klinis.
“Kemitraan ini juga akan memungkinkan para startup untuk mendapatkan manfaat dari peluang mentoring dari para dokter, peneliti, dan pengusaha layanan kesehatan global terkemuka lainnya,” kata Tan.
Porsi lebih untuk deep tech
Investasi ke sektor deep tech memang tengah menggeliat di dunia. Menurut laporan BCG, tahun ini sekitar 20% dana VC diinvestasikan ke sektor ini. Secara total, pada H1 2023 sekurangnya $40 miliar telah disalurkan ke startup deep tech global.
Dalam 5 tahun terakhir, SEEDS banyak berinvestasi ke startup deep tech khususnya bidang biotech, climate-tech, dan manufaktur tingkat lanjut. Menurut Tan, hal ini disebabkan oleh semakin matanya ekosistem deep tech di kawasan ini, termasuk dari sisi talenta, program akselerator, hingga investor yang masuk ke segmen ini. “Dan tentunya adanya peningkatan pengusaha ‘bilingual’ yang mampu memadukan kemampuan ilmiah yang kuat dengan pola pikir komersial dalam mendirikan usaha tersebut,” ujarnya.
Tan melanjutkan, “Yang lebih penting lagi, pendorong terbesarnya adalah permintaan akan solusi dan teknologi terobosan yang dapat memenuhi sebagian kebutuhan Asia Tenggara dalam melayani kebutuhan penduduknya, seperti layanan kesehatan dan urbanisasi.”
Dicontohkan SEEDS telah berinvestasi ke AMILI, sebuah startup mikrobioma usus presisi, yang melakukan studi untuk memahami kekhususan mikrobioma usus Asia guna menemukan wawasan dan mengembangkan intervensi kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan populasi Asia. Tahun ini investor East Ventures turut mendanai startup tersebut.
Portofolio lainnya adalah Transcelestial, startup komunikasi laser nirkabel, bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi, ISP, dan mitra perusahaan untuk menerapkan sistem Centauri. Sistem tersebut menyediakan konektivitas 4G di rumah dan kantor secara lebih baik tanpa kabel bawah tanah atau perangkat berbasis frekuensi radio yang memerlukan investasi infrastruktur mahal.
Bawa startup go-global
Ketika berinvestasi, SEEDS juga melihat potensi calon portofolionya untuk bisa berkembang secara global. Tan mengatakan bahwa Asia Tenggara saat ini menjadi bagian penting dari rencana pertumbuhan banyak perusahaan dalam portofolio mereka, mengingat kelas menengah yang berkembang pesat dan permintaan solusi atau produk yang lebih efektif, terjangkau, atau berkelanjutan.
Selain ION Mobility di Indonesia, beberapa startup lain yang pesat di luar Singapura adalah layanan agritech Singrow di Malaysia dan Thailand.
Sebagai bagian dari agensi pemerintah dalam mendukung pengembangan usaha, SEEDS ingin membawa nilai tambah dari jaringan yang dimiliki Enterprise Singapore yang saat ini telah memiliki 37 kantor global termasuk di negara-negara besar di Asia Tenggara. Enterprise Singapore sendiri juga punya mandat untuk menjembatani antara startup dengan investor, mitra, dan pangsa pasar di jaringannya.
“Inisiatif kunci lainnya adalah program Global Innovation Alliance (GIA) yang dijalankan Enterprise Singapore di pusat-pusat inovasi kunci, termasuk 4 kota di Asia Tenggara. Program akselerator GIA bertujuan mempercepat masuknya startup ke pasar dengan bantuan mitra lokal seperti Plug and Play (Jakarta & Manila), Quest Ventures (Ho Chi Minh City), dan RISE (Bangkok),” jelas Tan.
Menutup perbincangan Tan menyampaikan, walaupun fokus utama SEEDS berinvestasi ke startup berbasis di Singapura dengan aktivitas inti di sana (kantor pusat, R&D, dan manufaktur), namun bisa dipastikan para pendiri datang dari berbagai negara dan latar belakang. “Kami menyambut startup dari Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mendirikan basis di Singapura dan bekerja sama dengan kami,” tutupnya.
Iklim pendanaan Venture Capital (VC) Indonesia mengalami naik-turun dalam beberapa tahun terakhir akibat ketidakpastian ekonomi makro global. Dalam laporan “Indonesia Venture Capital Report 2023” oleh AC Ventures dan Bain & Company, ketidakpastian ini dipicu kehati-hatian investor.
Situasi tersebut berdampak terhadap penurunan jumlah kesepakatan investasi pada paruh kedua 2022 sebanyak 344 menjadi 110 kesepakatan di paruh pertama 2023. Adapun, total pendanaan VC tercatat tumbuh flat (YoY) sebesar $3,6 miliar pada 2023. Jika dibandingkan, tren investasi di global (termasuk AS, Tiongkok, dan India) justru turun 20%-40%.
Pada investasi dengan ticket size di atas $50 juta, volumenya turun pada paruh kedua 2022 hingga 2023 (year-to-date), 72% putaran pendanaannya justru ditutup pada paruh pertama 2022 untuk menghindari situasi ekonomi makro yang dapat berdampak terhadap capital deployment.
Sebaliknya, pendanaan dengan ticket size tak sampai $10 juta (tahap awal) menunjukkan pertumbuhan sehat sejak tahun 2021, menunjukkan ketangguhan startup tahap awal. Terlihat pada, jumlah transaksi kurang dari $10 juta mendominasi pendanaan pada 2023 (year-to-date)–meski turun drastis dari 165 di 2022.
Pendanaan seri B tercatat menurun, baik jumlah transaksi maupun ticket size. Lalu, pendanaan seri C dan D+ menunjukkan tren kenaikan pada jumlah transaksi dan nilai. Beberapa notable funding dengan nilai signifikan pada 2022 mengalir ke sektor fintech, yaitu Xendit ($300 juta) dan DANA ($250 juta).
Terlepas dengan dinamika ini, Indonesia disebut tetap menjadi target kunci bagi VC. Sejumlah startup generasi awal yang telah berkembang signifikan menjadi bukti komitmen dan optimisme investor hingga saat ini.
“Riset kami dengan AC Ventures menyoroti optimisme dan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi jangka panjang. Tantangan makro dan situasi sulitnya pendanaan akan membentuk ekosistem yang lebih solid dan tahan lama. Pertumbuhan di masa depan dapat terwujud lewat peluang di sektor baru yang tengah berkembang, juga didukung investor yang semakin matang dan siap dengan modalnya,” ujar Partner Bain & Company Tom Kidd.
Tiga fase perkembangan VC
Dalam temuannya, laporan mengungkap lanskap investasi VC di Indonesia telah berkembang dalam tiga fase. Pertama, fase sebelum tahun 2020, investor banyak menyuntik pendanaan ke bisnis yang memiliki network effect, alias fenomena layanan menjadi berguna saat banyak orang yang memakainya. Sektor kunci bisnis ini antara lain e-commerce, fintech, hingga logistik.
Fase kedua (2020-2022) ditandai lewat tren pergeseran prioritas investasi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Pada periode ini, investor membidik sektor yang dapat dampak positif dari pembatasan mobilitas. Sejumlah sektor yang populer digunakan selama masa pandemi, misalnya e-commerce dan fintech (khususnya paylater, pinjaman, dan investasi), serta teknologi web3.
Sementara, fase selanjutnya (2023-seterusnya) kembali bergeser ke sektor ESG dan teknologi yang berkaitan dengan lingkungan/iklim. Contohnya, kendaraan listrik (EV) dan baterai. Sektor lain, seperti healthtech tetap memiliki posisi kuat di tengah iklim investasi yang sulit. Demikian pula, sektor D2C yang memanfaatkan media sosial dan ecommerce untuk memaksimalkan bisnisnya.
Berikut sorotan beberapa sektor kunci:
Total pendanaan ke consumer tech merosot ke $81 juta pada paruh pertama 2023, dibandingkan pendanaan pada paruh pertama 2022 yang sebesar $580 juta. Namun, sentimen investor tetap positif sejalan dengan meningkatnya segmen kelas menengah dan populasi pekerja di Indonesia.
Total pendanaan ke jasa keuangan anjlok dari $1 miliar pada paruh pertama 2022 menjadi $25 juta pada paruh pertama 2023. Adapun, pendanaan ke sektor ini sebagian besar mengalir ke insurtech, banking untuk rural, dan hipotek.
Sebaliknya, pendanaan ke kendaraan listrik dan energi naik signifikan dari $3 juta pada paruh pertama 2022 menjadi $18 juta pada paruh pertama 2023. Peningkatan ini ikut didorong oleh dukungan kebijakan pemerintah terkait subsidi untuk pelanggan ritel dan opsi pembiayaan yang lebih terjangkau.
Agritech juga mendapat kucuran dana yang cukup signifikan pada 2023 di mana ikut terdorong dari perolehan investasi eFishery sebesar $200 juta. Adapun, sektor budidaya perairan mengalami pertumbuhan 1,2 kali lipat di 2022 hingga paruh pertama 2023.
Dalam laporan tersebut, Managing Director Northstar Group Carlson Lau menjelaskan bahwa sektor consumer di Indonesia siap menghadapi fase pertumbuhan signifikan selanjutnya. Potensi pertumbuhan ini ikut didorong oleh kenaikan pendapatan dan ketertarikan konsumen untuk menjajal produk baru. Infrastruktur logistik dan sistem pembayaran online yang semakin matang menjadi katalis kemunculan merek-merek baru dalam negeri.
Ia juga menyoroti bagaimana kisah sukses eFishery dapat menjadi bukti bagaimana pemanfaatan teknologi ke dalam model kerja tradisional dapat membantu bisnis berkembang secara signifikan. Kesuksesan eFishery dapat menjadi pedoman bagi startup sejenis di Indonesia.
“Terakhir, sektor UMKM masih sangat luas dan belum banyak dimasuki. Para founder tengah membangun solusi yang inovatif untuk membantu UMKM mencapai efisiensi operasional. Kami melihat ada peluang digitalisasi rantai pasokan, pemanfaatan agen berbasis AI ke dalam alur kerja internal dan eksternal, serta AI untuk memfasilitasi pengambilan keputusan dan perencanaan bisnis yang lebih baik.”
Ula, startup B2B Commerce untuk UMKM, didirikan pada 2020 oleh Alan Wong, Derry Sakti, Riky Tenggara, dan Nipun Mehra. Dalam debutnya, mereka mendapat $10,5 juta pendanaan seed dari Sequoia, Lightspeed, serta sejumlah VC dan individu lain. Dalam 6 bulan, mereka mendapat pendanaan seri A 2x lipat dari sebelumnya. Kemudian, dalam waktu 9 bulan, mereka mengamankan pendanaan seri B senilai $87 juta, termasuk dari VC Jeff Bezos. Total dana ekuitas yang berhasil dikumpulkan mencapai $140 juta.
Cerita tersebut menggambarkan betapa mudahnya para pemodal ventura menggelontorkan uang investasi untuk sebuah startup. Dan itu tidak hanya terjadi di Ula, gelontoran pendanaan deras juga sempat terjadi ke startup lain seperti Lummo, BukuWarung, Astro, dan lainnya. Dalam waktu yang relatif singkat beberapa putaran pendanaan berhasil ditutup, melibatkan pemodal dari kancah lokal, regional, hingga global. Bahkan membuat mereka berstatus centaur kurang dari 2 tahun.
Sayangnya, mendapatkan pendanaan besar tidak menjamin startup mampu ‘take-off’ sampai tahap bisnis berkelanjutan. Ula dan Lummo misalnya, kini mereka memilih menutup model bisnis yang sebelumnya mengisi deck penggalangan dana dan melakukan penataan ulang operasional secara menyeluruh (termasuk membubarkan tim). Baik Ula dan Lummo memang diisi oleh jajaran founder yang cukup berpengalaman dalam ekosistem bisnis teknologi.
Koreksi pasar
Para pengamat menyebut, era ‘easy money’ dalam investasi startup sudah berakhir. Para investor kembali berpikir konservatif saat menaruh dananya ke sebuah startup, dengan menekankan metriks seperti pendapatan dan proyeksi perkembangan bisnis — alih-alih hanya mengejar pertumbuhan pengguna. Namun tidak dimungkiri, bahwa berkat investasi yang lancar di ekosistem startup telah melahirkan belasan unicorn dan puluhan centaur yang merevolusi berbagai sektor di Indonesia. Mendongkrak langsung pada ekonomi digital di wilayah ini.
Setelah pandemi, hipotesis mengenai sektor teknologi yang akan terakselerasi kencang diamini oleh berbagai pihak. Para investor jor-joran masuk ke startup teknologi baru yang dinilai dapat mendemokratisasi segmen bisnis tertentu (misalnya saat itu yang cukup populer adalah digitalisasi UMKM). Arus pendanaan tahap awal yang kencang menjadikan banyak startup baru mendapati valuasi fantastis — rata-rata pendanaan tahap awal sudah bernilai jutaan dolar.
Di sisi lain, ini berdampak pada terbentuknya gap pada putaran pendanaan tahap lanjut. Di tahap awal, startup sudah kadung mendapatkan valuasi fantastis – pengalian nilai valuasi post-money lebih tinggi dari rata-rata sebelumnya. Padahal kondisi ini rawan terdampak goncangan ketika terjadi turbulensi pada sistem perekonomian.
Benar saja, tahun 2022 kondisi ekonomi global mengalami sejumlah tekanan. Peningkatan suku bunga menjadikan para pemilik dana mulai mempertimbangkan ulang untuk berinvestasi ke startup – dengan tingkat risiko yang jauh lebih tinggi misal dibandingkan dengan deposito bank. Dengan dominasi LP di pemodal ventura yang berasal dari investor global, dampak penurunan iklim investasi pun sangat terasa di Asia Tenggara, terlebih di Indonesia.
Padahal dengan banyaknya startup tahap awal yang sudah mendapatkan pendanaan sejak beberapa tahun sebelumnya, dukungan pendanaan lanjutan sangat dibutuhkan. Dengan paradigma sebelumnya, startup mencoba mengutamakan growth, dengan harapan saat basis pengguna sudah terbentuk bisa memulai monetisasi di tahap selanjutnya. Ini membuat runway bisnis mereka terbatas dan cukup bergantung dengan putaran pendanaan berikutnya.
Kami bertemu dengan Yinglan Tan, Founding Managing Partner Insignia Ventures Partners, yang telah berinvestasi ke startup di Indonesia dan Asia Tenggara dalam multi-stage. Ia berpendapat di kondisi pasar saat ini, para VC mengharapkan manajemen keuangan dan tata kelola bisnis yang lebih matang untuk startup setelah menyelesaikan putaran tahap awal (pasca-seri A). Dan ini harus dicerminkan pada laporan keuangan teraudit dengan unit ekonomi positif, manajemen arus kas yang sehat, dan beberapa validasi bisnis lainnya.
“Rasio biaya vs pengembalian bagi startup telah meningkat terutama untuk investasi tahap akhir, seiring naiknya cost of money dan penyesuaian harga dalam lanskap exit pasca-pandemi. Hal ini mendorong para VC untuk lebih teliti dalam menghindari kerugian, atau memperluas paparan mereka terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap undervalued. Ada juga strategi untuk beralih ke putaran awal, meskipun hal ini mungkin memengaruhi kecepatan penyaluran dana yang besar,” ujar Tan.
Beberapa hal memang dilihat telah berubah akhir-akhir ini, durability of cash misalnya. Sebelumnya satu putaran pendanaan bisa mengamankan runway startup 12-18 bulan sebelum menutup putaran selanjutnya, namun sekarang ini sulit dilakukan oleh banyak startup. Di sisi lain proses penggalangan dana juga lebih sulit, para analis di VC membutuhkan waktu lebih banyak untuk melakukan penilaian ketat terkait performa startup tersebut.
Tan mengutarakan, situasi ini bisa diantisipasi founder dengan menerapkan sejumlah pilihan sekenario, di antaranya:
Skenario
Penjelasan
Bergerak Agresif
Fokus pada ekspansi dan pertumbuhan. Jika startup sudah memiliki uang tunai yang cukup, setidaknya memiliki runway tiga tahun atau sudah mencapai titik profitabilitas. Ini menjadi kondisi yang perlu diupayakan semua startup.
Mengerem Pengeluaran
Startup bisa fokus untuk mengefisienkan pengeluaran untuk menambah runway, termasuk mengarahkan ulang bisnis menuju profitabilitas. Beberapa founder juga mengupayakan brdige round saat melakukan penyesuaian ini untuk memastikan putaran selanjutnya lebih mulus.
Melakukan Down-round
Jika dua skenario di atas tidak memenuhi, startup bisa menggalang down-round dengan mengorbankan pada nilai valuasi yang diperkecil. Juga bisa mempertimbangkan instrumen lain seperti venture debt, financing, dan lainnya.
Menjual Bisnis
Jika semua langkah di atas masih sulit dilakukan, maka menyerahkan kepemilikan startup ke pihak lain agar mendapat injeksi dana bisa jadi pilihan. Ini diupayakan agar produk/layanan bisa terus dikembangkan.
“Para pendiri yang berhasil dalam lima tahun terakhir bisa menggalang dana $10 juta dengan presentasi PowerPoint dan memberikan subsidi untuk pertumbuhan. Mereka tidak akan menjadi pendiri yang akan berhasil dalam lima tahun mendatang karena lingkungannya telah benar-benar berubah,” ujar Tan.
Insignia Ventures Partner telah berinvestasi ke sejumlah startup lokal. Berikut daftarnya:
Tahap awal: ATTN, Asani, Assemblr, Bakool, Credibook, Elevarm, Fishlog, Lifepal, Nimbly, Pahamify, Sayurbox, Tentang Anak, Verihub
Maraknya pemberitaan layoff, penutupan bisnis, pivot, akuisisi yang disampaikan secara eksplisit beberapa waktu terakhir membuktikan bahwa 4 skenario tersebut mungkin dijalankan dan memang menjadi pilihan yang relevan bagi para founder.
Praktik manajemen arus kas yang sehat sangat penting bagi pertumbuhan berkelanjutan perusahaan di pasar saat ini. Ini melibatkan sistem pengukuran yang akurat, fondasi keuangan yang kuat, pengelolaan pertumbuhan karyawan yang hati-hati, pengeluaran pemasaran yang terencana, serta pertimbangan alternatif pendanaan seperti hutang usaha.
Founder harus memahami risiko bisnis dan mempertimbangkan berbagai opsi pendanaan sebelum terjun ke pasar pendanaan. Praktik-praktik ini tak hanya terkait dengan keuangan, tapi juga banyak aspek pembangunan perusahaan, menegaskan bahwa mengintegrasikan praktik-praktik tersebut di atas ke dalam prinsip-prinsip operasional perusahaan sangat krusial untuk manajemen arus kas yang lebih baik.
Tan juga berkomentar soal pertimbangan exit melalui IPO bagi startup tahap lanjutan. Ia mengatakan, “Meskipun kami percaya bahwa pasar publik adalah pembeli terbaik untuk startup portofolio kami, ini bukanlah akhir tetapi transisi fundamental bagi setiap perusahaan. Penting bukan hanya agar perusahaan go public, tetapi juga agar mereka mampu memanfaatkan pasar publik secara efektif untuk pertumbuhan berkelanjutan. Banyak faktor yang perlu bersatu untuk perusahaan, mulai dari sifat bursa saham hingga cerita yang perusahaan bawa ke pasar dan persiapan yang telah mereka susun menjelang IPO.”
Komentar ini berlandaskan pada stigma yang kurang baik oleh publik atas perusahaan teknologi yang telah terlebih dulu melantai ke publik.
“Lebih dari sekadar mengantar sebuah perusahaan ke pasar publik pada titik waktu tertentu, yang lebih penting bagi kami adalah mendukung perusahaan dalam memperkuat dasar-dasar mereka jika mereka memutuskan untuk memulai proses go public,” pungkas Tan.
Sektor kesehatan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari disparitas pemenuhan dokter, sebaran fasilitas kesehatan yang kurang merata, hingga inovasi di bidang medis yang masih relatif lambat — sehingga menciptakan gap yang cukup kentara di banyak wilayah.
Misalnya terkait dokter spesialis, menurut Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes rasionya masih sangat kecil, pemerintah menargetkan bisa mencapai target rasio 0,28: 1.000 sehingga saat ini masih dibutuhkan 30 ribu dokter spesialis.
Terlepas dari upaya yang dilakukan di hulu, kini pendekatan berbasis teknologi mulai digencarkan untuk bisa memicu adopsi layanan kesehatan yang lebih baik ke semua kalangan masyarakat, termasuk melalui aplikasi digital. Bahkan untuk menciptakan iklim inovasi yang lebih kondusif, Kemenkes telah membangun unit khusus (DTO/Digital Transformation Office) dan roadmap yang cukup jelas mengenai inovasi layanan kesehatan di Indonesia.
DTO mendorong hadirnya regulasi yang lebih bersahabat untuk ekosistem healthtech di Indonesia, implikasinya inovasi-inovasi teknologi kesehatan kini menjadi lebih mudah diuji, diaplikasikan, dan dikomersialisasikan. Di samping itu ada misi untuk menata ulang pencatatan dan digitalisasi data untuk kepentingan jangka panjang.
Tentu ini menjadi peluang besar untuk para inventor healthtech di Indonesia yang diproyeksikan mencapai $1,7 miliar pada 2023 dan akan tumbuh dengan CAGR 10,35% sampai 2028 mendatang senilai $2,9 miliar.
Pemain healthtech terbesar
Startup healthtech sudah mulai bermunculan sejak era perkembangan awal startup. Dimulai dari portal informasi kesehatan, layanan telemedis, e-pharmacy, layanan kesehatan O2O, hingga kini menuju ke inovasi babak selanjutnya: biotech.
Didasarkan pada data pendanaan yang diumumkan publik, tiga startup saat ini diproyeksikan telah menjadi centaur (sejauh ini belum ada unicorn lokal dari vertikal healhtech).
Startup
Pendanaan
Estimasi Valuasi (Venture Cap)
Halodoc
· Seri D: $100 juta (Astra Digital, Openspace, Novo Holdings, dll).
· Seri C: $80 juta (Astra, Temasek, Telkomsel MItra Inovasi, Novo Holdings, Bangkok Bank dll).
· Seri B: $65 juta (UOB Venture, Singtel Innov8, KIP, Melinda Gates Foundation, Prudential, Allianz X, dll).
· Seri A: $13 juta (Clermont Group, Go-Jek, Blibli, NSI Ventures).
· Seri C+: Undisclosed (MDI Ventures, Sequis, Golden Gate Ventures, Heritas, Hera Capital).
· Seri C: $33 juta (Sequis Life, Philips, Heritas Capital, Hera Capital, Dayli Partners dll).
· Seri B: Undisclosed (Softbank, Golden Gate Ventures dll)
· Seri A: $2,5 juta (Golden Gate Venture, angel investor)
· Seed: Undisclosed (Fenox, 500 Startups, Golden Gate Ventures)
± $130 juta
Good Doctor Indonesia
· Seri A: $10 juta (MDI Ventures, Grab, Softbank)
· Seed: Undisclosed (Grab, Ping An)
mendekati $100 juta
Investor di vertikal healthtech
Dalam satu tahun terakhir, sektor healthtech dan turunannya memiliki momentum pertumbuhan yang sangat pesat. Ini mendorong para investor untuk mempertajam hipotesis mereka untuk turut andil di dalam vertikal industri ini. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah pemodal ventura juga telah mengalokasikan dana kelolaan khusus yang difokuskan untuk berinvestasi ke startup healthtech.
Berikut ini daftar investor aktif di Indonesia yang memiliki fokus mendanai startup di bidang teknologi kesehatan:
Healthcare Fund dari East Ventures
Bulan lalu pemodal ventura yang dinakhodai Willson Cuaca ini baru mengumumkan inisiatif Healthcare Fund senilai $30 juta. Dana ini akan disalurkan ke startup healthtech dan turunannya di kawasan ini. Sejauh ini mereka juga sudah banyak berinvestasi ke startup healthtech (dan turunannya). Disampaikan sekurangnya ada 30 startup di Indonesia dan wilayah regional.
Di vertikal bisnis ini, East Ventures juga tampak lebih serius memperdalam keterlibatannya di area genomik – terutama di lini biotech dan deeptech. Berikut ini sejumlah daftar investasi terbarunya:
Alat monitoring kesehatan untuk solusi pernapasan kronis
Seed
Dana Kelolaan CVC BUMN
MDI Ventures dan Bio Farma telah membentuk dana kelolaan bertajuk “Bio Health Fund” dengan komitmen investasi awal $20 juta. Mereka akan menginvestasikan dana tersebut ke startup tahap awal dan berkembang yang fokus di bidang biotech dan inovasi layanan kesehatan di Indonesia. CVC BUMN lainnya, yakni Mandiri Capital Indonesia, juga mengatakan bahwa mereka merilis thematic fund dengan salah satu fokusnya di bidang biotech.
MCI sendiri memang sedang fokus memperdalam hipotesis impact investment mereka melalui sejumlah co-investment, salah satunya bersama UNDP. Mereka mengeksplorasi startup yang berpotensi mendisrupsi sektor riil berdampak dengan inovasi teknologi.
MDI sendiri saat ini adalah investor dari sejumlah startup healthtech seperti Alodokter, Good Doctor, SwipeRx, CXAGroup, Pixa, dan Heals. Melalui unit lainnya, Telkomsel Mitra Inovasi yang juga merupakan anak perusahaan Telkom Group, mereka juga berinvestasi ke Halodoc dan Zi.Care.
Daftar VC yang berinvestasi ke healthtech
Kendati tidak memiliki dana kelolaan khusus, selain pemodal ventura yang sudah disebutkan namanya di atas, sejumlah pemodal ventura juga memiliki ketertarikan untuk berinvestasi ke startup healthtech lokal dalam dua tahun terakhir. Berikut daftar selengkapnya:
AC Ventures
Astra Digital
GK-Plug and Play
Golden Gate Ventures
Iterative
Jungle Ventures
Kenangan Fund (Kopital Ventures)
Openspace Ventures
Skystar Capital
Softbank
Teja Ventures
Venturra
Wavemaker Partners
Selain itu sejumlah angel investor juga mulai turut andil dalam berinvestasi ke startup healthtech, terutama dalam putaran pre-seed atau seed.